27 Desember 2007

Menolak Pilkada Ulang Sulsel

Rabu, 26 Desember 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/26/opini/4100239.htm

Menolak Pilkada Ulang Sulsel


Denny Indrayana

Mahkamah Agung kembali menunjukkan kinerja yang aneh bin ajaib. Tiga hakim agungnya keblinger dalam memutuskan sengketa hasil pemilihan kepala daerah di Sulawesi Selatan. Meski perlu dicatat, dua hakim agung memberikan pendapat yang berbeda.

Putusan MA memerintahkan KPUD Sulsel mengulang pilkada di empat kabupaten, yakni Gowa, Bantaeng, Bone, dan Tana Toraja. Putusan demikian jelas harus ditolak, dan dilakukan upaya hukum luar biasa: peninjauan kembali (PK) di MA.

Hilangkan kewenangan MA

Putusan tersebut bukan saja melampaui kewenangan MA, tetapi lebih jauh justru menghilangkan kewenangan eksklusif MA dalam memutuskan sengketa hasil pilkada. Pasal 106 Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) secara jelas memberikan kewenangan kepada MA untuk menjadi forum previlegiatum, peradilan tingkat pertama dan terakhir. Artinya, hukum memberikan kewenangan terhormat kepada MA untuk menentukan suara terbanyak pemenang pilkada, dalam hal terjadi sengketa.

MA dalam sengketa pilkada adalah wasit terakhir penentu pemenang. Dengan memerintahkan pilkada ulang, MA tidak hanya melepaskan kewenangan wasit eksklusif tersebut, bahkan memperpanjang proses pilkada, yang sejatinya harus dibuat cepat dan singkat dengan peradilan satu tingkat pertama dan terakhir. Lebih jauh, bukan hanya prinsip sengketa pemilu yang cepat dan singkat yang dinafikan MA, tetapi juga perpanjangan potensi konflik antarpemilih serta pemborosan biaya pilkada.

Apalagi pilkada ulang pada aras kabupaten jelas-jelas tidak mempunyai dasar menurut UU Pemda. Yang diakui hanyalah penghitungan ulang, itu pun hanya pada tempat pemungutan suara (TPS) yang dianggap bermasalah, tidak di semua kabupaten. Terminologi "pilkada ulang" yang digunakan putusan MA pun nyata-nyata menunjukkan lemahnya pemahaman ketiga hakim agung atas konsep pilkada. Karena pilkada ulang berarti seluruh proses pilkada—bahkan penetapan calon kepala daerah—juga harus diulang, sesuatu yang sewajibnya bukan maksud putusan MA tersebut.

PK sebagai solusi terbaik

Nasi sudah menjadi bubur, putusan MA yang amat keliru sudah dikeluarkan. Saya berpendapat ada tiga upaya hukum yang tersedia: melakukan pilkada ulang, sesuai putusan MA; mengajukan sengketa kewenangan antarlembaga negara antara MA dan KPUD Sulsel di hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi (MK); dan melakukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali di MA.

Sebenarnya, tidak ada upaya hukum yang benar-benar tepat karena sejatinya putusan MA seharusnya final and binding. Tetapi karena MA sendiri memerintahkan pilkada ulang, berarti prinsip peradilan tingkat pertama dan terakhir itu telah dilanggar oleh MA sendiri, dengan tidak secara tegas menentukan pemenang pilkada. Pertanyaan sederhananya: bukankah jika pilkada ulang dilaksanakan, tetap ada potensi pihak yang tidak puas akan mengajukan keberatan lagi ke MA? Lalu kapan selesainya proses pilkada jika logika keblinger pilkada ulang dipatuhi?

Lebih jauh, alternatif pilkada ulang juga harus ditolak karena akan membuka kotak pandora pilkada ulang di mayoritas pelaksanaan pilkada. Jika pilkada ulang di Sulsel dipatuhi, maka ke depan, setiap ada sengketa pilkada, saya yakin pihak yang berkeberatan akan meminta pilkada ulang ke MA. Akibatnya, proses pilkada akan terjebak pada proses tanpa akhir. Karena itu, kotak pandora pilkada ulang yang telah dibuka lewat putusan MA tentang Pilkada Sulsel harus segera ditutup kembali.

Alternatif kedua, dengan mengajukan sengketa kewenangan antara MA dan KPUD Sulsel di MK, bukan pula pilihan yang tepat. Salah satunya karena berdasarkan UU MK dan Peraturan MK, MA tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan di MK. MA hanya bisa bersengketa dalam hal yang tidak berkait dengan persoalan yustisial. Maknanya, putusan MA tentang Pilkada Sulsel—yang jelas berkait dengan proses peradilan—seharusnya tidak boleh dijadikan obyek sengketa di hadapan MK.

Saya menolak putusan MA dibawa ke MK untuk diuji karena akan meletakkan posisi MA menjadi di bawah MK, suatu desain yang keliru dalam memaknai relasi antara MA dan MK yang seharusnya berbagi peran antara court of justice dan court of law, tanpa salah satu lebih superior dibandingkan yang lain.

Alternatif ketiga, dengan mengajukan upaya hukum luar biasa PK, adalah alternatif yang paling less evil, paling kecil mudaratnya. Satu-satunya konsep yang berpotensi terlanggar adalah teori putusan MA yang seharusnya final dan mengikat. Namun, sebagaimana diuraikan di atas, justru dengan memerintahkan pilkada ulang, MA telah menabrak prinsip putusannya menjadi penentu terakhir pemenang pilkada.

Karena itu, upaya PK harus dimaknai sebagai langkah penyelamatan untuk mengembalikan kewenangan eksklusif MA sebagai wasit terakhir yang menentukan pemenang pilkada, dalam hal terjadi sengketa hasil. Apalagi, tentang pengajuan PK dalam sengketa pilkada telah ada yurisprudensinya, yaitu dalam pemeriksaan Pilkada Depok. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang bersifat final, diajukan upaya PK dan diterima oleh MA.

KPUD Sulsel harus segera mengajukan PK, dan MA sewajibnya segera mengeluarkan putusan yang final dan mengikat, dengan menentukan pemenang Pilkada Sulsel. Gubernur Sulsel definitif harus segera ditetapkan.

MA berkesempatan dan mempunyai kewajiban konstitusional untuk mengeluarkan putusan peninjauan kembali yang meminimalkan potensi konflik dan mempercepat berjalannya roda pemerintahan menuju kesejahteraan rakyat Sulsel. Segera ajukan peninjauan kembali, tolak pilkada ulang di Sulsel.

