22 Maret 2008

Paskah, Kemenangan Korban

Budi Kleden
KOMPAS Sabtu, 22 Maret 2008 | 00:16 WIB
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.22.00163477&channel=2&mn=158&idx=158



Wolfgang Borchert, sastrawan Jerman (1921-1947), menulis sebuah drama, Draussen vor der Tür.

Dalam karya ini dilukiskan kisah Beckmann, seorang tentara muda yang baru kembali dari front di Rusia. Beberapa saat setelah perang, Beckmann mengunjungi rumah seorang kolonel, mantan atasannya selama bertugas di Rusia. Kolonel itu pernah memerintahkan Beckmann bersama anak buahnya untuk mengadakan patroli. Dalam patroli penuh risiko itu, 11 dari 20 anak buahnya menemui ajal.

Malam itu Beckmann datang untuk mengembalikan tanggung jawab kepada kolonel. Ia berkata, ”Kolonel.... Mereka bertanya tiap malam.... Perempuan, perempuan yang sedih dan penuh duka. Perempuan tua dengan rambut memutih dan tangan yang keras dan pecah-pecah—perempuan muda dengan mata sayu penuh kerinduan. Juga anak-anak…. Kolonel dapat tidur nyenyak? Kalau begitu, tidak apa-apa jika tanggung jawabku atas yang sebelas itu kutambahkan ke bagian Kolonel yang dua ribu itu. Kolonel bisa tidur, kan? Dengan hantu malam yang dua ribu itu?”

Borchert adalah seorang ateis. Dia melukiskan keberlangsungan kisah korban sebagai kehidupan yang dilanjutkan jeritan pencinta para korban. Pengaduan menandakan belum selesainya kisah para korban. Yang menjadi inti pesannya adalah kisah para korban itu tidak dapat diakhiri karena ada orang lain yang akan terus mengingat wajah dan menyebut nama mereka. Para korban tidak mudah dihapus dari ingatan seperti aparat hukum menghapus kesalahan para koruptor.

Kasih yang mengingat

Orang-orang yang dekat dengan para korban masih memelihara kenangan yang hangat. Ada yang terus membawa wajah mereka dalam cermin batinnya dan senantiasa menggemakan nama mereka di tengah kesunyian. Mereka hidup di dalam orang-orang yang memperjuangkan keadilan demi nama mereka.

Sebenarnya, yang dirayakan umat Kristiani pada hari raya Paskah adalah hal yang sama. Sejarah Yesus, korban yang disalibkan, tidak berakhir dengan kematian. Iman Kristen mengatakan, Yesus dibangkitkan. Tuhan membawa sang korban kembali ke kehidupan kendati para penguasa agama dan politik yang berkoalisi serta serdadu yang nuraninya telah digadaikan berusaha menghapus nama dan membuat wajahnya tak lagi dikenal.

Kebangkitan Kristus menyadarkan, para korban mempunyai Allah sebagai pencinta. Sang Pencinta ini tak mudah disogok dengan serba kesalehan yang ditunjukkan untuk menenangkan batin yang sering dihantui karena telah menjatuhkan atau merestui kejatuhan sekian banyak korban.

Yesus mengidentikkan diri dengan korban dan kaum yang tersisih. Maka, dengan menghidupkan kembali Yesus, Tuhan memaklumkan diri sebagai daya kasih yang merangkul dan mengingat semua korban. Dalam sejarah, korban adalah mereka yang hilang tanpa jejak, anak-anak yang kurang mendapat perhatian, para perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual, rakyat yang sering ditipu berbagai keputusan politik. Mereka memiliki seorang pencinta ilahi, pemilik ingatan yang abadi.

Ingatan yang menggugat

Tuhan menghidupkan Yesus yang telah disalibkan sebagai penjahat dan pengkhianat. Maka, Tuhan tidak hanya memulihkan nama baik Yesus, setelah nama itu dicemarkan pengadilan yang mudah diarahkan oleh kepentingan para penguasa politik dan pejabat agama. Kebangkitannya juga berarti menjadikan kisah korban sebuah kisah terbuka.

Yang dianggap telah selesai kini dibuka kembali, yang telah dikuburkan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi diungkap kembali. Kebangkitan mengatakan, persoalan tidak dapat diselesaikan dengan membungkam korban. Pejuang keadilan akan selalu tampil dan membongkar kebusukan, suara keadilan akan tetap didengarkan di tengah upaya pemalsuan sejarah.

Korban yang hidup dan dikenang dalam ingatan adalah korban yang memberi kesaksian akan ketidakadilan yang dialami. Kehidupan korban yang dibangkitkan akan menjadi gugatan bagi pelaku ketidakadilan. Seperti kepada Kain yang melarikan diri seusai membunuh saudaranya, kepada pelaku kejahatan Allah akan melontarkan pertanyaan gugatan tentang korban. Kisah korban yang belum selesai menggoyahkan segala kekuasaan yang menganyam kemapanan dari harapan akan ingatan pendek dari massa. Kenangan akan korban menggugat kemapanan dan bersifat subversif terhadap kekuasaan yang tidak adil.

Kebangkitan Kristus dan hak korban akan menunjukkan batas jangkauan kekuasaan. Kekuasaan, betapapun kuat dan bengis, tak sanggup melaksanakan segala yang dikehendaki. Ketika korban yang dianggap telah diamankan dan dilupakan ternyata datang lagi, saat itu tumpuan kekuasaan mulai goyah. Kekuasaan tak dapat merekayasa datangnya suara korban, dia tak sanggup melarang tuntutan keadilan.

Ada yang tak dapat dilakukan oleh kekuasaan, betapapun rapinya organisasi. Mengakui batas kekuasaan berarti menerima dan mengakui kesalahan yang pernah ditimpakan kepada orang lain. Hanya bersama korban dan dalam kekuatan Paskah yang mematahkan dominasi kekuasaan manusia dapat diwartakan kebangkitan sebagai pesan kehidupan bersama korban. Merayakan kebangkitan dalam nada ini berarti merayakan hak para korban. Mereka tidak bisa dihapus dari sejarah. Kisah mereka belum selesai. Paskah berarti kita harus bersedia mendengar para korban.

Budi Kleden Dosen Teologi STK Ledalero, Flores

19 Maret 2008

Peristiwa Yesus Dalam Politik Indonesia

http://www.pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Renungan&table=isi&id=1107&next=0

Dasar Teoretis

Status quaestionis dari teologi politik ialah, seperti ditulis Dorothee, what is social and political consequens of speaking of God?[1] Pertanyaan fundamental ini adalah khas teologi yang tidak ingin mengambil jarak dari refleksi-refleksinya terhadap persoalan-persoalan politik dalam negara. Refleksi semacam ini bukan tanpa alasan dan salah satu alasan yang paling dasar adalah bahwa keterlibatan dan intervensi Allah terhadap Israel sama-sekali bernuansa politis itu, yakni bahwa keselamatan yang datang dari Allah untuk umatNya terjadi dalam konteks politik. Teologi karena itu, seperti dikatakan JB. Metz, adalah diskursus tentang Allah, dan secara politis berarti suatu memoria passionis di mana penderitaan manusia merupakan kategori fundamentalnya,[2] dengan kata lain teologi poltik menjadi semacam usaha positif untuk memformulasikan pesan eskatologis terhadap kondisi masyarakat dewasa ini,[3] masyarakat politik modern atau postmodern.

Memang, jika dirunut lebih lanjut, keselamatan yang datang dari Allah terhadap Israel itu menjadi nyata dalam peristiwa Yesus. Peristiwa Yesus adalah sebuah peristiwa politis meskipun memang bukan pertama-tama karena peristiwa itu terjadi dalam konteks politik tertentu, melainkan lebih-lebih karena, puncak dari peristiwa itu yakni salib dan kebangkitanNya justru merupakan peristiwa politik, di mana otoritas politik Imperium Romanum telah secara sengaja membiarkan Yesus dihukum mati menurut desakan para demonstran, walaupun setelah melalui penelitian panjang, Yesus didapati tidak bersalah. Salib dengan demikian adalah saksi bisu bagi pemberontakan Yesus terhadap struktur politik yang menindas tetapi kebangkitanNya adalah kemenangan atas kekuasaan totaliter-otoritarian. Bahwa Yesus adalah pemberontak politik[4] ini menjadi jelas dari kenyataan bahwa Ia tidak ditangkap oleh orang-orang yang tidak memiliki pengaruh secara politis melainkan oleh satu pelaton tentara Romawi (kohort) yang ditempatkan di Yerusalem (cf. Jn. 18:3). Benar karena itu ketika Jürgen Moltmann menulis, bahwa salib pada jaman itu merupakan hukuman bagi pemberontak yang menentang keteraturan sosial dan politik Imperium Romanum, dan ini menjadi nyata dalam slogan bahwa pada jaman itu tidak ada politik tanpa agama meskipun bukan kebalikannya, dan itulah sebabnya Yesus dihukum Pilatus sebagai pemberontak politik, sebagai seorang Zealot.[5] Inilah fatalisme politik tradisional Imperium Romanum, yang juga sepantasnya menjadi titik tolak suatu refleksi kristologis dalam pertautannya dengan politik Indonesia modern atau postmodern dewasa ini. Dengan kata lain, kristologi politik ini diderivasikan langsung dari teologi politik dalam pengertian yang lebih partikular, yakni sebagai memoria passionis seperti yang ditegaskan oleh Metz itu. Jadi, memoria passionis akan menjadi parsial sifatnya dan tidak lengkap, jika Yesus sebagai orang yang menderita hingga wafat di salib, tidak memiliki arti politis itu.

