21 Desember 2009

Allah menjadi manusia: Pencipta jadi Ciptaan?

Yohanes 1: 1-14

Zakaria Ngelow

Saudara-saudara.

Berita Alkitab tentang kelahiran Tuhan Yesus dikemukakan dengan cara dan penekanan yang berbeda-beda.

Injil Matius menekankan kelahiran Yesus sebagai penggenapan nubuatan para nabi, dan bagaimana Allah melindungi bayi Yesus dari niat jahat penguasa pada masa itu. Berbeda dengan Injil Matius yang menampilkan kunjungan Orang Majus, para pemuka agama dan Raja Herodes, Injil Lukas menampilkan kelahiran Yesus bagi kaum gembala. Mereka adalah rakyat kecil, buruh peternakan yang malam hari tidur beratap langit berselimutkan embun di padang Efrata. Namun Lukas juga menekankan kemuliaan malam Natal Yesus dengan menampilkan paduan suara malaekat sorgawi:

Luk 2: 13 Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: 14 "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya."


Rasul Paulus dalam Filipi 2 : 5-7 menekankan kelahiran Tuhan Yesus sebagai pengosongan diri yang perlu kita teladani:

5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, 6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, 7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.


Seperti Rasul Paulus, penulis Injil Yohanes tidak mengisahkan fakta kelahiran Yesus sebagaiaman Matius dan Lukas, melainkan langsung masuk pada inti maknanya:

1 Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. 14 Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.


Alkitab dimulai dengan pengakuan iman mengenai penciptaan: Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi (Kej 1:1). Injil Yohanes mulai dengan pengakuan yang lebih mendasar: Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Baru setelah itu dia kemukakan mengenai peran Firman dalam penciptaan: Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. (ay. 3).

Ayat-ayat pembukaan Injil Yohanes ini perlu difahami dalam kaitan dengan pemikiran yang lazim masa itu, yaitu filsafat Hellenisme, sauatu filsafat yang berkembang dari perpaduan filsafat Yunani dengan berbagai pemikiran dan keagamaan dunia masa itu. Dalam filsafat Hellenisme dikenal apa yang disebut logos, yang difahami secara berbeda-beda oleh para filsuf, namun selalu dikaitkan dengan yang Ilahi. Dalam agama Yahudi kata logos dipakai menerjemahkan kata firman atau hikmat Allah, dan dalam agama Kristen dihubungkan dengan Yesus Kristus sebagai Sang Firman.

Dalam pengungkapannya, Yohanes mula-mula menempatkan Sang Firman di tempat yang maha tinggi:
Firman itu bersama-sama dengan Allah,
Firman itu adalah Allah,
Firman itu menciptakan segala sesuatu.
Dalam Firman itu ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia (ay 4).

Tetapi kemudian terjadi inkarnasi (menjadi daging):

Firman itu telah menjadi manusia.
Kai ho logos sarx egeneto.
et Verbum caro factum est.


Firman yang adalah Allah, yang ada sejak kekal, yang mencipta segala yang ada mengalami perubahan status yang sangat drastis:

dari Sang Sabda menjadi daging
dari Allah menjadi manusia
dari Sang Pencipta menjadi yang dicipta

Itulah yang disebut Rasul Paulus mengosongkan diri atau menjadi hampa: status keilahian ditinggalkan; merendahkan diri menjadi sama dengan manusia; bahkan bersedia menderita dan mati di kayu salib; tetapi karena itu Allah memberinya kemuliaan tertinggi. (Fil 2: 5-11).

Saudara-saudara.

Setelah menyatakan perubahan status itu ayat 14 memberi kesaksian mengenai kemuliaan Yesus:

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.


Bagaimana Sang Firman yang mulia meninggalkan kemuliaan-Nya ke dalam kehinaan manusia, tetapi terlihat kemuliaan-Nya? Kemuliaan Yesus adalah “ kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” Kemuliaan bukan kebesaran kuasa, harta dan derajat sosial. Seluruh hidup Yesus Kristus terbentang dari palungan Betlehem sampai ke salib Golgota. Kemuliaan yang diberikan kepada-Nya nyata dalam “kasih karunia dan kebenaran”. Kemuliaan Yesus nampak dalam hidup, pengajaran dan pelayanan serta pengorbanan-Nya, yang secara keseluruhan adalah kasih karunia dan kebenaran Allah sendiri. Dalam Diri dan hidup Yesus Kristus kemuliaan kekuasaan digantikan dengan kemuliaan pelayanan. Yesus menjadi jalan, kebenaran dan hidup (14.6) karena hanya dalam Firman yang menjadi manusia Allah Sang Pencipta

masuk ke dalam ciptaan
menjadi bagian dari ciptaan
dan menebus ciptaan.


Kenyataan inkarnasi ini menjadi titik tolak ajaran Kristen untuk tiga prinsip kehidupan beriman: pertama, cinta kasih Allah demikian besar bahwa Ia korbankan Anak Tunggal-Nya.

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (3:16).


Sebagaimana diajarkan berulang-ulang dalam Hukum Kasih, dasar kehidupan Kristen adalah kasih Allah, dan karena itu manusia wajib mengasihi Allah dan sesama manusia. Inilah dampak sosial inkarnasi, suatu kehidupan bersama dalam persaudaraan, perdamaian dan keadilan.

Kedua, Allah berinkarnasi dan dengan itu mengkonkritkan apa yang dilakukan-Nya pada penciptaan manusia, yakni menciptakan manusia dalam gambar dan teladan Allah sendiri. Implikasinya adalah harkat dan martabat manusia yang harus dihormati karena Allah. Itulah dasar dari prinsip penghormatan dan penegakan hak-hak asasi manusia. Termasuk di dalam martabat manusia adalah penghormatan dan pengendalian terhadap kelengkapan nafsu seksual pada tubuh manusia, yang dilembagakan dalam kekudusan perkawinan. Kebebasan seksual tak terkendali menimbulkan berbagai penyakit seperti HIV/AIDS di samping berbagai masalah sosial.

Ketiga, dalam inkarnasi Allah Sang Pencipta menjadi ciptaan, dan dengan itu menegaskan ciptaan bukan hanya milik-Nya melainkan yang sungguh dikasihi-Nya sebagai diri-Nya sendiri, sehingga wajib dijaga, dipelihara, dilestarikan. Inilah salah satu prinsip Kristen mengenai lingkungan hidup, yang dewasa ini makin penting diperhatikan. Ciptaan makin rusak karena ulah kerakusan dan kebodohan manusia. Hutan ditebang menjadi padang gundul yang menyebabkan banjir dan tanah runtuh, dan mata air mengering, air sungai surut, dan iklim berubah tak menentu. Air tercemar oleh sampah kimia yang menyebabkan berbagai penyakit ganas seperti kanker. Ada informasi bahwa dulu PKG sebenarnya mencemari air sawah sekitarnya dan berdampak pada hasil panen: beras mengandung zat kiimia berbahaya. Udara juga tercemar oleh asap pabrik dan kendaraan bermotor, sementara pohon-pohon dan taman kota tidak terawat. Bumi makin panas. Seratusan kepala negera dari seluruh dunia, termasuk presiden Indonesia, SBY, sedang berunding dalam KTT mengenai Global Warming di Copenhagen, mencari solusi bagaimana bangsa-bangsa sedunia bersama-sama mengatasi pemanasan global. Pada tingkat jemaat lakukanlah hal yang sederhana: buang sampah di tempatnya, tanam sebanyak mungkin tanaman, termasuk pohon buah-buahan dan bunga. Itu semua termasuk yang disebut Gubernur kita: Sulsel go green.

23 November 2009

Membangun Masa Depan Dunia

Suatu Perspektif Teologi Feminisme
Suatu Kajian Berdasarkan:

Sumber:Radford Reuther, Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theologi, Boston: Beacon Press, 1983.

Lian Padele

Abstraksi
Reuther memakai bahan-bahan teologi dogmatik serta penghayatan iman yang terdokumentasi di dalam simbol-simbol, hukum-hukum dan etika komunitas Kristen untuk menguji persoalan mengapa male’s experience telah menjadi suatu sistem yang tidak menghormati keadilan gender. Istilah Godess yang telah tergeser dari agama monoteisme sebagai sumber sistem patriarkhis, baik oleh penulis-penulis kitab suci pada saman kejayaan Kerajaan Israel dan dilanjutkan dalam tradisi penulisan perjanjian Baru serta gereja mula-mula kemudian mempengaruhi seluruh sistem penyebaran keilmuan sekuat sistem penyebaran agama Kristen.
Sumber-sumber baik teologi klasik dan filsafat yang cenderung menekankan perspektif ‘Godess’, kurang mendapat tempat sambutan dan mempengaruhi struktur keyakinan beragama sehingga tergeser juga dalam pergaulan struktur kekuasaan perspektif yang dominant. Reuther mengembalikan perspektif ‘Godess’ pada seluruh wilayah kehidupan: teologi, sistem masyarakat, struktur sosial serta dunia ilmu pengetahuan dan bagian-bagian ekspresi kehidupan manusia yang sudah terlanjur masuk dalam perangkap sistem yang tidak adil. Mengembalikan konsep teologi dalam perspektif feminist merupakan akar untuk menjadikan sistem yang ‘dipulihkan’ melampaui sistem patriarkhi. Sistem yang diharapkan ini, bukan sebagai suatu bayangan eskatologis yang sekedar di dominasi oleh perspektif feminis saja, tetapi menjadikan suatu dunia yang harmonis, adil gender dan damai. Keadilan gender merupakan barometer untuk menghargai lingkungan alam sebagai bagian dari sahabat yang harus dipelihara dan bukan sebagai bagian dari objek yang dipakai secara sewenang-wenang. Dari sana perubahan yang diharapkan oleh feminism bukan perubahan individu tetapi perubahan kolektif, sebagai suatu tanda dari kehadiran Allah dalam komunitas dunia.


1. Pendahuluan.


Ada 3 pokok utama yang dijelaskan oleh Reuther dalam buku ini yakni: metodologi feminism, sumber-sumber teologi feminist dan norma-norma feminist. Ketiga pokok ini merupakan suatu alur penguraian yang dipakai oleh Reuther untuk menjelaskan persoalan:
1. Dari manakah akar kesadaran barat yang telah membuka jalan ketidakadilan sex.
2. Mencari jalan untuk meletakan kemanusiaan penuh, dimana perempuan dihargai sebagai person yang memiliki the full humanity of women.
Pokok-pokok persoalan ini dibahas oleh Reuther dengan menunjuk alasan tuntutan dari feminism untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan steriotipe gender pada wilayah God-language. (p.61) Hilangnya Godess dalam wilayah agama monoteisme merupakan akar dominasi sex.

