01 Juni 2008

Citra Sosial-Politis Gereja-Gereja di Indonesia selama Orde Baru

Telaah Kritis atas Dokumen-Dokumen Teologis DGI/PGI
oleh Julianus Mojau

1. Pengantar
Karena artikel ini bermaksud memeriksa dokumen-dokumen teologis DGI/PGI maka sulit sekali kami memenuhi permintaan Redaksi INTIM untuk membatasi halaman artikel ini hanya pada +/- 8 halaman saja. Kesulitan ini terkait dengan sulitnya menghindari sejumlah kutipan langsung. Hal itu kami lakukan untuk menghindari salah paham pembaca yang akan memberi kesan bahwa apa yang kami lakukan dalam artikel ini hanya sebuah rekaan penulis semata. Memang kami cukup sadar bahwa sebuah artikel yang terlalu panjang dapat menimbulkan kejenuhan pembacanya. Untuk hal ini kiranya kami dapat dimaafkan.
Minat untuk memeriksa secara kritis dokumen-dokumen teologis DGI/PGI ini muncul karena kami melihat bahwa sejak kelahiran Orde Baru (1966) hingga keruntuhannya (1998) Gereja-gereja di Indonesia yang terhimpun dalam wadah oikumenis Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI; dulu namanya: Dewan Gereja-gereja di Indonesia, disingkat DGI) memperlihatkan sebuah komitmen sosial secara teologis yang kuat atau yang biasanya disebut dengan partisipasi Gereja dalam pergumulan bangsa sebagaimana dicerminkan dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila adalah sebuah pilihan sikap politis Gereja-gereja di Indonesia yang memberi implikasi tersendiri terhadap citra sosial Gereja-gereja itu sendiri selama Orde Baru. Apalagi kita membaca dalam pesan Konferensi Gereja dan Masyarakat II (KGM-II) tahun 1967, yang diselenggarakan sesudah peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto tahun 1966 melalui Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), menyambut komitmen dan janji Orde Baru dengan penuh antusias dan optimistis untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.1

2. Gereja-Gereja di Indonesia dan Proyek Modernisasi Orde Baru
Konferensi Gereja dan Masyarakat II (KGM-II) mencatat bahwa pembaruan sosial sebagaimana dicerminkan dalam “suasana pasca peralihan kekuasaan politik” itu tidak bisa tidak harus ditempuh dengan jalan mengikutsertakan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia ke dalam proses modernisasi. Konferensi menegaskan bahwa masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia harus mau mengembangkan diri menjadi suatu masyarakat, bangsa dan negara yang modern apabila ingin mewujudkan cita-cita politis yang telah dinyatakannya sejak tahun 1945.2 KGM II tanpa ragu-ragu memberi pesan kepada seluruh pimpinan dan warga Gereja-gereja anggota DGI:
Dalam pemikiran Konperensi mengenai pembaharuan masjarakat, modernisasi telah ditempatkan pada pusat perhatian. Konperensi yakin bahwa tjita-tjita untuk mendirikan masjarakat adil dan makmur hanja dapat ditjapai dalam masjarakat Indonesia jang modern. Tempat jang wadjar bagi Indonesia di antara bangsa-bangsa di dunia djuga hanja dapat ditjapai melalui modernisasi. Bahkan untuk “survival” sadja kita harus melaksanakan modernisasi.3
Selanjutnya dalam Konferensi Gereja dan Masyarakat III (KGM-III) tahun 1976 ditegaskan bahwa modernisasi Indonesia sebagai bentuk pembaruan sosial, ekonomi, politik, dan budaya pasca-peristiwa 30 September 1965 haruslah dipahami sebagai bentuk penghayatan tentang arti sejarah penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus sebagai pusat sejarah. Sambil menggarisbawahi logika pemahaman sejarah yang bersifat linear dan Kristosentris sebagaimana ditekankan oleh Latuihamallo4 serta menafikan pemahaman sejarah masyarakat dan bangsa-bangsa Timur, KGM-II menegaskan hal itu:
Dalam kebanyakan masyarakat Timur, terdapat pandangan tentang sejarah sebagai berikut:
(1) ada yang memandang sejarah sebagai suatu lingkaran atau siklus;
(2) ada yang memandang sejarah laksana siklus-siklus yang susul menyusul satu dengan yang berikutnya menuju ke depan.
Panggilan kita dalam hal ini adalah untuk memantapkan di lingkungan Kristen sendiri serta memperkenalkan kepada masyarakat luas, pengertian alkitab tentang sejarah sebagai suatu garis yang mengenal awal dan akhir dan yang bergerak terus ke masa depan, menuju ke kegenapan di dalam Tuhan dan akan diakhiri oleh Tuhan. Dengan demikian adanya tubrukan nilai-nilai diterima sebagai sesuatu yang wajar dalam garis yang selalu terarah ke depan. Derap modernisasi dihadapi dengan sikap terbuka, lebih dari sekedar sikap mengagungkan masa lampau. Pusat sejarah adalah karya Allah di dalam dan melalui Kristus. Dialah yang memungkinkan sesuatu yang sama sekali baru di dalam sejarah. Di dalamNya kita dapat melihat sesuatu yang baru, melalui tindakan Allah di tengah-tengah sejarah.5
Apa yang kita baca dari kedua kutipan di atas mengungkapkan pandangan dan sikap politis dan teologis para pemimpin Gereja-gereja di Indonesia pada awal konsolidasi kekuasaan hegemonis Orde Baru. Mereka berpendapat bahwa, sekalipun menimbulkan segi-segi negatif (seperti individualisme dan hedonisme), modernisasi dapat menjadi sebuah pilihan yang tidak dapat dihindari apabila bangsa Indonesia, di mana Gereja-gereja terlibat, melakukan pembaruan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya.6 Sebab, demikian keyakinan mereka, proses modernisasi dipandang dapat membawa beberapa nilai yang mendukung perubahan dan pembaruan di dalam masyarakat, seperti kebebasan yang memberi manusia otonomi untuk menguasai alam dan tanggung jawab yang memberi manusia untuk bertanggung jawab atas nasibnya sendiri.7
Dengan kata lain, Gereja-gereja di Indonesia melihat secara teologis bahwa modernisasi, sekalipun mengandung ambivalensi, harus diterima sebagai anugerah Tuhan dan dapat merupakan wahana penyelamatan Allah terhadap masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang sedang membarui dirinya pasca-peristiwa 30 September 1965 itu. Mereka yakin bahwa Allah adalah Alfa dan Omega (Wahyu 21) yang sekarang ini sedang bertindak untuk menyelamatkan dan memperbarui ciptaaan-Nya, termasuk masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang baru saja melepaskan diri dari pertentangan ideologis yang membahayakan NKRI.8