Denny Indrayana Staf Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Yogyakarta

---------

Rabu, 26 Desember 2007

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/26/opini/4100252.htm


Kemelut Penyelesaian Sengketa Pilkada


Mohammad Fajrul Falaakh

Putusan Mahkamah Agung (19/12/2007) agar pemilihan gubernur diulang di empat kabupaten di Sulawesi Selatan mementahkan penghitungan dan proses pemberian suara di berbagai TPS di empat kabupaten. Keseluruhan proses politik dan suara rakyat setempat mengalami delegitimasi.

Putusan MA gagal membedakan tiga hal: kegagalan penyelenggaraan pilkada, kesalahan prosedur penghitungan suara karena kondisi tertentu, dan sengketa atas penetapan hasil penghitungan pilkada.

Kegagalan pilkada sebetulnya didasarkan pada asumsi kedaruratan seperti kerusuhan dan bencana yang memusnahkan hasil pemilihan maupun karena penyimpangan proses pemberian suara di TPS (Pasal 104 UU Pemda 2004). Penyimpangan proses pemberian suara mencakup pembukaan kotak suara yang tidak sesuai tata cara, surat suara tidak sah karena diberi tanda tertentu oleh petugas, penggunaan hak pilih lebih dari sekali, petugas merusak surat suara, lebih dari seorang pemilih tak terdaftar yang dapat memberikan suara.

Mengenai kesalahan prosedur penghitungan suara, Pasal 103 UU Pemda menentukan sebagai berikut: penghitungan di TPS secara tertutup, di tempat yang kurang cahaya penerangannya, para saksi tidak secara jelas dapat menyaksikan penghitungan, suara dihitung di tempat lain, inkonsistensi dalam menentukan surat suara yang sah dan tidak sah.

Penetapan hasil pilkada

Wewenang MA terbatas pada sengketa atas penetapan penghitungan akhir pilkada oleh penyelenggara pilkada yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon (Pasal 106 UU Pemda). Keberatan atas penetapan itu mengasumsikan selisih hitungan, yang dapat terjadi sejak tingkat KPPS, PPS, PPK, KPU kabupaten/kota dan terakumulasi di KPU provinsi. Dalam kasus Pilkada Sulsel, selisih itu sekitar 0,76 persen. Banyak atau sedikit, selisih hitungan memengaruhi kemenangan atau kekalahan politik.

Sebetulnya selisih suara yang dapat dibawa ke pengadilan perlu dibatasi persentasenya sehingga penetapan hasil tersebut tidak dipermainkan serta tidak perlu memicu ketegangan politik jika pihak yang kalah menuntut "keadilan kuantitatif". Selisih satu persen dapat mengharuskan penghitungan ulang di pengadilan.

Jadi, penetapan hasil pilkada dapat disengketakan ke pengadilan "dalam hal terdapat selisih penghitungan sebanyak-banyaknya satu persen dan atau memengaruhi terpilihnya pasangan calon" (sesuai sistem pemilihan dan jumlah calon). Pemohon pun harus menunjukkan kekeliruan penghitungan suara oleh KPU dan menyertakan koreksi penghitungan beserta bukti-buktinya, yang dapat diakumulasikan dari tingkat KPPS, PPS, PPK, KPU kabupaten, dan berakhir pada kekeliruan penetapan KPU provinsi.

MA harus menetapkan hasil penghitungan yang benar (putusan bersifat deklarator), yang mengubah hasil akhir pilkada (dalam kasus Sulsel, pemohon harus mampu membuktikan selisih penghitungan di atas 0,76 persen). Dalam hal bukti-bukti dari pemohon tidak mendukung, putusan pengadilan tidak memengaruhi terpilihnya calon yang ada. MA tidak dapat membatalkan hasil penghitungan suara rakyat pada tingkat dan di tempat yang tidak bermasalah.

Penyelesaian sengketa

Wewenang MA atas penetapan hasil penghitungan suara dalam pilkada termasuk sederhana meskipun penggunaan berbagai metode penghitungan suara dalam teori sistem pemilu dapat menjadikannya tidak sederhana. Dalam kesederhanaan itu terdapat dua dimensi mendasar: legitimasi politik dan hukum suara pemilih, dan cara melakukan penghitungan (soal petugas penghitung dan alat bantunya, akurasi dan verifikasi hitungan, serta pengawasan dan manipulasi penghitungan). Permasalahan yang muncul dari kedua dimensi tersebut dapat diselesaikan oleh penguasa, politisi, ahli behavioral politics, ahli statistik.

Ketika pengadilan diminta menyelesaikannya, pada dasarnya hukum diminta memberikan kepastian dan legitimasi secara terbuka dan damai. Kalau politik tidak memberikan kejelasan, mekanisme hukum berpotensi gagal untuk mencapai sasaran dan bahkan dimanipulasi (oleh politik maupun oleh hakim), lebih-lebih tanpa tradisi kuat dalam menangani sengketa pemilu sebelum reformasi (UU No 5/1986 menegaskan, penetapan hasil pemilu bukan merupakan kompetensi pengadilan).

UU Pemda menentukan bahwa putusan MA dalam sengketa hasil pilkada bersifat final dan mengikat serta dapat didelegasikan kepada pengadilan tinggi (PT). Tetapi penjelasan Pasal 106 Ayat (7) mementahkan sifat final tersebut karena putusan PT yang bersifat final adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum (penjelasan ini dapat diuji di Mahkamah Konstitusi).

Sifat final dan mengikat putusan pengadilan merupakan kunci bagi kepastian politik dan hukum hasil pilkada. Tetapi sifat tersebut tidak diterapkan sebagai lex specialis oleh MA. Penetapan hasil pilkada oleh KPU Kota Depok telah digugat ke PT Jawa Barat dan dikoreksi oleh putusan No 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. KPU Depok pun meminta peninjauan kembali dan putusan MA No 01 PK/Pilkada/2005 membatalkan putusan PT Jawa Barat (sekaligus menyalahi Perma No 6/2005; Putusan MA kemudian disengketakan ke MK meskipun permohonan untuk memperkarakan putusan tersebut tidak diterima). Rumusan UU Pemda tidak menghapus ketentu- an hukum acara MA mengenai peninjauan kembali meskipun hasil revisi UU Pemda lebih mutakhir (lex posteror) dibanding hasil revisi UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman pada tahun 2004.

Pengaturan dan praktik penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah masih membuka ketidakpastian hukum maupun destabilisasi politik. Sebuah desain penyelesaian hukum atas sengketa politik seharusnya mengandung kejelasan substantif dan ketegasan prosedural sehingga tidak mudah dibajak di pengadilan.

