07 November 2007

Jalan Baru Politik Kristen di Indonesia

SUARA PEMBARUAN DAILY
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/04/03/index.html

Oleh Martin Lukito Sinaga

SAAT ini, biasanya orang akan mengaitkan persoalan politik dengan partai-partai politik. Ketika persoalan politik Kristen hendak dikaji maka segera orang akan merujuk pada Partai Kristen Indonesia (Parkindo) atau Partai Damai Sejahtera/PDS yang kali ini ikut meramaikan Pemilu 2004. Namun segera pula ingatan terarah kepada 'nubuat' atau komentar TB Simatupang mengenai partai-partai Kristen bahwa mereka akan memposisikan dirinya selaku a permanent minority party.
Tampaknya dalam lintasan sejarah di negeri ini, kehadiran partai Kristen bukan sekadar membuktikan lagi bahwa jumlah kursinya tidak signifikan, tetapi pada gilirannya malah menggiring umat Kristen ke dalam mentalitas minority complex. Mentalitas itulah yang dipompa oleh partai tersebut. Hanya dengan cara itulah suara bisa didulang dan sentimen teologi akan dipakai secara manipulatif untuk membenarkan kepentingan partai kecil itu, dengan menampilkan dirinya selaku juru selamat kaum minoritas.
Kalau politik (dalam hal ini Kristen) dipahami dengan maknanya yang luas, ia adalah horison kehadiran Kristen, di mana peran dirinya dapat mendorong transformasi seluruh kehidupan. Politik dalam arti yang luas tidak hanya sekadar perebutan kekuasaan, tetapi juga penegasan arah etis kehidupan bersama karena hadirnya komunitas religius di mana power hendak ditawar dengan truth.
Jadi, --sekadar mengambil contoh mutakhir-- akibat 'kuasa' ditantang oleh 'kebenaran' religius mengenai jati diri manusia selaku ciptaan Tuhan (selaku citra Allah), maka kita dapat menyaksikan Hak-hak Asasi Manusia/ HAM masuk ke dalam kosa kata politik dan memiliki klaim politik. Kurang lebih seperti inilah makna luas politik Kristen. Sehingga suatu penyempitan ke dalam partai-partai politik akan mengerdilkan makna strategis dan kreatif dari kehadiran politik Kristen tersebut.
Penekanan saya pada horison politik yang lebih luas dari komunitas Kristen di atas berarti juga suatu ikonoklasme. Maksudnya: posisi strategis politis tadi harus diambil karena sejak semula politik Kristen di Indonesia berbentuk penggumpalan diri yang eksklusif sambil mendefinisikan diri dalam kecemasan minoritas. Mentalitas sedemikian harus direkonstruksi, atau dihancurkan (seperti dalam peristiwa ikonoklasme), bukan saja karena yang hendak ditinggalkan ialah watak eksklusif di atas, tetapi terlebih karena kita mau jujur dan belajar dari sejarah kehadiran politisi Kristen di Indonesia.

Konservatisme
Cukup menarik mencatat bahwa prototipe politik Kristen dapat dilacak jauh ke zaman kolonial, dan cukup mengagetkan bahwa ahli sejarah gereja semisal Zakaria Ngelow menegaskan bahwa genesis politik Kristen itu secara simbolik tampak pada diri seorang anggota Volksraad, yaitu TS Gunung Mulia. Dia "berakar dalam lingkungan zending/misi dan sukunya (Batak), dan konservatif dalam sikap politik terhadap Belanda" (Ngelow, Kekris- tenan dan Nasionalisme, 1996:277).
Malah Gerry van Klinken memahami Gunung Mulia selaku kolaborator kolonialisme, dan karena itulah Gunung Mulia melihat bahwa politik etis yang dijalankan Belanda kala itu adalah pencerminan iman Kristen (van Klinken, Minorities, Modernity and the Emerging Nation, 2003:73). Pada gilirannya Gunung Mulia mendukung kolonialisme, dan merelakan umat Kristen berkibar dalam naungan dan perwalian Badan Misi Gereja Belanda.
Memang harus jelas dipahami, agar tinjauan historis fair adanya, bahwa dalam sejarah Indonesia, para kolaborator (baca: berpolitik secara kooperatif) adalah bagian dari kaum elite terdidik pertama di negeri ini yang memilih dunia modern selaku jalur emansipasi menghadapi kolonialisme Belanda. Dan memang Gunung Mulia mewakili kondisi orang-orang Kristen saat itu, mereka -sekali lagi mengutip van Klinken- masuk ke dunia modern, lalu masuk Kristen dan terhisab dalam arus embourgeoisement alias naik status kelas sosial (menjadi kelas menengah).
Sekadar catatan, dalam situasi inilah genesis politik Kristen lainnya yang muncul dari diri Amir Syarifuddin akan terasa marginal. Hampir tidak mungkin watak radikal Amir Syarifuddin itu mengambil bentuk dalam tubuh komunitas Kristen Indonesia.