3. Gereja-gereja di Indonesia dan Politik Asas Tunggal Rezim Orde Baru
Dalam Konsultasi Teologi tahun 1970 di Sukabumi, para pemimpin Gereja-gereja Protestan di Indonesia memperkokoh keyakinan bahwa proses modernisasi itu harus dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. Konsultasi, yang menurut hemat kami mencerminkan pengaruh Simatupang, menegaskan bahwa sekalipun Injil dengan ideologi tidak dapat dipersamakan begitu saja, namun Konsultasi mendorong agar Gereja-gereja memperkembangkan pemikiran teologis mengenai hubungan antara Injil dengan ideologi Pancasila untuk mendorong memperdalam kesadaran warga negara mengenai hak-haknya dan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara terhadap negara. Sebab, demikian Konsultasi menekankan, sekalipun Pancasila sebagai ideologi tidak mengandung suatu penyataan teologis namun Pancasila sebagai ideologi negera memiliki unsur yang mempersatukan dan menjamin kebebasan para warga negara untuk memuliakan Tuhan menurut kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Itulah sebabnya Konsultasi juga menganjurkan agar umat Kristen di Indonesia perlu mempertahankan dan memelihara Pancasila sebagai dasar negara.9
Kalau kita memperhatikan sikap Gereja terhadap ideologi Pancasila sebagaimana diuraikan di atas ini, kita dapat mengatakan bahwa sikap itu masih sangat terkait dengan isu klasik sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945, yaitu polarisasi ideologis Indonesia merdeka antara nasionalisme – etnis (yang mentransformasi diri menjadi golongan nasionalis Indonesia dan yang menghendaki Indonesia merdeka sebagai Negara berdasarkan Pancasila), nasionalisme-agama (Islam) dan nasio-nalisme-komunisme. Konsultasi berpendapat bahwa penerimaan Pancasila secara positif diharapkan dapat memberi dampak positif juga bagi hubungan antar-umat beragama yang berbeda di Indonesia. Oleh sebab itu, ketika Orde Baru mulai menunjukkan kekuasaan hegemonisnya dengan penyederhanaan Partai-Partai Politik ke dalam dua kekuatan politik PDI (Partai Demokrasi Indonesia - fusi antara partai-partai Nasionalis seperti PNI dan partai-partai Kristen seperti Parkindo dan Partai Katolik; atau kami lebih senang menyebut dengan koalisi golongan nasionalis dengan umat Kristen) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan - fusi Partai-Partai Islam) di samping GOLKAR (Golongan Karya - satu satunya peserta Pemilu yang dianggap non-partisan) dengan dukungan penuh dari ABRI melalui UU No. 3 Tahun 1975, Gereja-gereja menyambut positif kebijakan hegemonis Orde Baru itu dan dipandangnya sebagai sebuah kemajuan demokrasi dalam kehidupan sosial politik di Indonesia.10
Keberhasilan Orde Baru melalui UU No. 3 Tahun 1975 tadi semakin membuat Gereja-gereja di Indonesia optimis dengan ideologi Pancasila. Oleh sebab itu, Konsultasi Teologi tahun 1979 di Tentena, yang menandai Gereja-gereja di Indonesia memasuki dasawarsa 80-an dan satu tahun sesudah Tap MPR tentang P-4 (1978), memberi kesan bahwa persoalan polarisasi ideologi negara telah selesai dengan adanya Tap MPR-RI Nomor II/1978 tentang P-4 itu. Gereja berpendapat bahwa tantangan terhadap ideologi Pancasila tidak lagi perlu dipolemikkan secara polaris antara mereka yang menghendaki Islam sebagai dasar NKRI dan mereka yang meng-hendaki Pancasila sebagai dasar negara. Konsultasi justru berpendapat bahwa tantangan yang paling nyata bagi ideologi Pancasila justru datang dari orang-orang yang mempertanyakan relevansi ideologi-ideologi politik sebagai konsekuensi dari pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Terhadap tantangan baru itulah Konsultasi menyerukan agar Gereja-gereja di Indonesia mengusahakan relevansi ideologi Pancasila sebagai ideologi pemersatu masyarakat Indonesia itu di dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangun-an nasional. Konsultasi menegaskan hal itu:
Mengenai masalah ideologi dalam ikatan Bangsa kita di tahun-tahun delapanpuluhan ada lebih dari satu pendapat. Ada yang berpen-dapat melihat, bahwa dalam perkembangan sejarah Bangsa Indonesia tidak akan ada lagi golongan-golongan yang berusaha menawar-kan alternatif baik bagi Pancasila. Pada pihak lain ada juga yang berpendapat bahwa usaha-usaha menawarkan alternatif lain bagi Panca-sila akan tetap terasa di tahun-tahun delapan puluhan dan bahkan meningkat sesuai dengan kesempatan yang ada. Terlepas dari percaturan politik, perkembangan hidup modern itu sendiri, di bawah pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern, selalu akan mempertanyakan relevansi dari setiap ideologi. Hal itu terjadi di mana-mana. Untuk Indonesia sangat dibutuhkan dasar-dasar ideologi bagi kehidupan bersama. Dengan demikian Pancasila juga selalu diuji relevansinya oleh perkembangan hidup masyarakatnya sendiri dan proses Pembangunan kita. Itu adalah wajar. Yang penting bagi kita sekarang adalah bagaimana menjadikan Pancasila, yang adalah ideologi pemersatu Bangsa kita kini benar-benar relevan dalam segala usaha Pembangunan kita. Dengan perkataan lain: yang penting bagi kita sekarang adalah pengamalan semua sila secara seimbang dalam perencanaan dan pelaksanaan Pembangunan kita.11
Optimisme Gereja-gereja di Indonesia itu kemudian diinterupsi oleh SKB MenteriAgama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.12 S.A.E. Nababan dalam kapasitasnya sebagai Sekum DGI menyebut hal itu sebagai hal yang sangat bertentangan dengan semangat P-4 itu sendiri.13 Gereja-gereja di Indonesia baru kembali merasa lega ketika GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) tahun 1983 menggarisbawahi agar Pancasila dijadikan sebagai Asas Tunggal bagi Semua Kekuatan Politik.14 Di sini Gereja-gereja kembali menyatakan sikap positif terhadap kekuasaan Orde Baru yang semakin hegemonis itu. Puncak dari sikap akomodatif Gereja-gereja terhadap Pancasila sebagai ideologi negara yang mengatur keseluruhan bidang kehidupan masyarakat Indonesia ialah penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada Sidang Raya X DGI di Ambon tahun 1984 dengan mencantumkan dalam Tata Dasar PGI.15