2. Metodologi
Metodologi yang dipakai adalah Lingkaran Hermeneutik (p.12). Lingkaran Hermenutik pertama sekali dikembangkan oleh Han-George Gadamer kemudian dalam perkembangan selanjutnya oleh ilmu-ilmu sosial. Reuther sebagai seorang feminisme juga memakai metode ini untuk menguji ‘pengalaman’ (pengalaman dengan yang Ilahi, pengalaman dengan seseorang, pengalaman komunitas dan dunia) yang telah dibangun atau pun yang telah mendapat sentuhan perubahan. Kriteria yang dipakai untuk menguji pengalaman yang disebutkan di atas adalah pengalaman unik perempuan, women’s experiences, yang secara keseluruhan tidak diperhitungkan dalam membangun refleksi teologi masa lalu (p.13). Pengalaman perempuan sebagai dasar untuk membangun teologi feminist.
Pengalaman yang dimaksudkan adalah pengalaman yang telah membuka pemikiran masa lalu yang tidak memberikan tempat yang setara terhadap perempuan dalam tradisi-tradisi pemikiran teologi termasuk dengan konsep tentang manusia (anthropos). Perempuan hanyalah bagian dari manusia (laki-laki) dan tidak dilihat sebagai subjek, manusia yang utuh. Menggunakan pengalaman perempuan dalam teologi feminist merupakan kekuatan bagi teori kritis untuk menguji teologi tradisional dan tradisi-tradisi gereja. Jadi ada tiga kriteria pengalaman:
1. Pengalaman perempuan berdasarkan pengalaman dalam tradisi laki-laki
2. Pengalaman laki-laki yang telah membentuk tradisi gereja dan komunitas yang mengadopsinya
3. Pengalaman universal, yakni pengalaman penuh laki-laki dan perempuan setara dalam pengertian human. Manusia bukan hanya diisi dan diukur oleh imaginasi laki-laki saja tetapi keduanya, baik laki-laki dan perempuan, sama-sama menjadi subjek dalam menentukan kualitas manusia.
Metodologi yang dipakai oleh Reuther telah menempatkan kekuatannya pada pendekatan kritis teologi feminis yang terletak pada pengalaman perempuan sebagai suatu kriteria yang didasarkan atas asumsi bahwa teologi klasik termasuk tradisi-tradisi yang telah diterima sebagai pengalaman universal hanya diukur dari pengalaman salah satu jenis sex saja, yakni male experience. Reuther menunjukan bagaimana pengalaman pewahyuan yang disebarkan oleh penerima wahyu telah membentuk suatu komunitas yang mempercayainya dan mengatur seluruh relasi-relasi kehidupan secara vertikal pun horizontal menurut ketetapan dalam kitab suci. Dari uraiannya ini, Reuther kemudian menunjukan bagaimana male experiences yang telah membentuk komunitas penerima wahyu itu.
Ketetapan aturan dan tradisi kehidupan suatu komunitas tidak selamanya statis tetapi juga mengalami suatu perubahan, yang disebut oleh Reuther dengan ‘Crises of Tradision’. Masa krisis dalam tradisi agama ditandai dengan diterimanya suatu interpretasi penebusan yang bertetangan dengan pengertian yang telah memberikan suatu makna tertentu dalam komunitas yang mempercayainya. Reuther menunjukan masa krisis tradisi teologi gereja pada masa reformasi abad ke 16 sekaligus hendak mengatakan bahwa gereja juga seharusnya bersiap-siap untuk menerima suatu masa krisis yang sedang berlangsung dengan munculnya berbagai aliran teologi modern antara lain: teologi liberal, teologi feminis sejak pertengahan abad 20.
Theologi feminis menekankan prinsip the full humanity of women, sesuatu yang diabaikan oleh tradisi dan teologi tradisional. Keunikan prinsip feminist, bahwa perempuan sendirilah yang menuntut prinsip kemanusiaan penuh bagi diri mereka sendiri “Women name themselves as subjects of authentic and full humanity” (p. 19). Akibat pengabaian dari prinsip ini dan “the naming of males as norms of authentic humanity” telah menyebabkan perempuan sebagai korban yang dituduhkan sebagai sumber dosa dan termaginalkan didalam kemanusiaan dan yang layak diampuni. Perempuan dianggap sebagai penyebab manusia (laki-laki) berdosa dan perempuan sebagai mahluk setengah manusia (Aristoteles). Menurut Reuther bahwa pemahaman ini bertentangan dengan imago dei/Christ dalan dalam konteks ini gambar Allah telah menjadi instrument dosa daripada instrument kemuliaan dan keilahian.
Theologi feminisme membawa suatu jalan keluar dari keterjeratan teologi sexisme. Perempuan yang berada dalam bahaya kemanusiaan teologi tradisional menawarkan suatu definisi kemanusiaan yang inklusif: baik gender, kelompok sosial dan rasis yang inklusif. Penolakan perempuan terhadap androsentrism (yang melihat laki-laki sebagai norma kemanusiaan) berarti juga penolakan perempuan terhadap semua betuk-bentuk chauvinisme: di mana orang-orang Barat berkulit putih, kekeristenan dan hak-hak klas-klas sosial tertentu sebagai standar norma kemanusiaan. Ini berarti bahwa feminisme seharusnya mengakui semua kepelbagaian kultur dan bentuk-bentuk norma setiap elemen manusia menurut batas-batas penghayatan kultur dan geografis. Ini berarti juga bahwa feminism mengabaikan universalisme suatu norma yang turun dari kelas-kelas sosial, jenis sex yang dominant sebab feminism mengakui partikularisme, yang menghormati kepelbagaian bukan hanya dari segi fisik dan batas-batas geografis tetapi juga kultur dan penghayatan agama serta religinya masing-masing . Ini semua bentuk dari konsekuensi martabat gender yang setara sebagaimana yang diperjuangkan oleh feminisme.

3. Membangun Teologi Feminism
Uraian teologi sistematis yang menggunakan antara lain sumber-sumber sosiologi pengetahuan termasuk simbol-simbol, hukum, doktrin-doktrin teologi telah membuka jalan bagi Reuther untuk mencari jalan bagi upaya peletakan imaginasi feminisme tentang teologi. Pengalaman perempuan dalam dunia pengajaran dan penghayatan teologi gereja masa kini, sebagai warisan teologi masa lalu telah membawa Reuther untuk mencari keduanya, baik akar teologi patriarkhi yang bersumber dari imaginasi laki-laki tentang ilahi dan sekaligus cara baru menghayati yang ilahi berdasarkan imaginasi perempuan.
Reuther, membangun teologi feminis, pertama-tama dengan mencari akar pengalaman perempuan yang termarginalkan dari tradisi gereja dan teologi tradisional yang dibangun berdasarkan kanon kitab suci. Bagaimana melihat dalam suatu perspektif baru, bahwa Allah adalah kesatuan antara God and Goddes. “God becomes whole, uniting male and female side, in the time when the all things become one and God is “all in all” (p. 58). Untuk sampai pada konsep kesatuan perempuan dan laki-laki dalam Allah, Reuther melakukan suatu pencarian pemaknaan dari tradisi-tradisi dan tulisan-tulisan filsuf Philo, yang memaknai konsep “Logos” (Word) sebagai Sophia (Wisdom). Peran-peran yang menunjuk pemikiran yang rekonsiliatif antara manusia dengan Allah, sebagai pencipta bumi. Shekinah (kehadiran) Allah didalam bentuk penyatuan antara kehendak Allah dengan umat Israel adalah suatu bentuk imaginasi famele’s presence. Pengalaman selama pembuangan - exodus Israel di sejajarkan dengan pengabaian bahasa laki-laki terhadap seluruh eksistensi perempuan dalam merumuskan teologi tradisional- adalah bentuk keterasingan manusia dari Allah dan sekaligus jalan bagi penemuan ‘the presence of God’. Mengembalikan Godess menyatu dalam diri Allah berarti menerima konsep-konsep alternarif yang ditawarkan oleh feminisme yang akan memperkaya karya-karya sosial dengan mengupayakan masa depan dunia yang setara, adil dan damai.
Eskatologis feminis bukanlah suatu dunia sesudah mati, (suatu warisan dan konsep patriarkhi) tetapi suatu realitas kehidupan dunia nyata sebagai bentuk dari kehadiran Allah dalam ‘langit dan bumi baru’ dan sebagai suatu wujud jawaban dari Allah atas doa “Datanglah KerjaanMu, jadilah kedendakMu di bumi seperti di dalam surga”.
“Thy Kingdom come, Thy will be done on earth. All shall sit under their own vines and fig trees and none shall be afraid. The lion will lay down with the lamb and the little childwill lead them.” (p.266).

Kehadiran Allah yang diharapkan oleh feminis adalah: keharmonisan, kedamaian dan keadilan sex, yang akan mengungkap suatu relasi dengan cara yang baru di antara manusia laki-laki dan perempuan serta relasi dengan alam.
Gagasan eskatologis feminism bukan sekedar gagasan yang diambil dari konsep liberalisme tentang kesadaran kelas sosial tanpa memasukan perempuan sebagai bagian dari komunitas budak. Juga bukan berdasarkan suatu warisan ekstologi Kristen yang diambil begitu saja dari pemahaman kitab-kitab dan tradisi Ibrani yang digemakan dalam kitab suci. Namun bahan-bahan yang telah tersedia itu dipakai oleh feminisme sebagai instrument untuk melihat secara kritis semua kenyataan dan gagasan yang membentuk kenyataan manusia dan mendapatkan ulang konsep teologi yang dapat menyatakan perubahan dunia dimana manusia laki-laki dan perempuan dihargai secara utuh dan setara sebagaimana penghargaan terhadap alam cipataan ilahi. Alat-alat analisis ini dipakai sebagai sumber untuk mengembangkan dan membangun konsep teologi feminism dari tema-tema teologi yang diwariskan oleh male experience,yang melahirkan struktur masyarakat patriarkhis, yang melanggengkan pengabaian eksistensi subjek perempuan dan alam serta membiarkan ketidakadilan sex . Semua itu dilalui oleh Reuther sebagai jalan untuk membangun dan mencapai masa depan dimana Kerajaan Allah datang dalam wujud “langit dan dunia yang baru”.
Selanjutnya, tulisan ini akan mencoba memberikan lukisan tentang bagaimana pembuktian-pembuktian yang dilakukan oleh Reuther untuk menemukan secara kritis kelemahan-kelemahan teologi tradisional dan modern serta menegaskan perspektif teologi feminism. Kita akan melampaui jenjang-jenjang dalam tulisan berikut ini.


1. Kritik Femimisme terhadap Imaginasi Laki-laki tentang Allah.

(Dalam bagian ini, Reuther menggunakan semua bahan-bahan yang sudah tersedia: baik teologi tradisional, Kitab Suci, kebudayaan bangsa-bangsa kuno dalam Alkitab, pemahaman para Filsuf, analisis Antropologis serta sumber-sumber teori sosial modern. Semua bahan-bahan yang sudah tersedia, menjadi bahan penelitian untuk membangun kembali suatu model imaginasi yang full humanity bukan hanya bagi perempuan tetapi juga dalam membangun imaginasi terhadap ‘the divine’.)

a. Imaginasi laki-laki telah membentuk monoteism dan stuktur masyarakat patriarkhis.
Reuther menunjukan bahwa monoteisme yang telah menjadi norma universal, berakar dari dalam Kekeristenan-Yahudi, kemudian dituangkan dalam kanon Kitab Suci merupakan male imagination. Keadaaan itu dapat dibenarkan dengan melihat proses pengakanonan (p. 14-15) serta konteks masyarakat nomaden (bersumber dari panggilan Abraham), yang kurang memberikan tempat kepada pengalaman perempuan, telah melahirkan imaginasi tentang Allah sebagai “the Sky-Father” (p. 53). Arah sorotan analisis Reuther lebih tertuju pada pengaruh agama nomaden sebagai bukti dari penguraian yang berdasarkan male imagination, sebagaimana yang digambarkan dalam kitab Perjanjian Lama pun bergema dalam Perjanjian Baru. Agama nomaden telah melahirkan konsep agama yang ekslusif dan agresif, serta konsep monoteisme yang telah melahirkan struktur hirarkis masyarakat patriarkhis yang menempatkan peran laki-laki lebih utama dan terpenting dari pada perempuan. Perempuan dimasukan sebagai bagian dari kelas budak. Dari sanalah kemudian Reuther menunjukan bahwa agama monoteisme telah menempatkan kehancuran pasangan God/Goddess sebagaimana yang diakui oleh suku bangsa Kanaan. Baalisme telah dianggap sebagai penyembah berhala. Jelas sekali hirarki patriarkhis yang berakar dalam Alkitab Kristen-Yahudi telah mempengaruhi dokumentasi pemikiran Rasul Paulus sebagaimana yang dituangkan dalam 1 Kor 11:13,17: God- Male- Female. Male monotheism juga telah menjadi sumber pemilahan realita ke dalam dualisme, yang superior terdiri dari spirit, mind sebab ‘logos’ lebih dahulu ada daripada ‘cosmos’. Dari sana subordinasi sex kemudian dapat dimengerti dengan menempatkan posisi martabat perempuan kurang begitu penting dibandingkan dengan martabat laki-laki.
“Thus the hierarchy of God-Male-Female does not merely make women secondary in relation to God, it also give her a negative identity in relation to the divine. Whereas the male is seen essentially as the image of the male transcendent ego or God, women is seen as the image of the lower, material nature.” ( p. 54)