Lantas, apakah peristiwa Yesus memiliki arti politis dalam sistem kehidupan bersama di Indonesia? Dengan kata lain, apakah penderitaan manusia di Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah Muslim, partisipatif dalam penderitaan Kristus? Bagaimanakah teologi, khususnya kristologi, melihat partisipasi ini menjadi mungkin secara politis? Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah persoalan yang sudah final tetapi lebih merupakan sebuah usaha (tentatif) awali dalam rangka mencari penadasaran kristologis untuk memberi makna baru terhadap kehidupan politik sebagai memoria passionis dalam konteks kristologis.

Politik dan Penderitaan Manusia

Sebenarnya, antara politik dan penderitaan bukanlah dua dunia yang sama-sekali tidak memiliki korelasi kausalitas tertentu, sebab hanya politik yang dapat menyebabkan manusia menderita. Penderitaan manusia mengandaikan kehidupan politik (meskipun juga, seperti yang ditulis oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan, bahwa sebenarnya penderitaanlah yang menciptakan kehidupan politik manusia tetapi ini soal lain). Penderitaan-penderitaan manusia dalam negara bersifat politis, artinnya terjadi karena kebijakan-kebijakan politik penguasa yang tunduk pada kehendaknya pribadi. Dengan kata lain, berbicara tentang politik dan penderitaan berarti berpikir tentang kehidupan manusia menurut dimensi politisnya, kehidupan manusia dalam negara.

Memang, penderitaan manusia dalam negara telah memunculkan refleksi yang beraneka ragam, dan ini menegaskan di pihak lain bahwa penderitaan manusia dalam dimensi politis bukanlah terutama merupakan akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa melainkan karena ulah segelintir oranglah yang menyebabkan kenyataan itu terjadi tanpa interupsi bahkan hingga hari ini, dan entah sampai kapan itu akan berakhir. Peristiwa Auschwitz yang paling memalukan bagi peradaban dunia modern, terjadi karena kebijakan Nasional Sosialis Jerman dengan pemimpinannya Adolf Hitler. Yang terakhir adalah kerusuhan di Prancis yang memakan waktu lebih dari dua minggu.

Di Indonesia, penderitaan manusia dapat menunjuk pada beberapa peristiwa sejarah yang terpenting. Peristiwa G30S PKI tahun 1965, peristiwa Tanjung Priuk, Operasi Militer di Aceh dan Papua, peristiwa Santa Cruz di Dili, Timor-Timur sebelum kemerdekaan propinsi itu, kejadian yang memalukan bangsa bulam Mei 1998 di Jakarta, penculikan dan penembakan mahasiswa. Demikian juga dengan pelanggaran hak asasi manusia atau HAM oleh penguasa, konflik antarkelompok masyarakat, peledakan bom, ekonomi biaya tinggi, dan masih banyak lagi kejadian lain yang dapat didaftarkan sendiri. Demikianlah menjadi jelas bahwa penderitaan manusia itu trans-nasional, melampaui batas-batas wilayah dan bahkan jaman, yang semuanya terpatri dalam apa yang disebut, serta terjadi karena tekanan atau di bawah kendali, struktur politik, dan dengan demikian peristiwa itu pun menjadi terstruktur.[6]

Meskpiun tepat saja bahwa refleksi teologis politik tidak bermaksud mengakhiri penderitaan manusia, namun ini tidak boleh membenarkan di sisi lain bahwa dengan demikian tidak perlu refleksi teologis tentang penderitaan manusia dalam negara, sebab penderitaan manusia merupakan secara teologis partsipatif dalam penderitaan Kristus di salib yang justru terjadi karena fatalisme politik Imperium Romanum itu. Maka, pantaslah penderitaan manusia di Indonesia menjadi locus theologicus.

Pewartaan Yesus dan Politik Imperium Romanum

Dalam keseluruhan struktur politik, pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah dimaksudkan untuk menghancurkan struktur politik kekuasaan tradisional. Usaha Yesus ini karena, meskipun dalam kerajaan Romawi ada persatuan antara agama dan negara,[7] doktrin ini tidak dari sendirinya menegaskan bahwa kekuasaan kekaisaran Romawi berasal dari Allah. Kekuasaan tradisional Israel memang berasal dari Allah, dan Yesus ingin sekali lagi mewartakan, melawan kekuasaan kekaisaran Romawi, bahwa kekuasaan yang dimiliki Pilatus misalnya, selalu memiliki dimensi transenden, berasal dari atas. Ketidakmampuan Pilatus mengadili tuduhan terhadap Yesus oleh orang-orang Yahudi secara proporsional menurut keadilan yang seharusnya, bukan karena Yesus tidak mampu menjawabi pertanyaan Pilatus tentang kebenaran itu apa (Jn. 18:38i), melainkan lebih-lebih seperti yang dikatakan Yesus, karena kekuasaan Pilatus tidak berasal dari Allah (Jn. 19:11). Secara berbeda, sebab atau bahwa Pilatus adalah sahabat kaisar, maka ketika ia hendak membebaskan Yesus, tetapi orang-orang Yahudi justru mengejek dia sebagai bukan sahabat Kaisar (Jn. 19:12) karena itu ia mesti telah menerima kuasa dari Kaisar Romawi, suatu struktur politik nepotis. Inilah juga fatalisme bagi orang Yahudi karena begitu cepat melupakan bahwa kekuasaan pada kerajaan-kerajaan tradisional sebelum kedatangan Yesus selalu merupakan kekuasaan yang berasal dari Allah mereka, yang oleh Yesus disebut Bapa itu.

Memang, tidak penting atau bahkan sia-sia untuk mencari tahu motivasi di balik penyangkalan itu. Bahwa orang Yahudi lebih setia kepada Kaisar daripada kepada Allah, ini tampak tegas sekali dari keinginan mereka untuk membayar kepada Kaisar pajak dengan secara sinis bertanya mencobai Yesus. Tetapi Yesus justru mengetahui kelicikan hati mereka, maka mewajibkan memberikan kapada Kaisar apa yang menjadi haknya dan menurut gambar dan tulisan yang tertera pada koin itu (Lk. 20:20-6), demikian juga kepada Allah. Akan tetapi, berbeda dari memberi kepada Kaisar karena gambar wajah Kaisar tertera pada mata uang mereka, tidak demikian halnya dengan memberikan kepada Allah apa yang menjadi milik dan hak Allah. Allah adalah pemilik segala sesuatu termasuk sumber kekuasaan politik karena itu walaupun tidak terdapat tanda-tanda lahiriah politis, kewajiban yang sama harus pula diberikan kepada Allah.

Tanda-tanda lahiriah kekuasaan Allah memang tidak tergambar, tetapi harus dimohonkan kepada Allah sendiri “datanglah KerajaanMu? supaya kehendak Allah itu benar-benar terjadi di tengah Israel sebagaimana di surga adanya (Mt. 6:10). Jadi, doa yang diajarkan Yesus ini pertama-tama adalah doa permohonan yang bersifat politis agar Kerajaan Allah menjadi nyata di bumi; kedua, supaya orang-orang yang lapar memperoleh kehidupan yang layak; dan ketiga, agar orang-orang yang melanggar hukum tidak dipenjarakan; seandainya Allah sudah berkuasa sebagai raja di bumi. Motivasi Yesus mengajarkan doa yang bersifat politis ini karena memang, ketika berada di bawah kekuasaan Romawi, orang-orang Yahudi ditindas, dibiarkan menderita. Jika benar bahwa tradisi-tradisi doa Israel dalam kitab Mazmur, Ayub, Ratapan, dan kitab-kitab para nabi mengungkapkan a mysticism of suffering unto God, sehingga bahasa doa-doa itu dalam dirinya sendiri adalah bahasa penderitaan, krisis, karena bahaya yang radikal,[8] tepat di sinilah doa yang diajarkan oleh Yesus itu adalah rumusan doa dalam bahasa penderitaan dan tertindas, doa orang yang menghendaki perubahan kekuasaan politik dan menghendaki kekuasaan Allah, Allah sebagai Raja untuk mewartakan kebenaran.