M Fajrul Falaakh Fakultas Hukum UGM, Anggota Komisi Hukum Nasional

---------

07 Desember 2007

Good Governance

http://publik.brawijaya.ac.id/simple/us/jurnal/pdffile/2Good%20Governance%20Paradigma%20Baru%20Manajemen%20Pembangunan.pdf

Good Governance (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan )
Prof. Bintoro Tjokroamidjojo

I. Pendahuluan

Bersama dengan reformasi dari sistem kearah yang lebih demokratis, perkembangan dari ekonomi pengarahan (plan) ke ekonomi pasar, berkembang pula pemikiran tentang good governance, kepentingan (pengurusan pemerintahan) yang baik (Sofyan Effendi). Tentang istilah ini Bondan Gunawan mengajukan padanan kata penyelenggaraan yang baik. Bahkan mengenai yang baik ini Emil Salim menyebut berintegritas. Tetapi pengertian good governance dengan masih simpang siur,pada umumnya mengartikan good governance dengan pemenrintahan yang bersih, atau clean governmant. Seringkali juga mengarah pada pemerintahan yang bersih dan beribawa. Disini diajukan suatu pemikiran awal, tentang good governance sebagai paradigma baru administrasi / manajemen pembangunan. Good Governance adalah suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan. Administrasi Pembangunan / Manajemen Pembangunan menempatkan peran Pemerintah sentral. Pemerintah maenjadi agent of change dari suatu masyarakat (berkembang / deloping) dalam negara berkembang. Agent of change (agen perubahan). Dan karena perubahan yang dikehendaki. Planned, perubahan berencana, maka juga disebut agent of development. Pendorong proses pembangunan, perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program. Proyek-proyek, bahkan industri-industri, dan peran perencanaan dan budget. Dengan perencanaan dan budget juga menstimulasi investasi sektor swasta. Kebijaksanaan dan persetujuan penanaman modal ditangan pemerintah. Dan banyak penanaman modal (investasi) dilakukan pemerintah. Dalam Good Governance tidak lagi pemerintah, tetapi juga citizen, masyarakat dan terutama sektor usaha/swasta yang berperan dalam governance. Jadi ada penyelenggara pemerintah, penyelewengan swasta, bahkan oleh organisasi masyarakat (LSM misalnya). Ini juga karena perubahan paradigma pembangunan dengan peninjauan ulang peran pemerintah dalam pembangunan, yang semula bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar, menjadi bagaimana menciptakan iklim yang konduktif dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha. Sudah barang tentu ini bisa dilakukan apabila masyarakat dan sektor swasta sendiri sudah semakin mampu/berdaya. Justru usaha pembangunan melalui koordinasi/sinergi (keselarasan kerja/interaksi) antara pemerintah –masyarakat – swasta. Mungkin dapat dilihat sebagai bentuk pemerintah memberdayakan masyarakat terutama sektor usaha agar menjadi partner pemerintah. Bahka masyarakat dunia sekarang sudah lebih private sector led Growth (Di Indonesia investasi nasional 70 persen oleh swasta). Justru diusahakan koordinasi/sinergi antar pemerintah dengan masyarakat. Terutama dengan dunia usaha/swasta. Ini tidaklah mudah, karena jangan sampai berupa kolusi, kroni. Mengenai citizen, masyarakat dimaksud masyarakat yang terorganisasi. Seperti misalnya LSM, asosiasi-asosiasi kerja dan profesi, bahkan paguyuban. Miltyon Esman pernah menulis buku Local Organizations Intermediaries in Rural Development. Good Governance oleh karena itu dimaksud mendukung proses pembangunan yang empower sumber daya dan pengembangan institusi yang sehat menunjang sistem produksi yang efisien oleh semua unsur governance. Memang good governance dalam sejarah perkembangan program Bank Dunia lebih diarahkan untuk pembangunan ekonomi atau pemulihan ekonomi. Misalnya upaya menghilangkan negartive influencing factors hindering positive economic development. Tetapi sebenarnya juga dalam menyelenggarakan kehidupan sosial politik yang sehat.

II. Perkembangan Paradigma From Government to Governance

Perkembangan kearah good governance ini juga bisa dilihat dari perkembangan ilmu pengurusan/administrasi (penyelenggaraan) pemerintah,publicadministration. Bagaimana mengurus suatu pemerintahan yang baik. Kepegawaian negeri yang efisien dan efektif. Perumusan tujuan pemerintaha, kebijakan (policy), kepemimpinan dan penggerakkan motivasi aparatur, pengawasan fungsional dan lain sebagainya. Sekarangpun masalah administrasi negara masih ada misalnya masalah pencampuran jabatan politis dengan jabatan karier dalam organisasi pemerintahan. Restrukturisasi pengorganisasian dan relokasi kepegawaian karena otonomi daerah-daerah. Dalam kepemimpinan dan motivasi prinsip-prinsip administrasi/manajemen yang baik diabaikan. Kemudian berkembang Administtrasi atau Manajemen Pembangunan. Terutama ini bagi negara-negara berkembang yang mempunyai niat mengusahakan perkapita terselenggaranya pembangunan. Apakah ini dalam arti pendapatan perkapita yang meningkat, distribusi pendapatan yang lebih adil. Pada pokoknya peningkatan kesejahteraan hidup anggota masyarakat. Ada yang menyebut yang dituju adalah improving quality of life (M.Soerjani). Untuk mengusahakan kearah itu, pemerintah berperan sebagai pendorong proses pembangunan, sebagai agent of change. Dan ini dilakukan melalui instrumen kebijakan (policy). Perencanaan (planning) dan Anggaran (Budget). Rinciannya melalui berbagai program dan proyek. Kemudian manajemen implementasinya dan pengawasannya (pengendalian pelaksanaannya). Dan ini disebabkan karena masyarakat sendiri perlu ditingkatkan keberdayaannya. Untuk meningkatkan produksi pangan sekaligus kesejahteraan hidup para petani ada program dan proyek, dan pembentukan kontak tani. Untuk meningkatkan peran usaha menengah dan kecil ada program dan proyek dari pemerintah. Demikian untuk KB dan lain sebagainya. Dalam pengembangan industri pemerintah memelopori dengan infant industries, bahkan industrial parks. Ini juga dengan pengembangan institusi keuangan seperti perbankan dan institusi keuangan non bank (misalnya venture capital). Tetapi yang jelas dalam paradigma ini Pemerintah adalah the agent of change. Mungkin ini perlu karena belum ada efective capacity disektor swasta dan juga di masyarakat (LSM masih belum berdaya) Kemudian berkembang pemikiran Reinventing Government bahkan Banishing Bureaucracy yang intinya Pemerintah (birokrasi) tidak perlu jadi pelaku pasar. Lebih memusatkan pada mengarahkan melalui kebijakan, steering rather than rowing. Dan memanfaatkan mekanisme pasar untuk mendorong perubahan Leveraging shange through the market. Pemerintah lebih bersifat entrepreneurial. Birokrasi yang ramping yang memberdayakan masyarakat. Fasilittating,enabling. Hal-hal yang sudah bisa dilakukan lebih baik olehdunia usaha swasta dan organisasi masyarakat serahkan kepada mereka. Kemudian berkembang paradigma (good) governace. Adatiga institusi dalam domain governance yaitu the state (negara atau pemerintah). Private sector (sektor swasta dan dunia usaha). Dan citizen mungkin lebih tepat organisasi lokal / kemasyarakatan. Mereka berinteraksi dalamfungsinya yang paling tepat bagi masing-masing. Pemerintah lebih berperan fasilitaty dan enabler (yangmemungkinkan masyarakat sendiri berperan aktif sebagai pelaku ekonomi sosial).