Pengertian ini disejajarkan juga dengan pengertian yang biasanya dipahami di kalangan gereja-gereja di Indonesia, sebagaimana yang diuraikan oleh Gerrit E.G. Singgih bahwa, ‘Adam’ (laki-laki) lebih utama dan terpenting daripada ‘Eva’ sebab Adam lebih dahulu diciptakan. Darisana gereja-gereja lokal di Indonesia banyak yang menganggap remeh bahkan menolak kepemimpinan perempuan dalam gereja.
b. Pencarian Imaginasi feminism dari dalam Konsep Monoteisme.
Reuther memperlihatkan bagaimana upaya untuk menggeser penghayatan agama local (Baalism) suku bangsa Kanaan, pada akhirnya tidak sepenuhnya berhasil. Yahweh dihayati sebagai sumber kesuburan tanah dan dilihat dalam relasinya dengan ‘my Husband” disamping “my Baal” (Hos. 2:2-3, 7-8, 14-15). Dengan kata lain the Goddess tidak tereliminasi dari pemikiran komunitas bangsa Israel bahkan keduanya dipahami sebagai yang memiliki relasi yang baru.
Demikian juga dengan yang terjadi dikalangan kekeristenan. Meskipun mengadopsi konsep “logos” yang dibangun berdasarkan imaginasi laki-laki. Reuther menghubungkan figure the Holy Spirit yang diambil dari tradisi Hebraic dari Sophia dan Hokmah (spirit) yang digambarkan sebagai female. Pembuktian Kitab Suci sebagaimana yang dihubungkan dengan kitap-kitap apokrif (Gospel of the Hebrews, Acts of Thomas, Gospel of Phillips) serta tulisan-tulisan Orthodoks, seperti Clement dari Alexandria dan the Syrac father Aphraates menggunakan imaginasi perempuan untuk menjelaskan Sophia. Dalam tradisi kekeristenan mula-mula tradisi peminggiran imaginasi perempuan dilakukan oleh oleh Kekeristenan Greco-Roman. Meski demikian perkembangan theology Kristen kemudian mengembangkan imaginasi perempuan secara khusus oleh penulis-penulis mistis (p.60) terutama dengan melanjutkan penulis-penulis text Gnostis yang melihat Allah, sebagai Father-Mother dan Anak. (Trinitas).
Apa yang hendak dilakukan oleh feminisme adalah suatu pencarian pemecahan persoalan atas dasar asumsi-asumsi bahwa simbol-simbol kekuasaan ilahi tetap membekas dan karena itu feminisme mencari suatu bahasa yang melampaui dari sekedar ‘feminine side’ of God (p.61). Pencarian itu dilakukan dengan menunjukan kelemahan-kelemahan tema-tema teologi dan konsep-konsep feminisme sosial yang yang masih terjebak dalam penanggungan dan pembenaran pihak pemikiran, harapan dan kenyataan yang dilihat dari perspektif sepihak saja. Ekslusivisme sebagai bagian dari warisan kultur berpikir patriarki ditentang secara konsisten dalam uraian-uraian pemikiran Reuther.
Konsep-konsep teologi feminisme