Berdasarkan catatan historis tentang sikap Gereja terhadap ideologi Pancasila selama hegemonis Orde Baru sebagaimana diuraian di atas ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap penerimaan Gereja terhadap ideologi Pancasila mencerminkan semakin mengkristalnya koalisi golongan nasionalis (yang mempertahankan Pancasila sebagai dasar NKRI) dengan umat Kristen Indonesia dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dalam hubungan ini, kami berpendapat bahwa menonjolkan semangat nasionalisme umat Kristen Indonesia dalam bentuk pergerakan kemerdekaan Indonesia, baik dalam arti politis sebagaimana ditekankan oleh Simatupang maupun arti kultural sebagaimana ditekankan oleh Eka, adalah langkah strategi kontra-produktif dalam meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Sebab, dengan menekankan Pancasila sebagai jalan tengah sedemikian rupa, berarti juga (sesuai dengan kesimpulan kami: penerimaan umat Kristen terhadap Pancasila adalah mencerminkan semakin mengkristalnya koalisi golongan nasionalis dengan umat Kristen) umat Kristen selalu berhadap-hadapan dengan umat Islam sebagai musuh secara ideologis. Umat Islam dengan “cita-cita ideologis sendiri” dan umat Kristen dengan “cita-cita ideologis sendiri” berada dalam koalisi dengan golongan nasionalis. Apalagi penerapan politik Asas Tunggal yang diikuti dengan modus pembersihan lingkungan16 yang menyertai beberapa peristiwa seperti kasus Tanjung Priok (1985) dan Lampung (1989) itu ditengarai sebagai upaya Orde Baru mendepolitisasi aspirasi politik umat Islam.17
Dengan demikian, kami dapat mengatakan di sini bahwa sikap akomodatif Gereja-gereja di Indonesia terhadap Pancasila dan politik Asas Tunggal Orde Baru sebagaimana diuraikan di atas ini lebih mencerminkan sebuah strategi dari posisi tawar-menawar (the strategy of bargaining position) Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia dengan Orde Baru berhadap-hadapan dengan golongan Islam rezimis atau ideologis dan ketakutan yang berlebih-an terhadap bahaya komunisme di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh perang ideologis antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.18 Hal inilah yang menyebabkan Gereja-gereja di Indonesia selama Orde Baru tidak mengkritik politik diskriminatif SARA Orde Baru. Kita, misalnya, tidak membaca apa-apa tentang sikap politis Gereja terhadap peristiwa Petrus (Penembakan Misterius, 1984)19, Tanjung Priok (1985), dan Lampung (1989) yang kesemuanya berlangsung seiring dengan penerapan politik Asas Tunggal. Penilaian kami ini memberi kesan berlebihan. Sebab, sebagaimana dinyatakan dalam berbagai kesempatan oleh para pemimpin Gereja dan umat Kristen di Indonesia, penerimaan Pancasila sebagai dasar Negara dan kehidupan bermasyarakat adalah karena komitmen kebangsaan Gereja dan umat Kristen di Indonesia terhadap identitas Indonesia pasca-kemerdekaan politis 1945. Tetapi, jika kita membaca sikap sosial Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia sebagaimana dihimpun oleh Weinata Sairin dalam kumpulan dokumen terpilih DGI/PGI seputar masalah-masalah sosial20, terutama hak-hak kewarganegaraan, penilaian kami itu kiranya tidaklah berlebihan. Dalam dokumen-dokumen itu, sangat jelas diperlihatkan sebagian besar sikap sosial politis Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia lebih mencerminkan pembelaan kepentingan mereka sendiri. Gereja-gereja di Indone-sia tidak memberi suara apa pun atas peristiwa Tan-jung Priok, Lampung, dan Penembakan Misterius.21
Oleh karena itu, menurut kami, penilaian E.G. Singgih sangat tepat bahwa selama ini dalam menghadapi golongan Islam ideologis atau rezimis, sikap sosial Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia lebih mengedepankan pertimbangan-pertimbangan politis ketimbang pertimbangan-pertimbangan teologis.22
Dokumen-dokumen teologis DGI/PGI selama Orde Baru lebih memberi kesan kuat bahwa seolah-olah persahabatan umat Kristen yang sejati dengan umat Islam, termasuk dengan mereka yang menghendaki Indonesia dengan dasar Islam (Syariat Islam), hanya dapat terbangun apabila kita sama-sama menerima Pancasila sebagai dasar NKRI. Di tengah-tengah makin maraknya aspirasi Islam rezimis atau ideologis akhir-akhir ini yang ditopang oleh euforia Reformasi pasca-keruntuhan formal kekuasaan hegemonis Orde Baru, sebaiknya Gereja-gereja di Indonesia tidak harus mengulangi strategi kontra-produktif itu sebagaimana masih sering kita dengar akhir-akhir ini. Sudah terlalu sering Pancasila menjadi alat kekuasaan hegemonis tertentu untuk menindas golongan yang lain. Seperti diperlihatkan di atas, umat Islam ideologislah yang paling sering menjadi korbannya, sebab mereka mempunyai cita-cita kebangsaan sendiri. Kami mempunyai keyakinan teologis bahwa persahabatan sejati umat Islam dan Kristen di Indonesia pada masa depan sangatlah tergantung pada seberapa konkret karya pendamaian Allah di dalam Yesus Kristus dialami oleh saudara-saudara kita yang muslim dalam sebuah format teologi sosial pluralis-liberatif/transformatif-rekonsiliatif Kristen yang tidak lagi mengacu kepada Pancasila dalam semangat kebangsaan Indonesia yang bersifat integralistis-hegemonis. Oleh sebab itu, prospek meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia pada masa depan tidak lagi terletak pada menerima atau tidak menerima Pancasila sebagai dasar kehidupan bersama, tetapi pada bagaimana menggali semangat teologis liberatif-pluralis-rekonsiliatif dari kedua agama Semitis tersebut.