III. Good Governance bermula dari usulan Badan-badan Pembiayaan Internasional.

Governance artinya : Memerintah – Menguasai – Mengurus. Sekali lagi Bondan Gunawan menawarkan kata Penyelenggaraan. World Bank merumuskan / describe governance as “the exercise of political powers to manage a nation’s affairs” (Pelaksanaan kekuasaan politik untuk memanage masalah-masalah suatu negara). Jadi memang lebih berat ke Pemerintah – Public Governance karena punya legitimasi – kekuatan untuk memerintahkan/menguasai. UNDP mendefinisikan sebagai manage a nations affair at all levels”. Tapi ini bisa negara menjadi coercive atau arbitrary (bertindak memaksa atau semena-mena). Dan oleh karena itu perlu dichek dengan demokrasi, mekanisme pasar, berjalannya hukum bahkan HAM. Jadi memang pada dasarnya pengembangan good governance paralel dengan berkembangnya kearah masyarakat madani. Dalam good governance terjadi interaksi/hubungan kerja pemerintah dengan citizen dan sektor swasta, dan ini bisa berjalan baik kalau berjalan demokrasi dan mekanisme pasar sebagai sistem yang melandasi partisipasi/koordinasi/kerjasama itu. Keselarasan kerja berdasar kesetaraan (mungkin tetap pemerintah mempunyai legitimasi lebih). Seperti telah diuraikan diatas good governance dalam literatur lebih dikaitkan dengan partneship governance pembangunan/pertumbuhan. Paradigma baru Government sebagai enabler rather provider. Governance yang mengusahakan untuk meningkatkan/memudahkan/memungkinkan (fasilitasi) agar citixzen dan private sector yang terutama produce dan periode products/service. Badan-badan Pembiayaan Internasional seperti The Wiorld Bank dan bdan-badan pembiayaan internasional lain (IMF) mengajukan penggunaan konsep ini untuk memperbaiki manajemen pembangunan di negara-negara penerima bantuan (try to use this consept to improve the management of development in recipient countries). Perhatian Bank Dunia pada state and administration dalam memberikan bantuan. Dan good govermant programs (program bantuan reformasi ekonomi). Jadi suatu ekonomi negara tertentu yang dalam kesulitan, perlu perbaikkan dalam kepemerintahan lalu diajukanlah konsep good governance ini. Paling sedikit beberapa governance issues atau peningkatan peranan dari organisasi masyarakat dan dunia usaha. Untuk Indonesia ini misalnya Letter of Intent untuk MEFP (Memorandum of Economic and Financial Policies) sekarang-sekarang ini.

IV. Perubahan Besar Peranan Negara dalam Manajemen Pembangunan

Dalam dua buku World Development Report Bank Dunia tahun 1997 dan 1998 yaitu :
1. From Plan to Market (World Development Report 1997)
2. The Role of the State in a chaging World (World Developmnet Report 1998)

Digambarkan adanya shift, pergeseran penting peranan negara yang dominan melalui perencanaan ekonomi, kearah pemanfaatan ekonomi dan mekanisme pasar sebagai dasar pengambilan kebijakan pemerintahan dan keputusan (transaksi) ekonomi oleh masyarakat sendiri. Yang semula sebagai Agent of Development – yaitu semula strategi dan kebijaksanaan mendorong pembangunan sosial ekonomi dilakukan oleh Pemerintah – berkembang kearah upaya utama pembangunan melalui peran masyarakat khususnya sektor swasta. Ini juga disebut perkembangan dari public Sector Led ?? ke arah Private Sector Led Development. Suatu perkembangan daripada manajemen pembangunan yang lebih mendasarkan pada upaya pertumbuhan pembangunan oleh sektor masyarakat swasta, melalui pemanfaatan mekanisme pasar melalui proses market driven growth. Perkembangan ini juga terjadi bersamaan dengan perkembangan dari kebijaksanaan subtitusi impor kearah ekspor ke pasar dunia. Dari manajemen ekonomi yang inward looking- ke manajemen ekonomi yang outward looking. Dalam hubungan dengan atau negeripun tidak hanya dilakukan oleh pemerintah melainkan oleh sektor swasta dan organisasi masyarakat. Kenyataan ini juga mendorong berkembangnya good governance. Sebagai suatu kasus empiris Bank Dunia Asia Miracle Economic Growth and Public Policy. Buku inimembahas the appropriate role of public policy in economic development. “The success of many of the economies in East Asia in achieving rapid and equitable growth. Often in the context of activist public policies, raises complex questions about the relation ship berween the government, the private sector, and the market”. Jadi dengan sendirinya dalam good governance bukan Pemerintah dengan birokrasi besar (ngedabyah) yang diperlukan. Perlu reinventing government menurut Osborne dan Gaebler “Steering rather than rowing”, leveraging change through the market”. Bahkan pemerintah dalam good governance harus entreprecurial daripada bureau cratic. Dan menurut Osbone dan Plastrik dalam Banishing Bureaucray perlu dilakukan downsizing/privatization dalam birokrasi. Disamping fasilitas dan empower organisasi masyarakat dan sektor swast. Peran utama public governance lebih paada policy facilitation and implementation. Yaitu sebagai “anabler”.