Salib dan Penderitaan Manusia

Salib Kristus, seperti sudah dikatakan sejak awal, adalah saksi bisu bagi pemberontakan Yesus terhadap struktur politik yang menindas dan menciptakan penderitaan manusia. Pertama-tama dengan demikian Salib adalah locus theologicus di mana di dalamnya penderitaan manusia dijelaskan, tetapi penjelasan ini bukan terutama karena Salib sebagai tebusan atas dosa manusia, sebab dosa tidak diciptakan oleh struktur politik yang menindas; dengan kata lain dosa tidak merupakan akibat langsung dari penindasan dalam negara melainkan adalah akibat dari ketidaksetiaan manusia terhadap perintah Allah. Persis di sinlah kesetiaan Yesus sampai wafat di salib sebagai akibat pemberontakanNya terhadap struktur politik yang menindas adalah kebalikan dari dosa, dengan kata lain adalah tebusan atasnya. Salib Kristus oleh karena itu memiliki pertama-tama dimensi politis dalam keseluruhan peristiwa penebusan manusia dari dosa, atau bahwa tebusan atas dosa manusia secara fundamental bersifat politis.
Bahwa struktur politik yang menindas tidak menciptakan apa yang disebut dosa, melainkan telah menciptakan tebusan atasnya, ini berarti, bagaimana penderitaan manusia dapat dipahami dalam pertautannya dengan Salib Kristus kalau peristiwa historis itu pertama-tama adalah tebusan bagi dosa manusia, ialah bahwa penderitaan manusia yang diciptakan oleh struktur politik yang menindas, partisipatif secara langsung dalam penderitaan Kristus, jadi penderitaan manusia merupakan fenomena derivatif dari penderitaan di Salib. Sebagai satu fenomena derivasi dari penderitaan Kristus, penderitaan manusia karena kekuasaan totaliter-otoritarian dan struktur politk yang menindas akan berakhir dengan kehancuran kekuasaan oteriter itu. Tetapi ini tidak memaksudkan di sisi lain bahwa, kalau demikian, manusia boleh ditindas karena Salib Kristus adalah jaminan atas penderitaan manusia dalam negara. Bagaimanapun Salib dan penderitaan manusia adalah dua peristiwa historis yang berbeda dalam sejarah peradaban politik manusia yang secara politis pula telah meciptakan dependensi penderitaan manusia pada penderitaan Kristus. Ketergantungan penderitaan manusia pada penderitaan Kristus ini dimungkinkan karena, seperti dikatakan Schillebeeckx, kematian Kritus adalah penderitaan melalui dan untuk orang lain sebagai ungkapan tanpa syarat atas validitas melakukan kebaikan serta menentang kejahatan dan penderitaan.[9] Dalam rumusan yang lebih tegas dikatakan bahwa justru karena terdapat dependensi pada penderitaan di Salib inilah, penderitaan manusia partisipatif dalam penderitaan Kristus, atau bahwa tanpa ada ketergantungan tidak mungkin terjadi partisipasi dari penderitaan yang lebih rendah di dalam penderitaan yang sangat hebat. Ini artinya, meskipun banyak orang juga disalibkan, tetapi penderitaan mereka tidak menjadi jaminan penderitaan manusia karena mereka disalibkan sebagai penjahat; bahwa sulit memahami penderitaan manusia jika Kristus tidak menderita di salib sebagai orang merdeka.

Kebangkitan Yesus dan Kehancuran Kekuasaan Totaliter
Kebangkitan Yesus mengandaikan peristiwa Salib, dan bahwa kematian di salib terjadi karena pemberontakan Yesus terhadap struktur politik yang menindas. Dari sini menjadilah jelas bahwa, kebangkitanNya adalah kemenangan atas kekuasaan totaliter-otoritarian, kemenangan atas struktur politik yang tidak adil.

Dalam banyak negara modern, kehancuran kekuasaan imperialisme, penguasa yang tidak adil dan menindas, kekuasaan yang totaliter-otoritarian, pertama-tama adalah karena peristiwa Salib Yesus. Alasan ini hendak menegaskan bahwa Salib Yesus adalah peristiwa partikular dalam keseluruhan sejarah kekuasaan politik totaliter-otoritarian dan karenanya melampaui segala jaman. Apa yang menjadi sangat khas pada Salib Yesus ialah memberi warna teologis pada peristiwa yang sebenarnya memiliki dimensi sekularistik politis semata; dengan kata lain mengangkat pada taraf kesadaran ilahi kekuasaan sekular, bahwa Pilatus misalnya tidak memiliki kekuasaan apa pun atas diriNya jika kekuasaan itu tidak berasal dari Allah, BapaNya (Jn. 19:11), ini juga berarti, Pilatus pun tidak memiliki kuasa atas rakyat jelata karena preferensi spiritual politik Yesus ternyata jatuh kepada kaum pinggiran yang memiliki kuasa periferial.
Sebagai orang pertama yang menentang penindasan, membebaskan perbudakan, bahkan tidak menyebut manusia hamba, melainkan saudara (Jn. 15:15), dalam struktur politik di mana usaha membebasakan manusia dari model kekuasaan itu belum menjadi praksis perjuangan entah personal atau pun komunal, pemberontakan Yesus terhadap model kekuasaan yang tidak adil itu mengatasi segala pemberontakan sejenis, karena nama Yesus mengatasi segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di bawah bumi (Fil. 2:9), yakni mengatasi segala nama yang juga berjuang melawan kekuasaan totaliter-otoritarian baik dalam jaman klasik, modern, maupun postmodern.

Dari sini menjadi jelas juga bahwa iman kepada Yesus yang bangkit dari kematian seperti yang diwartakan oleh para rasul itu, bukan terutama karena Yesus telah mengalahkan dosa dan maut, sebab selain karena dosa tidak diciptakan oleh struktur kekuasaan politik, juga karena credo semacam itu mereduksi kematian Yesus akibat pemberontakanNya terhadap kekuasaan politik yang menindas kepada semata bahwa Ia adalah penebus dosa manusia. Option for the poor sebagai konsep spiritual politik sebagaimana disampaikan ketika mengajar orang banyak dari atas bukit (Mt. 5:1-12), tidak hanya diajarkan sebagai satu konsep terbuka tanpa praksis, melainkan diwartakan dalam rangka mencapai suatu puncak kehidupan politik di mana Allah adalah Rajanya, dan Yesus sendiri adalah anak tunggal yang akan mewarisi takhta Daud, menjadi raja atas kaum keturunan Yakub dan mewarisi Kerajaan itu tanpa interupsi dan bahwa KerajaanNya tidak akan berkesudahan (Lk. 1:32-3). Kiranya menjadi jelas bahwa oleh karena Daud adalah raja Israel dalam artian politis, tahkta Daud yang diwariskan kepada Yesus dengan demikian pertama-tama memiliki nuansa politis itu, dan untuk itulah preferensi fundamental option for the poor adalah disposisi politik Yesus. Maka, bahwa Yesus adalah penebus dosa manusia, ini tidak niscaya bahwa Ia harus mati di salib oleh fatalisme kekuasaan Imperium Romanum sebab kekuasaan maut, yaitu dosa, dan kekuasaan politik, adalah dua model kekuasaan yang berbeda dalam prinsip operasinya dan sama-sekali bahwa yang satu tidak mengandaikan yang lain. Dosa secara prinsipil menyangkal masa depan eskatologis manusia karena kejatuhan ke dalam dosa menghindari manusia dari persatuan dengan Allah tetapi kekuasaan totaliter-otoritarian justru menghindari manusia dari mengaktualkan dirinya secara sempurna selama masa hidupnya sebagai pribadi yang memiliki martabat ilahi. Itu sebabnya peristiwa Yesus pertama-tama adalah peristiwa historis politik yang bermaksud membebaskan manusia dari kungkungan kekuasaan dosa tetapi bukan peristiwa historis yang bermaksud membebaskan dosa manusia melalui kekuasaan politik. Sebab, jika politik adalah sarana penebusan dosa manusia, atau jalan melalui mana manusia diangkat dari kematian kepada kehidupan, itu berarti dosa pertama-tama adalah akibat dari kekuasaan politik dan bukan akibat ketidaksetiaan manusia kepada kehendak Allah. Padahal, dosa itu tidak demikian, dosa adalah akibat tindakan manusia yang melawan cinta kasih Allah dan bahwa penebusannya terjadi secara politis. Maka, Kristologi pertama-tama harus bersifat politis.

Makna Peristiwa Yesus Dalam Politik Indonesia

Jika penderitaan di salib melampaui seluruh penderitaan manusia karena kekuasaan totaliter-otoritarian atau bahwa penderitaan manusia dalam negara partisipatif dalam Salib Kristus, dan bahwa kebangkitanNya adalah kemenangan atas segala struktur politik yang menindas, apakah makna peristiwa Yesus, khususnya Salib dan kebangkitanNya tadi, terhadap politik Indonesia secara lebih partikular dengan kekhususan mayoritas yang justru menyangkal kematianNya?
Sejak semula, sudah dapat diduga, bahwa persekongkolan untuk menangkap Yesus dan plot untuk membunuh Dia datang dari orang-orang Yahudi (Mt. 26:3-4) dan usaha itu dilakukan melalui sebuah operasi militer besar-besaran (Jn. 18:12) terhadap Yesus dan kedua belas rasulNya yang sebenarnya bisa dikalahkan dengan sangat gampang. Jika Yesus adalah Raja orang-orang Yahudi seperti yang dikehendaki Allah sendiri untuk memberi kesaksian tentang kebanaran (Jn. 18:36-7), ini artinya, plot penangkapan dan untuk membunuh Yesus secara politis sebenarnya merupakan sebuah kudeta politik yang berakhir dengan kematian Yesus di salib. Bahwa Yesus diutus Allah sebagai Raja orang Yahudi untuk mewartakan dan memberi kesaksian tentang kebanaran, ada pengandaian bahwa raja-raja orang Yahudi sebelumnya hingga Kaisar Romawi dari kekuasaan Imperium Romanum memberi kesaksian tentang kepalsuan, maka persis di sinilah kekuasaan politik menjadi manipulatif, menindas, korup, serta serakah. Sekali lagi pada tahap ini, manusia menghadapi dilema yang lain lagi yang berbeda dari dosa, tidak ingin kekuasaan politik mewartakan kebenaran dan ini datang dari para penguasa dan imam-imam kepala (Mt. 26:3). Apabila dosa adalah tindakan melawan perintah dan cinta kasih Allah, dan bahwa cinta kasih Allah adalah kebenaran yang dalam dirinya sendiri per se notum, kekuasaan totaliter-otoritarian karena itu ialah kekuasaan yang tidak memberi kesaksian tentang kebenaran, dan bahwa struktur politik yang demikian itu haruslah digusur. Hingga di sini jelaslah bahwa Salib Kristus adalah, memakai bahasa teknologis adalah buldoser untuk menggusur model kekuasaan yang tidak adil itu, yang menciptakan penderitaan pada manusia.