4. Menjadi Tanda Kehadiran Kerajaan Allah yang Hegemonis
Sekalipun dengan bersikap hati-hati untuk mengidentikkan Kerajaan Allah dengan perjuangan manusia untuk mengusahakan kemajuan bagi kesejahteraan, namun Gereja-gereja di Indonesia juga memahami bahwa Kerajaan Allah menyangkut perdamaian, kasih, keadilan, dan perikemanusiaan. Karena itu, Gereja-gereja di Indonesia juga meyakini bahwa Kerajaan Allah itu mempunyai dimensi sosial, ekonomi, politik, dan budaya dan pemeliharaan hidup. Itulah sebabnya Gereja-gereja di Indonesia—sejak Konsultasi Teologi tahun 1970 dan Sidang Raya DGI VII tahun 1971—tidak hanya mengartikan Kerajaan Allah itu semata-mata sebagai pemerintahan Allah yang bersifat eskatologis saja.23 Bagi Gereja-gereja di Indonesia, Kerajaan Allah yang kepenuhannya baru akan dinyatakan pada masa depan itu telah mulai menerobos masuk ke dalam sejarah bangsa-bangsa yang tanda-tanda Kehadiran-Nya mulai dialami oleh umat manusia melalui kehadiran Gereja di dalam masyarakat dan bangsa di mana Gereja melaksanakan fungsinya sebagai apostolat Allah. Gereja adalah tanda antisipatif akan pemerintahan Allah secara definitif pada masa eskaton. KGM-III menjelaskan pemahaman diri Gereja-gereja di Indonesia:
Pada dirinya, gereja harus menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia ini. Secara konkret itu berarti bahwa gereja menyatakan “kesulungannya” (kepelopor-annya) dengan sedapat mungkin mempenga-ruhi sejarah dunia ke arah langit dan bumi baru dan ikut serta menciptakan struktur kehidupan yang lebih damai, sejahtera dan adil.24
Berdasarkan kesadaran eklesiologis inilah Gereja-gereja di Indonesia mendukung sepenuhnya rencana-rencana pembangunan ideologis rezim Orde Baru. Gereja-gereja di Indonesia menyatakan kesulungan atau kepeloporan mereka itu dengan berpartisipasi dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Mereka percaya bahwa dengan berpartisipasi dalam pembangunan ideologis sebagai manifestasi kesadaran eklesiologis tadi, Gereja-gereja dapat ikut mengatasi penderitaan masyarakat dan bangsa Indonesia yang disebabkan oleh kemiskinan, kebodohan, dan berbagai bentuk ketidakadilan sebagai manifestasi dari dosa itu sendiri. KGM-IV (1984), dengan latar belakang pelaksanaannya seperti disinggung di atas, menjelaskan keyakinan teologis sosial Gereja-gereja di Indonesia berdasarkan kesadaran eklesiologis yang baru saja dikutip:
Sekarang ini, Allah menempatkan gereja-gereja di dalam proses sejarah Bangsa dan Negara Pancasila yang telah melaksanakan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila. Dengan demikian gereja-gereja terpanggil untuk “menterjemahkan” syalom dan kelimpahan yang dianugerahkan Allah kepada dunia, dengan terus menerus berusaha menyatakan tanda-tanda syalom dan kelimpahan itu sehingga menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.25
Kita masih bisa memperpanjang daftar keyakinan teologi sosial Gereja-gereja di Indonesia yang dikorelasikan dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila itu. Tetapi, hal itu kami akhiri saja sampai di sini. Yang jelas bahwa siapa pun yang memeriksa keyakinan teologi sosial Gereja-gereja di Indonesia, baik sebagaimana diartikulasikan dalam KGM-KGM dan Konsultasi Teologi maupun Keputusan-Keputusan Sidang Raya DGI/PGI, akan segera melihat korelasi itu.26 Kami berpendapat bahwa kesadaran teologi sosial yang sangat kuat berkolerasi dengan pembangunan ideologis Orde Baru itu tidak dapat dilepaskan dari keyakinan Simatupang yang begitu kuat tentang model pembangunan di Indonesia, yaitu model pembangunan sebagai pengamalan Pancasila. Simatupang begitu optimis dengan pembangunan ideologis: pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Ia berpendapat bahwa sekalipun Kerajaan Allah tidaklah identik dengan ideologi Pancasila namun Pancasila dengan kelima silanya tidak pula dengan sendirinya bertentangan dengan iman Kristen, karena itu dapat diterima seca-ra teologis Kristiani juga. 27 Ini adalah sebuah retorika saja. Sebab, apa yang diharapkan oleh Simatupang dan menjadi nyata dalam kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia sebagaimana diuraikan tadi sebenarnya dapat juga dikatakan oleh seorang teolog yang kesadaran teologisnya begitu dikendali-kan oleh ideologi kapitalisme dan perasaan fobiatik tentang bahaya Islam rezimis dan komunisme.
Seharusnya Gereja-gereja Protestan di Indonesia yang memiliki tradisi teologis - seperti nyata dalam tulisan-tulisan Siimatupang cs itu - yang sangat menekankan tradisi teologi monoteistis Yahudi-Kristen yang diwarisi dari kewaspadaan teologis khas Protestantis yang menolak untuk mengidentifikasi Kerajaan Allah dengan segala bentuk perjuangan manusiawi dapat membuat Gereja menjadi sebuah tanda Kehadiran Kerajaan Allah yang mendekonstruksi kekuasaan hegemonis Orde Baru dengan pembangunan ideologisnya. Tetapi, mengapa Simatupang dan dokumen-dokumen teologis sosial DGI/PGI begitu optimis dengan model pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila? Bukankah model pembangunan ekonomi Indonesia sebagai pengamalan Pancasila selama rezim Orde Baru itu tidak kalah eksploitatif dan menindas rakyat Indonesia dibandingkan dengan pembangunan ekonomi kapitalisme dan komunisme?
Kita dapat mengatakan di sini bahwa kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas adalah sebuh reproduksi kesadaran teologi sosial yang fobiatik terhadap Islam rezimis dan komunisme. Reproduksi kesadaran teologis sosial ini hanya akan memperkokoh hegemoni Orde Baru yang berlindung di belakang wacana pem-bangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Dalam arti ini pula, kami berani mengatakan di sini bahwa kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia untuk menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di dalam masyarakat Indonesia lebih mencerminkan kekuasaan hegemonis Orde Baru. Kerajaan Allah sebagaimana diwartakan oleh Yesus kehilangan makna dan relevansinya. Yang menonjol di sini adalah gagasan tentang Kerajaan Allah khas monoteisme-monarkhial yang bersifat politis-ideologis dalam tradisi Raja-raja Israel yang tidak didekonstruksi hanya karena alasan-alasan fobiatik terhadap Islam rezimis dan komunisme itu.28
Kita perlu mendekonstruksi bangunan struktur epistemologi teologi sosial ini yang membentuk kesadaran eklesiologis palsu di kalangan Gereja-gereja Protestan di Indonesia selama kekuasaan hegemonis Orde Baru itu. Menurut hemat kami, masalah dengan teologi sosial yang mempengaruhi kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia itu bukanlah terletak hanya pada tema teologis Kerajaan Allah yang khas monoteistis Yahudi-Kristen itu sendiri. Sebab, demikian Juergen Moltmann mencatat, kemunculan teologi politik di Eropa yang kemudian banyak mempengaruhi teologi-teologi pembebasan sekarang ini (termasuk teologi feminis sendiri) sesungguhnya mengakar dalam tradisi teologi monoteistis Yahudi-Kristen itu sendiri. Hanya saja, demikian lanjut Moltmann, kita perlu ingat bahwa kemunculan teologi politik di Eropa itu tidaklah meneruskan gagasan Kerajaan Allah yang bersifat politis-ideologis sebagaimana ditekankan oleh tradisi Raja-raja Israel. Sebab, kemunculan teologi politik Eropa adalah sebuah bentuk kritik terhadap tradisi teologis monoteitis-politis-ideologis untuk melanggengkan sebuah kekuasaan yang bersifat hegemonis.29