V. Globalisasi Ekonomi

Perkembangan paradigma good governance ini juga untuk sebagian akibat adanya globalisasi. Globalisasi memang bukan hanya ekonomi tetapi juga Ideologi dan lain-lain (HAM). Politik (Demokrasi Barat). Dalam wacana Samuel P. Huntington. “The clash of civilizations, and the remaking of world order”. Francis Fukuyama. “The end of hoistory and the last man” dan lain-lain, ada pengaruh global tentang pemikiran peradapan-peradapan, sikap hidup cara gagasan good governance ini. Keniichi Ohmae, dalam “The evolving global economy” membahas lebih intensnya interaksi ekonomi antar negara yang batas-batasnya semakin tipis. Pembahasan yangpenting ialah mengenai globalisasi dibidang ekonomi. Disini terjadi dalam ekonomi-pengembangan sistem produksi global (strategic alliances, outsourcing, multisourcing), sistem pembiayaan global (consortium type financing, portfolio capital. Banking credits). Sistem pasar global (global markets, emerging markets). Kesemuanya didasarkan dengan lebih berkembangnya ekonomi pasar (mekanisme pasar dalam transaksi ekonomi). Dan ini didukung oleh kemajuan, dalam transportasi, telekomunikasi, informasi, tourism terutama cyber communication (digital econamies). Terjadilah peningkatan keterkaitan ekonomi antar negara, misalnya memproduksi barang di negara tertentu, lisensi desain negara lain, dieksporpun kemanca negara. Dapat pembiayaan yang bersumber dari berbagai negara, berbagai lembaga pembiayaan internasional dan pasar uang. Pada dasarnya peranan Pemerintah berkurang, paling sedikit harus bekerjasama dengan pelaku-pelaku ekonomi lain. Pelaku (ekonomi) dalam globalisasi bisa berperan multinational corporates, importir dan eksportir lintas global, investor manca negara, international banks, international (lending) agencies, LSM global dan lain sebagainya. Pasar mempunyai aturan/kekuatan sendiri. Kalau kebijakan Pemerintah tidak “market friendly” akan terjadi reaksi/gejolak pasar (dalam inflasi, nilai tukar currency dan lain sebagainya), bahkan reaksi pasar global.

VI. Perkembangan dalam masyarakat bangsa-bangsa

Menurut OECD ditahun 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet diangap sebagai merupakan konfirmasi jatuhnya ideologi dan sistem Komunisme dan berkembang kearah suatu pengakuan benarnya Ideologi dan sistem Liberal (liberal democracy), ada bahkan yang beranggapan keberan kapitalisme (ekonomi kapitalis). Dalam uraian ini dipakai saja ideologi leberal democracy yang dewasa ini lebih kuat pengaruh pemikiran “The Third Way”. The rise of social democracy dari anthony Giddens. Pemikiran ini terdiri dari prinsip-prinsip hidup bernegara, bermasyarakat yang menghargai : - HAM Perlindungan HAM - Ekonomi pasar yang sehat. Dimulai dari pemanfaatan mekanisme pasar dalam pengelolaan dan transaksi ekonomi. Dalam social democracy dibenarkan intervensi untuk keadilan-pemerataan (“welfare). - Demokrasi (liberal). Representative government. Kebijaksanaan politik lebih ditentukan oleh rakyat melalui sistem perwakilan berdaar Pemilu yang jurdil. - Rule of Law. Penegakkan (Supremasi) hukum atas dasar keadilan hukum. - Concern for the Environment. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang lebih memperhatikan sustainabiulity dari lingkungan. - Good Governance. Governance berdasar sinergy/koordinasi yang baik antara sektor public. Citizen dan private sector yang accountable. Kesemuanya ini mengarah kearah pembentukan Masyarakat Madani “Further more, good governance is playing an increasingly central role in conjunction with the demand for democracy in the consideration of international law in the area of sustainable development”. (Christian Theobold). Jadi dalam pemikiran perkembangan sistem bermasyarakat modern (madani) ini, perkembangan good governace merupakan part and parcel dari pengembangan masyarakat madani. Beberapa pemikir seperti Samuel Huntington berpendapat bahwa masa depan bukan lagi masa ideologi-ideologi, masa depan adalah masa pengembangan peradaban-peradaban *The clash of civilizations and the remaking of world order.)

VII. Kasus Perkembangan di Vietnam dengan Doi Moi

Kasus perkembangan di Vietnam ini dapat dijadikan contoh kasus dari negara yang Negara/Pemerintahannya overdominant kearah pemberdayaan sektor masyarakat terutama dunia usaha. Perkembangan dari ekonomi rencana/komando ke ekonomi pasar. Pham Chi Lau. Sekretaris Jenderal JADIN Vietnam mengemukakan bahwa Vietnam dalam dasawarsa akhir-akhir ini telah melalui suatu reformasi yang komprehensif yang disebut sebagai Doi Moi. Suatu reformasi yang merupakan turning point dari sejarah modern Vietnam. Vietnam betul-betul mengikuti trend perkembangan dunia yang disebut terdahulu yaitu from Plan to Market, dan lebih berperannya intitusi-institusi di sektor masyarakat.swasta dalam ekonomi. Beberapa elemen dalam perkembangan tersebut adalah seperti disebutnya :
1. State Ekonomi berkembang kearah private economy dan lain-lain. Developing productive forces and enhancing the effectiveness of the economy. Boleh dikata dari public sector led kearah private sector led economy.
2. Shifting from mechanism of the state that directs all economic activities kearah market mechanism sebagai landasan macro economic management by the state and business autonomy of all enterprise and citizens. From Plan to Market.
3. Shifting form autarkic closed economic structure kearah open economy and relation with out side world (integrasi dalam pasar global). Berusaha memanfaatkan globalisasi untuk ekonomi mereka.
4. Economic reform yang mengusahakan economic stability, groeth. Saya rasa juga dengan memperhatikan equity (karena dulu negara Komunis).
5. Berkembang kearah private sectory led economy. Good coordination *facilitating) between the govermant and business community (unsur-unsur dari good governance).
6. Semua ini ditunjang oleh legal frame work,policy sistem, economic environment and business representative mechanism. Demikian juga terjadi di RRC dimana mereka adopt yang disebut socialist market economy. Pergeseran kearah ekonomi pasar ini di RRC malah berjalan cukup pesat.