Dalam konteks politik Indonesia, penderitaan sudah sejak lama menjadi bagian dari hidup politis manusia Indonesia, penderitaan mana diciptakan oleh struktur politik yang mengkooptasi konsep negara Hegelian dan memberikan semua fungsi kepada negara, yakni sejak ketika kekuasaan dikendalikan oleh dua order, Orde Baru dan Orde Lama. Kooptasi negara Hegelian ini mempertegas di sisi lain bahwa tidak ada demokrasi dalam politik Indonesia lama, model kekuasaan ketika itu adalah kekuasaan totaliter-otoritarian. Slogan Demokrasi Terpimpin dari Soekarno tua seolah menegaskan bahwa kekuasaan adalah properti yang menjadi hak milik pribadi sampai-sampai kekuasaan perlu diwariskan turun-temurun, dan kehancurannya[10] justru merupakan ejekan atas ketidakmampuan penguasa itu memimpin; demikian pula dengan Demokrasi Pancasila dari Soeharto muda yang menekankan dogma pembangunan ekonomi ketimbang pembangunan politik[11] tidak dapat juga membendung tuntutan atas perubahan struktur politik agar lebih demokratis, sehingga kekuasaannya hancur bersama ketidakmampuan penguasa karena usia yang semakin uzur.

Kehancuran demi kehancuran kekuasan yang tidak demokratis dari kekuasaan Orde Lama kemudian berganti dengan keberakhiran Orde Baru, telah menciptakan cerita tersendiri dalam kerangka penderitaan bahwa politik Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga Soeharto tumbang, hanya menghasilkan kepedihan sekaligus penderitaan bagi manusia Indonesia. Pernyataan ini tidak bermaksud menyangkal di sisi lain bahwa tidak ada kemajuan berarti yang dicapai oleh kedua order itu, tetapi berpretensi menegaskan persis apa yang tersembunyi di balik makna keteraturan dalam kata order berdasarkan fenomena penderitaan yang mendominasi karakter politisnya, yakni bahwa di dalam struktur politik yang well ordered and guided itu sebenarnya tersirat makna keteraturan yang membahayakan karena kepemimpinan yang korup. Maka, berbicara tentang kedua keteraturan itu berarti memikirkan politik Indonesia berhadapan dengan bahaya penderitaan, dan jika penderitaan itu pada dirinya sendiri adalah cerita yang patut dikenang, cerita-serita seperti inilah yang dalam bahasa teologi Metz disebut, stories in the face of danger, dangerous stories.[12]

Stories in the face of danger atau dangerous stories itu dengan demikian adalah suatu kategori fundamental kristologis, di mana penderitaan-penderitaan manusia akibat struktur politik yang tidak adil itu dijelaskan dalam kerangka penderitaan Kristus, Salib. Maka, makna peristiwa Yesus Kristus dalam konteks penderitaan manusia akibat struktur politik yang tidak adil dapat dirumuskan demikian: Pertama, penderitaan manusia partisipatif dalam penderitaan Kristus. Dalam artian partisipasi, penderitan manusia merupakan antisipasi terhadap kedatangan Kristus yang kedua, parousia, di mana Kristus adalah Raja segala-galanya dan untuk segala-galanya. Penderitaan Yesus akibat struktur kekuasan politik totaliter-otoritarian telah menempatkan model kekuasaan itu sebagai model kekuasaan yang terbaik bagi sejarah tata hidup bersama politis yang mengangungkan penderitaan manusia sebagaimana terjadi dengan peristiwa holocaust di Auschwitz, di mana bangsa yang dulu telah membunuh dan menyalibkan Raja mereka, dibantai secara besar-besaran dan keji sebagai korban bakaran. Akan tetapi, kebangkitan Kristus justru menghancurkan kekuasaan totaliter-otoritarian maupun idealisme Nasional Sosialis Jerman yang mengagungkan model kekuasaan semacam itu, oleh karena peristiwa Yesus ini adalah peristiwa historis yang melampaui sejarah dan waktu tertentu, jadi pemahaman ini bukanlah suatu regresus yang mengarah kepada peristiwa Yesus. Teologi, khusunya kristologi setelah Auschwitz sebenarnya merupakan antisipasi kebangkitan manusia pada akhir jaman, khususnya manusia beriman yang menderita akibat tekanan politik dan ideologi tertentu, sebuah kristologi pengharapan.

Kedua, penderitaan manusia terarah kepada Salib.[13] Keterarahan penderitaan manusia ke pada Salib tidak menegaskan sekaligus bahwa, oleh karena Kristus telah menderita dan penderitaan itu terarah kepada Salib Kristus, dengan demikian adalah sah jika manusia menderita, jadi seolah-oleh penderitaan itu legal dalam dimensi politisnya. Keterarahan kepada Salib dimaksudkan bahwa penderitaan orang beriman, orang Kristen, memiliki semacam basis ontologis di atas mana bukan saja penderitaan manusia berdiri tetapi berdiri di atas dasar moral yang kokoh, sebab tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatNya (Jn. 15:13). Jika, dan memang demikian, Salib Kristus adalah bukti kasih Allah kepada manusia, sebab Allah adalah kasih (1Jn. 4:8), itu berarti keterarahan penderitaan manusia akibat struktur politik yang tidak adil itu pada dasarnya terarah kepada kasih universal dan tanpa batas. Bahwa dalam penderitaan tampak kasih Allah, ini bukanlah suatu imaginasi teologis, melainkan kenyataan yang diderivasikan dari penderitaan Kristus di salib, suatu bentuk penderitaan yang tidak pernah dirasakan oleh orang lain yang kemudian menjadi dasar moral. Jadi, sebagai dasar ontologis moral, penderitaan Kristus sama-sekali berbeda dengan penderitaan manusia pada umumnya sebab penderitaan manusia tidak memiliki pendasaran dalam apa yang disebut kasih.[14] Maksudnya, bahwa meskipun manusia menderita, akan tetapi karena ia hanya memiliki kasih yang partisipatif dalam kasih Kristus dan kasih manusia itu bukan independen bahkan tidak pernah sampai mengorbankank dirinya sendiri; atau, kalau pun terdapat pengorbanan diri, pengorbanan seperti itu juga mengambil contoh dari model pengorbanan Kristus di salib dan oleh karena itulah kasih manusia itu mengambil bagian dalam Kasih yang lebih besar, yakni kasih seorang yang menyerahkank nyawanya bagi sesamaNya; pengorbanan manusia tidak pernah menjadi basis ontologis moralitas manusia, paling banter kita menyebut dengan istilah yang dipakai oleh Emanuel Levinas, tanggung jawab.

Ketiga, manusia menderita karena Kristus sudah terlebih dahulu menderita. Dalam tataran yang lebih onto-teologis penderitaan manusia dapat dipahami bahwa penderitaan ini dimungkinkan karena Kristus, Tuhan dan Allah umat manusia, telah menderita terlebih dahulu. Tetapi, gagasan “terlebih dahulu?di sini tidak sedang menegaskan bahwa penderitaan yang dialami oleh Ayub tidak tersubodinasi di bawah penderitaan Kristus sebab penderitaan Ayub terjadi jauh sebelum Kristus menderita! Ayub adalah wakil dari umat manusia yang menderita cukup hebat dihadapan Allah dan karena itu pengalaman Ayub yang ditinggalkan oleh Allah, tersubordinasi di bawah penderitaan Kristus. Pertanyaan di manakah Kristus ketika Ayub menderita menemukan dasar jawaban pada kebangkitan Kristus. Artinya, oleh karena penderitaan Kristus terarah kepada kebangkitan dan Ia adalah orang pertama yang, setelah menderita sampai mati bahkan mati di salib, bangkit dari antara orang-orang mati, kebangkitan inilah yang justru menjadi penentu perbedaan antara penderitaan Ayub dan penderitaan Kristus dalam konsep bahwa manusia menderita karena Kristus telah terlebih dahulu menderita. Maka, perbedaan itu terletak pada harapan[15] akan suatu hidup baru setelah menjalani penderitaan; sehingga, meskipun Ayub menderita cukup hebat, namun karena pengalaman penderitaan itu tidak terarah kepada kebangkitan, penderitaan Ayub yang dialami jauh sebelum Kristus itu tersubordinasi di bawah penderitaan Kristus juga, tetapi bukan pertama-tama karena Penderitaan Kristus gradasinya jauh lebih hebat dari penderitaan cukup hebat Ayub, melainkan lebih utama karena penderitaan Kristus membangkitkan orang-orang menderita ke satu hidup baru dalam kemuliaan bersama Allah, dan inilah yang tidak diantisipasi oleh penderitaan Ayub.