5. Kesadaran Oikumenis dalam Politik Ketahanan Nasional
Salah satu pergumulan teologi sosial yang penting diperhatikan di sini ialah bagaimana Gereja-gereja di Indonesia memahami keesaan mereka sejak berdiri-nya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) tanggal 25 Mei 1950. Tentu saja kami tidak ingin mengulangi apa yang sudah ditulis oleh para ahli sejarah Gereja di Indonesia tentang hal ini.30 Dalam uraian ini, kami hanya ingin memperlihatkan bahwa kesadaran oikumenis di kalangan Gereja-gereja di Indonesia itu dihayati dalam hubungannya dengan kehadiran Gereja-gereja di Indonesia di dalam sebuah komitmen politik Orde Baru untuk mempertahankan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.31
Pada tahun 1973, T.B. Simatupang di hadapan Sidang BPL-DGI menyampaikan sebuah ceramah berjudul “Keesaan Gereja dan Kesatuan Bangsa”.32 Dalam ceramah itu, Simatupang menggarisbawahi bahwa pertumbuhan ke arah keesaan dalam Kristus, yang merupakan sebuah keharusan teologis sebagaimana dikehendaki oleh Kristus sendiri dalam doa-Nya (Yoh. 17:21), bukanlah semata-mata demi kepentingan Gereja-gereja itu sendiri. Memang keesaan untuk mempersatukan gereja-gereja suku dan denominasi teologi itu adalah hal yang penting. Namun, itu bukanlah tujuan satu-satunya, juga bukan tujuan pada dirinya sendiri. Keesaan gereja adalah alat kesaksian agar dunia percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan yang membebaskan dan mempersatukan semua umat manusia yang terpecah-pecah ke dalam kotak-kotak pemisah etnis, budaya, sosial, dan politik ke dalam suatu persekutu-an baru umat manusia di mana perdamaian, keadilan, dan persaudaraan diwujudkan.33
Simatupang menghubungkan hal keesaan gereja itu dengan pembinaan kesatuan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Memang keesaan gereja dan kesatuan bangsa tidaklah sama. Jika dalam kesatuan bangsa ada unsur kekuasaan, dalam keesaan gereja tidak ada unsur kekuasaan itu, apalagi kekuasaan yang terpusat tidaklah dikenal dalam keesaan gereja. Dalam keesaan gereja, unsur satu-satunya yang mempersatukan adalah seberapa setia gereja-gereja dan warganya kepada panggilan pembebasan dan persatuan dari Tuhan sebagai kepala Gereja.34 Unsur hakiki dari keesaan gereja inilah yang dapat menjadi alat kesaksian gereja-gereja di Indonesia kepada masyarakat dan bangsa Indonesia yang sedang dalam proses pertumbuhan untuk menyempurnakan dan mengisi kesatuannya. Keesaan gereja-gereja di Indonesia akan memberi sebuah model bagi bangsa Indonesia bahwa kesatuan bangsa hanyalah dapat diwujudkan dengan mewujudkan kemanusiaan, keadilan, dan persaudaraan bagi semua orang yang hidup dalam lingkungan kesatuan itu.35
Simatupang kembali mengulangi gagasan itu dalam ceramahnya pada Sidang Raya VIII tahun 1976 di Salatiga di bawah tema “Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan” dan sub tema “Panggilan Kita untuk Pembebasan dan Persatuan dalam Gereja, Masyarakat dan Dunia”.36 Pemikiran-pemikiran Simatupang ini kemudian mengkristal dengan menghubungkan keesaan Gereja-gereja di Indonesia itu dengan pengamalan sila ke-3 Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Kita mencatat, misalnya, pada Sidang Raya IX DGI tahun 1980 di Tomohon, Simatupang menegaskan pandangannya sambil mengacu pada sila ke-3 Pancasila:
Dengan menerapkan sila Persatuan Indonesia dalam pembangunan kita, kita meningkatkan solidaritas nasional di antara semua warga negara, semua golongan dan semua daerah atas dasar hak dan kewajiban yang sama bagi tiap warga negara tanpa memandang asal usul, keturunan dan kedudukan sosial. Seluruh nusantara kita lihat sebagai satu wilayah yang tidak dikotak-kotakkan. Sebagai gereja-gereja kita bertanggungjawab mengenai peningkatan persatuan bangsa. Perwujudan keesaan gereja yang dalam Tuhan telah kita miliki itu, kita tempatkan juga dalam rangka peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa.37
Sejalan dengan apa yang ditekankan oleh Simatupang di atas, Konsultasi Teologi tahun 1982 di Sukabumi, suatu Konsultasi yang dilaksanakan secara khusus untuk mempersiapkan pembentukan Gereja Kristen yang Esa (GKE) di Indonesia dalam Sidang Raya X DGI di Ambon, merekomendasikan agar Gereja-gereja di Indonesia keluar dari ikatan-ikatan primordial kedaerahan dan denominasional untuk menjadi suatu persekutuan bersama dalam sebuah organisasi bersama. Keesaan Gereja yang ditampakkan dalam bentuk organisasi itu akan menjadi buah sulung di tengah-tengah lembaga-lembaga lain sebagai tanda keselamatan Kerajaan Allah dan berkat bagi pembangunan bangsa, terutama sekali dalam membina kehidupan bersama sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.38
Pemikiran teologis sosial di atas haruslah dilihat sebagai sebuah keyakinan dasar di kalangan para pemimpin Gereja-gereja Kristen Protestan di Indonesia bahwa NKRI adalah sebuah kenyataan kenegaraan dan kebangsaan yang sudah final. Ia adalah suatu entitas politik, sosial, dan kultural yang telah selesai dengan pengakuan kedaulatan NKRI oleh pemerintah Belanda tahun 1949. Kesimpulan kita ini dapat dibenarkan apabila kita memperhatikan sikap KGM-IV tahun 1984 di Bali tentang pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dalam hubungan dengan sila ke-3 Pancasila. Dalam laporan itu ditekankan bahwa:
Harapan dan tanggungjawab kita di dalam Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila ialah, agar pengalaman-pengalaman pahit yang ditimbulkan oleh perpecahan di masa silam yang telah kita bayar dengan sangat mahal, tidak terulang lagi. Hal itu berarti bahwa melalui Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila, arti dan makna kesatuan dan persatuan perlu mendapat bentuk dan pemantapan pada tingkat kenyataan, tanpa mengurangi arti dan makna kebhinnekaan. Demikian juga halnya dengan kebhinnekaan harus mendapat hak dan perlindungan tanpa menjadi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan. Melalui dan di dalam proses Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila, kesadaran akan persatuan sebagai kebersamaan dan tanggungjawab bersama hendaknya mendapatkan kondisi dan suasana yang cocok dan memadai agar dapat bertum-buh dan mekar secara wajar dan manusiawi.39