Mencoba Berpartisipasi
Kalau catatan historis sedikit meloncat ke era Orde Baru, maka fusi partai-partai politik ke dalam tiga besar itu mendorong suatu manuver politik Kristen baru: ia memilih jalur mendukung kekuasaan yang ada, dan tema politiknya ialah partisipasi.
Pada masa ini ada kesan bahwa politik semakin meluas maknanya, dan umat Kristen seolah terbebas dari penyempitan politik ala partai-partai. Tetapi saat ikhtiar perluasan politik hendak diajukan, justru ruang dan atmosfir politik yang menyempit.
Semua dipaksa berbaris rapi mendukung otoritarianisme Orde Baru, dan malah tidak ada politik partisipatif saat itu, yang ada hanya satu politik kekuasaan milik Bapak Pembangunan.
Patut dicatat, kala itu jalur keterlibatan sosial yang mendukung proyek pembangunan Orde Baru dapat dikatakan dipelopori oleh umat Kristen. Munculnya embrio gerakan LSM semisal Dharma Cipta mengisyaratkan bahwa partisipasi politik bukan lagi sekadar ikut menumpang di dalam otoritarianisme Orde Baru, tetapi malah ia ikut mendorong program konkret Orde Baru, yaitu kerja-kerja praktis (yang belakangan memang dinilai sebagai pembangunanisme). Malah Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) secara maraton melatih tenaga-tenaga motivator pembangunan yang setetah dididik di Cikembar (Sukabumi) diterjunkan ke desa-desa melatih partisipasi warga membangun dirinya sendiri.
Salah satu akibat dorongan mengabdi dan berpartisipasi pada ideologi dan proyek Orde Baru tadi, umat Kristen hampir tak siap mengantisipasi kebangkrutan Orde Baru itu. Tak pernah diperhitungkan bahwa Orde Baru akan runtuh justru karena proyek pembangunan itu sendiri keropos dililit utang dan korupsi. Malah TB Simatupang terus menerus meyakinkan umat Kristen bahwa Orde Baru dengan dukungan militernya akan menempuh mission imposible, yaitu memelopori demokrasi dan koreksi dari dalam.
Dalam teologi gereja, seorang seperti Victor Tanja, yang terlibat dalam Golkar namun pengajar pada STT Jakarta, terus-menerus melarang kaum muda Kristen mempelajari teologi pembebasan. Terlena dengan perspektif ini, umat Kristen umumnya mengarahkan diri menjadi para profesional pekerja pembangunan, dan kaget ketika gelombang perubahan mencabik-cabik status quo.

Jalan Baru
Setelah meninjau segi-segi politik Kristen tadi, ternyata ada dua pelajaran penting yang didapat. Pertama, penyempitan ekspresi politik ke dalam partai politik selain hanya menghasilkan suara minoritas juga terbukti mendorong kelembaman (inertia) umat Kristen sendiri. Ia memiliki akar konservatif dan eksklusif di masa kolonial, dan ekspresi partai dari situasi sedemikian akan hanya menyuburkan isolasinya.
Kedua, tabiat minoritas yang cenderung menumpang ke dalam struktur kekuasaan yang ada malah pada gilirannya akan menanamkan bukan hanya mentalitas status quo, tetapi juga ketiadaan daya terobos di era transisi menuju demokrasi saat ini. Kalau sering dikatakan bahwa transisi Indonesia ini mengalami musim kemarau yang panjang, maka tepat juga kalau dikatakan ekspresi politik umat Kristen di dalam proses itu pun berada dalam suasana kering-kerontang.
Dari tinjauan tadi, bagaimanampun juga, bisa ditarik kesimpulan positif. Kalau memang politik Kristen itu sebaiknya tanpa partai minoritas, maka paling tidak ia bisa bergerak leluasa di ruang lain, yaitu ruang civil society. Sehingga memang politik Kristen kini dapat secara konsisten meluas, dan ia masuk dalam arus baru politik kewargaan itu: suatu politics of influence di mana kekristenan tidak lagi dilihat sebagai sumber kuasa di kotak suara, tetapi sebagai inspirasi perubahan masyarakat dengan pengorganisasian rakyat sebagai fokusnya.
Tentu dari situ, dari ruang-ruang kebebasan yang tercipta, pengaruhnya akan sampai kepada perubahan kebijakan dan kultur politik negara. Dan kalau memang tabiat menumpang di kekuasaan malah akan mencelakakan diri sendiri, kini tiba saatnya umat Kristen mencari rallying point dalam pergerakan sosial baru (New Social Movement). Di situlah berkumpul seluruh elemen-elemen demokratis yang akan mempercepat transisi ini menemukan format barunya. Kedua pilihan di atas akan meretas jalan baru politik Kristen di Indonesia.
Penulis adalah pengurus pusat Persekutuan Gereje-gereja di Indonesia (PGI).
Last modified: 3/4/04

Gambaran Aktivitas Wanita "Masa Kini" dalam PolitikOLITIK

http://www.angelfire.com/md/alihsas/aktivitas.html


Oleh : Alfii Majidah

Sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia telah mencatat nama-nama wanita yang turut andil dalam aktivitas politik. Perjuangan fisik melawan penjajah telah mengabadikan nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Martha Tiahahu, Yolanda Maramis dsb. Dalam pergerakan nasional muncul nama Rasuna Said dan Trimurti. Sedangkan RA Kartini dan Dewi Sartika, telah terpahat nama-nama mereka sebagai orang yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan pria.

Era Orde Baru telah melempangkan jalan bagi para wanita untuk aktif berkiprah dalam segala aspek kehidupan termasuk politik. Berbagai bentuk perjuangan politik telah digeluti para wanita, seperti parlemen, kabinet, partai politik, LSM, dan sebagainya.

Namun kesimpulan yang diambil delegasi 27 negara yang hadir dalam sebuah konferensi perempuan tahun 1994 lalu menyatakan bahwa akses perempuan Asia untuk terjun kebidang politik, masih rendah. Hal ini disebabkan perempuan Asia pada umunya masih terbelenggu masalah klasik yakni adanya diskriminasi, kurangnya dana dan dukungan. Konferensi yang dihadiri para perempuan politisi dan akademisi serta organisasi swadaya itu bertujuan mencari solusi bagaimana caranya meningkatkan peranan perempuan dalam bidang politik, bidang yang secara tradisional dikuasaii kaum laki-laki.

Seorang politisi sekaligus ilmuwan wanita dari Bangladesh, Rounaq Johan mengatakan bahwa dari seluruh perempuan yang ada di muka bumi ini, hanya 10% saja yang menduduki jabatan sebagai anggota parlemen. Sementara yang beroleh jabatan anggota kabinet (menteri) hanya 4%. Di Asia, tercatat hanya 5 perempuan yang (pernah) berhasil merebut posisi kepala negara, yakni Indira Gandhi di India, Sirimaaro Bandaranaike di Srilangka, Benazir Bhuto di Pakistan, Khaleda Zia di Banglades dan Corazon Aquino di Filipins. [dan Megawati Sukarno Putri di Indonesia ...]