c. Imaginasi Feminsime tentang Allah
1. Istilah Mother- Father God, membuka imaginasi ibu dan ayah dalam pengertian real dan bukan sekedar suatu bentuk abstrak (Parent). Istilah ini menggambarkan Allah sebagai pencipta eksisten manusia. Namun istila ini memliki sisi negative, yakni yang mendorong model relasi anak terhadap orang tua, kepada Allah. Model relasi yang tidak memberikan kesempatan pertumbuhan terhadap kedewasaan, yang ditandai dengan kemandirian dan tanggungjawab terhadap kehidupan sendiri. Islitah ini hanya menunjukan kontrol terhadap peran-peran sex dalam keluarga yang patriarchal serta spiritualitas yang kekanak-kanakan (p. 69-70). Lebih jauh, Mary Gray menekankan bahwa model pemahaman memasangkan Allah sebagai Ibu dan Bapa, merupakan suatu tradisi yang dikembangkan dari sisi interpretasi androgin yang memandang perempuan sebatas pelengkap dari laki-laki . Jadi konsep kesatuan yang ‘neutral’ di dalam diri Allah tidak juga merupakan konsep yang ditawarkan oleh feminism. Konsekuensi relasi bapa-ibu dalam imaginasi laki-laki merupakan alasan utama penolakan terhadap gagasan ini.
2. Allah sebagai pembebas, yang didasarkan pada God of Exodus, kemudian telah mengabaikan pasangan ilahi God/Godess sebagai sumber dan dasar keberadaan manusia. Menurut Reuther, inilah sumber kekeliruan yang mengidentifikasikan basis penciptaan dengan fondasi sistem sosial patriarkis, sebagai sumber kejahatan dan dosa (70). Pembebasan yang mempertentangankan alam dan spirit, laki-laki dan perempuan serta yang menghilangkan otonomi alam, sebagai fundasi keberaadaan manusia serta yang membelenggu perempuan di luar kebebasan.
Feminisme mengambil istilah God of Exodus dengan mengisinya dalam keadaan baru, yakni keadaan adanya manusia laki-laki dan perempuan yang tidak dipertentangkan satu dengan yang lain seperti mempertentangkan alam dan spirit, transendensi. Hal ini menyaratkan pengangkatan kembali sisi Godess dari keilahian yang telah dibuang dalam bangunan teologi tradisional. Konsep Godess, sebagai dasar keberadaan manusia, yang menjadi pusat untuk mengembalikan keharmonisan antara diri dan tubuh, diri dengan orang lain, diri dan dunia, sebagai wujud eksistensi manusia (p.71) Menyematkan konsep Godess pada konsep pengharapan terhadap Allah sebagai pembebas merupakan suatu cara untuk menghapuskan pertentangan antara alam dan yang transenden, laki-laki dan perempuan. Konsep ini akan mengembalikan rumah yang harmonis bagi keberadaan perempuan sebagai subjek yang otonom terhadap dirinya sendiri. Konsep ini akan memberikan relasi yang setara di antara dua jenis sex sertaantara manusia dan alam.
3. Theologi penciptaan: suatu kritik. Sumber devaluasi perempuan didasarkan pada asumsi kebudayaan bahwa manusia menguasai alam, yang juga bergema dalam Kitab Kejadian. Masusia yang dipahami dalam konsep kultural ini adalah laki-laki yang menguasai alam. Dalam kebudayaan di dunia, alam selalu diidentikan dengan perempuan. Misalnya di Jawa dikenal dengan istilah “ibu pertiwi”. Konsep ini kemudian membentuk formasi psikologis dalam mengatur relasi serta peran dan fungsi sex. Reuther memperlihatkan contoh praktis dalam upacara puberitas bagi laki-laki, sebagai yang mempersiapkan sekaligus mengokohkan sosialisasi peran mereka dalam masyarakat. Struktur dominasi sex, yang bersumber daripada kultur kekuasaan manusia (laki-laki) terhadap alam, berdampak pada kehidupan praktis. (p72-74) Penentuan peran-peran domestik sekaligus menjalankan peran produksi ekonomi serta peran reproduksi. Dengan demikian, Reuther hendak mengatakan bahwa teologi penciptaan telah melanggengkan potensi subodrdinasi dan ketidaksetaraan sex dalam komunitas manusia.
Revolusi ilmiah pada abad ke 17, di mana alam di kuasai oleh manusia sebagai objek keilmuan yang didasarkan pengembangan intelektualitas laki-laki. Teknologi keilmuan yang dikembangkan merupakan bagian dari upaya untuk mengeksploitasi alam. Kesadaran manusia akibat evolusi liberalisme telah melahirkan kesadaran untuk mengontrol semua bidang kehidupan manusia termasuk kontrol terhadap alam. Posisi kerja perempuan dalam teknologi ekonomi industri telah menekan perempuan dan budak pada yang tereksploitasi sebagaimana eksploitasi yang semakin tak terkontrol terhadap alam. Perang idiologis antara kapitalisme dan romantisme apa awal abad 19 tidak dapat membebaskan dari kungkungan paradigma penaklukan atas alam ciptaan ini. Ilmu Pengetahuan dengan seluruh kemajuan dan kerusakan yang diakibatkannya telah mengasingkan manusia dari spirit kesatuannya dengan alam.
4. Teologi ekologi feminisme. Reuther memikirkan kekuatan intelegensia yang telah mengalami pencerahan terhadap bukan melihat alam sebagai sumber kehidupan, dimana alam yang menyediakan kehidupan manusia dan diatas keinginan untuk menghabiskan semua energi bumi tanpa bertanggungjawab. Hal yang paling mendasar bagi Reuther, yakni transformasi kesadaran manusia terhadap alam sebagai dasar kehidupan yang harus dipelihara bagi kelangsungan kehidupan pada generasi manusia selanjutnya (human historical development). Manusia dalam pengertian tradisi kultural harus dibaharui. Perubahan manusia dari tradisi hamusia kultur kepada perubahan pemikiran yang mengakui “ nature’s logic of ecological harmony” (p.91-92). Diperlukan suatu sintesis dimana manusia yang adalah percampuran antara yang alami dan nonalami, alami dan yang transenden, menyatu di dalam diri manusia yang baru. Dari konsep inilah penjelasan tentang perubahan dominasi manusia terhadap alam tidak mungkin dapat dilakukan tanpa sekaligus harus melakukan pemulihan konsep manusia secara utuh. Feminisme kemudian tidak sekedar membaharui teologi penciptaan tetapi menukarnya dengan konsep teologi ekologi.
5. Teologi tentang Manusia. Kritik utama terhadap konsep kekeristenanan tentang manusia yang dilihat secara dualisme, mempertentangkan antara esensi dan kenyataan manusia yang s sesungguhnya. Secara historis, imago dei telah dibawah masuk kedalam jurang kesalanan dan dosa oleh male’s imagination. Secara authentik imago dei berarti kesatuan manusia dengan Allah, bahwa keadaan manusia merupakan suatu kenyataan yang mengekspresikan kehadiran Allah. Feminisme berupaya mengembalikan konsep manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Kristus sebagai imago dei, mengembalikan keadaan manusia yang telah jatuh itu. Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama gambar dan rupa Allah, sebagaimana kristus adalah “imago dei’.(p.99) Kesetaraan laki-laki dan perempuan kemudian mengisi kehidupan gereja, dimana partisipasi perempuan dalam gereja berarti perempuan diundang untuk hidup didalam, mengadopsi model-model kehidupan yang mengampuni dan masuk ke dalam komunitas untuk mempersiapakan kehidupan di dalam bentuk Kerajaan Sorga. Spiritualitas perempuan yang mengampuni akan menjadi sumber kekuatan dan spirit untuk mempersiapkan jalan bagi kenyataan kehidupan sorgawi yang terjelma dalam dunia: “datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di dalam sorga.”
6. Khristologi. Berangkat dari pembuktian konsep kristologi dari sisi pandang laki-laki , Reuther memasukan sisi pandang perempuan terhadap Kristus, yang ‘bukan laki-laki atau perempuan”. Penyempurnaan konsep ini berhubungan dengan pemahaman terhadap pengampunan. Titik masuk menjelaskan kristologi, bukan berdasarkan sejumlah doktrin tetapi berdaarkan berita dan praktek Yesus dari Kitab Injil. Yesus dipandang sebagai yang membaharui visi kenabian yang berbicara atas kepentingan orang-orang tersingkir dan termarginalkan dalam masyarakat (p.135) Yesus memandang dirinya bukan sebagai Raja tetapi sebagai hamba, yang memanggil suatu relasi baru antara manusia dengan Allah. Relasi baru inilah yang membawa manusia dalam persaudaraan yang dinyatakan dalam realitas sosial, simana manusia baru saling melayani dan memberdayakan. Yang paling penting bagi Reuther bahwa pembaharuan visi kenabian Yahwist dan nabi-nabi Yahudi, berarti memberitahukan pemulihan manusia, dimana laki-laki dan perempuan mengalami kemanusiaan yang penuh. Pemulihan bukan hanya dilakukan kepada salah satu daripada perempuan atau laki-laki saja tetapi dianugrahkan kepada keduanya, laki-laki dan perempuan.
7. Eklesiologi sebagai komunitas yang diampuni. Feminsme mengembangkan ekslesiologi yang didasarkan pada interpretasi yang mengabaikan pandangan theology sexism yang dibangun di atas kitab Hosea. Kecenderungan mengaitkan Gereja sebagai “Mother of Christians” yang bersumber dari tradisi Israel sebagai ‘God’s wife’. Relasi kecintaan Allah terhadap gereja secara mistik yang disimbolkan dari nyanyian Kidung Agung berdasarkan pemikiran pernikahan dalam keluarga patriarkhi (p. 141). Gema relasi hirakhis yang dikumandangkan oleh Rasul Paulus (Epesus 5) juga membangun relasi paternalistis dimana suami menjadi symbol Kristus. Baba-bapa gereja kemudian mempertajam konsep relasi Kristus dan Gereja yang sexis dengan menekankan silibate, sebagai symbol virginitas ‘pengantin perempuan’. Transformasi otoritas gereja yang patriarkis dengan tidak memberikan tempat yang leluasa bagi keterlibatan perempuan merupakan ketidakmampuan gereja keluar dari struktur yang menindas dan yang tidak membebaskan manusia yang terperangkap di dalam sistem yang menindas. Konsep Mariologi yang diambil oleh gereja, sesungguhnya hanya merefleksikan “ideology of the patriarchal feminine.”
Interpretasi feminis terhadap nyanyian Maria (Injil Lukas 1:46-55) jelas-jelas merupakan suatu nyanyian kegembiraan perempuan yang mengalami pembebasan dari sistem kehidupan yang memarginalkan dan yang menindas sebagaimana yang terjadi dalam pengalaman-pengalaman kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta kebudayaan. Pengampunan komunitas yang menjelaskan suatu relasi yang baru didalam kehidupan manusia. Kristus memualiakan semua manusia secara sama. Suatu bentuk pembaharuan dan pembebasan dari sistem kehidupan yang menindas dalam kungkungan patriarkhi. Partisipasi perempuan terbuka dalam tubuh gereja. Pembaharuan ini sekaligus menjelaskan suatu bentuk pelayanan gereja yang membaharui dirinya dan dunia disekitarnya, terbebas dari suatu dunia yang mengeksploitasi sex dan alam lingkungannya. Gereja sebagai masyarakat mesianis yang bukan melawan sesame ciptaan tetapi melawan struktur yang dominant (p. 195). Inilah pengertian bahwa pembaharuan oleh Roh Kudus yang dicurahkan baik kepada laki-laki dan perempuan.
8. Visi Masyarakat Feminism. Feminisme tidak membatasi penjelasan dengan ide-ide yang utopis tetapi memaknai perkembangan kehidupan ekonomi sosial sebagai bagian dari visi pembaharuan ‘langit dan bumi yang baru’. Penggeseran perempuan dari wilayah pemilikan ekonomi merupakan bagian yang termasuk dari gagasan equalitas sex. Dalam perspektif manusia baru di dalam pembaharuan yang dilakukan oleh Kristus, Kerajaan Surga direalisasikan pun dalam bidang kehidupan ekonomi. Komunitas eskatologis, yang menekankan masyarakat yang egaliter, adil dan damai, menyentuh perubahan kehidupan sosial ekonomi.
Beragam aliran feminism modern yang menekankan gagasan-gagasan masa depan bagi dunia berdasarkan penekanan-penekanan tertentu. Reuther menyebutkan Feminisme Liberal yang menekankan Hak-hak Asasi Manusia dan Feminsime Radikal yang menekankan otonomi dan hak-hak khusus perempuan terhadap tubuh mereka sendiri. Namun bagi Reuther yang paling penting yakni bagaimana membuat ekonomi sosial liberalisme itu sebagai bagian intrinsik dari pengertian pembaharun spiritualitas. (p. 214) Tak mungkin akan dapat melakukan perubahan jikalau tidak dimulai dari pembaharuan spiritualitas kehidupan. Demikian Reuther menekankan: “Such Christians would claim redemption is a purely spiritual matter and has nothing to do with socioeconomic change”. (p.215). Perubahan tak mungkin dapat dilakukan hanya berdasarkan perubahan individu kecuali dilakukan secara bersama-sama sebagai satu kolektivitas. Dengan demikian perubahan sosial adalah hal yang paling diutamakan sehingga pembaharuan sistem structural yang hirarkhis dan dualism itu akan menjadi target bagi pembaharuan dalam masyarakat.
9. Nilai-nilai yang diperjuangkan oleh feminism.
Visi kesetaraan perempuan yang berdasarkan imaginasi Allah telah diinterpretasikan oleh Reuter berdasarkan kekeristenan di dalam Perjanjian Baru. Persoalan yang dikembangkan oleh Reuther, yakni bagaimana spiritualitas penyelamatan bukan hanya persoalan individu tetapi mempunyai dampak pada kehidupan komunitas yang memihak pada kehidupan yang menciptakan keadilan bagi semua mahluk (p.215). Dari sini Reuther membedakan perjuangan feminism bagi masa depan dunia, bukan sebatas yang dikembangkan oleh teologi liberalisme yang mengharapkan masyarakat yang demokratis dalam konsep sosialisme (p. 215), yang justru tidak disentuh oleh kenyataan akan anugerah keselamatan dalam wilayah ekonomi sosial. Demikian juga dengan perjuangan yang diarahkan oleh Feminisme Radikal, hanya sebatas pada kepentingan separatis (p. 232), yakni perempuan dan bukan kepentingan baik laki-laki maupun perem[puans ebagai suatu komunitas manusia.
Dari sana nilai-nilai yang dikembangkan oleh feminisme:
1. nilai partisipasi demokratis, yang dikembangkan dari nilai kesetaraan bahwa semua individu adalah warga yang setara serta dilihat sebagai dasar yang sama untuk masuk dan menikmati pendidikan dan kesempatan berkarya dalam masyarakat. Inilah nilai dasar yang akan membaharui management jaringan relasi ekonomi dan politik.
2. Kesempatan mengembangkan pendidikan dan pekerjaan yang mengintegrasikan persoalan-persoalan pekerjaan dalam rumah tangga serta mengambil keputusan dalam masyarakat luas terhadap laki-laki dan perempuan.
3. Mengembangkan masyarakat ekologis yang melihat intergrasi alam raya sebagai patner kehidupan seluruh mahluk.
10. Cara membangun masyarakat baru itu. Ada dua hal yang dikembangkan oleh Reuther (p. 233):
1. Komunitas alternative: suatu komunitas kecil yang sudah memmiliki kesadaran dan nilai-nilai yang terintegrasi di dalam sistem kehidupan mereka bersama. Bahwa semua nilai-nilai dari beragam visi aliran-aliran yang eklusif disatukan dalam bentuk cairan yang dapat menyerap dan menjadi sistem yang menghidupkan kesatuan yang harmoni dari komunitas alternative itu
2. Metode yang digunakan sangat beragam. Misalnya chil-care unit yang mengembangkan institusi pendidikan, sistem energi alternative bagi suatu pembangunan, dan beragam bidang garapan yang dikembangkan untuk mencairkan nilai-nilai dapat diaplikasikan bagi suatu sistem masyarakat baru, yang bukan sistem amsyarakat seksis tetapi sistem masyarakat manusia utuh.
Partisipasi manusia untuk melakukan karya Allah bagi pembaharuan dalam dunia merupakan tugas bersama, laki-laki dan perempuan, sebagai manusia baru bagi pemulihan keutuhan kehidupan manuia dengan manusia serta manusia dengan alam lingkungannya.

Literatur
Hans-George Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermenutika, (terj.) Yogyakarta:Pustaka Pelajar:2004
Letty M. Russel, Human Liberation In Feminist Perspective – A Theology, Philadelphia: The Westminster Press, 1974
Mary Grey, Introducing Feminist Images of God, England: Sheffield Academic Press, 2002..
Nawal El Shadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, (terj.) Jogyakarta: Pustaka Plajar, 2001.
Nickie, “Feminism, Social Movement and Polical Order” dalam Charles Malcolm J. Todd and Garry Taylor (ed), Democracy and Participation: Popular Protest and New Social Movement, London: The Merlin Press, 2004, pp 248-267
Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, (terj.) Jakarta: Kanisius, 2005
Peter L. Berger, Brigitte Berger & Hansfried Kellner, Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia, (terj.), Jakarta: Kanisius, 1992.
Rosemarie Putnam Tong, Feminisme Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminisme, (terj.)(Bandung: Jalasutra: 2005.
Seyla Benhabib and Drucilla Cornell (ed.), Feminism as Critique On the Politics of Gender, Minneapolis: University of Menneapolis Press, 1987.

22 November 2009

Piagam Belas Kasih


[English text below]

Suatu seruan mempersatukan dunia ....

Prinsip belas kasih tersemat dalam jiwa semua tradisi agama, etika atau kerohanian, dan menyeru kepada kita untuk selalu memperlakukan orang lain sebagaimana yang kita ingin diperlakukan. Belas kasih memaksa kita bekerja tanpa kenal lelah untuk menghapuskan penderitaan sesama manusia. Dan untuk melepaskan kepentingan kedudukan kita demi kebaikan dan kesejahteraan orang lain, serta untuk menghormati kesucian tak terganggu-gugat setiap orang, memperlakukan setiap orang dengan keadilan, kesamaan dan rasa hormat yang mutlak, tanpa pengecualian.

Adalah juga penting dalam kehidupan masyarakat dan perorangan untuk terus-menerus menahan diri secara konsisten dan empatik dari tindakan menyakiti orang lain. Bertindak dan berkata-kata kasar karena rasa dendam, kesombongan bangsa, atau kepentingan diri, untuk mengurangkan, mengekploitasi atau menyangkal hak asasi siapa pun dan menghasut kebencian melalui fitnah – bahkan terhadap musuh pun– adalah suatu penyangkalan terhadap kemanusiaan bersama. Kami mengaku bahwa kami telah gagal hidup berbelas kasih dan malahan ada juga yang menambah penderitaan sesama manusia atas nama agama.

Oleh itu kami menyeru kepada semua orang, laki-laki dan perempuan, supaya ~ menghidupkan kembali perasaan belas kasih sebagai asas etika dan agama ~ untuk kembali kepada prinsip asali bahwa setiap tafsiran Kitab Suci yang melahirkan kekerasan, kebencian atau penghinaan, adalah tidak sah ~ untuk menjamin kaum muda diberi informasi yang tepat dan menghargai tradisi, agama dan kebudayaan lain ~ untuk mendorong penghargaan yang positif terhadap kepelbagaian budaya dan agama ~ untuk menyemai empati atas penderitaan semua umat manusia – termasuk mereka yang dianggap musuh.