Membawa Penderitaan Kristus ke Dalam Negara

Membawa penderitaan Kristus ke dalam negara sama-sekali tidak berpretensi untuk menjadikan teologi politik pada umumnya atau kristologi politik pada khususnya sebagai media untuk menjustifikasi penderitaan manusia dalam negara akibat struktur politk yang menindas, dan karenanya seolah-olah bahwa penderitaan itu legal secara politis. Penderitaan manusia terjadi karena Kristus sendiri pun telah menderita sebagai akibat dari struktur politik yang tidak adil sehingga apa yang dialami manusia dalam negara itu bersifat partisipatif serta terarah ke pada Salib Kristus. Salib dengan demikian adalah bukti kasih Allah yang menyelamatkan serta membebaskan umat manusia dari penderitaan mereka. Dengan demikian secara polits, Salib bukanlah terutama merupakan peristiwa penebusan dosa manusia, sebab dosa tidak diciptakan oleh struktur politik yang menindas dan tidak adil, melainkan justru peristiwa politik yang menindas dan tidak adil itulah yang memungkinkan penebusan dosa terjadi.

Memang kemudian menjadi soal, sebab, jika demikian, kedatangan Yesus bukan pertama-tama untuk menebus dosa manusia. Terhadap keberatan semacam ini tanggapan yang dapat diberikan bahwa Yesus memang datang untuk menebus dosa manusia tetapi Ia tidak harus mati di salib sebagai seorang pemberontak. Dosa dan salib tidak memiliki hubungan kausal apa pun sebab dosa berada pada dimensi moralitas manusia tetapi salib berada pada tataran yuridis politik. Benar bahwa orang yang secara yuridis bersalah karena melanggar prinsip-prinsip moral dasar hidup manusiawi dihukum, tetapi bahwa Yesus bukan orang yang secara moral telah melanggar prinsip-prisnip hidup baik itu, Ia sepantasnya tidak dihukum, apalagi dihukum sampai mati di salib. Itulah sebabnya lebih baik mengatakan bahwa Salib Kristus adalah sebuah peristiwa politik melalui mana dosa manusia ditebus daripada mengatakan bahwa Salib adalah peristiwa penebusan dosa manusia dalam dimensi politik.

Salib sebagai bukti politis penebusan dosa manusia inilah yang, dalam rangka keseluruhan judul paper ini berarti membawa penderitaan Kristus ke dalam negara. Tentu saja bahwa penderitaan Kristus adalah peristiwa partikular untuk mereka yang percaya sehingga tidak menjangkau semua unsur dan golongan dalam masyartakat politik. Akan tetapi, oleh karena penderitaan itu berakhir juga dengan kebangkitan Yesus dari kematian, ini menandakan bahwa penderitaan itu memiliki aspek universal dalam keseluruhan struktur politik yang ada karena Salib adalah saksi bagi pemberontakan Yesus terhadap kekuasaan politik yang menindas dan tidak adil. Jaadi, penderitaan Yesus dalam dirinya sendiri, artinya penderitaan Yesus sebelum kebangkitan, tidak memiliki makna universal dalam dimensi politik sebab penderitaan justru membenarkan bahwa terdapat struktur politik yang tidak adil dan menindas. Kebangkitan Yesuslah yang secara politis membenarkan bahwa struktur kekuasaanpolitik yang tidak adil dan menindas itu harus pula dihancurkan sebab kebangkitan justru menghancurkan kekuasaan totaliter otoritarian.

Demikian pula Dengan kehacuran kekuasaan Imperium Romanum. Demkian pula dengan kejatuhan Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 yang bertepatan dengan Kenaikan Yesus ke Surga menjadi bukti bahwa kebangkitan Yesus menghancurkan kekuasaan totaliter otoritarian dalam keagunganNya
Membawa penderitaan Yesus ke adalam negara dengan demikian berarti memaknai secara baru setiap penderitaan manusia Indonesia; pederitaan orang-orang yang percaya maupun mereka yang menyangkal penderitaan Yesus (kaum muslim), bahwa penderitaan yang mereka alami sebagai akibat dari kooptasi negara Hegelian yang memberikan semua fungsi kepada negara, maupun penderitaan yang diakibatkan oleh sistem demokrasi yang tidak demokratis, terjadi karena Kristus sendiri telah menderita juga karena sistem struktur politik totaliter otoritarian itu. Dengan demikian penderitaan manusia saat ini partisipatif dan terarah ke pada penderitaan Kristus.

Partisipasi dan keterarahan penderitaan manusia ke pada Salib Kristus ini adalah model keterarahan yang dapat menyebabkan kehancuran struktur kekuasaan yang tidak adil, semana-mena, dan menindas. Memoria passionis dengan ini menjadi jelas, yakni mengenang penderitaan manusia dalam negara sebagai yang terjadi setelah, partisipatif, dan terarah kepada penderitaan Kristus tidak saja dalam rangka mengenang penderitaan sesama sebagai warga tetapi mengenang dalam rangka menghancurkan struktur kekuasaan totaliter otoritarian, dan mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Perwujudan Kerajaan Allah dengan demikian bukanlah suatu idealisme utopis semata, melainkan secara politis ialah menghadirkan kebenaran politis yakni keadilan, hak asasi dan martabat manusia, cinta kasih, solidaritas, yang semuanya telah merupakan disposisi fundamental Yesus yang menjadi terang sekali dalam ungkapan option for the poor itu.


DAFTAR PUSTAKA
Brug, Scheve, Kristologi Postmodern (Promanuscripto), STF Driyarkara, Jakarta, 2005.
Hughes, John, The End of Soekarno, Archipelago Press, Singapore, 2002.
Moltmann, Jürgen, God for A Secular Society, (trans. by Margaret Kohl), Fortress Press, Minneapolis, 1999.
Moltmann, Jürgen, “Political Theology of the Cross? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 10-15.
Moltmann, Jürgen, “Meditation on Hope? dlm., A Reader in Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1974, 24-30.
Metz, J. B., A Passion for God, (trans. by J. Matthew Ashley), Paulist Press, New York ?N. J., 1998.
Metz, J. B., “The Privatization of Religion? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 4-9.
Nolan, Albert, Jesus Before Christianity, Paulist Press, Quezon City, 1983.
Pieper, Josef, “Hope and History? dlm., A Reader in Political Theology, SCM Press, London, 1974.
Schillebeeckx, Edward, Jesus in Our Western Culture, (trans. by John Bowden), SCM Press, London, 1987.
Vatikiotis, Michael R. J., Indonesian Politics Under Soeharto, Roudlege, London and New York, 1993, 1998.
Widyatmadja, Josef, “Incarnation as Subversion? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 145-50.
[1] Ketika masih di Manila, saya membaca Dorothee Söle, sebuah buku kecil yang saya tidak miliki sampai saat ini. Tetapi, pertanyaan fundamental itu terus-menerus terpatri dalam pikiran dan menjadi bagian dari refleksi saya pribadi, setidaknya jelas dari judul paper ini. Pertanyaan yang dirumuskan oleh Söle ini sebenarnya sejalan dengan Moltmann ketika dia menawarkan contributions on the public relevance of theology. Lih., Jürgen Moltmann, God for A Secular Society, (trans. by Margaret Kohl), Fortress Press, Minneapolis, 1999, 1.
[2] JB. Metz, A Passion for God, trans. by J. Matthew Ashley, Paulist Press, 1998, 5.
[3] JB. Metz, “The Privatization of Religion? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 4.
[4] Pernyataan ini cukup moderat jika dibandingkan dengan pernyataan yang sama-sekali provokatif oleh Josef Widyatmadja bahwa the whole ministry of Jesus Christ was a subversive action. Lih., Josef Widyatmadja, “Incarnation as Subversion? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 145-50.
[5] Jürgen Moltmann, “Political Theology of the Cross? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, 1978, 10; bdk., Albert Nolan, Jesus Before Christianity, Paulist Press, 1983, 92.
[6] Peristiwa, menururt Alain Badiou, adalah sebuah inovasi atau pembaruan, dan pembaruan ini dimulai dengan sebuah pemisahan dari status quo atau atau situasi tetap, dan karena bersifat tetap dengan denikian menjadi terstruktur. Jadi struktur dalah keadaan tetap. Lih., Scheve Brug, Kristologi Postmodern (Promanuscripto), STF Driyarkara, 2005.
[7] Jürgen Moltmann, “Political Theology of the Cross? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, 1978, 10.