Drs. Arbi Sanit dalam seminar "Peranan Wanita dalam Pesta Demokrasi 1997" yang diselenggarakan oleh Fatayat NU dan Harian Republika menyatakan meski secara kuantitatif jumlah wanita Indonesia lebih banyak dibandingkan pria, perkembangan posisi dan peran politik wanita Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif, wanita Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik Indonesia. Selanjutnya Dosen FISIP UI ini mengungkapkan data perkembangan jumlah wanita dalam parlemen. Di DPR porsi wanita meningkat dari 6,25% pada tahun 1955 menjadi berturut-turut 7,17% pada tahun 1971, 8,48% pada tahun 1977 dan 9,35% pada tahun 1982.

Terlepas dari suara-suara yang menyimpulkan bahwa jumlah wanita yang berkecimpung dalam politik masih terlalu sedikit, perlu kita cermati apa sebenarnya peran yang mereka mainkan.

Parlemen

Litbang Republika telah mengadakan penelitian tentang aspirasi wanita anggota perlemen Indonesia pusat dan 5 DPRD (yaitu DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara) terhadap pemberdayaan politik wanita. Hasilnya, mereka terdorong akan kenyataan bahwa keterwakilan wanita dalam badan Legislatif masih jauh dari memadai. Yaitu tak lebih dari 12% saja, padahal populasi wanita berjumlah lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia.

Kedudukan mereka dalam badan legislatif tersebut dianggap mempunyai akses politik terhadap pembuat kebijakan dan diharapkan pemberdayaan wanita Indonesia dapat dilakukan. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota parlemen kurang bisa mengaktualisasikan diri sesuai dengan misi yang harus mereka emban. Bahkan 36,3% dari mereka tidak tahu Konvensi PBB tentang wanita dan 41,3% tidak tahu bahwa pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasinya.

Kabinet

Dalam susunan kabinet periode 1992-1997 telah terdapat 2 menteri wanita yaitu Ny. Mien Sugandhi sebagai Meneg Urusan Peranan Wanita (UPW) dan Ny. Inten Suweno sebagai Menteri Sosial. Sistem politik yang tidak mempresentasikan populasi wanita dengan baik merupakan sesuatu yang dikeluhkan menteri UPW belakangan ini. Contoh konkrit yang dikeluhkannya adalah ketiadaan gubernur wanita, padahal wanita merupakan pemilih mayoritas dalam pemilu. Data tahun 1993 mengenai posisi (politik) strategis di indonesia menunjukkan bahwa jumlah masih minoritas. Misalnya Dari 22 duta besar, Wanita hanya 1,6 % dan dari 15.332 pejabat eselon I dan II departemen, wanitanya hanya 5,5 %.

Penelitian Republika menunjukkan bahwa kurang terwakilinya wanita dalam posisi politik disebabkan faktor kultural maupun struktural. Fakta kultural misalnya ada mitos bahwa politik adalah dunia pria, serta kurangnya kepercayaan diri wanita berkompetisi dengan pria dalam dunia politik.

Sedangkan faktor struktural adalah adanya sejumlah aturan main yang mendiskriminasikan wanita. Sebanyak 15 orang responden (14,4%) menyatakan bahwa aktifitas wanita dalam politik terkendala oleh kurangnya dukungan pemerintah. Dengan demikian apakah Kantor Meneg UPW kurang efektif menjalankan fungsinya ?

Sejumlah analisa muncul menyangkut masalah ini. Efektifita kantor Meneg UPW sebagai sebuah kementrian non departemen tidak memiliki birokrasi yang bekerja efektif di tingkat lokal. Lalu anggaran untuk kementrian inipun tidak teralokasikan secara khusus sebagaimana alokasi anggaran untuk sebuah departemen. Akan tetapi ‘terserak’ secara sektoral.

Untuk itu ada 44 orang wanita anggota parlemen (42,3%) menurut penelitian Republika yang menginginkan UPW jadi departemen. Alasan mereka adalah untuk meluaskan kesempatan bagi wanita yang berpotensi di tiap propinsi atau daerah untuk berkiprah secara langsung dalam agenda wanita. Juga agar persoalan kurangnya anggaran untuk proyek pemberdayaan wanita bisa teratasi. Dan segala program peningkatan peranan wanita bisa leluasa dirancang.

Namun aspirasi mereka ini ditentang oleh 60 orang responden (57,7%). Alasan mereka dengan mendepartemenkan UPW berarti adalah (1) karena banyak urusan sudah ditangani oleh departemen lain secara terpisah; (2) non departemen sudah cukup karena tuntutannya memang hanya memberikan arah kebijakan saja; (3) bukan prioritas untuk mengatasi diskriminasi terhadap wanita.

Kebanyakan wanita anggota parlemen memang menyadari bahwa mendepartemenkan UPW tidak otomatis menyelesaikan sejumlah agenda pemberdayaan politik wanita. Seorang nggota FPDI DPRD DKI jakarta bahkan mengusulkan agar Kementrian Negara UPW dihapus saja. Menurutnya kementrian itu tidak berguna, karena tidak pernah menyelesaikan permasalahan. Usulan radikal tersebut muncul ketika melihat kemungkinan efektifitas dan skala perhatian atas persoalan keterpurukan politik perempuan.

Di balik itu semua penelitian menemukan seorang anggota FKP yang justru mengira Kantor Meneg UPW selama ini telah menjadi departemen.

Partai Politik

Partai politik merupakan salah satu wadah dimana wanita bisa berkiprah dalam bidang politik atau dengan kata lain untuk meningkatkan pemberdayaan politik perempuan.

Partai politik di Indonesia juga merupakan jenjang untuk seseorang menjadi anggota parlemen. Dari 500 orang anggota DPR 50 orang adalah wanita; FPP terdapat 4 orang wanita dari 60 orang anggota, FKP ada 12 orang wanita sedangkan FPDI terdapat 6 orang dari 56 anggota.

Aisyah Amini, ketua komisi I DPR-RI dan merupakan Anggota DPR dari FPP menyatakan bahwa kegiatan politik adalah untuk mendukung dan memperjuangkan idealisme, bukan untuk mencari penghidupan. Politik adalah suatu bidang pengabdian untuk memperjuangkan cita-cita. Persaingan dalam dunia politik amat keras, tetapi mempunyai kenikmatan tersendiri karena bisa menyentuh banyak orang. Beliau juga mengatakan bahwa dalam PPP berpolitik itu adalah ibadah. PPP pun tidak membatasi seorang wanita untuk menjadi anggota, pengurus, sekretaris atau ketua. Namun budaya masyarakat yang masih menganggap pria lebih pantas berada dalam posisi top harus diperhatikan.