Kita sangat perlu menjadikan belas kasih sebagai suatu kekuatan yang jelas, bercahaya dan dinamik dalam dunia kita yang terpolarisasi. Berakar dalam tekad mendasar untuk mengatasi keakuan, belas kasih dapat meruntuhkan batas-batas politik, dogmatik, ideologis dan keagamaan. Lahir dari ketergantungan kita yang mendalam antara satu dengan yang lain, belas kasih adalah esensil bagi hubungan antara manusia dan untuk menggenapi kemanusiaan. Belas kasih adalah jalan ke pencerahan, dan tak dapat diabaikan dalam menciptakan suatu ekonomi yang adil dan suatu kehidupan global bersama yang damai.


Trans. by Zakaria J. Ngelow

-----------
Charter for Compassion



A call to bring the world together…

The principle of compassion lies at the heart of all religious, ethical and spiritual traditions, calling us always to treat all others as we wish to be treated ourselves. Compassion impels us to work tirelessly to alleviate the suffering of our fellow creatures, to dethrone ourselves from the centre of our world and put another there, and to honour the inviolable sanctity of every single human being, treating everybody, without exception, with absolute justice, equity and respect.

It is also necessary in both public and private life to refrain consistently and empathically from inflicting pain. To act or speak violently out of spite, chauvinism, or self-interest, to impoverish, exploit or deny basic rights to anybody, and to incite hatred by denigrating others—even our enemies—is a denial of our common humanity. We acknowledge that we have failed to live compassionately and that some have even increased the sum of human misery in the name of religion.

We therefore call upon all men and women ~ to restore compassion to the centre of morality and religion ~ to return to the ancient principle that any interpretation of scripture that breeds violence, hatred or disdain is illegitimate ~ to ensure that youth are given accurate and respectful information about other traditions, religions and cultures ~ to encourage a positive appreciation of cultural and religious diversity ~ to cultivate an informed empathy with the suffering of all human beings—even those regarded as enemies.

We urgently need to make compassion a clear, luminous and dynamic force in our polarized world. Rooted in a principled determination to transcend selfishness, compassion can break down political, dogmatic, ideological and religious boundaries. Born of our deep interdependence, compassion is essential to human relationships and to a fulfilled humanity. It is the path to enlightenment, and indispensible to the creation of a just economy and a peaceful global community.

------
Today [12 Nov 2009] marks the official launch of the Charter for Compassion. The Charter is the result of Karen Armstrong’s 2008 TED (Technology, Entertainment, Design) Prize wish. TED is an annual conference which brings together the world’s most fascinating thinkers and doers, who are challenged to give the talk of their lives (in 18 minutes).The TED Prize is awarded annually to three exceptional individuals who each receive $100,000 and the granting of “One Wish to Change the World.” In a world where religion is often seen as a way to divide us, 2008 TED Prize winner Karen Armstrong will remind us today that religion can be a force to unite us. Karen Armstrong’s TED Prize wish to change the world emphasizes that the core beliefs in all religions point squarely to the Golden Rule—do unto others as you would have them do unto you. This idea to deliberately live your life with compassion for others has been embraced by people around the world who, led by Karen, contributed their thoughts on compassion to a document that evolved into the Charter For Compassion. Please participate in the Charter launch today by sharing it with your friends and family and posting the Charter widget on your website or Facebook page. [Amy Novogratz, TED Prize Director]

Catatan dari SR XV PGI Mamasa

Catatan 1: Baru tadi sore (20 Nov jam 15.30) saya tiba di Mamasa. Dari seorang rekan saya dengan informasi mengenai “badai pasir” pada pembukaan SR kemarin. Gubernur, bupati dan sejumlah petinggi pemerintah lokal menunggu helikopter yang membawa petinggi dari pusat yang akan membuka SR di sebuah lapangan beberapa KM di luar kota Mamasa. Peserta dan undangan juga menunggu di sebuah lapangan tanah kering di tengah kota, tempat yang dipilih untuk pembukaan SR. Ternyata heli mendarat di lapangan di tengah kota itu: baling-balingnya menciptakan badai pasir yang menyiram hadirin ... lalu dari tengah badai muncul sang petinggi: Menhub Numberi.

Catatan 2: [Menanggapi seorang rekan yang sedih karena bukan SBY yang membuka Sidang Raya di Mamasa] Minggu lalu para pemuda gereja di PRPG PGI Sumarorong kecewa karena Menpora tidak hadir membuka pertemuan itu. Mengapa PGI dan gereja-gereja masih meneruskan paradigma masa Orde Baru bahwa pertemuan-pertemuan gerejawi perlu restu penguasa? Saya berpendapat itu mentalitas minoritas dengan kecenderungan ingin dekat (atau tunduk) kepada penguasa. Gereja-gereja kita harus belajar bahwa kewibawaannya bukan pada restu penguasa melainkan pada kesetiaannya kepada Tuhan. Lagi pula apa hebatnya direstui penguasa yang demikian korup? Kedekatan kepada penguasa juga sangat nampak dalam penyelenggaraan: bukan GTM melainkan Panitia (yang NB orang pemerintah) yang menonjol, dan yang kabarnya melakukan tugasnya dengan lebih bersandar kepada pundi-pundi kaisar daripada kepada persembahan warga jemaat. Kecenderungan itu juga nampak dalam kehidupan para pejabat dan warga gereja yang makin menjadi sama buruknya dengan dunia ini ...

Petrus, Matius, Markus ...

Zakaria J. Ngelow

Dulu, ketika lingkungan tempat tinggal kami masih memungkinkan, kami memelihara anjing. Pernah turunan herder; hitam dan anggun. Kami beri nama Nero. Lalu seorang teman agak keberatan anjing kok diberi nama sekeren itu, katanya. Saya kutipkan suatu ungkapan sejarah: orang Kristen memberi nama kaisar Romawi kepada anjingnya, tetapi anak-anak mereka diberi nama para rasul Kristus; sebagian mereka mati sebagai martir karena titah atau ulah sang kaisar ...

Catatan ini saya buat ketika nama-nama para rasul itu dipakai dalam bahasa Indonesia menjadi akronim yang tak begitu sepadan: petrus (penembak misterius), matius (mati misterius), markus (makelar kasus) dan entah apa lagi. Petrus dan Matius adalah dua murid Yesus Kristus. Rasul Petrus berperan sebagai murid senior yang pertama dipanggil; berjanji setia tapi menyangkal Yesus; lalu dipulihkan dan diberi tugas mulia yang dalam tradisi Gereja dihubungkan dengan jabatan sebagai pemimpin gereja, wakil Kristus di bumi. Dia menulis 2 surat dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (Surat 1 dan 2 Petrus). Dalam tulisan Lukas, Rasul Petrus menonjol sebagai pemimpin jemaat di Yerusalem. Salah satu pengalaman pelayanannya adalah perjumpaan dengan Kornelius. Perisitiwa ini disertai penglihatan yang mengenai makanan yang haram, suatu perubahan penting dalam cara pandang Yahudinya (lihat Kis 10.34,35). Dalam tradisi gereja diriwayatkan bahwa Petrus mati disalibkan secara terbalik (atas permintaannya) di Roma ketika kaisar Nero menyuruh bakar kota Roma dan mempersalahkan orang Kristen (thn 64M?). Kisahnya terhubung dengan legenda Quo Vadis.

Rasul Matius adalah murid terpelajar yang menulis salah satu Injil, yang al. berisi Khotbah di Bukit (fasal 5 -7); Hukum Kasih (fasal 22: 37-40); dan mandat pemuridan (fasal 28: 19-20). Markus tidak terdaftar dalam 12 murid – namun jelas murid-murid Yesus bukan hanya 12 orang dan bukan hanya laki-laki bukan? – tetapi diyakini menulis Injil yang tertua, Injil Markus. Dia juga seorang rasul: saksi langsung kehidupan, pelayanan, salib dan kebangkitan Kristus.

Kadang-kadang orang mengatakan – mengikuti Shakespeare — apalah sebuah nama. Namun lebih banyak orang berpendapat sebaliknya, karena nama punya maknanya. Nama mengandung harapan, kehormatan dan kebanggaan. Lalu bagaimana? Perlukah memulihkan nama-nama para Rasul Kristus dan dengan cara mana? Saya kira satu hal memang perlu: kepada anda semua yang dibaptis dalam nama Allah Tritunggal dengan nama rasul Kristus buktikan melalui prestasi dan perilaku bahwa nama-nama itu memang pantas dihormati dan dibanggakan. Rasul Petrus menulis (1Pet 2:12): “Kelakuanmu di antara orang yang tidak mengenal Tuhan haruslah sangat baik, sehingga apabila mereka memfitnah kalian sebagai orang jahat, mereka toh harus mengakui perbuatanmu yang baik, sehingga mereka akan memuji Allah pada hari kedatangan-Nya.”

28 Oktober 2009

Sejarah Penelitian Agama


Suatu Laporan Buku
Lian Padele (Okt 2009)

Sumber: Jacques Waardenburg, The Clasiccal Approach to the Study of Religion. (Nederland: Mouton & Co. N.V., 1973, p. 7-74)


Pendahuluan
Seluruh bagian yang diuraikan dalam tema-tema tulisan ini merupakan gambaran keseluruhan isi dari buku yang hampir mencapai 800 halaman, sehingga membaca dengan cermat bagian ini berarti mengetahui seluruh inti dari objek material dan alat kerja keilmuan para ahli menurut bidang studinyanya masing-masing. Jac sebagai pengedit tulisan-tulisan terpilih dari setiap bidang menjelaskan kategori sejarah yang dimaksudkan dalam studi ini. Ia mendasarkan konsepnya pada rumusan menurut kriteria para ahli yang ia teliti sehingga baginya sejarah yakni, “Peningkatan berhubungan dengan material, pengetahuan aktual, perkembangan teori-teorinya, penetapan masalah-masalah mayornya dan waktu yang berhubungan dengan kesejarahan generasinya”. Konfrontasi antara studi material dan personalitas para ahli dianggap sebagai yang dapat mewakilkan kesejarawan menurut bidang studi sebagai criteria pilihan para ahli yang bekerja 100 tahun dihitung dari penetapan bahwa agama telah menjadi disiplin akademik pada abad 19. Meskipun demikian, akar-akar studi agama akan dilihat sejak abad 16 dan perkembangannya sampai abad 20.