[8] Metz, Op.Cit., 66
[9] Schillebeeckx, Jesus in Our Western Culture, trans. by John Bowden, SCM Press, 1987, 23.
[10] Tentang kehancuran dan kejatuhan Soekarno, lih., John Hughes, The End of Soekarno, Archipelago Press, Singapore, 2002.
[11] Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto, Roudlege, London and New York, 1993, 1998, 93.
[12] Metz, Op. Cit., 48.
[13] Gagasan ini mirip dengan gagasan Metz yeng menekakan suffering unto God daripada suffering in God. Namun, Metz mendasarkan pandangan ini pada gagasan teologis pada umumnya dan bukan kristologis. Metz tidak lagi ingin mendiskusikan tema suffering in God karena sudah terlalu sering dibahas oleh banyak teolog danbahwa dia tidak ingin meneruskan pendekatan serupa. Lih., bdk., Metz, Ibid., 69-71.
[14] Italics, penekanan penulis.
[15] Bdk., Jürgen Moltmann, “Meditation on Hope? dlm., A Reader in political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1974, 24-30; Josef Pieper, “Hope and History? dlm., A Reader in Political Theology, SCM Press, London, 1974, 30-4.

Frans Nay R., CICM
Email: fransnayr@yahoo.com

Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.

06 Maret 2008

Menciptakan Good Governance

Iwan Darmansjah, MD

http://www.iwandarmansjah.web.id/miscellaneous.php?id=288
Dibawakan di Forum Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (di-edit, 16 Juli 2007)
Sidang Paripurna, Gedung Graha Widya Bhakti, Puspitek, Serpong 17-18 Maret 2007

Introduksi

Fokus pembahasan saya ialah memberi wawasan baru untuk menciptakan pemerintahan yang baik melalui strategic planning, yang telah saya pelajari di FKUI sejak tahun 1997. Dengan dalih pengalaman pribadi ini saya membuat judul: ‘Creating Good Governance’. Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana sistem Strategic Planning untuk Government dan Nonprofit Organization dapat mereformasi suatu pemerintahan yang sedang diterpa berbagai kesulitan, misalnya dalam pendidikan atau kesehatan.

Berbagai acara talkshow televisi juga akhir-akhir ini membahas tentang banyak masalah governance yang berakhir dengan pertanyaan ‘bagaimana melaksanakannya’. Pak Soegeng Sarjadi di Q Channel setiap kali bertanya ‘How to do it?’ Mereka mengupas masalah sepertinya dengan ‘Why?, What?, Who?, When? ……. dan How? (to do it). Rupanya para panelis belum sadar (atau sudah?) bahwa ada sistem (kendaraan) yang dapat mengantar mereka ke bagaimana melakukannya dengan langkah pasti, yaitu melalui ‘Strategic Planning dengan loop-model’. Model ini berasal dari Amerika Serikat, terkenal di dunia, tapi sayang Indonesia tidak menangkapnya. Ia berkembang dari strategic planning untuk bisnis sejak beberapa dekade, yang akhirnya dimodifikasi untuk pemerintahan dan non-profit organizations. Satu undang-undang (Government Performace and Results Act (1993) ‘memaksakan’ semua Departemen dan Institut Pemerintah Amerika Serikat (termasuk semua universitas) untuk melakukan proses Strategic Planning ini. Dalam presentasi ini hendak saya share dengan anggauta AIPI tentang apa yang saya anggap sesuatu yang strategis penting bagi reformasi bangsa Indonesia.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Toeti Herati yang telah menangkap bola ide ini sewaktu kami kebetulan harus menunggu di airport karena keterlambatan pesawat ke Yogya selama 3 jam lebih, sehingga saya dapat mendongeng mengenai strategic planning dan GPRA.

Good Governance

Pengertian ‘Good Governance’ telah menjadi kata kunci selama kira2 10 tahun terakhir. Namun, suatu istilah asing dapat menimbulkan masalah pengertian semantik bila kita hendak berbicara dalam arti padanan itu dalam bahasa Indonesia. Governance mengandung arti ‘manajemen suatu negara yang bersifat bijak dan berilmu’. Dalam bahasa Indonesia kita sudah lama memakai istilah ‘Pemerintah’, yang kata kerjanya ‘memerintah’ (to rule), sehingga arti otoritas dan kekuasaan yang menonjol, bukan sifat manajemen-nya yang baik dan bijak. Bahayanya ialah bila suatu Pemerintah sampai terlalu besar kuasanya hingga sampai menindas. Berbahagialah kita karena Indonesia telah memasuki era demokrasi dalam berpolitik, sehingga tidak mungkin bisa berbalik lagi, tapi justru berkembang. Sayang perkembangan ini tidak dibarengi dengan keterbukaan dan akuntabilitas yang lebih besar, tapi malah kebebasannya yang sering dilanggar. Tentu bila dilakukan tidak terkendali akan menciptakan efek anarkhi dalam negara. Dalam konteks dan batasan ini akan saya menggunakan istilah good governance lebih lanjut (UNESCAP) (9) .

Good Governance merupakan suatu outcome yang terdiri dari norma, suatu hasil akhir dari suatu proses. Di Indonesia proses ini biasanya diserahkan kepada pemimpinnya; bila itu departemen maka Menterilah yang menjadi komandan. Pengarahan lisan dari Presiden atau Wakil Presiden sering ada, namun prosedur-prosedur baku tertulis umumnya tidak tersedia. Juga situasi darurat sering membutuhkan reaksi cepat untuk diatasi dan bila sebelumnya tidak pernah terjadi, maka menterilah bertanggung jawab. Saya bukan ahli untuk itu, namun bila semua orang bertanya bagaimana (How?) kita melakukannya, pembahasan berkepanjangan sering tenggelam dalam membahas norma dan tidak membahas proses secara gamblang. Memang orang bilang: ‘The devil lies in details’. Di dalam pembahasan selalu diuraikan hal2 yang merupakan ‘bagaimana semestinya’, yaitu hal-hal normatif, seperti membahas ciri-ciri good governance. Tetapi bagaimana sampai kepada memperbaiki ciri-ciri yang defisien itu kita belum menemukan bagaimana harus menyelesaikannya dalam suatu sistem. Di setiap bidang kesulitannya berbeda, namun menyelesaikan kesulitan itu bisa dikemas dalam satu sistem, dan itu yang dapat dilakukan oleh strategic planning.

Governance merupakan konsep dan berarti: proses pengambilan keputusan dan juga proses bagaimana keputusan itu ditentukan, diambil dan diimplementasikan. Ia juga mempunyai struktur formal dan informal untuk pelaksanaannya.

Pemerintah formal merupakan pelaku yang sering dominan di Pemerintahan Pusat. Ia, seperti juga di tingkat Daerah, dibantu oleh pelaku-pelaku lain, terutama oleh pelobi, partai politik, donor internasional, perusahaan multi-nasional, angkatan bersenjata, kelompok agama, NGO, dsb. Mereka sering bisa ikut dalam pengambilan keputusan atau sedikitnya mempengaruhinya. Institut informal, seperti institut riset, pemilik tanah besar, juga bisa berperan mempengaruhi governance. Sering kelompok kriminal atau Mafia juga bisa menyusup mempengaruhi pemerintahan.

Menurut dokumen ESCAP(9), Good Governance mempunyai 8 karakteristik utama: ia bersifat partisipatif, rule of law, keterbukaan, responsif, berorientasi konsensus, kesetaraan dan membela yang lemah, efektif dan efisien, dan akuntabilitas. Akuntabilitas merupakan fokus yang sentral; juga selalu disertai oleh keterbukaan (transparancy) dan menerapkan undang-undang (rule of law).

Bila Good Governance merupakan norma yang ingin dicapai, maka strategic planning agak berbeda dalam pendekatannya. Benar strategic planning juga mendeskripsi ciri-cirinya, tetapi tujuan utamanya ialah mengimplementasikan visi/misi dalam suatu sistem yang akuntabel dan lebih terukur. Jadi, unsur-unsur Good Governance bisa menemukan partner yang sejati dalam sistem strategic planning, bukan berlawanan. Semua niat dan subyek pembahasan di QTV, misalnya, dapat menemukan partnership dengan sistem Strategic Planning.

Strategic Planning

Pada suatu hari sekitar bulan Mei 1997, dalam Komisi Guru Besar di FKUI Professor Sudraji Sumapraja telah mempresentasikan tentang strategic planning. Ia membahas suatu sistem bagaimana suatu universitas bisa memfokus pada misi dan gol yang diinginkan dalam waktu tertentu melalui strategic planning. Beliau mengusulkan supaya kami melakukan hal yang sama di fakultas kedokteran. Setelah saya mendengar uraian yang inovatif dan sangat menarik itu, saya yakin bahwa strategic planning dapat mengubah suatu institut yang sedang ‘sakit’. Saya adalah orang pertama yang ‘loncat’ memberi jawaban, dan bertanya ‘Apa anda serius mau melakukan itu dan bukan mau memulai sesuatu yang nanti akan gagal seperti begitu banyak upaya yang biasa kita lakukan?’ ‘Bila tawaran ini benar hendak melakukan reformasi seluruh fakultas dengan sungguh-sungguh maka saya akan menjadi orang pertama yang akan membantu anda’. Sejak itu saya bersama -dan bersatu- dengan beliau menjadi pendorong inisiatif ini, sehingga di tahun 1999 kita menyiapkan tulisan yang berjudul Creating the Future of The Faculty of Medicine University of Indonesia – Strategic Plan 2000 – 2010(6). Setelah saya pensiun di tahun 2001, Professor Sudraji dan Kawan -Kawan meneruskannya.