Adapun pandangan beliau tentang keseganan orang memasuki partai politik adalah karena orang yang masuk partai akan mengalami banyak kesulitan.

Megawati Soekarnoputri yang pernah menjabat Ketua Umum DPP PDI mempunyai obsesi berjuang untuk membuat wong cilik dapat tersenyum. Senyum bahagia. Dengan demikian perbaikan kepentingan rakyat banyak harus diperjuangkan. Menurutnya kepentingan rakyat banyak dalam totalitasnya mencakup kesejahteraan, memelihara dan menjaga hak asasinya dan kehidupan dalam demokrasi, memerangi kemiskinan dan mengatasi pengangguran merupakan upaya nyata (?) untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Memperjuangkan perbaikan nasib dari para petani, buruh dan nelayan dan kaum berekonomi lemah lainnya merupakan bukti nyata dari kepekaan atas kepentingan rakyat banyak.

LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) LSM Lahir dari kekecewaan beberapa aktivis ’66 yang sangat berharap Orde Baru melakukan perubahan dan perbaikan di segala bidang, terutama ekonomi. Harapan tersebut ternyata tidak menjadi kenyataan. LSM segera menyatakan diri independen dari negara, bekerja memperkuat posisi masyarakat sipil. Namun muncul perkembangan berikutnya sehubungan dengan sentralisme negara dalam melaksanakan politik pembangunan yang tidak menyertakan kepentingan rakyat.

Jalur-jalur LSM juga banyak mendorong lahirnya organisasi-organisasi wanita, konon setelah melihat kaum wanita juga menjadi korban yang diperparah oleh adanya politik gender Orde Baru.

Organisasi wanita LSM mempunyai sikap dan peran politik menolak kooperasi Orde Baru. Juga membela dan membawa suara wanita yang terepresi Orba.

LSM wanita pertama muncul tahun 1982 di yogyakarta dengan nama yayasan Annisa Swasti (Yasanti). Programnya membina buruh dan petani perempuan. Dua tahun kemudian muncul Yayasan Kalyanamitra di Jakarta. Sejak awal yayasan ini melakukan kegiatan dengan buruh wanita, lalu memposisikan organisasinya di kalangan menengah dan secara khusus memberi supporting informasi persoalan ke jaringan LSM. Setelah itu Organisasi-organisasi dengan identitas wanita LSM bermunculan, diantaranya Solidaritas Perempuan (Jakarta), Yayasan Perempuan Mardika (Jakarta), PPSW (Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita Jakarta), APIK (Asosiasi Perempuan untuk Keadilan ; Jakarta), LSPPA (Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak ; Yogyakarta), SBPY (Sekretariat Bersama Perempuan Yogya), Rifka Annisa (Yogyakarta), Divisi Advokasi Solidaritas Perempuan (Jakarta).

APIK didirikan oleh 7 orang wanita pengacara di Jakarta pada tanggal 4 Agustus 1995. APIK bertujuan untuk ikut mewujudkan masyarakat yang adil dipandang dari pola relasi kekuasaan dalam masyarakat, khususnya relasi perempuan-lelaki dalam segala aspek kehidupan. Prioritas yang diambil adalah mewujudkan sistem hukum yang adil dipandang dari pola relasi kekuasaan dalam masyarakat, khususnya relasi perempuan-lelaki, yang ditandai oleh ciri-ciri ; tidak terjadi marjinalisasi, subordinasi, stereotyping, kekerasan secara fisik, mental dan seksual serta tidak terjadi beban berlebihan dalam satu fihak.

Tujuan tersebut akan dicapai dengan berpedoman pada nilai-nilai keadilan, kerakyatan, persamaan, kemandirian, emansipasi, persaudaraan, non sektarian, anti kekerasan dan nilai-nilai kelestarian lingkungan.

Sedangkan divisi advokasi solidaritas perempuan yang dikoordinasi oleh Yuniyanti Chuzaifah bertujuan menangani perempuan pekerja migran (TKW). Solidaritas Perempuan ini mencoba memperbaiki kondisi lewat berbagai bentuk misalnya dialog dengan pemerintah, mengajak masyarakat ikut peduli dengan TKW juga, melakukan demonstrasi. Demonstrasi ditempuh karena dianggap lebih cepat mendapat respon dari pihak-pihak yang terkait.

Kenyataannya kebanyakan LSM cenderung mengambil langkah operasional praktis dalam berperan. Sehingga terkesan aktivitas mereka tidak mempengaruhi perubahan kebijakan yang ada. Menurut para aktivis LSM, langkah praktis yang bersifat nyata bisa dilakukan dengan memotori rakyat untuk memprotes kebijakan atau melakukan unjuk rasa. Dengan cara ini diharapkan para penentu kebijakan dapat mempertimbangkan suara-suara rakyat. Namun langkah ini sering kali dituding memunculkan kerusuhan, minimal konflik. Bahkan tak jarang bila emosi rakyat tak terkendali, konflik ini dapat mengakibatkan pengrusakan fasilitas-fasilitas milik kalangan tertentu ataupun umum.

Hal ini dapat terjadi mengingat langkah praktis ini bersifat temporal. Perjuangannyapun bersifat parsial tanpa memiliki kejelasan visi yang bisa difahami rakyat. Rakyat mudah terpancing emosi dan perasaan ketertindasan yang meluap tanpa memiliki landasan kesadaran politik yang benar.

Ormas (Organisasi Masyarakat)

Aisyiyah dan fatayat merupakan dua diantara ormas-ormas wanita yang ada di Indonesia.