Apa yang ditekankan oleh Simatupang dan para pemimpin Kristen lain sebagaimana nyata dari kesepakatan-kesepakatan bersama yang diuraikan di atas ini adalah suatu hal yang sangat penting. Ia adalah suatu sumbangan yang sangat berharga dalam konteks NKRI sebagai sebuah entitas sosial politik. Yang menjadi masalah di sini ialah apakah dukungan terhadap entitas sosial politik NKRI itu tidak merupakan suatu dukungan terhadap suatu yang totaliter, apalagi dalam konteks dasawarsa 80-an di mana Orde Baru sudah demikian rupa mengidentifikasi dirinya dengan Negara dengan politik asas tunggalnya? Kami dapat mengatakan secara pasti bahwa kesadaran oikumenis itu mempunyai korelasi dengan politik ketahanan nasional Orde Baru yang dimulai pada Repelita III (1978/1979) dan dikenal dengan sebutan wawasan nusantara. Pesan Sidang Raya VIII yang sudah kami sebutkan di atas jelas-jelas memberi indikasi ke arah kesimpulan kami ini dengan menyebutkan relevansi dari tema dan sub-tema yang dipilih itu terhadap usaha-usaha meningkatkan Ketahanan Nasional.40

6. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas ini kita dapat menyimpulkan di sini bahwa citra sosial politik Gereja-gereja di Indonesia selama Orde Baru itu lebih dipengaruhi oleh logika kesadaran epistemo-logis teori sosial dan budaya a la modernisme Weberian dan tafsir kebudayaan Geertzian, yang memiliki kecenderungan kuat mengganggap bahwa “nilai” itu (teologis dan budaya serta ideologi) sebagai “nilai” yang bersifat netral. Struktur bangunan kesadaran epistemologis modernisme a la Weberian dan tafsir budaya Geertzian yang positivistik itu menghasilkan teologi sosial yang tidak mampu mendorong hidup menggereja Gereja-gereja di Indonesia dengan menjadikan Injil Kerajaan Allah sebagai berita liberatif dan transformatif serta membongkar kekuasaan hegemonis Orde Baru. Sebaliknya, teologi sosial itu menjadikan teks-teks teologis liberatif-transformatif seperti Markus 1:15 dan Lukas 4:18-20 menjadi berita yang bersifat netral, kalau bukan kabar angin dari langit yang kehilangan makna dan daya liberatif. Kerajaan Allah yang seharusnya menghambat mengentalnya segala bentuk kekuasaan hegemonik justru telah menjadi berita yang penuh daya transformatif-liberatif itu yang mempercepat menguatnya kekuasaan hegemonis Orde Baru di kehidupan politik, ekonomi dan budaya di Indonesia. Dengan demikian, berita Injil Kerajaan Allah atau Injil Yesus Kristus yang seharusnya dihayati sebagai berita yang mempertanyakan keabsahan rezim Orde Baru dan membongkar kekuasaan hegemonisnya justru telah menjadi berita yang membunuh kesadaran kritis umat dan warga jemaat serta warga masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, mengikuti kebiasaan kaum Marxis, teologi dan Gereja telah sungguh-sungguh menjadi pabrik opium yang setiap kali memproduksi “opium” yang terpaksa dikonsumsi oleh umat dan masyarakat luas untuk menghilangkan rasa sakit secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya mereka untuk sementara waktu.
Kesadaran hidup menggereja yang dibangun berdasar jenis teologi sosial yang dipengaruhi oleh logika epistemologi positvisme Weberian itu semakin diperparah oleh kondisi psikologis sejumlah teolog tentang bahaya Islam rezimis/ideologis dan komunisme. Perasaan fobiatik ini telah menyebabkan Gereja-gereja di Indonesia selama Orde Baru lebih senang membangun kemitraan atau persahabatan yang kental dengan kekuasaan hegemonis Orde Baru atas nama ideologi Pancasila dalam semangat kebangsaan Indonesia a la UUD 1945. Dalam kemitraan dan persahabatan yang kental dengan rezim hegemonis Orde Baru itulah solidaritas Gereja dengan kaum miskin dan lemah di dalam masyarakat hanyalah sebagai apendiks dalam pembangunan ideologis, yang dikenal dengan jargonnya: pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Menurut hemat kami, citra sosial politik Gereja semacam ini perlu diakhiri. Gereja harus membangun citra sosial politiknya dengan mengembangkan kesadaran hidup menggereja yang bersifat liberatif-transformatif. Hanya dengan mengembangkan model hidup menggereja seperti inilah Gereja-gereja di Indonesia dapat benat-benar menjadi Gereja yang menjalankan visi dan misi kemanusiaan yang telah dirintis oleh Yesus Kristus, yaitu dengan jalan menjadi senasib dengan mereka yang dikorbankan oleh kekuasaan hegemonis Romawi dalam kolaborasinya dengan para penguasa lokal di Palestina. Terlepas dari hidup menggereja seperti ini maka Gereja-gereja di Indonesia tidak pantas lagi menyebut diri sebagai komunitas iman para murid Yesus Kristus!!

Catatan Kaki:
1Bdk. S.A.E. Nababan, Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat. Laporan Konperensi Nasional Geredja dan Masjarakat (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1968), hlm. 125 (Bandingkan bidang Politik, hlm. 9 dan Theologia, hlm. 117).
2 Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat, hlm. 9. Bdk. DGI, Karunia Tambah Karunia. 30 Tahun DGI (Jakarta: DGI, 1980), hlm. 27-33.
3Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat, hlm. 125 (bdk. seksi Politik, hlm. 9 dan Teologi, hlm. 118-119).
1Pandangan Latuihamallo ini dapat dibaca dalam dua karangannya, yaitu: (a) P.D. Latuihamallo, Renungan Suci tentang Pembangunan Modern. Diucapkan pada tanggal 27 September 1975, hari ulang tahun ke-41 STT Jakarta (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976); (b) “Missiology and Politcs: Christian Alterness in Indonesia”, dlm. SEAJT, Vol. 10. Number 2-3 (Oktober 1968-Januari 1969), pp. 99-131.
5DGI, Melihat Tanda-tanda Jaman: Pengamalan Pancasila dalam Membangun Masa Depan. Laporan Konperensi Gereja dan Masyarakat (KGM-III), Klender, 15-21 Maret 1976 (Jakarta: BPK, 1976), hlm. 227-228.
6Bdk. Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat (khusus tentang modernisasi) dan Pergumulan Rangkap (khusus tentang Manusia, Pembangunan, dan Modernisasi).
7 Bdk. Melihat Tanda-tanda Jaman: Pengamalan Pan-casila dalam Membangun Masa Depan, hlm. 228.
8Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat, hlm. 119-120.
9Lihat Pergumulan Rangkap: Laporan Konsultasi Theologia tahun 1970, hlm. 30-33.
10Bdk. Berita Oikumene, Agustus 1976, hlm. 23. Itulah sebabnya ketika euforia Reformasi tahun 1998 melahirkan begitu banyak Partai Politik—terutama dengan latar belakang keagamaan—MPH-PGI menyayangkan hal itu sebagai kemunduran demokrasi dan tidak sesuai dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Lihat “Pokok-Pokok Pemikiran Majelis Pekerjaan Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI) tentang Beberapa Masalah Aktual dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi VII DPR-RI, Tanggal 16 Juni 1998”, dlm. Weinata Sairin (Peny.), Pesan-Pesan Kenabian di Pusaran Zaman: Dokumen Terpilih PGI Seputar Reformasi dan Isu Sosial Kemasyarakatan (Jakarta: Sinar Harapan, 2002), hlm. 25-30 (29).