A. Latar Belakang Studi Agama
A. I. Dasar Perkembangan Ilmu Agama menjadi disiplin ilmu yang mandiri, menurut Jac, didasarkan pendapat 3 orang ahli sesudah reformasi abad 16 yakni: Gottfriel W. Leibnis (1646 -1716), David A. Hume (1711-1776) dan Immanuel Kant (1724-1804) yang telah melihat pengaruh agama natural dalam kekeristenan yang dibahasakan sebagai “kemurahan Allah”. Pemikiran mereka ini kemudian dijadikan titik tolak untuk meneliti agama-agama, terutama sekali akibat penemuan benua-benua dan penduduk yang baru dengan penganut agama seperti: Islam, Hinduisme dan Budhisme, Kong Fu Chu dan keyakinan yang tidak memiliki kitab.
A. II. Asal Usul Studi Agama. Jac pertama-tama menunjuk jurnal yang menguraikan pengamatan cermat seorang pelayar terhadap penduduk Indian Amerika Utara oleh Joseph-Francois Lafitau (1681-1746). Jac menyebutkan 3 karya sistimatis yang dihubungkan dengan materi-materi Joseph yang kemudian dikembangkan dengan metode yang berbeda oleh ahli yang berbeda dan dianggap sebagai awal studi fenomena agama yang meliputi: 1) Studi khusus di arahkan kepada pertanyaan mengapa muncul pemujaan fetishisme? Karena kelemahan, ketakutan manusialah yang menimbulkan imajinasi untuk memujanya. Demikianlah Charles de Brosses (1709-1777, memakai metode paralilisme untuk melihat kesamaan fetishisme di 3 lokasi penelitian, di Afrika Utara, Mesir serta Yunani, yang dipublikasikan tahun 1760. Apa yang diuraikan oleh Charles de Brosses merupakan kekayaan penelitian politheisme agama melampaui teori Hume (1711-1776. 2) Pendukung teori fetishisme yang menghubungkan dengan perasaan kepekaan sebagai bentuk imajinasi manusia yakni Chrisitopher Meiners (1747-1810), dan Benyamin Constanty de Rebeque (1767-1830). Kedua orang ini hanya menggantungkan analisis mereka berdasarkan material yang disediakan oleh Charles de Brosses. 3) Memunculkan studi perbandingan linguistic dilanjutkan dengan studi perbandingan mitologi oleh William Jones (1746-1794) dan Jean Francois Champolion (1790 – 1832) mengembangkan metode interpretasi. Sementara itu di Eropa daratan, para Filsuf di Jerman juga telah mengerjakan sejarah agama secara umum. Meskipun agama dapat dipahami oleh pemikir-pemikir ini dalam cara yang berbeda-beda: sebagai cara manusia mengarahkan ketajaman pada relasinya dengan alam, sebagai orientasi manusia kepada yang tidak pasti, sebagai kesadaran ketergantungan manusia kepada yang absolute, sebagai realisasi diri dari suatu ide-ide yang absolute, juga konsep sejarah berbeda secara umum di antara pemikir-pemikir lainnya seperti Johan G von Herder (1744-1803), Frederich von Schlegel (1772-1829), Friedrich D.E. Schleiermarcher (1768-1834) dan George W.F. Hegel (1770-1831), yang semuanya secara garis besar mengatakan bahwa agama-agama mempunyai eksistensi yang tak mungkin dapat dipelajari terlepas dari sejarah. Dengan demikian Jac menjelaskan bahwa sejak reformasi sampai memasuki abad 19, ada dua bidang penelitian fagama yang sudah mulai diletakan, pada satu pihak studi fenomena agama dengan alat yang digunakan dan pada pihak lain, bersamaan dengan itu, sejarah agama secara umum yang juga telah dikembangkan di Jerman.

B. Studi Agama Pada Permulaan Abad 19.
Perkembangan studi agama pada awal abad 19 terpusatkan pada dua elemen dasar: Mitologi dan ceritra-ceritra rakyat. Dalam bagian ini uraian tentang mitologi akan lebih ditonjolkan. Studi tentang mitologi diarahkan untuk mengungkapkan apa arti yang tersembunyi dalam mitos dan simbol-simbol alam. Persoalan epistemologi yakni bagaimanakah menemukan arti terdalam yang tersembunyi dari mitos. Jac Melihat ada dua kelompok ahli yang memfokuskan penelitian terhadap materi-materi yang berbeda. Pertama terhadap simbol dan ritus di lokasi berbeda-beda terdiri dari 5 orang sebagai kelompok pertama. George F. Creuzer (1771-1858), Gottfried Hermann (1772-1848), Joseph von Gorres (1776-1848). Pendapat yang berbeda dari Christian G. Heyne (1729-1812) bahwa studi mitologi bukan berarti bagaimana menginterpretasikan untuk menemukan makna (Freuzer dkk), tetapi justru pendekatan dilakukan melalui penelitian sejarah dan arkeologi berdasarkan lokasi darimana tradisi mitos itu berasal. Mengikuti Gottfried, Carl O. Muller (1797-1840) memakai pendekatan perkembangan sejarah mitologi dengan mempertimbangan perubahan dan lokasinya yang berbeda-beda. Bagi dia mitologi bukan ungkapan hikmat dari kelas para pendeta (Creuzer dan Herman) dan juga bukan bentuk imajinasi manusia (Heyne) tetapi lebih dari itu, sebagai produk emosi dan pemahaman pengalaman kehidupan dan alam. Manusia kemudian berhenti menciptakan mitos karena manusia telah menciptakan sejarah dan pemikiran yang lebih abstrak. Meski Muller lebih rasional tetapi pemahaman Freuzer yang lebih popular di kalangan elitis intelektual. Sementara itu Fredrick W.J. von Schelling (1775-1856), berdasarkan pada materi hasil kuliah-kuliahnya yang diterbitkan 2 tahun sesudah ia meninggal (1856), memilah konsep mitologi dan pewahyuan. Bagi dia, mitologi berfungsi sebagai pegangan manusia, sebagai refleksi yang evolutif dan perwakilan mental dunia manusia sedangkan pewahyuan sebagai bentuk yang berlawanan, yakni ekspresi dari dunia praktis manusia.
Kelompok kedua, Fokus studinya adalah bahasa sebagai alat mengekspresikan fenomena alam, khususnya memberi perhatian pada nama-nama dewa dan spirit fenomena alam. Epistemologi penelitian yang dikembangkan yakni: etimologi dan perbandingan bahasa. Ada 3 orang ahli yang menjadi pokok uraian disini. Mereka memberikan perhatian pada nama-nama dewa dan spirit fenomena alam, yakni F.F. Albert Kuhn (1812 – 1818) dan Wilhem Schwartz (1821-1899), menekankan pentingnya kilat dan petir. Friederich G. Welcker (1784-1868) yang mendasarkan studi mitologi dewa-dewa Yunani. Melawan pemikiran pada waktu itu, Welker berpendapat bahwa agama bukannya impresi tetapi sebagai suatu ekspresi manusia. Menarik untuk dicatat bahwa studi perbandingan agama muncul yang mempunyai pendahuluan pada studi perbandingan mitologi. Cerita-cerita rakyat merupakan mitologi terendah dari sejarah penyembah dewa-dewa.

C. Pendirian Studi Agama Sebagai Disiplin Ilmu yang Otonom.
Sebelum agama diakui sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri, ia telah melalui suatu studi dengan pengujian pemakaian metode serta perkembangan materi-materi sebagai objek penelitiaan, yang menghasilkan dalil-dalil yang berbeda, saling menyangkali atau mendukung di antara pendapat-pendapat para ahli. Dimulai dengan Friedrich Max Muller (1823-1900) yang menemukan metode perbandingan agama menurut model perbandingan bahasa. Dia dianggap sebagai sarjana pertama yang telah mempertimbangkan dan memproklamasikan otonomi “ilmu agama”. Dasar pembenaran bagi pendirian agama sebagai bidang studi keilmuan yang otomi menurut Muller yakni untuk menjawab persoalan, apakah agama itu, apakah fundasinya ada dalam jiwa manusia dan apakah hukum-hukum agama mengikuti sejarah pertumbuhan agama. Prinsip dasarnya bahwa “manusia tidak menyerahkan apa yang ia pegang terhadap kebenaran tetapi paling kurang pembenaran mengikuti kebenaran”. Cara kerja studi perbandingan agama: tahap pertama para sarjana harus menentukan bentuk paling dasar dari agama yang paling kuno dari setiap agama kemudian maju pada tahap kedua, menentukan nilai dan perbandingannya dari bentuk iman agama. Berdasarkan cara kerja yang sistimatis ini, Jac mempromosikan bahwa Max Muller sebagai “founding Father” disiplin ilmu agama. Moritz Lazarus (1824-1903) dan Heymann Steinthal (1823-1899), Cornellis P Tiele (1830-1902), yang mempunyai orientasi seperti Muller, tetapi mengarahkan kekhasannya pada sejarah agama purbakala dan melanjutkan penelitian sejarah agama pada beberapa agama lainnya di dasarkan studi bahasa-bahasa asli sebagai data-data yang ada di Iran, Mesopotamia, Mesir, Israel dan Yunani. Terakhir Tiele mengkombinasikan pendekatan sejarahnya dengan minat sistimatis dan mengikuti evolusi yang disebutnya ‘ide-ide religius’ melalui berbagai bentuk sejarah dari agama alam kepada agama etika. Baginya definisi agama adalah kumpulan dari semua fenomena agama. Carakteristik Tiele dan seluruh sekolah-sekolah sesudah dia adalah merupakan perwujudan sikap objektif terhadap semua bentuk-bentuk agama dari agama-agama itu sendiri. Tiele membedakan dirinya dengan para sejarawan agama lainnya ketika ia melampaui bagian dari filsafat penelitian fenomena agama dan memproklamirkan karakter ilmu agama dalam dua struktur bertingkat: yang fenomenologis sebagai tingkat pertama dan ontologism sebagai tingkat kedua.
Berdasarkan perkebangan metodologi penelitian agama maka pada akhir abad 19, sejarah agama telah diakui sebagai suatu disiplin ilmu pada beberapa universitas, yang dimasukan sebagai bagian dari fakultas kesenian atau dalam teologi. Pekerjaan yang sukses dalam sejarah agama dengan apa yang dilakukan oleh Albert Reville (1826-1906) dan Eugene d’Alviella (1846-1945). Terakhir diketahui pembagian studi agama dalam 3 bagian: 1)Hierografi sebagai deskripsi data religius dari lokasi menurut geografisnya. 2) Hierologi sebagai deskripsi pengelompokan data agama menurut keaslian kearah menurut rangkaian waktu. 3) Hierosophy sebagai penyelidikan kebenaran, nilai dan karakter metafisik agama-agama. Sarjana-sarjana lain membedakan antara deskripsi, kesejarahan dan penelitian filsafat agama.
Pierre D. Chantepie De La Saussaye (1848-1920) yang tidak mendirikan sekolah selama waktu hidupnya tetapi mempertimbangkan beragam teori sebagai permulaan klasifikasi agama. Terakhir, ia lebih tertarik dalam filsafat agama dan etika dan kurang memberikan perhatian pada masalah-masalah lainnya sebab penguasaannya yang terbatas pada bahasa. Saussaye dianggap penemu dispilin klasifikasi agama. Fenomena agama dianggap sebagai perantara antara sejarah dan filsafat agama. Keutamaan Theologi sebagai ilmu agama Kristen diatas ilmu agama-agama secara umum. Model agamanya dipengaruhi oleh van der Leeuw, dimana definisi filsafat agama menunjukan esensi bendanya. Pada akhirnya agama adalah mempunyai kategori teologi sejauh hanya objek nyata agama adalah Tuhan. Dengan demikian de La Saussaye menggeser studi fenomena agama menjadi studi theologis. Dapat dikatakan bahwa carakteristik otonomi studi agama terletak pada: 1) cara kerja yang ditentukan oleh alat-alat yang dipakai (metodologi) dan 2) klasifikasi studi agama.