Aisyiyah adalah organisasi otonom Persyarikatan Muhammadiyah yang bergerak dikalangan wanita. Didirikan di Yogyakarta tanggal 22 April 1917 M. Tujuan organisasi adalah terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridloi Allah SWT dengan jalan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Untuk mencapai tujuan itu organisasi mempunyai usaha-usaha antara lain : meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita menurut ajaran agama Islam, membimbing kaum wanita ke arah kesadaran beragama dan berorganisasi, juga membimbing ke arah perbaikan kehidupan dan penghidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.

Ermalena M, Hs, ketua 1 Fatayat NU mengemukakan bahwa kegiatan yang dilakukan fatayat merupakan kebijakan nasional yang pertama-tama diputuskan melalui konggres. Dalam Rapat Kerja Konggres, yang dihadiri 24 wilayah disepakati 12 item yang terbagi dalam 4 kelompok, yakni ekonomi, pendidikan, kesehatan dan organisasi sebagai misi yang harus diperjuangkan Fatayat.

Bila kita memperhatikan aktivitas kedua ormas ini, dari segi tujuan mereka memiliki skala nasional. Namun dari segi operasional, gaungnya belum terdengar.

Pendapat

Menanggapi peran wanita dalam politik, Roekmini Soedjono, Pengamat Politik dan Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa peran wanita Indonesia dalam bidang ekonomi dan lainnya lebih maju dibanding negara lain. Tapi wanita Indonesia masih terjebak pada budaya politik yang tidak memungkinkannya berperan penuh di dalam kehidupan politik. Gerak wanita yang berkecimpung dalam kehidupan politik sudah dibatasi dan dipolakan. Ironinya para wanita tidak menyadari hal demikian. Dalam mengisi kemerdekaan, wanita terlihat belum bisa memberi warna. Merekapun, kecuali para aktivis muda, cenderung menghindari "wilayah rawan". Hadir semacam kegamangan diantara wanita yang sidah mempunyai posisi tertentu untuk mendobrak status quo bidang politik.

Wilayah-wilayah politik yang memang penuh resiko, tampaknya amat diperhitungkan. Kita mengharapkan wanita yang duduk di DPR lebih nyaring bersuara, tetapi kebanyakannya sangat jarang terdengar. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Faisal Siagian (Republika 15/9/95) bahwa jumlah anggota MPR/DPR wanita itu sangat sedikit yang vokal dan cukup menonjol seperti Megawati Soekarnoputri dan Fatimah Achmad dari PDI, Aisyah Amini dari PPP atau Mien Sugandhi dari Golkar.

Sementara wanita yang tidak masuk dalam organisasi atau lebih bebas seperti LSM dalam konstelasi politik Indonesia masih belum terdengar gaungnya.

Wanita selama ini justru mementingkan masalah peranannya. Sehingga menjadi kurang mampu melihat wawasan lebih luas, padahal banyak hal yang sebenarnya harus segera ditangani. Masalah mendasar seperti feodalisme, korupsi, kolusi, monopoli, kemunafikan, budaya politik dan lain-lain malah tidak dijangkau.

Budaya politik sekarang diwarnai oleh feodalisme dan wanita terjebak di dalamnya. Semua orang, termasuk banyak wanita tanpa disadari terjebak pada kepentingan-kepentingan sesaat karena harus menyesuaikan dengan budaya politik yang berlaku.

Selanjutnya Roekmini mengutip pernyataan Wahono bahwa kita sudah terjebak pada kemunafikan. Untuk memapankan diri, semua orang yang tidak ingin terganggu atau takut dengan resiko terpaksa menyesuaikan dengan kemunafikan. Ini bukan lagi persoalan sopan santun, tetapi kemunafikan yang bertentangan dengan hati nurani.

Yang Harus Didahulukan

Roekmini Soejono melihat bahwa kecenderungan wanita-wanita yang terjun dalam bidang politik belum sepenuhnya memberikan akses untuk meningkatkan pemberdayaan politik wanita. Hal ini disebabkan karena para wanita terjebak dengan budaya politik yang berlaku disamping hanya mementingkan masalah peranannya.

Mencermati pendapat Roekmini, mungkin kita perlu bertanya apakah untuk meningkatkan pemberdayaan politik wanita kita perlu menduduki posisi tertentu, sehingga kita harus merasa terjebak dengan budaya politik yang ada?

Pemberdayaan politik kalau kita fikirkan ternyata tidak harus ditempuh dengan menduduki posisi tertentu (dalam kekuasaan). Beliaupun sebagai pengamat politik bisa bersuara lantang mengkritik peran politik wanita sekarang. Dengan demikian sebenarnya pemberdayaan politik bisa dilakukan oleh siapapun dengan kedudukan apapun.

Setiap orang yang ingin dirinya maju (apalagi menginginkan bangsanya maju) harus memiliki kesadaran politik. Dengan demikian ia akan menyadari apa yang harus diperbuat dan apa yang harus diberlakukan untuk dirinya dan bangsanya.

Seperti pendapat Roekmini juga kita tidak harus berfikir untuk satu bidang saja seperti adanya bidang wanita untuk wanita. Namun sudah seharusnya kita mampu berfikir dalam segala bidang. Karena suatu sistem itu tidak hanya terdiri dari satu bidang, tetapi banyak bidang yang saling terkait satu sama lain. Sehingga mengkhususkan diri hanya dalam satu bidang, sama saja dengan menanam kegagalan.

Untuk itu dimanapun kita berkiprah, di situ pula kita harus menyadari bahwa dalam memandang setiap masalah harus dipandang secara integral, secara sistem. Kita pun tidak perlu terjebak pada budaya politik yang ada kalau kita tidak terpaku pada perjuangan untuk menduduki posisi tertentu (penentu kebijakan) dalam menyuarakan aspirasi perempuan. Dengan catatan, para wanita punya visi tertentu yang melatarbelakangi terlibatnya mereka dalam aktifitas politik.

DAFTAR PUSTAKA

Mely G. Tan. Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan? 1991 Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Pokok-pokok Pikiran Megawati Soekarnoputri. ‘Bendera Sudah Saya Kibarkan’. 1996. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
B.N. Marbun, SH. Kamus Politik. 1996. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Prisma No. 5. 1996
leaflet APIK.
Talk Show. Trijaya FM.
Republika. 15 September 1995, 20 Desember 1996, 30 September 11996, 27 Juni 1996, 24 Mei 1996.
Media Indonesia, 30 Maret 1996.