11DGI, Realisme yang Berpengharapan: Gereja-gereja Memasuki Dasawarsa Delapan Puluhan. Laporan Konsultasi Teologi mengenai Partisipasi Gereja-gereja dalam Pembangunan, Tentena, 1-5 April 1979 (Jakarta: DGI, 1981), hlm. 220. Hasil Konsultasi ini kemudian direkomendasikan kepada Sidang Raya DGI IX di Tomohon Tahun 1980. Lihat Gereja-gereja Memasuki Dasawarsa 1980-an. Bahan Persiapan Sidang Raya IX DGI, 19-31 Juli 1980 di Tomohon, hlm. 27. Tampaknya rekomendasi Konsultasi itu diterima dalam Sidang Raya sehingga dalam Keputusan Sidang tentang Garis-Garis Besar Haluan serta Kebijakan Umum Rencana Kerja DGI dalam Bersaksi di Tengah Pergumulan Bangsa isu ideologi negara dianggap telah selesai, dan karena itu perhatian lebih banyak diarahkan pada bagaimana berpartisipasi dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Lihat Datanglah Kerajaan-Mu: Roh Kudus Membaharui Gereja menjadi Saksi dalam Pergumulan Bangsa. Notulen Sidang Raya IX DGI, 19-31 Juli 19980, Manado-Tomohon, Sulawesi Utara (Jakarta: DGI, 1980), hlm. 174-191. Cetak miring adalah penekanan penulis.
12Lihat Tanggapan DGI bersama MAWI berjudul Tanggapan DGI-MAWI atas Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (Jakarta: Sekretariat DGI dan Sekretariat MAWI, 1980).
13Lihat S.A.E. Nababan, “Penyelenggaraan Kebebasan Beragama dan Pemeliharaan Kerukunan Beragama”. Ceramah pada Penataran para pendeta yang diselenggarakan oleh DGI, Juli-Agustus 1979, di lima kota di Indonesia yang berbeda. Ceramah ini kemudian dimuat dalam Berita Oikumene, September 1979, hlm. 15-19.
14Lihat “Pandangan DGI tentang Pancasila sebagai Azas Tunggal bagi Semua Kekuatan Sospol—1983", dlm. Weinata Sairin (Peny.), Pemilu, GBHN dan Visi Sosial Kemasyarakatan: Perspektif Gereja-gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm.307-310. Memang harus dicatat di sini bahwa pencantuman Pancasila sebagai asas satu-satunya dalam Tata Dasar PGI adalah mendahului kesepakatan bersama yang berlangsung di Ancol, Jakarta, 2-3 Desember 1986 yang difasilitasi oleh Bimas Kristen. Juga perlu diingat bahwa PGI menolak sebutan Asas Tunggal sebagaimana diusulkan Eka Darmaputera. Itulah sebabnya PGI keberatan ketika Majalah Tempo menulis sebuah berita berjudul: Asas Tunggal bagi Gereja. Tentang perdebatan dan kesepakatan itu, lihat Berita Oikumene, Desember 1986, hlm. 4-6 dan Berita Oikumene, Januari 1987, hlm. 7-11. Sehubungan dengan sikap menerima dan menyepakati itulah maka pemerintah Orde Baru mengucapkan terima kasih kepada sikap positif Gereja-gereja itu. Lihat Berita Oikumene, Mei 1987, hlm. 4-5.
15Lihat Memasuki Masa Depan Bersama, hlm. 57 (Tata Dasar Bab III, pasal 5).
16Istilah bersih lingkungan adalah sebuah terminologi yang khas dalam politik rezim Orde Baru yang semakin mencuat ke permukaan setelah penerapan politik Asas Tunggal itu. Itulah sebabnya sejak saat itu setiap calon anggota DPR/MPR-RI harus menjalani apa yang disebut dengan litsus (penelitian khusus), apakah mereka terlibat dan/atau termasuk ke dalam salah satu golongan yang diberi label ekstrim kirim (Komunisme/PKI dan Islam Ideologis/Rezimis). Augustin Sibarani melukiskan hal ini secara karikaturis dengan pemeriksaan kuku seperti dilaku-kan oleh seorang guru SD terhadap murid-muridnya yang tidak membersihkan kotoran kukunya. Lihat Augustin Sibarani, Karikatur dan Politik, (Jakarta: Garda Budaya dan IASI, 2001), hlm. 187.
17Karel Steenbrink mencatat bahwa sekalipun umat Islam dan Kristen sama-sama menerima Pancasila untuk melawan Komunisme yang dipandang sebagai yang mengandung faham ateisme dan sekularisme dan telah memberi dampak terhadap teologi Islam tentang agama-agama lain (khusus Islam), tetapi dengan membatasi peran agama hanya pada urusan-urusan liturgis dan ajaran tanpa ada hubungannya dengan urusan publik, telah menimbulkan rasa frustrasi di sebagaian kalangan umat Islam, terutama Islam politik/rezimis, di mana ia menyebut korban Tajung Priok dan Lampung sebagai bagian dari penolakan umat Islam rezimis atas Pancasila sebagai Asas Tunggal. Karel Steenbrink, “Indonesian Politics and A Muslim Theology of Religions: 1965-1990”, dlm. I.C.M.R., Vol. 4, No. 2, Dec. 1993, pp. 222-246.
18Kelahiran rezim Orde Baru sendiri tidak dapat dilepaskan dari kondisi psiko-politik secara ideologis pasca-perang dunia kedua. Bandingkan karangan Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin sebagaimana disebutkan dalam catatan kaki nomor 35 di atas. Bdk. Benedict R. O’G Anderson dan Ruth T. McVey, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal, terj. Galuh HE Akoso, dkk. (Yogyakarta: LKPSM, 2001).
19Henk Schulte Nordholt menyebut bahwa antara tahun 1983-1985, ada sekitar 5.000-10.000 orang penjahat atau yang diperhalus dengan gali (gabungan anak-anak liar) dibunuh. Ia menyebut ada tiga alasan pembunuhan itu: (1) sebagai “shock therapy” untuk mengendalikan apa yang oleh rezim Orde Baru disebut para penjahat sosial; (b) adanya upaya untuk menghancurkan hubungan erat antara penjahat dan pejabat; (c) sebagai penyelesaian antara dua jenderal yang bersaing secara kotor. Menurut Nordholt, rupanya para penjahat itu adalah semacam “penjahat yang dilindungi oleh pejabat negara”. Dalam hal ini, ia memberi kesan bahwa Pemuda Pancasila adalah “bandit-bandit politik Golkar dan Istana”. Lihat Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 20-22.