D. Hubungan Studi Kritis Agama dengan Disipline ilmu lainnya.
Menurut Jac, studi kritis dimulai oleh seorang antropolog perempuan yang bernama Johann J. Bachofen (1815-1887), teorinya yang mendapat penolakan masyarakat tentang tingkat matriarkhal yang telah terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia, kultur dan agama. Kemudian para filsuf akhir abad 19 melanjutkan studi kritis agama dengan memperlawankan pendapat berdasarkan hasil rasio penelitian berhadapan dengan kebenaran absolute sebagaimana yang sudah dikokohkan oleh institusi agama pada umumnya. Dari pihak agama Kristen muncul nama-nama antara lain: Voltire (1694-1778) sebagai pendahulu; abad 19 August Comte (1798-1857) Ludwigh Feurbach (1804-1872). Karl Marx (1818-1883), Engels (1820-1895), Nietzshe (1844-1900), John Stuart Mill (1806-1873). Pada masa itu para ahli berkosentrasi pada pertimbangan apa yang disebut dengan “yang sacral”. Pendiri Sekolah Tubingen, Derdinant Christian Baur (1792-1860), yang mengajukan pertimbangan bagi apa yang disebut dengan kesucian pada kebenarasn historis (historical truth) dipertentangkan dengan apa yang disebut sebagai kesucian pada jamannya. Di Perancis Joseph Ernest Renan (1823-1892) berhadapan dengan gereja berhubungan dengan metode kritis studi alkitab, kehidupan Yesus dan sejarah gereja. Ia telah mendorong terjadinya transisi studi agama kekeristenan tradisional ke studi dokumen sejarah kekeristenan. Teks yang diterbitkannya tentang “Life of Jesus” kemudian menjadi sumber uraian sejarah ilmu agama modern. Bagi Renan manusia dihormati sebagai pencari kebenaran sehingga ia menuntut kebebasan dalam studi agama.
Numa Denist Fustel de Coulnages (1930-1889) seorang sejarawan klasik dan arkeolog yang mempublikasikan hasil penelitiannya terhadap kota kuno tahun 1864, yang menekankan pentingnya studi peradaban Yunani Kuno dan Roma yang mempengaruhi perubahan kehidupan agama. Ia mengingatkan kesulitan studi masyarakat kuno sebagai patokan yang diidealkan sehingga diadopsi oleh masyarakat modern. Jadi agar studi kritis dapat berlangsung, maka haruslah peradaban kuno dilihat sebagai sesuatu yang asing yang tidak mempunyai hubungan dengan masyarakat modern. Studi agama kemudian bermakna bagi pengujian kritis lewat argumentasi bahwa kecerdasan manusia berlanjut terus ke arah kemajuan. Ia menekankan suatu relasi antara ide manusia dan situasi sosial sehingga agama merupakan bagian dari situasi sosial tetapi tidak bisa menjelaskan institusi-institusi sosial dari ide agama.
Jac kemudian memperlihat pengaruh studi kritis terhadap bidang-bidang studi: Study Bible: Beberapa orang dapat disebutkan di sini: Julius Wellhausen (1844-1918) objek kritik sejarah pada PL, BP serta sejarah Agama Islam mula-mula. Ia menunjukan bagaimana formulasi para penulis sebagai masalah sejarah dari 6 buku pertama PL? Ia melihat rumusan teks Alkitab sebagaimana yang berlaku pada literature sejarah umum, yang mempunyai pengaruh kekuasaan individu, kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi. Berbeda dengan Robert Smitt (1846-1894), menempatkan agama Yahudi dalam konteks tradisi agama dan pandangan bangsa Nomaden Semitik secara umum. Ia berorientrasi pada uraian totenisme dan pengorbanan, dan mengatakan bahwa untuk menginterpretasikan ritus-ritus pengorbanan, maka harus didudukan menurut waktu dan tempatnya. Ia menemukan variasi agama Semitik mengikuti agama suku-suku Semitik dan agama Semitik secara keseluruhan merupakan akar agama Yahudi, Kekeristenan dan Islam. Keberagaman agama memperlihatkan keberagaman realitas sosial dan dasar-dasar institusi kesadaran komunitas. Hugo Winckler (1863-1913), objek studinya, astrologi dan astronomi Babilonia Kuno. Semua mite di dasarkan pada mite bintang yang bermula sebagai studi tubuh-tubuh surgawi. Peradaban Babilonia telah memunculkan hipotesis panbabilonia (Alfred Jeremias: 1864-1935) dan penemuan peradaban Mesopotamia dan peradaban pan Babilonia mempunyai pengaruh yang sangat besar di Eropa pada permulaan abad 20. Peran hasil-hasil studi biblika PL bukan hanya berpengaruh ke dalam dirinya tetapi telah membawa reformasi bagi dunia, meskipun studi-studi ini telah disebutkan berpengaruh bagi desakralisasi kitab Suci juga. Menyusul banyak sarjana PL lainnya yang mencoba meneliti hubungan manusia dengan alam yakni Alfred Jeremias (1864-1935), Otto Grupe (1815-1919). Studi paralelisme data Mesopotamia dan PL menyimpulkan bahwa PL terinspirasi dari materi-materi Babilonia. Psikologi. William James (1842-1910), reputasinya sebagai psilogi agama berdasarkan penelitian terhadap “variasi pengalaman agama” 1902 yang menyumbangkan pengertian tentang hakekat manusia dalam penelitiannya tentang manusia yang memiliki napsu religius manusia. Ia juga menjelaskan metode penelitian pengalaman agama yang membedakan manusia berdasarkan otobiografi setiap orang. Ia membedakan antara eksistensi penghakiman dan nilai penghakiman. Dari sini ia memahami apa yang disebut agama, sentimen agama, objek agama dan tindakan agama sebagai perasaan atau emosi terhadap objek agama apapun jenisnya. Antropologi. Herbert Spencer (1820-1903), untuk memahami transformasi homogenis ke heterogenis melalui diferensiasi dengan memakai laporan sosiologi terhadap institusi agama. Titik mulainya yakni pemujaan roh nenek moyang (minism). Asumsinya, sebagaimana ketakutan hidup berakar pada institusi politik, ketakutan kematian berakar pada kontrol agama. Konsep “ghost” muncul sebagai duplikasi yang meninggal sekaligus keinginan untuk berdamai dengan ghost. Upaca orang mati bermakna bagi pendamaian ini dan berkembang pada pemujaan kepada dewa. Ide umumnya tentang agama, karena ilmu bertugas mencari pengetahuan, maka ilmu mengurangi wilayah (domain) dari yang tidak diketahui oleh agama. Evolusi agama mengikuti tingkat perkembangan intelektualitas manusia. Diuraikan juga pendekatan ahli-ahli lainnya seperti Edward B. Taylor (1832-1917), James George Frazer (1854-1941). Sosilogi. Emile Durkheim (1853-1917), melihat agama adalah masyarakat dan realitas yang disimbolkan oleh agama adalah realitas sosial. Agama dipelajari sebagai jawaban terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia. Analisis dilanjutkan dengan institusi sosial lainnya (misalnya hukum) sebagai representasi dan kategori-kategori intelektual dari semua kemurnian masyarakat. Baginya tujuan sosiologi agama adalah untuk memastikan pemahaman esensi agama sebagai aspek yang tak dapat berobah dalam diri manusia. Realitas sosial adalah ekspresi dari agama, termasuk semua intitusi manusia. Ia meletakan suatu metode sosiologi agama. Ia juga memilah yang sakral dan yang profan dalam agama dan meletakan teori agama berdasarkan totenisme Australia yang sama dengan Amerika Utara. Agama dibedakan dengan institusi lainnya sebagaimana antara oposisi yang sakral dan profan. Bagi Durkheim alam bukan sumber studi agama, alam hanya membuktikan simbol-simbol agama dan memajukan identitas kelompok. Marcel Maus (1873-1950), sebagai pengembang aspek-aspek masalah atas pendirian Durkheim. Ia meneliti agama dan fakta-fakta sosial sebagai “keutuhan fenomena sosial” bahwa tidak ada oposisi yang nyata antara individu dan masyarakat tetapi memiliki “interconnection”. Syaratnya masyarakat membolehkan individu berjalan sendiri. Sumbangan Marcel sebagai yang mendirikan jalan bagi penelitian struktural jaman sekarang. Bersama Durkheim membuat buku (1903) yang meneliti sistem-sistem agama yang diklasifikasikan berbeda dengan keilmuan lainnya. Lucien Levy-Bruhl (1857-1939), ia kemudian mempublikasikan masalah pemikiran primitive, yang membedakan dengan mentalitas modern. Partisipasi adalah prinsip dasar manusia dari masyarakat primitif yang terpelihara dalam masyarakat modern. Metodologinya didasarkan pada deskripsi lebih daripada pembenaran nilai. Kalau Durkheim membicarakan tentang representasi kolektif maka Levy menambahkan dengan mentalitas khas. Max Weber (1864-1920) meneliti pengaruh pandagan agama terhadap masyarakat, khususnya relasi antara agama dan ekonomi. Ia memakai pendekatan fungsional, yang membuat klasifikasi tipe-tipe yang dianggap ideal. Esensi agama dibatasinya sejauh mempunyai efek pada tingkah laku sosial. Karena tingkahlaku dan pemikiran agama dan magic diorientasikan secara mendasar pada dunia maka ia menduga tindakan itu bukan datang dari dunia keseharian manusia belaka. Ia mendiskusikan ‘kharisma’ dan menganalisa relasi-relasi yang berbeda antara agama dan adanya spiritual (soull, demon, god) dan baginya peristiwa keseharian merupakan simbol-simbol spiritual. Peneltian terhadap relasi struktural pandangan Calvinis tentang kehidupan dan motif kekuatan kapitalisme termasuk agama-agama lain. Fungsi penelitiannya menunjukan tingkat rasionalisasi semua aspek kehidupan. Psikologi yang mendalam (Sigmund Freud: 1856-1939). Ia meneliti bidang yang tidak disadari manusia dihubungakan dengan sejarah personal. Peran agama, mitos, seni dan literatur sebagai represi atau sublimasi konflik psikologis. Dari sini ia menganalisis dan menginterpretasi motivasi agama dan mengekspresikannya dalam istilah-istilah psikologi yang mendalam. Agama baginya merupakan ekspresi ketergantungan ketidakdewasaan terhadap adanya superhuman. Sejarah agama adalah sejarah neurosis kolektif tetapi sekaligus melaluinya manusia membebaskan dirinya melalui penggunaan akal. Dalam buku yang lain, ia menghormati agama, sebagai ilusi ideal (pemenuhan kedewasaan, kekuatan dan hikmat keinginan manusia). Kekuatan ide dihubungkan dengan kekuatan agama. Ia membedakan antara ilusi dan kesalahan keinginan manusia. Doktrin-doktin agama semuanya adalah ilusi dan tidak dipengaruhi oleh pembuktian. Bertentangan dengan ilusi yakni penelitian ilmiah sebagai jalan yang dapat membuka jalan bagi pengetahuan di luar diri manusia. Menurut Freud, “jikalau kita mengetahui kapan, dimana dan apa motivasi penciptaan doktrin maka sikap kita terhadap masalah agama berbeda dengan nenek moyang kita”. Bukunya yang ketiga, teori tentang pengembangan agama. Ia menguraikan munculnya monotheism Yahudi dan kekeristenan Paulus dengan istilah “pembunuh” Musa dan Jesus, kemudian memunculkan rasa malu yang kompleks terhadap masing-masing agama Yudaisme dan Kekeristenan. Ia menunjukan ketidakdewasaan manusia dan korban ketidakdewasaan yang tidak dapat dipecahkan oleh masalah psikologi sehingga menyatakan perang terhadap agama weltanschauung atas nama rasio. Studi ini pada akhirnya merupakan perlawanan terhadap agama. Kekurangan Freud bahwa ia tidak membuktikan motivasi dan aspirasi agama dalam lingkungan pemahamannya masing-masing

E. Agama Sebagai Subjek Penelitian Khusus.
Studi perbandingan agama-agama sebagai anak dari studi perbandingan mitologi. Juga penelitian sejarah agama secara tak langsung melawan absolutisme pemberian institusi serta telah menyumbangkan instrumen yang tak ternilai dalam studi agama. Kita juga telah melihat perbedaan studi ilmu agama dari sejarah, psikologi, antropologi, sosiologi dan biblika. Pendekatan sejarah ilmu agama dengan studi materialnya telah mengembangkan sejumlah teori hermeneutis selama abad 19 dan perbedaan bidang studi telah mempertemukan para ahli dalam suatu “understanding”. Wilhem Dilthey (1833-1911) dalam penelitian sejarah dan secara teoritis membuat perbedaan antara ‘ilmu dari pikiran” (geisteswissenschaften) dan “ilmu alamiah” (naturwissenchaften). Aplikasi pemikiran Dilthey dilakukan oleh ahli-ahli lainnya yang merasa bahwa pendekatan rasionalistis pada waktunya bukan menjelaskan tentang agama tetapi menguraikannya pada hakekat non agama, dengan sisi yang lebih objektif daripada realistis. Sementara studi subjektif lebih dekat psikologis. Atau adanya jurang antara hasil studi atau studi itu sendiri dengan kenyataan yang sesungguhnya. Sesuatu dianggap sebagai “pemahaman” jika menunjukan pelampauan sisi yang saling dipertentangkan satu dengan yang lain (Max Weber -sosiologi, Eduard Spancer – psikologis). Dalam studi agama ‘pemahaman” diaplikasikan pada ‘elemen religius’ dalam fenomena agama yang dianggap sebagai kesatuan semua agama. Untuk membedakan dengan ilmu agama, maka subjek penelitian haruslah sesuatu yang khas. Scleiermercher: 1768-1834 dan G.W.F. Hegel (1770-1831) mencoba melihat agama sebagai kenyataan. Struktur nilainya bahwa agama sebagai nilai tertinggi. Natan Soderblom (1866-1913), mendekati dan memformulasikan agama secara tipologis: keaslian kepercayaan manusia di dalam Tuhan. Ia mmbedakan uraian tentang Jiwa, melalui pengertian dan kenyataan Ilahi. Pemilahan ini sekaligus menunjukan cara penerimaan manusia terhadap eksistensi yang ilahi.