Partai Politik Kristen, Perlukah?

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0702/23/opi01.html


Oleh
Andreas A Yewangoe

Pertanyaan ini kembali mengemuka ketika kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik dibuka seluas-luasnya pada masa-masa permulaan era reformasi. Ketika pada tahun 1945, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dibentuk, hampir semua orang tidak menolak kehadirannya.
Pembentukannya itu dianggap perlu, bukan saja untuk menanggapi secara positif Maklumat Wakil Presiden tentang pembentukan partai-partai politik, tetapi juga untuk membuktikan bahwa orang-orang Kristen pun mempunyai andil penting di dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan Negara RI.
Segera setelah pembentukannya, kita menyaksikan kiprah Parkindo yang cukup signifikan. Dalam hampir semua kabinet, entah itu dibentuk oleh Masyumi atau oleh PNI, selalu ada wakil Parkindo di dalamnya. Demikian juga ketika negeri kita berada di bawah sistem “Demokrasi Terpimpin” kehadiran Parkindo tetap nyata, kendati generasi belakangan mengkritiknya sebagai kurang kritis terhadap sistem pemerintahan yang sedang berlaku.
Ketika negeri kita berada di bawah rezim Orde Baru terjadilah penyederhanaan partai-partai politik. Sebagai “Partai Pemerintah” Golkar menduduki tempat utama, sedang partai-partai lainnya difusikan. Parkindo yang semula merupakan satu dari sepuluh partai yang diakui lalu memfusikan diri dengan partai-partai berasaskan kebangsaan. Itulah yang dikenal sebagai Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Alhasil, di dalam era itu kita hanya mengenal Golkar dan dua partai politik. Sering dua partai politik ini hanya dipandang tidak lebih sebagai aksesori demokrasi.
Ketika dalam era reformasi diberi kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara membentuk partai-partai politik, orang-orang Kristen pun tidak ketinggalan menyambutnya. Mereka merasa berhak dan berkewajiban membentuk partai dengan nilai-nilai kekristenan.
Maka lahirlah belasan partai Kristen, walau dalam Pemilu-pemilu hanya PDKB (1999) dan PDS (2004) yang berhasil mengikutinya. Keduanya berhasil mendudukkan wakil-wakilnya di DPR-RI, namun tidak mencapai electorate threshold.
Menjelang 2009, kembali partai-partai Kristen ini berusaha untuk mengikuti Pemilu. Sementara itu diusahakan juga untuk mem”fusi”kan partai-partai Kristen yang ada. Namun pertanyaan mendasar adalah apakah perlu sebuah partai Kristen?

Ketika Gereja Ditutup Paksa
Dari berbagai diskusi, antara lain yang difasilitasi bersama oleh PGI, PGLII, dan PGPI muncul setidak-tidaknya dua pendapat yang saling bertentangan. Satu pihak berpendapat tidak perlu dan menganjurkan orang-orang Kristen menggabungkan diri saja dengan partai-partai politik yang ada. Pada pihak lain, kuat juga pendapat yang membela perlunya sebuah partai politik Kristen.
Ini didasarkan pada pengalaman bahwa kepentingan Kristen sama sekali tidak diperhatikan oleh partai-partai politik yang ada, yang kepadanya suara orang-orang Kristen “dititipkan”. Dikemukakan contoh, ketika sekian banyak gedung gereja ditutup secara paksa di beberapa tempat di Tanah Air, partai-partai itu diam seribu bahasa. Maka sebuah partai politik Kristen bukan saja perlu, tetapi mendesak.
Bagaimanapun tidaklah bisa menjawab sekadar “ya” atau “tidak” pertanyaan perlukah partai politik Kristen. Dengan bercermin pada negara-negara “Barat” yang telah maju, bisa dikatakan bahwa adanya partai-partai politik adalah sebuah gejala modern.
Di Belanda misalnya, baru dimulai sejak 1848, ketika sistem parlementer dengan pertanggunganjawaban kementerian diwujudkan. Adanya partai politik bertolak dari pra-anggapan bahwa manusia yang dewasa (artinya dalam pemikiran dan perilaku), melalui pemikiran dan perbuatannya, patut mengambil bahagian dalam perkara-perkara publik. Berbeda dengan kebiasaan di era monarki absolut, di mana rakyat hanya merupakan objek kekuasaan sang Raja (Ratu), kini mereka pun subjek kekuasaan.
Yang dimaksud dengan perkara-perkara publik adalah yang menyangkut kehidupan bersama, pemikiran bersama, penilaian bersama, keputusan bersama dan perbuatan bersama. Di dalam pemikiran dasar ini terkandung dua unsur penting, yakni setiap warganegara berhak mengambil prakarsa, tidak usah selalu menunggu “mobilisasi” penguasa, dan bisa menolak dengan tegas hal-hal yang bersifat absolut.
Dari sudut pandang gereja, adanya sebuah partai politik dapat dilihat sebagai upaya menyampaikan suara-suara kenabian dan melakukan tugas-tugas pengudusan. Partai politik dipahami sebagai bahagian dari usaha mencari kebenaran dan kebaikan, menyerukannya dan mengarahkan kehidupan agar sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan itu.