VIII. Good Governance bukan Clean Government bukan juga bukan juga Pemerintah yang bersih dan berwibawa.

Clean Government merupakan bagian dari Good Governance. Karena partisipasi /koordinasi Pemerintah-Organisasi Masyarakat-Swasta itu juga jangan KKN. Koordinasi bukan kolusi, kroni. Good Governance, adalah dimana birokrasi berperan enabling, empowering bukan justru membebani dengan bureauratic cost. Sektor publik (pemerintah), melakukan koordinasi/sinergi dengan sektor masyarakat (private sector), sektor masyarakat terutama dunia usaha kearah output transaksional yang diharapkan the most effcient, yang paling ekonomis melalui mekanisme pasar yang sehat (the less social cost). Mengacu pada istilah Oliver Williamson dan Barney dan Oucki, dikemukakan bahwa “good governance” dapat dicapai melalui pengaturan yang tepat dari fungsi pasar dengan fungsi organisasi termasuk organisasi publik sehingga dicapai transaksi-transaksi dengan biaya transaksi paling rendah. Mekanisme pasar dan demokrasi menjadi saringan pengambilan keputusan masyarakat yang memberikan a level playing field, medan persaingan yang sama bagi semua, untuk melakukan kegiatan (usaha/hidup bermasyarakat. Bukan karena keputusan pilih kasih. Penunjukkan sepihak, monopoli untuk kepentingan untung sendiri. Tipe ideal Good Governance adalah dimana terjadi suatu pengurusan yang compatible/yang saling mendukung dengan : Ekonomi Pasar (Merkanisme pasar yang fair/sehat) : Rule of Law dan Concern for the Environment; Good Governance juga termasuk clean government (dalam literatur terutama Bank Dunia disebut agains corruption and patronage) kalau di Indonesia anti KKN-lah. Ini karena prinsip penting Good Governance adalah akuntabilitas dan Transparancy (Akuntabilitas dan Good Governance LANBPKP).
Masalahnya ekonomi pasar yang sehat itu perlu didukung competition law dan regulatory policies yang transparan dan adil (tidak ada monopoli, discriminatory measure dan lain-lain). Jangan sampai lebih favour the well connected over the efficient. Di Indonesia telah dikembangkan UU tentang Perseroan Terbatas. UU tentang Larangan Usaha Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU Perlindungan Konsumen dan lain-lain. Sekarang ada Masyarakat Transparancy. Indonesia Corruption Watch. Ombudsman dan lain sebagainya. Tetapi kesemuanya itu baru mulai. Proses perlu dilanjutkan.

IX. Dalam Good Governance Kebijakan (Intervensi) Publik Masih Perlu

Apakah dalam Good Governance peran Pemerintah tidak legitimate untuk mengintervensi ekonomi. Menurut penulis bisa. Sebagai fasilitasi dan enabler pemerintah tidaklah duduk di side walk. Bisa intervensi (publik intervention). Misalnya apabila ekonomi pasar menjadi tidak sehat (distorsi) dimana jalannya mekanisme pasar dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku ekonomi yang kuat dengan motif untung yang tanpa kendali (kapitalisme). Terjadilah dalam transaksi ekonomi free fiht competition, bahkan kompetiti tidak fair, karena kekuat ekonomi yang memaksa (monopoli/oligopoli). Disini penulis berpendapat masih ada hak pengendalian Pemerintah. Hal ini juga pengaruh kuat pemikiran "The Third Way dari anthony Giddens" tentang social democracy. (Disini seperti ada kontroversi antara Milton Friedman, Ronald Reagen. Margaret Thatcher ><>

1. Untuk menciptakan kondisi makro ekonomi yang stabil. Conductive environment untuk kegiatan ekonomi, terutama investasi dan perdagangan,birokrasi yang efisien dan enabling. Institusi penunjang dan hukum.
2. Untuk fostering/mendorong memperkuat market. Pasar modal. Pasar uang,pasar barang,pasar jasa dan lain-lain yang sehat. Kadang – kadang malah memperbaiki institusi-institusi pasar yang bobrok. Seperti di Indonesia dengan Banking dan Corporate restructuring.
3. Untuk memperbaiki,menyehatkan jalannya ekonomi pasar, koreksi market distortions, Price relationship, kebijasanaan penghapusan subsidi.
4. Untuk keadilan, Memberdayakan yang kurang mampu agar dapat mencapai a level playing field dengan yang lain (dengan cara yang market friendly). Kebijakan venture capital misalnya.
5. Kebijaksanaan capacity building, pembinaan SDM.Pendidikan. Kesehatan, IlmuPengetahuan juga Infrastruktur Termasuk penelitian dasar dan terapan.


X. Private sector governance jadi bagian penting good governance

Untuk terjadinya koordinasi/sinergi yang baik antara Pemerintah dan sektor private maka perlu private sector governance menjadi bagian penting good governance. Misalnya corporate governance, banking sector governance yang sehat. Dalam ke-dua-duanya perlu kualitas manajer yang baik, dan sebaiknya melalui “fit and proper test” pemilihannya, ensuring accountability of management (ini meliputi visi, keahlian, pengalaman trackre-cord,moral dan achlak). Accountability of management to the company’s share holders, and for minority shareholders to voice their concerns. More complete and transparant disclosure of information. Telah diusahakan dikembangkan suatu Frame Work Code of Good Corporate Governance yang meliputi ketentuan-ketentuan tentang share holders rigts and procedures at general meeting of sharecholders (Rapat Umum Pemegang Saham). Ketentuan-ketentuan Dewan Komisaris. Ketentuan-ketentuan tentang Direksi (Board of Directors). Ketentuan-ketentuan tentang Audit System, tentang Corporate Secretatry tentang Disclosure. Bahkan mengenai Stake Holders,pemegang kepentingan yang lebih luas dari share holders (antara lain karyawan). (Tim J. Luhukay). Mengenai banking governance ada standar-standarnya (Basle standard for banking supervision dan lain sebagainya). Rasio kecukupan modal. Debt-Equity Ratio. Capital Adequacy Ratio, BMPK, penelaan due dilligence dan lain-lain. Penyebab krisis moneter Indonesia antara lain tapi terutama bahwa batas kemampuan, dan menggunakannya untuk investasi-investasi mark up dan yang kurang sehat. Untuk corporate governance kualitas manajemen harus dapat memenuhi pengujian-pengujian,seperti penilaian akuntansi dan audit dengan standar-standar yang baku,penerapan yang tepat dari bankcruptey laws. Kalau bisa melalui penelaahan Manajemen Mutu ISO 9.000 dan penilaian audit dan akuntansi “Wajar Tanpa Syarat”, Bahkan Bondan Gunawan mengetengahkan pemikiran agar ada semacam ISO sebagai compliance standards dibidang corporate governance. Dalam lingkup organisasi masyarakat/profersional juga bisa dikembangkan kriteria-kriteria good governance yang baik.Misalnya kode etik profesionalisme para profesional tertentu, seperti dokter,akuntan, jurnalistik dan lain sebagainya. Juga kriteria-kriteria pengelolaan lingkungan physik, pelayanan umum dan lain-lain.