Di samping itu saya tidak berhenti memikirkan nasib negara kita, mengapa harus terpuruk? Sambil mempelajari kepustakaan yang berkaitan dengan strategic planning saya menemukan satu undang-undang di Amerika Serikat yang mendasari dilakukannya strategic planning oleh semua unsur pemerintahan, yaitu semua departemen dan institut pemerintahan, serta universitas secara bersamaan. Amerika yang sudah mempunyai derajat tinggi keterbukaan dan akuntabilitas masih mengalami mis-management dan korupsi selama bertahun-tahun. Mereka telah mencoba memperbaikinya selama 30 tahun dengan berbagai upaya, tapi tidak pernah berhasil. Laporan Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) (2) menunjukkan bahwa kegagalan itu disebabkan karena peraturan itu selalu dibuat sebagai Instruksi Presiden, sehingga tidak mempunyai gaung yang semestinya. Walaupun undang-undang sudah disiapkan lama, tidak ada satu presiden-pun (sejak Presiden Reagan) yang mau menandatanganinya. Di tahun 1993 Presiden Clinton baru menandatangani bersama kongres The Government Performance and Results Act (GPRA 1993) (1), yang merupakan suatu jenis accountability act.

Undang-undang ini dikaitkan dengan strategic planning yaitu: semua departemen dan institut pemerintah harus membuat Strategic Plan sebelum bisa menerima budget. GPRA tidak memuat sangsi seperti masuk penjara, tapi membuat suatu tindakan ‘give and take’ atau ‘carrot and stick’. Banyak birokrasi pemerintahan dipermudah, di antaranya penerimaan pegawai dipermudah dan budget menjadi lebih longgar. Keuangan harus dipertanggungjawabkan menurut output dan outcome Action Plan – yang biasa kita sebut ‘proyek’. Rencana harus dimasukkan dan dinilai oleh instansi lain, yaitu Office of Management and Budget. Bila disetujui barulah budget dapat diterima. Tenggang waktu untuk pelaksanaan baru dimulai tahun 1997, jadi 4 tahun setelah diundangkan. Satu ciri lain ialah bahwa pelaksanaan dan laporan (performance and report) harus dibuat dengan cara standard, sehingga bisa dibuat dalam suatu template. Ini berarti bahwa pekerjaan komputer akan membantu proses, dan walaupun pada tahun pertama sulit, di tahun-tahun berikutnya administrasi negara akan lebih cepat terselesaikan. Ini mempunyai makna yang sangat penting untuk mencapai kecepatan dalam alam globalisasi.

Seperti dapat diterka, strategic planning berasal dari angkatan bersenjata, diterapkan dalam bisnis dan kemudian menyeberang ke organisasi non-profit dan pemerintahan. Bila bisnis berkembang pesat dan tidak diimbangi dengan inisiatif pemerintahan, maka situasi dalam alam globalisasi akan ketinggalan jauh. Situasi itu kita alami sekarang di Indonesia.

Indonesia dan banyak negara lain juga berada dalam keadaan salah urus dan korupsi yang sangat merugikan negara masing-masing. Setelah GPRA-Strategic Planning disosialisasikan ke seluruh dunia oleh OECD, termasuk negara Asia Pacific, Singapore, Malaysia, dan Thailand telah menggunakan strategi ini. Strategic Plan dalam semua bidang (di Amerika Serikat, negara OECD dan negara lain) dapat dilihat dan di download secara bebas, terutama masalah pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan apa saja. Janggalnya, Indonesia belum kenal/menerapkan sistem yang sudah mendunia. Tidak satu institut pemerintahan melakukan strategic planning dengan loop-model GPRA ini. Berbagai pejabat penting telah saya dekati dan menanyakan mengapa Indonesia tidak menerapkan strategic planning-GPRA ini. Sebagian besar mengetahui tentang strategic planning, tapi tidak pernah dengar mengenai GPRA-Strategic Planning untuk pemerintahan. Yang mengetahui adanya GPRA-Strategic Planning hanya sedikit, walaupun tidak bisa menjawab mengapa tidak menerapkannya, kecuali Departemen Keuangan.

Beberapa hari setelah munculnya artikel saya di Kompas(7) saya diundang oleh Departemen Keuangan (8 Des 2004) untuk menghadiri suatu pertemuan untuk kolumnis di seberang Lapangan Banteng, Jakarta. Dari pertemuan pendek itu dijelaskan bahwa Pemerintah telah mengeluarkan 3 undang-undang (# 25, #5, dan #17) dalam beberapa tahun ini. Informasi penting ialah bahwa Departemen Keuangan telah menerapkan cara baru yang lebih modern dibanding undang-undang akuntabilitas seperti GPRA. Dijelaskan bahwa Indonesia memilih mencontoh sistem Australia dengan menggunakan ‘Partisipasi Publik’ untuk governance. Karena itu merupakan hal baru untuk saya, saya tidak menanggapi pernyataan itu. Tetapi sepulangnya, saya mencari website Australian Government: ternyata ‘Participation of the Public’ merupakan suatu usaha konsultatif yang sangat intensif dengan masyarakat sampai ke rakyat jelata, sehingga misalnya tidak ada dollar yang dapat keluar untuk membuat suatu taman jika rakyat disekitarnya tidak menyetujuinya. Hal ini juga jelas terlihat di siaran ABC Televisi Australia dan Laporan mereka, dimana dapat terlihat apa sebenarnya artinya akuntabilitas; ia tidak saja berhubungan dengan uang, tapi juga dengan apa yang dilakukan pemerintah dan apa yang tidak dilakukannya, ataukah proyek dicapai atau tidak dicapainya. Hal ini disebabkan karena Australia sudah akuntabel sebelumnya, lebih akuntabel dibanding Amerika-pun. Sedangkan Indonesia masih harus belajar, sehingga jelas tidaklah mungkin Indonesia menerapkan sistem Australia itu. Barangkali hal itu sudah disadari Departemen Keuangan sekarang, karena saya temukan kemudian bahwa Panitia (suatu LSM?) yang menyelenggarakan pertemuan-pertemuan ini sudah bubar.
Itulah cerita pendek mengenai bagaimana suatu sistem perlu dipilih dengan cermat sebelum menerapkannya. Juga mengawinkan dua sistem, seperti mengkombinasi sistem Amerika dengan sistem Eropah dan Inggris, seperti dilakukan oleh pendidikan menjadikan pelaksanaan menjadi kusut.

Masalah Pokok

Yakin atas kemampuan Strategic Planning menyebabkan saya menulis di Kompas sebuah artikel berjudul ‘Menciptakan Indonesia Akuntabel di Tahun 2015’(7) yang sudah lama saya pikirkan, tapi mengendalikan diri karena menilai belum waktunya untuk Indonesia menjadi akuntabel sebelum demokrasi sudah maju. Sekarang saya kira semua sudah lebih matang dan suasana politik lebih kondusif untuk (mulai) menerima akuntabilitas. Simak saja semua talkshow di televisi sudah menyinggungnya, dan banyak pembahasan telah mengusulkan untuk mencari kendaraan (sistem) untuk diberlakukan di Indonesia. Bagaimana mengimplementasikan yang mereka bicarakan di forum televisi selalu menjadi pertanyaan yang tak terjawab, seperti: bagaimana menciptakan manajemen risiko KA, bagaimana menghentikan lumpur panas, bagaimana mengurangkan kecelakaan di udara dan laut dan darat, bagaimana menguasai dampak air berlebihan seperti banjir, apakah kita harus memindahkan Jakarta sebagai ibukota, dsb.

Tanpa membuka cerita panjang tentang kejadian menyolok yang menimpa negara kita bertubi-tubi mulai 1997, khususnya tahun 2006 dan permulaan tahun 2007 setiap hari terdapat berita utama di media tulis dan gambar. Kecuali gempa bumi yang disebabkan oleh pergeseran lempeng kerak bola dunia yang berbenturan, maka hampir semua masalah buruk, termasuk kecelakaan,dan korupsi dapat dituding letak dalam buruknya manajemen. Kompas (22 Jan 2007) menulis: ‘Manajemen Risiko KA Amburadul - Faktor Keselamatan Dikorbankan’; hal ini merupakan kata-kata kunci strategis untuk mencarikan jalan keluar pembenahan negara yang telah sakit kronis selama merdeka. Mis-management yang menyeluruh merupakan salah kaprah serius suatu governance sehinga merupakan strategic error Pemerintah yang memerlukan perbaikan. Bukan dengan analisa berulang2 dan mencari kesalahan, tapi dengan cara menciptakan suatu sistem yang dapat memberi jalan dan pegangan untuk good governance.

Hingga sekarang kita baru coba memperbaiki beberapa sub-sistem dari manajemen yang strategis, misalnya: supremasi hukum dan masalah korupsi, transparansi, fungsi melayani, membangun arti konsensus, kesetaraan, meninggikan tanggung jawab, partisipasi publik, memfokus wawasan dengan visi dan misi institut, dsb. Banyak perbaikan telah terjadi, namun banyak pula yang salah arah, misalnya visi, misi suatu institut pemerintahan. Visi merupakan ‘mimpi’ (cita-cita luhur) yang harus bisa tercapai (attainable), sehingga mengatakan Visi Departemen Kesehatan ialah ‘Indonesia Sehat di Tahun 2010’ merupakan slogan dan bukan visi yang baik, karena tidak realistik. Kita bisa melihat kasat mata bahwa hal itu tidak mungkin bisa tercapai, apalagi tidak terdapat strategic planning(3) serta action plan, perencanaan dan alokasi biaya dari DepKes
maupun negara. Bila akan dirunut pada proses strategic plan, maka kita tidak bisa menyambung misi ini dengan outcome yang tangible maupun yang intangible.