Keuntungan dan Kerugian
Tetapi rumusan ini belum menjawab pertanyaan. Mungkin baik pula dicatat apakah keuntungan dan kerugian sebuah partai politik Kristen. Keuntungannya adalah, dengan sebuah partai politik Kristen, sebuah forum tersedia, di mana berbagai persoalan masyarakat dan negara direnungkan, direfleksikan, dan didiskusikan secara mendalam dengan bertolak dari Penyataan Allah.
Rasanya hal ini sangat mendasar. Tidak ada hal-hal yang berlaku dalam masyarakat dan negara yang terhindar dari Pemeliharaan Allah. Partai Kristen pun dapat menjadi forum perjuangan bagi “kepentingan Kristen”, tentu saja bersama-sama dengan elemen-elemen masyarakat lainnya. Kita tidak perlu mengingkari hal ini.
Kerugiannya adalah adanya kecenderungan untuk secara mudah mengidentikkan Allah dan Kristus (dan kehendak-Nya) dengan wajah dan pencapaian-pencapaian politik. “Sukses” kita di bidang politik dapat dianggap sebagai sukses Allah, padahal hal itu terjadi hanya karena adanya kompromi-kompromi politik (dengan pihak-pihak lainnya). Kerugian kedua, Kabar Baik (Injil) dan keselamatan secara gampang direduksi hanya bagi kepentingan orang-orang Kristen belaka. Maka universalitas Injil, yang memberitakan Kabar Baik bagi semua umat manusia, di mana gereja adalah pengembannya, secara mudah dipahami hanya dalam penampilan sebuah partai politik Kristen.
Yang paling tragis adalah, apabila partai politik Kristen itu didesak ke sudut yang tidak signifikan karena dianggap eksklusif dan tidak bermanfaat bagi kehidupan bersama.
Saya sendiri secara serius tidak mendukung pembentukan sebuah partai politik Kristen. Dengan menggabungkan diri pada partai-partai politik yang bersifat umum, akan mendorong orang-orang Kristen untuk terus-menerus berada dalam perenungan dan diskusi mendalam dengan orang-orang lain (non-Kristen) tentang persoalan hidup bersama di dalam masyarakat dan negara.
Sekaligus kita juga ditantang untuk menginterpretasikan Injil di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bersama orang-orang lain itu, di mana kita semua saling diperkaya. Dengan demikian, orang-orang Kristen sepenuhnya berdiri dengan kedua kakinya di dalam dunia (politik) yang konkret.
Pada pihak lain, apabila orang tetap berkeras untuk mendirikan sebuah partai politik Kristen, maka spesifikasi partai itu mesti dirumuskan dengan baik. Mesti sangat jelas apa yang membedakan partai politik Kristen itu dibandingkan dengan partai-partai lainnya dalam seluruh kiprah politiknya. Kalau tidak, keberadaan partai politik Kristen akan menjadi mubazir.

Penulis adalah Ketua Umum PGI.

Copyright © Sinar Harapan 2003

Perempuan dan Politik

http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtID=448&term=kekerasan
28 Mei 2007 - 04:38 (Diposting oleh: em)
PEREMPUAN::