XI. Upaya Internal Good Governance

Public bureauracy /public governance sendiri perlu dilakukan perbaikanperbaikan, reorientasi internalnya. Ini juga disebut sebagai reinteving government. Disini disebut saja elemen-elemen penting dari upaya reinteveing tersebut menurut David Osborne dan Ted Gaebler. Yang merupakan arus gerakan pemikiran tersendiri. Steering rather than rowing Empowering rather than Serving. Injecting competition into service delivery. Funding outcomes not inputs Meeting the need of the costumer. Not the bureaucracy. Earning rather than spending Preventing rather than cure. From hierarchy to participation and team work. Leverage change through the market (mendongkrak perubahan melalui pasar) dan Pemerintah yang bersih KKN (David Osborne dan Ted Gaebler “Reinventing Government”) Dari elemen-elemen penting yang dikemukakan tersebut public bureaucracy / public governance juga harus berubah dari sikap yang bureaucratic menjadi enterprenureal juga harus berubah dari sikap yang buereauratic menjadi entreprenureal, ini yang disebut governornance (HG. Frederickson) Reinventing ini atau reform birokrasi ini pada umumnya dilakukan kearah “Downsizing / privatization” dari birokrasi. Membangun entreprenureal minded public sector (David Osborne, Peter Plastrik “Banisihing Bureauracy”). Jadi birokrasi sebaiknya small ( efficient) effective entrepreneural.

XII. Unsur-Unsur Utama Good Governance

1. Akuntabilitas (accountability) – tanggung gugat dari pengurusan / penyelenggaraan, dari governance yang dilakukan. Menurut LAN akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seorang pemimpin suatu unit organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau yang berwenang meminta pertanggungjawaban. Akuntabilitas ada akuntabilitas politik, keuangan dan hukum.
2. Transparansi (transparancy) Transparansi yaitu dapat diketahuinya oleh banyak pihak (yang berkepentingan mengenai perumusan kebijaksanaan (politik) dari pemerintah, organisasi, badan usaha. Tender pelelangan dan lain-lain dilakukan secara transaparan.
3. Keterbukaan (openes) Pemberian informasi secara terbuka, terbuka untuk open free suggestion, dan terbuka terhadap eritic yang merupakan partisipasi. Keterbukaan bisa meliputi bidang politik dan pemerintahan.
4. Aturan Hukum (Rule of Law) Keputusan, kebijakan pemerintah, organisasi, badan usaha berdasar hukum (peraturan yang sah). Jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Juga dalam social economic transaction. Conflict resolution berdasar hukum (termasuk arbitrase). Institusi hukum yang bebas, dan kinerjanya yang terhormat ( an independendt judiciary). Dasar-dasar dan institusi hukum yang baik sebagai infrastuktur good governance.
5. Ada yang yang menambahkan jaminan fairnes, a level playing field (perlakuan yang adil / perlakuan kesetaraan) Adamolekun dan Briyant menambahkan dalam unsur-unsur good governance, management competency dan human rights.

XIII. Bringging The State Closer to the People (Otonomi Seluas-luasnya)

Dalam World Development Report 1997 “The State in a Changing World”, diberikan satu pembahasan chapter khusus tentang “Bringing the State Closer to the People”. Ini dilakukan melalui terutama suatu pemerintah yang demokratis (termasuk perwakilan-perwakilan rakyat daerah / lokal) dan desentralisasi. Demokratis, aspiratif closer to the people. Desentralisasi mendekatkan dan menyesuaikan pelayanan dengan kebutuhan lokal (misalnya izin investasi, perdagangan luar negeri dan antar daerah, izin usaha). Dekonsentrasi mendekatkan dan menyesuaikan pelayanan dengan kebutuhan lokal (misalnya izin investasi, perdagangan luar negeri dan antar daerah, izin usaha). Dekonsentrasi ?? Desentrialisasi ?? Otonomi tidak saja dalam tingkatan pemerintahan tetapi juga pada organisasi masyarakat. Jadi tidak saja decentralized government tetapi juga decentrallized to the citizen organization. Program KB dilakukan oleh kelompok-kelompok KB masyarakat, programprogram sosial oleh organisasi /LSM sosial. Pengawasan etika Pers oleh masyarakat Informasi. Kelaikan usaha oleh Asosiasi Usaha. Meningkatkan akuntabilitas dan kepekaan sosial melalui partisipasi. Mendapat masukan dari Opini Publik tentang kebutuhan dan pelaksanaan pelayanan. Mekanisme pattipasi masyarakat didaerah (LSM, kelompok-kelompok kepentingan, organisasi buruh, asosiasi produsen, paguyuban daerah). Satu aspek penting dari otonomi adalah kemampuan pembiayaan / pendanaan. Daerah perlu diberi cukup taxing power kekuasaan pemajakan, pajak daerah dan diberi cukup tax share (perimbangan penerimaan keuangan). Dan bentuk-bentuk swadana bagi kegiatan usaha masyarakat. Tentu saja peningkatan capacity SDM ditingkat daerah / lokal/ lihat Gambhir Bhatta “Capacity Building at the local level for effective governance, empowerment without capacity is meaningless”.

XIV. Indikator keberhasilan good governance (secara makro dan secara sektoral).

Dalam praktek good governance perlu dikembangkan indikator keberhasilan pelaksanaan good governance. Keberhasilan secara umum dapat dilihat dari indikator ekonomi makro atau tujuan-tujuan pembangunan atau indikator guality of life yang dituju. Untuk negara-negara terkena krisis, indikator recovery. Tetapi bisa juga secara sektoral (produksi tertentu) , peningkatan eskpor, investasi, jaringan jalan, tingkat dan penyebaran pendidikan). Dan juga secara mikro seperti laporan hasil audit suatu badan usaha. Tidak saja perusahaan tetapi juga unit-unit birokrasi (misalnya dalam pelayanan). Misalnya Lembaga Administrasi Negara telah mengembangkan Modul tentang Pengukuran Kinerja Instansi Pemerintah dan Modul tentang Evaluasi Kinerja Instansi Pemerintah. Pengembangan indikator keberhasilan atau kegagalan dilakukan antara lain mengenai : Pelayanan publik UU NO.I/1995 Koordinasi sektor publik dan swasta (terutama dari keluhan sektor swasta / masyarakat. Pengelolaan usaha yang memperhatikan dampak terhadap lingkungan ISO 14.000. ISO 9.000 Kendali Mutu. Penilaian aspek manajemen tertentu. Sertifikasi dan Standarisasi, juga suatu pengukuran / indikator kualitas produk. MRA Standard and Conformance. Adanya kesepakatan aturan penilaian mutu produk antar negara. Audit Report, Neraca Untung Rufi dan lain sebagainya bagi sesuatu badan usaha.