20Di sini kami ingin merujuk kepada kumpulan dokumen terpilih sebagaimana kami sebutkan dalam catatan kaki nomor 10 dan 14 di atas, yaitu dokumen-dokumen DGI/PGI yang sunting oleh Weinata Sairin.
21Sejauh dapat kami lacak, hanya ada satu pendeta Protestan yang memberi kritik atas tindakan Orde Baru dengan penembakan misterius itu, yaitu Pdt. Broto Semedi Wiryotenoyo. Lihat Broto Semedi Wiryotenoyo, “Gereja, Mengapa Engkau”, dlm. Berita Oikumene, Maret 1984, hlm. 17-18.
22E.G. Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 20.
23Bdk. T.B. Simatupang, “Penugasan Sidang Raya IX DGI di Tomohon (1980)”, dlm. Berita Oikumene, Maret 1981, hlm. 25-28. Juga bandingkan Keputusan SR IX DGI tahun 1980 tentang “Garis-Garis Haluan serta Kebijakan Umum Kerja DGI dalam Bersaksi di Tengah Pergumulan Bangsa”, dlm. Datanglah Kerajaan-Mu, hlm. 175.
24Melihat Tanda-tanda Zaman, hlm. 214-215. Cetak miring adalah penekanan penulis.
25Lihat Harapan dan Keprihatinan Bangsa dan Negara Memasuki Akhir Abad Ke-20, hlm. 75. Konsultasi Teologi Tahun 1982, sambil mengacu kepada teks-teks kritis dari Nabi Amos dan Matius 23, menegaskan bahwa tugas Gereja ialah “menghadirkan keadilan Kerajaan Allah sebagaimana ditekankan oleh Matius 23:23 adalah sejalan dengan cita-cita Negara Pancasila”. Oleh sebab itu, pembangunan yang berkeadilan sosial haruslah dihayati sebagai pengamalan Pancasila itu. Lihat DGI, Memasuki Sejarah Bersama: Membaharui, Membangun dan Mempersatukan Gereja. Laporan Konsultasi Teologi, Sukabumi, 15-19 Januari 1982 (Jakarta: DGI, 1982), hlm. 67-70. Cetak miring adalah penekanan penulis.
26PGI, Visi Baru untuk Era baru dengan Generasi Baru. Laporan Konferensi Nasional Gereja dan Masyarakat V, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 12-18 April 1989 di Caringan, Bogor (Jakarta: Akademi Leimena, 1989) dan Membangun Masyarakat Pancasila yang Bersatu, Adil, Berdaulat dan Beradab. Laporan Konferensi Gereja dan Masyarakat VI, Pesekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 4-8 Agustus 1993 di Caringan, Bogor (Jakarta: Akademi Leimena, 1994).
27Tentang pandangan Simatupang lihat artikel kami berjudul: “ Teologi Politik T.B. Siamatupang: Sebuah Telaah Kritis” yang akan diterbitkan dalam Gema Jurnal Duta Wacana, Edisi No. 59 (2003)
28Bdk. George V. Pixley, Kerajaan Allah: Artinya bagi Kehidupan Politis, Ideologis dan Kemasyarakatan, terj. Aleks Tabe (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 34-49.
29Dalam hal ini, Moltmann menyebut hegemoni Gereja (catatan: Moltmann sendiri tidak menyebut istilah “hegemoni”—ini adalah penyebutan penulis). Lihat Juergen Moltmann, The Trinity and the Kingdom of God: The Doctrine of God (London: SCM Press, 1989), pp. 191-222.
30Lihat Chris Hartono, Gerakan Ekumenis di Indonesia (Yogyakarta: PPIP “Duta Wacana”, 1984).
31Studi Institut Oikumene tahun 1973 tentang Kesatuan Bangsa mencatat bahwa ada hubungan yang erat antara kesadaran ekumenis di kalangan Gereja-gereja di Indonesia dengan kesatuan bangsa. Lihat Kesatuan Bangsa. Hasil Diskusi dalam Konsultasi yang bertema Kesatuan Bangsa. Brosur No. 2 tahun 1973 (Jakarta: IOI, 1973), hlm. 21. Juga lihat Notulen Sidang BPL DGI, 4-10 Oktober 1973 di Malang, dengan tema Keesaan Gereja dan Kesatuan Bangsa, hlm. 57.
32Artikel ini mulanya merupakan ceramah T.B. Simatupang pada Sidang BPL-DGI, 4-10 Oktober 1973 di Malang. Lihat T.B. Simatupang, Kehadiran Kristen dalam Perang, Revolusi dan Pembangunan: Berjuang Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), hlm. 106-115.
33Bdk. Kehadiran Kristen dalam Perang, Revolusi dan Pembangunan: Berjuang Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman, hlm. 108-110. Juga Iman Kristen dan Pancasila, hlm. 111.
34Iman Kristen dan Pancasila, hlm. 111-112.
35Lihat Kehadiran Kristen....hlm. 111 dan Iman Kristen dan Pancasila, hlm.125. . Bdk. John Titaley, “Gereja Kristen Yang Esa: Konteks Tonggak-Tonggak Sejarahnya”, dlm. Berita Oikumene, Mei-Juni/1991 , hlm. 7-10.
36Bdk. T.B. Simatupang, “Panggilan untuk Pembe-basan dan Persatuan dalam Gereja, Masyarakat dan Dunia”, dlm. Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan. Notulen Sidang Raya VIII DGI, Salatiga, 1-12 Juli 1976. Lampiran 13, hlm. 432-454.
37T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila (Jakarta: BPK gunung Mulia, 1985), hlm. 138. Cetak miring adalah penekanan penulis.
38Lihat Memasuki Sejarah Bersama, hlm. 57. Bdk. Yesus Kristus Kehidupan Dunia. Laporan Sidang Raya X DGI 1984, 21-31 Oktober 1984, Karang Panjang, Ambon (Jakarta: DGI/PGI, 1984) dan Memasuki Masa Depan Bersama: Lima Dokumen Keesaan Gereja-gereja di Indonesia. Keputusan Sidang Raya X DGI, 21-31 Oktober 1984, Karang Panjang, Ambon, Maluku (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986).
39Harapan dan Keprihatinan Bangsa dan Gereja Memasuki Akhir Abad Ke-20, hlm. 78. Komitmen Gereja-gereja di Indonesia terhadap NKRI itu secara sangat intensif dibicarakan dalam Sidang Raya IV DGI tahun 1961. Dalam Sidang Raya itu, dengan memilih tema “Yesus Kristus Terang Dunia”, Gereja-gereja secara sangat mendalam membicarakan masalah sosial politik, khususnya masalah disintegrasi bangsa. Lihat Chris Hartono, Gerakan Ekumenis di Indonesia, (Yogyakarta: PPIP “Duta Wacana”, 1984), hlm. 87.
40 Lihat Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan, hlm. 323.