Transisi demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini, membangkitkan tuntutan yang lebih luas atas peningkatan kehidupan politik bagi setiap warganegara. Dalam kaitan ini terjadi tarik menarik dan proses negosiasi yang ketat antara ideologi politik dominan dengan aspirasi yang berkembang. Misalnya, saja dalam menetapkan wakil-wakil rakyat di setiap partai politik, perempuan masih di tetapkan pada nomor paling bawah. Hal ini menandakan masih adanya hegemoni kaum laki-laki untuk tetap menguasai di parlemen.
Dengan dukungan iklim keterbukaan sekarang ini, kompleksitas hubungan jender dengan demokrasi juga memperoleh perhatian yang cukup banyak dari berbagai kalangan dalam topik–topik seminar dan lokakarya ataupun berbagai pernyataan di media massa. Ditambah lagi terbentuknya kelompok-kelompok atau organisasi dan kaukus perempuan dalam politik.
Salah satu pertanyaan kunci yang muncul adalah, apakah proses demokratisasi yang berlangsung saat ini dapat menciptakan suatu iklim yang kondusif bagi kaum perempuan yang selama bertahun-tahun dipinggirkan dalam arena politik. Dalam kaitan ini cukup krusial juga untuk dipertanyakan apakah sistem pemerintahan yang hendak berkembang saat ini memberikan kesempatan dan manfaat yang maksimal bagi perempuan guna meningkatkan peran politiknya, terutama dalam pengambilan keputusan, menikmati hak-haknya seperti yang tertuang dan dijamin dalam konstitusi dan UU atau peraturan lainnya, serta memperoleh kesempatan yang setara dengan kaum laki-laki dalam segala bidang kehidupan.
Oleh karena itu, membangun demokrasi yang partisipatif adalah tantangan utama pada masa transisi ini. Konsep ini mensyaratkan pengakuan dan pemahaman yang mendalam terhadap individu dan kelompok yang selama ini powerless di bawah sistem politik (patriarkhi) yang berlaku. Selain itu juga penting meningkatkan kesadaran politik, sehingga mampu menggunakan kesadaran politik itu untuk mengekspresikan sikap politiknya dalam rangka melakukan perubahan kebijakan politik yang berdampak pada kehidupannya. Peningkatan kesadaran hidup ini ditujukan pada para pengambil keputusan dan penguasa lainnya, agar mereka dapat menghormati suara masyarakat serta mendekatkan pemerintahan kepada rakyat. Membangun jaringan kerja dan informasi adalah hal penting lainnya untuk memperkuat posisi politik rakyat. Semua ini hanya dilakukann jika didukung lingkungan sosial politik damai tanpa tekanan.
Msa transisi ini telah memberikan kotribusi yang cukup signifikan dalam penguatan demokrasi. Salah satu yang menonjol dibentuknya Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan (KNKP). Namun sejauh ini kontribusi kaum perempuan terhadap pembentukan institusi demokrasi penting lainnya tidak banyak jika tidak ingin mengatakan tidak ada. Salah satu sebabnya adalah karena kurangnya kemampuan perempuan mengartikulasikan masalah-masalah tersebut ke permukaan. Dengan kata rendahnya partisipasi dan representasi politik perempuan berkontribusi sangat signifikan terhadap kurangnya perhatian masyarakat terhadap pemberdayaan perempuan.
Saat ini masalah perempuan dalam politik dalam pengambilan keputusan telah mejadi isu global karena beberapa alasan.
Pertama, pemerintahan oleh (mayoritas) laki-laki dengan perspektif laki-laki (dengan sendirinya lebih menguntungkan laki-laki), tidak dapat melegitimasi “prinsip pemerintahan untuk rakyat oleh rakyat” sebagai esensi demokrasi.
Hal ini disebabkan di antaranya, hak-hak politik perempuan merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia, bahwa dalam demokrasi pandangan dari kelompok yang berbeda-beda termasuk berbeda jenis kelamin harus dipertimbangkan dalam setiap kebijakan, dan perempuan adalah separoh penduduk dunia dan separoh dari jumlah penduduk masing-masing negara.
Kedua, tidak ada sekelompok orangpun yang dapat mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan perempuan dengan kualitas tertinggi selain kaum perempuan sendiri khususnya umtuk mengartikulasikan kebutuhan perempuan yang spesifik misalnya dalam maslah kekerasan terhadap perempuan, kesehatan reproduksi dll.
Ketiga, kebutuhan-kebutuhan perempuan yang spesifik diatas, lebih berhasil diagendakan oleh perempuan sendiri dari pada kaum laki-laki.
Keempat, perempuan dianggap membawa perubahan dalam gaya dan nilai-nilai baru dalam politik dan juga dalam pembangunan. Peminggiran perempuan dalam politik dan pembangunan telah bertentangan dengan kemampuan mereka dalam mengelola ketahanan keluarga dan pemeliharaan kehidupan.
Dengan kata lain bahwa peminggiran perempuan dalam arena publik berarti telah menyia-nyiakan bakat, kemapuan dan kearifan mereka dalam membuat keputusan. Pengalamannya sebagai penjaga dan pemelihara kehidupan, memberi kearifan kepada perempuan untuk melihat pembangunan sebagai satu cara untuk mengatasi kemiskinan. Dalam hal ini kemiskinan tidak hanya diartikan sebagai kemiskinan harta benda akan tetapi meliputi juga kemiskinan personal atau social, seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan pengambilan keputusan yang membuat mereka tidak dapat keluar dari situasi kemiskinannya itu.
***
Perbincangan tentang perempuan dan politik pada umumnya terfokus pada masalah peningkatan akses dan partisipasinya dalam politik khususnya dalam parlemen serta transformasi atau perubahan relasi jender dalam institusi-institusi politik yang ada, serta dalam keluarga dan masyarakat. pengalaman menunjukkan bahwa meskipun jumlah perempuan meningkat di lembaga-lembaga pengambil keputusan khususnya di parlemen, tidak dengan sendirinya menghasilkan perubahan dalam upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender.
Masalahnya adalah karena sebagian perempuan yang terjun dalam dunia politik juga mengalami kendala kultural maupun struktural baik yang berkenaan dengan substansi kebijakan yang ada maupun mekanisme pembuatan kebijakan itu sendiri. Kendala kultural terkait dengan masih kentalnya budaya partiarkhi dalam masyarakat yang menetapkan pola dan peran sosial yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan.
Sosisalisasi nilai-nilai kultural yang berasal dari ideologi jender ini membuat perempuan kurang percaya diri untuk terjun dalam dunia politik. Kendala ini diperkuat oleh persepsi yang salah dari kaum perempuan sendiri tentang pengertian politik sebagai suatu yang buruk, kotor, kekerasan dan intimidasi (yang pada umumnya dibentuk cara berpolitik laki-laki). Kehidupan perempuan yang banyak ditampilkan dalam media massa juga turut memperkecil keberanian perempuan untuk terjun ke arena ini.
Kendala-kendala tersebut tercermin pula dalam model kehidupan politik yang dikembangkan seperti dalam sistem pemilu yang kurang memperhitungkan dampaknya bagi perempuan, kurangnya dukungan partai dalam mencalonkan perempuan, terbatasnya dana untuk pengembangan keterampilan kandidat perempuan dan tidak tersedianya sistem pendidikan dan pelatihan, serta terbatasnya jaringan kerja mereka dengan kelompok di luar partai politik. Kebanyakan kaum perempuan menghadapi kendala sosial ekonomi yang meliputi kurangnya pendidikan, kemiskinan, beban akibat UU Perkawinan yang menempatkan mereka pada posisi dilematis; antara keluarga dan karier. Akibatnya, terjadilah maskulinisasi politik di mana laki-laki mendominasi arena dan proses-proses politik yang menyebabkan kaum perempuan semakain sukar memasuki arena tersebut.
Sebagaimana penjelasan Nursyahbani Kantjasukana, mantan Sekjen KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), yang perlu dilakukan untuk meningkatkan partisipasi dan representasi perempuan dalam politik adalah :
Pertama, tetapkan target. Baik pemerintah maupun partai politik harus menetapkan paling sedikit sebesar 30 persen bagi perempuan untuk duduk di lembaga pengambil keputusan. Amandemen UUD 1945 kedua telah memberikan pedoman untuk membuat kebijakan ini sebagaimana tercermin dalam pasal 28 h dan pasal 4 konvensi penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan yang telah diratifikasi dengan UU nomor 7 tahun 1984.
Kedua, memastikan bahwa pilihan sistem pemilu yang harus diterapkan dapat menguntungkan perempuan. Sistem proporsional oleh banyak pihak dianggap dapat menguntungkan perempuan karena hanya dalam sistem ini kebijakan afimatif dapat diterapkan.
***
Iklim politik yang cukup kondusif saat ini merupakan peluang yang baik untuk melakukan perubahan mendasar di segala bidang. Namun demikian, perubahan yang harus dilakukan cukup besar dan meliputi semua institusi demokratis yang diperlukan bagi pembentukan masyarakat warga (civil society). Pemerintah harus efektif dan responsif terhadap kebutuhan kaum perempuan. Lembaga-lembaga legislatif di semua tingkatan juga harus diberdayakan agar dapat melakukan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif. Lembaga-lembaga peradilan harus dirubah agar lebih melayani kepentingan publik ketimbang melayani kepentingan pemerintah dan pengusaha, atau kepentingan politik tertentu. Badan-badan usaha negara juga harus meningkatkan akuntabilitas mereka terhadap rakyat sebagai pemilik sah dari usaha-usaha tersebut. Sistem pemilihan dari level presiden sampai tingkat desa juga harus diubah agar mereka lebih akuntabel terhadap pemilihnya dan sekaligus mempercepat proses peningkatan kesadaran politik rakyat. (Isre/Majemuk).
MaJEMUK Edisi 8 (Majalah ICRP) ------