XV. Persepektif Penerapan Good Governance di Indonesia

Pertama perlu dipikir benar-benar apa Pemerintah the State perlu melakukan operasi / jadi pelaku pasar / investasi usaha sendiri. Apakah tidak lebih confine / membatasi pada fungsi pemerintahan yang esensial, yaitu kebijaksanaan pemerintah. Kebijakan luar negeri, kebijakan (politik) dalam negeri, kebijakan keuangan dan moneter, kebijakan anggaran, kebijakan perdagangan, keamanan dan pertahanan, tetapi usaha perbankan, badan usaha perdagangan bisa diserahkan pada sektor swasta. Bahkan dalam operasi services seperti listrik, telekomunikasi jasa angkutan sudah tidak perlu pemerintah. Dan sebelumnya malah kecenderungannya monopoli oleh pemerintah. Dari fungsi-fungsi yang sebaiknya dilakukan pemerintah sendiri (the state) bisa dibagi dalam kewenangan-kewenangan pusat dan kewenangankewenangan daerah (otonomi). Dibeberapa negara bahkan ada polisi distrik lokal. Taxing power dalam bentuk pajak daerah, mengenai pendidikan dan pelayanan kesehatan demikian pula. Bahkan banyak penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan dapat dilakukan swasth, organisasi masyarakat. Program keluarga berencana, dan program –program sosial dan pemeliharaan kelestarian lingkugan dapat dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat sendiri, berdasar swadaya dan swadana masyarakat. Peran citizen yang besar dalam good governance ialah menjaga agar governance tetap accountable, tanggung gugat. Organisasi masyarakat akan dapat menetapkan sendiri kriteria kelayakan dan kelaikan profesi, kode etiknya. Seperti telah disebutkan terdahulu praktek dokter, akuntan, jurnalistik / media, guru/pendidikan dan lain sebagainya. Dalam Pemerintahan / Kabinet Persatuan Nasional Gus Dur –Mega baik dalam pembentukan maupun dalam pelaksanaannya ada pengaruh besar dari pemikiran Good Governance ini. Kita lihat dalam pembentukan Kabinet. Ada dua Departemen dihapus. Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Dalam Good Governance banyak. Kalau tidak semua fungsi departemen tersebut sudah bisa dilakukan oleh organisasi masyarakat dan perusahaan –perusahaan dunia usaha. Usaha-usaha penerbitan media termasuk elektroik (TV) bisa dilakukan oleh badan usaha. Pengembangan dan pengadaan kode etik pers oleh kalangan peer of the press, tidak perlu Pemerintahan. Hanya di Indonesia yang ada TV negara (ini juga mungkin di Rusia). Panti sosial sudah bisa oleh organisasi masyarakat sendiri termasuk penyuluhan sosial. Ya hanya mungkin penghargaan sosial masih berfungsi negara / pemerintah. Kemudian Departemen-departemen juga dijadikan Kantor Menteri Negara Saja,dari PU, Pariwisata, Koperasi, Transmigrasi. Fungsi-fungsi operasi dari Departemen-departemen tersebut sudah bisa diserahkan kepada organisasiorganisasi masyarakat dan swastha atau dibentuk. Badan yang mestinya kecil saja. Badan-badan pengiriman transmigran dan tenaga migran keluar (TKI) oleh badan-badan usaha konstruksi jalan, bahkan jalan tol, perumahan real estate, sudah swasta. Koperasi itu badan usaha ekonomi masyarakat. Pemerintah confine itself dalam policies / kebijakan-kebijakan. Tapi ya itu karena pengambil keputusan serta merta, dadakan pemecahannya malah menjadi masalah. Bagaimana dengan pembentukan Badan Komunikasi dan Informasi yang sama ngedabyahnya dengan sebelumnya. Badan Kesejahteraan Sosial Nasional, betul-betul tidak refunctioning sesuai good governance. Pelaksanaan good governance yang benar-benar jadi tantangan dari Kabinet Persatuan Nasional ini ialah dengan otonomi Daerah. Bagaimana refunctioning kewenangan-kewenangan Pusat Daerah. Kemudian reposisi dari para pegawai ke daerah-daerah, diplot sesuai dengan kemampuan pendanaan daerah baik dari taxing power dan dari tax share.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. World Development Report 1996. “From Plan to Market”.1996
2. Bintoro Tjokroamidjojo. “The Global Context”. 1990.
3. Francis Fukuyama. “The End of History and the Last Man”. 1992
4. Samuel P. Huntington. “The Clash of Civilizations and The Remaking of WorldOrder”.1996.
5. Kenichi Ohmae ed. “The Evolving Global Economy”. 1990-1995.
6. Karhi Nisjar S. Ak. MM. “Beberapa Catatan tentang Good Governance”. Dalamjurnal Administrasi dan Pembangunan.1997.
7. J.B Kristiadi. “Perspektif Administrasi Publik Menghadapi Tantangan Abad 21”.1997
8. O.L Williamson. “The Economic Instituatiuons of Capitalisan”. The Free Press,1985.
9. J.B. Barney, and W.G Ouchi, “Organizational Economic”. Jossey – Bass Publisher.1986.
10. World Development Report 1997. “The State in a Changing World” 1997.
11. David Osborne and Ted Gaebler. “Reinventing Government” : How theEntrepreneural Spirit is Transforming the Public Sector”.1992.
12. David Osborne and Peter Plastrik. “Banishing Bureaucracy : The Five Strategicfor Reinventing Government”. 1997.
13. Gambhir Bhatta. “Capacity Building at the Local Level for EffectiveGovernance, Empowerment Without Capacity is Meaningless”.1996.
14. Meuthia Ganie Rochman, Good Governance”. Kompas 23 Agustus, 1999.
15. Bob Widyahartono. “Good Governance Memang Masih Impian”
16. Mari Pangestu. “Good Public Governance dan Pemulihan Ekonomi”. Tempo. 15 Agustus 1999.
17. Harian Ekonomi Neraca. “Indeks Good Governance Indonesia Terendah di AsiaTimur”. 11 Oktober 1999.
18. Christian Theobold. “The World Bank : Good Governance and The NewInstitutional Economics”.in Law and State Volume 59/60-1999.
19. Bondan Gunawan/ “Governance”. Kompas 23 April 2000.
20. LAN – BPKP. “Pemikiran tentang Framework Code of Good CorporateGovernance”. Maret 2000.