Akuntabilitas merupakan fokus strategic planning yang utama(2). Akuntabilitas juga tidak bisa dilakukan bila tidak disertai keterbukaan dan undang-undang yang baik
Dalam hemat saya, semua masalah ini dapat dikemas lebih efisien dalam sistem seperti strategic planning yang lengkap versi GPRA atau sejenisnya. Undang-undang seperti ini perlu dibuat untuk dapat memberlakukan ‘perintah’ membuat proses strategic planning di tiap departemen dan institut pemerintah. ‘Komando’ seperti ini sering dianggap orang sebagai tidak sesuai dengan demokrasi dan kebebasan, biar semua melakukan sendiri apa yang (mereka) anggap baik. Rasanya, ini merupakan argumen yang tidak bijak, karena sebenarnya disini letak kepemimpinan atau leadership dari seorang Presiden yang mempunyai ‘vision’ (farsightedness). Karena dalam formulasi dan pelaksanaannya semua orang harus ikut melakukannya demi mencapai negara yang maju.

Akuntabilitas dalam Undang-Undang

Prinsip dasar pengelolaan keuangan negara ialah keterbukaan dan pemeriksaan keuangan harus dilakukan badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Prinsip dasar lain ialah bahwa pemeriksaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban keuangan perlu di badan yang terpisah dan tidak dibawah satu kekuasaan. Namun, ketiga kekuasaan itu perlu saling bicara. Negara kita belum mempunyai suatu undang-undang Akuntabilitas yang holistik dan teruji di negara lain. Yang ada ialah:

• UU Republik Indonesia Nomor17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
• UU Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
• UU Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
• Instruksi Presiden Republik Indonesia , Nomor 7 Tahun 1999 tentang: Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Presiden Republik Indonesia

Bersama dengan upaya perbaikan sub-sistem (lihat atas), undang2 dan Instruksi Presiden di atas belum menghasilkan perbaikan yang berarti dalam good governance. Kiranya semua pihak mengakui hal tsb. Sebaliknya pihak swasta maju lebih pesat karena menerapkan sistem manajemen yang modern dan teruji keampuhan sistemnya di dunia. Bila kemajuan ini tidak diimbangi oleh kemajuan government performance, maka semua proses kemajuan negara akan terhambat. Di dalam bidang obat kita kenal pernyataan: ‘The industry is as good or as bad as the regulators’. Industri yang sehat harus tumbuh pertama untuk kebaikan klien (~ pasien) dan stakeholder maupun industri-nya sendiri, dan ini memerlukan balans yg baik melalui peraturan. Bila kita inginkan industri lebih terbuka, hal ini harus disertai keterbukaan governance secara resiprokal.

Keterbukaan menimbulkan rasa percaya lebih besar dan seterusnya memupuk trust, yang sangat dibutuhkan negara kita dewasa ini untuk menarik investasi luar negeri. Sebagai lampiran, anda akan menemukan karangan pendek The New York Times (10) beberapa hari yang lalu yang ditulis seorang penting di Amerika Serikat yang mengisahkan kehilangan trust terhadap stock market di negaranya karena terjadi insider trading. Banyak cerita seperti ini terdapat juga di Indonesia.

Yang menikmati globalisasi hanya sebagian kecil masyarakat, namun open market akan menghadapkan kita kepada saingan yang kejam. Sebagai negara yang tertinggal kita akan makin tertinggal. Karena itu sistem manajemen Indonesia harus berubah dan good governance ialah yang paling membutuhkan keterbukaan dan akuntabilitas.

Suatu undang2 akuntabilitas seperti diundangkan Amerika Serikat dan disebut Government Performance and Result Act (1993) merupakan contoh nyata yang berhasil mengubah negara menjadi lebih akuntabel melalui proses Strategic Planning yang dilakukan untuk semua institut pemerintahnya. Strategic Plan dapat didownload dari semua Departemen dan Institut Pemerintah dari ‘semua’ pemerintahan sejak lebih dari 15 tahun terakhir. Hal ini diikuti seluruh dunia maju dan dalam semua bahasa. Sayangnya jarang ditemukan strategic plan institut non-bisnis atau pemerintah yang hidup dan terurus rapi melalui search engine di Indonesia dalam model yang akuntabel.

Suatu Instruksi Presiden(3) telah diterbitkan oleh Presiden Habibie di tahun 1999 yang dikenal dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia , Nomor 7 Tahun 1999 tentang: Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang dikenal dengan ‘RENSTRA’. Rupanya Instruksi Presiden ini didasarkan pada GPRA, namun tidak identik. Beberapa departemen seperti Departemen Pendidikan, telah membuat Renstra beserta Juklaknya, namun menurut saya tidak mengikuti proses strategig planning yang lengkap. Instruksi Presiden ini barangkali dapat diperbaiki sehingga menjadi lebih sempurna dan kuat kedudukannya sebagai undang-undang.

Juga Model Strategic Planning perlu dibuat dengan menggunakan subsistem yang lebih baru seperti Balanced Scorecard (BSC)yang di Indonesia sudah populer. Balanced Scorecard perlu di-inkorporasi dalam proses Strategic Planning karena Misi, Visi dan, objektif serta Action Plans perlu dirunut kedalam proses pelaksanaan ini. BSC merupakan alat untuk mengusahakan supaya goals yang dibuat bisa diikuti hingga ke pelaksanaan terbawah dari organisasi. Karena itu BSC tidak bisa berdiri sendiri tanpa terbuat proses strategic planning.

Melaksanakan undang-undang akuntabilitas dengan strategic planning bukan hal mudah. Namun tanpa rencana menyeluruh ini kiranya kita tidak mempunyai pegangan hidup, juga untuk generasi seterusnya. Visi dan misi kita juga perlu ditetapkan dengan gol yang dapat dicapai dalam jangka panjang dan terbagi dalam jangka 5 tahun dan tahunan. Mungkin akuntabilitas baru dapat dicapai –andaikan- dalam 15 tahun, namun bila kita tidak mulai merencanakan sekarang dengan lebih nyata, sulit akan diharapkan kemajuan bangsa. Kita mau maju, namun negara lain sudah dan akan lebih maju, sehingga perlu mengejarnya. Sementara itu, sekarang, proses GPRA di Amerika Serikat sudah melejit dan terus memperbaiki akuntabilitas dalam membuat outcome measures yang sangat detail dalam penerapan strategic planning di segala bidang. Globalisasi juga menghendaki keterbukaan dan akuntabilitas yang besar dalam segala faset kehidupan kita.


Kata Kunci: GPRA 1993, strategic planning, accountability, transparancy, good governance, nonprofit organization


Penulis tidak mempunyai konflik kepentingan pribadi.

***



Kepustakaan

1. The Government Performance and Results Act of 1993 (Seluruh kalimat atau GPRA 1993 dapat disearch di Google)

2. Implementation of the Government Performance and Results Act of 1993. Prepared by Walter Groszyk, Office of Management and Budget for a November 1995 meeting convened by the OECD. Downloaded 21/6/2003 at: http://govinfo.library.unt.edu/npr/library/omb/gpra.html

3. Instruksi Presiden Republik Indonesia , Nomor 7 Tahun 1999 tentang: Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Presiden Republik Indonesia

4. GPRA and Performance Management. Downloaded 21/3/2003 at: http://www.john-mercer.com/

5. Denise L W and Linda M D. A Handbook for Strategic Planning. TQLO Publications No 94-02. Published for the Department of Navy by: Department of the Navy Total Quality Leadership Office, Arlington, VA 22202-4016.

6. Creating The Future of The Faculty of Medicine University of Indonesia – Strategic Plan 2000 – 2010 (Internal document: by Komisi C, FKUI. Ketua: Professor Sudraji Sumapraja)

7. Darmansjah I, Menciptakan Indonesia Akuntabel di Tahun 2015. Kompas: Opini, 22 November 2004

8. Kaplan RS and Norton DP, The Strategy-Focused Organization (BAB V: Strategy Scorecards in Nonprofit, Government, and Health Care Organizations), Harvard Business School Press, Boston 2001. ISBN 1-57851-250-6

9. Anonim, What is Good Governance? United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN ESCAP) (4 pages). Downloaded 15/01/2007 at: http://www.unescap.org/huset/gg/governance.htm

10. Anonim, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia (Laporan Tahunan 2004) (72 hal.)

11. Anonim, Building Partnership for Progress. Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD). Downloaded 20/6/2003 at: http://www.oecd.org/EN/document/0..EN-document-0-nodirectorat

12. Stein B, The Hard Rain That’s Falling on Capitalism. The NYT, January 29, 2007

13. Rose Verspaandonk, Good Governance in Australia. Parliamentary Library, Research Note 11 2001 – 02. Downloaded 12/12/04 at: http://www.aph.gov.au/library/pubs/m/2001-02/02RN11.htm