F. Hasil Penelitian Para Ahli Sejarah Agama
Natan Soderblom (1866-1931), membedakan agama: etnik, mistisisme dan pernyataan Ilahi. Pembedaan yang datang dari kategori karakter “kekudusan (holiness) berbeda dengan Durkheim (Sakral) dan Rodolf Otto konsep “the Holly”. Ia lebih maju dari penelitian lainnya: yang mulai dengan penelitian animiseme, Originator, dan ‘mana’ sebagai cara untuk mempertajam pemahaman tentang ke-Allahan. William Brede Kristensen (1867-1953), mencari nilai-nilai agama dalam tradisi khususnya dalam wilayah misteri agama. nilai disebutnya sebagai “keyakinan orang-orang percaya” (belief of the believers). Ia menentang suatu pengertian jika tidak sesuai dengan pengalaman orang-orang-orang yang mempercayai keyakinannya itu. Ia membedakan sejarah, fenomenologi dan typologi serta Filsafat sebagai 3 dimensi ilmu agama. Ia membedakan fenomena agama melalui agama deskriptif dan normatif. Ia menolak evolusi idealis atau historis tetapi mengakui yang falsafi (sama dengan Hegel).
Agama Pasca perang Dunia I. Penelitian agama menekankan keyakinan dalam hubungan psikologis sebagai instrumen memahami agama dengan memakai pendekatan ‘pengalaman’ dalam pengertian psikologis sebagai metodologis (Jerman). Misalnya George Wobbermin (1869-1943) memakai teori “lingkaran hermeneutic” dalam pemahamannya. Geraldus Van Der Leeuw (1890-1950), memakai metode fenomenologist atau psikologis untuk memahami fenomena agama. Ia melihat kembali karya-karya para ahli sebelumnya tentang psikologi dan sejarah agama, empati, relasi stuktural, tipe-tipe ideal melampaui studi yang dibatasi oleh geografi. Interpretasi masalah struktur antropologi dengan seni menemukan bahwa apresiasi teologi merupakan bagian religiusitas manusia (homo religious) sehingga fenomenologi agama adalah teologi dan antropologi. Ia kemudian mengembangkan metodologinya dengan mencari aplikasi bagi teologi, hasilnya theologi fenomenologis cocok dengan ‘pengertian’ data agama, yang mengantarai teologi sejarah dan sistematik. Ia menekankan bahwa fenomenologi agama cocok dengan konteks darimana pengertian itu muncul dan bukan pada realitas empiris atau yang terakhir. Rudolf Otto (1869-1937) Seorang theologi sistematis. Baginya “the holly” sebagai kategori utama dari makna dan nilai yang sama dengan hakekat theologi sebagai kecenderungan apologetis. Dalil yang mengikutinya yakni suatu fundasi epistemologi dan pembenaran agama bagi pengetahuan agama sebagai manusia punya ‘sensus numinis’ (pembawaan sejak lahir). Ia membedakan antara fenomena dan agama dari agama India dan tradisi agama Barat. Dalam Filosofi agama ia mengembangkan suatu metodologi dengan kesadaran menggunakan intuisi untuk menganalisa pengalaman agama dimana ia mencoba adil memahami agama secara subjektif semua sisi objektive pengalaman agama. Ia tidak memisahkan “The Holy” dari aspek rasional dan irasional yang menyebar dalam kualitas kehidupan beragama. ‘The Holy” adalah kategori kompleks, yang memuat rasionalisasi tetap menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak dapat diukur, dan inilah saat irasional yang membuka ruang bagi dimensi religius. Dimensi irasional inilah sebagai mistisisme “pengasah jiwa” dan mengarahkan pengalaman numinous. Dalam teks yang lain ia mengembangkan aplikasi dari pemahaman “the Holly Other” dan “Absolute”. Dimensi ini menjamin otonomi agama dalam realitas. Otonomi agama sebagai subjek ilmu adalah pembenaran theologis, termasuk pembenaran terhadap dimensi irasional pengalaman agama. agama sebagai perasaan ketergantungan kepada yang absolut. Konsep theologi sistimatisnya dipengaruhi oleh Schliermarcher dan Natan Soderblom. Friedrick Heiler (1892-1967). Studinya terhadap doa-doa pada personalitas religious dan terhadap ekumenis agama-agama yang berbeda. Ia melihat semua agama mempunyai dasar “unity”. Konsekuensinya ia mengembangkan fenomenologi agama yang diorientasikan ke arah garis theologis dengan pertentangan yang difokuskan antara deus absconditus dan deus revelatus. Ia menyadari kekuatan agama diantara yang kurang berpendidikan. Ia menekankan bahwa psikologi diperlukan untuk memahami agama. Ia memanggil para sarjana menyadari bahwa precondition untuk mausk dalam dunia agama adalah pengalaman agama secara personal. Dalam Teks yang lain ia memformulasikan agama pada akhir kehidupan. Ia menghitung 5 syarat bagi studi para ahli: “phenomenological Method” dan 3 syarat untuk studi agama. Kontribusi terakhir juga tercatat dari Carl Gustav Jung (1875-1961), Bronislaw Malinowski (1884-1942), Robert H. Lowie (1883-1975), Paul Radin (1883- 1959), Marthin P. Nilsson (1874-1967) dan terakhir Walter F. Otto (1881-1955).

G. Pendekatan Studi Fenomenologis Terhadap Agama.
Ciri khas pendekatan studi ini berdasarkan pendapat bahwa agama adalah realitas struktur manusia yang bermakna, dan meyakini bahwa yang bermakna itu diekspresikan secara berkesinambungan. Raffaele Pettazzoni (1883-1959) seorang sejarah agama, yang tahun 1954 ia memproduksi tulisan yang melawan jarak yang sangat besar antara penelitian fenomenologis dan histories dan menyarankan studi agama menurut strukturnya dalam konteks sejarah actual. Hendrik Kraemer (1888-1965) ahli interpretasi dan sarjana agama yang titik tolak pemahamannya tentang “realisme agama”. Menurut hasrat jamannya, ia menandai studi sejarah dan komparatif agama sebagai agama filsafat. Dalam tulisannya tentang “agama dan iman Kristen” ia berargumen bahwa kenyataan kesadaran beragamalah sebagai yang mengarahkan tantangan dalam studi filsafat dan akhirnya menunjuk isu-isu teologi yang didiskusikan dalam pembicancangan agama-agama. Max Heiler (1874-1924), menerbitkan ‘From the Eternal in Man’ yang membedakan studi fenomena agama berbeda dari psikologi dan agama serta membedakan dari fenomena kongkrit dan yang lebih esensi dari filsafat agama. dengan pertolongan studi fenomenologi agama akhirnya ia menghasilkan ontologi.

Penutup.
Kosentrasi utama pekerjaan dari pengedit buku ini menurut saya yakni bagaimana menafsirkan sejarah penelitian agama. Cara kerja penulis naskah: pertama menyeleksi hasil studi para ahli yang paling kurang menyumbangkan suatu gerakan yang significant bagi suatu peningkatan studi pada jamannya dan kedua mengkalisifikasikan mereka di dalam 5 kategori sebagaimana yang tergambar dalam setiap tema. Pendekatan sejarah perkembangan studi penelitian agama sangat kentara dalam sistematika penulisannya dan ketika ia sampai pada bagian “D. Agama sebagai subjek penelitian khusus”, maka sesungguhnya ia menguraikan suatu kesimpulan mendasar dari puncak studi agama yang telah membuka ruang bagi studi kritis pada semua disiplin ilmu. Ciri studi agama sampai pada pertengahan abad 20 ditandai dengan PD I yang menarik perkembangan studi psikologi agama dan studi fenomena agama. Karena agama tidak dapat dipisahkan dengan studi sejarah, maka Jac menguraikan hasil studi para ahli sejarah agama, yang kemudian menghasilkan studi fenonologi agama. Menarik untuk dicatat bahwa apa yang telah dilakukan oleh Jac dapat pula menjadi bahan studi penelitian agama, apakah menghasilkan suatu kritik sumber (ahli) atau untuk melakukan studi kritis berhadapan dengan arus studi agama perspektif dari Barat. Terlihat bahwa studi perkembangan agama mengikuti roh jaman dimana abad Pencerahan (18) lebih menekankan pertimbangan dan toleransi, sementara abad Romantisisme mulai permulaan abad 19 penekanannya pada perasaan dan pada alam serta terbuka pada dimensi pengalaman agama dan pengalaman nyata secara umum. Persoalan pluralitas kebudayaan dan agama juga telah menjadi suatu tantangan studi agama-agama pada masa-masa tersebut.
Varian studi agama dengan pendekatan dan objek materi yang berbeda-beda, telah membuka debat yang sangat tajam terhadap hasil studi pengalaman beragama dengan pendekatan metode yang sangat beragam. Sikap kritis terhadap agama-agama telah mendesak para penganut agama-agama untuk lebih mengenal, paling kurang mengidentifikasikan dengan tegas bentuk-bentuk penamaan baik dalam teologi, upacara dan tindakan-tindakan dramaturgis keseharian. Inilah ciri agama pada masa kini yang semakin menunujukan keberagaman penamaan yang mewakilkan semua aspek keberagamaan.
Berdasarkan studi ini pula, saya mengingat kembali dari perbincangan pada gerakan ekumenis awal yang mempertanyakan: mau dibawah kemanakah arah gerakan ekumenis Gereja-Gereja se Dunia?. Gagagsan pertanyaan yang sudah dilontarkan sebelum tahun 1928 itu, dua orang ahli agama-agama Rudolf Otto dan Heiler mengajak Gereja-gereja Ekumenis se Dunia mengarahkan gerakannya pada Ekumene Antar Agama-agama tetapi kelompok Hendrik Kraimer dan Natan Soderblom (yang meninggal dunia lebih awal dari pembentukan WCC) yang memenangkan pengaruhnya dalam sidang-sidang pra DGD, terutama karena mereka terlibat sebagai Steering Commitee persidangan sehingga mereka mempunyai kesempatan untuk menyebarkan gagasan-gagasan mereka ke gereja-gereja calon anggota. Demikianlah DGD mengarahkan gerakan ekumenis terbatas di kalangan gereja-gereja saja. Akhirnya Rudolf Otto dan Heiler bergabung dalam pembentukan Deklarasi Agama-agama se Dunia. Demikian peran para ahli bukan hanya mendesakan identitas penamaan apapun dalam setiap elemen-elemen beragama yang mereka teliti tetapi pun dapat menentukan arah dari institusi suatu agama.

15 Oktober 2009

Protestantisme (2)

http://knowledgerush.com/kr/encyclopedia/Protestantism/.

Pengertian Protestantisme

Arti sempit “protestantisme” adalah kelompok raja-raja dan kota-kota kerajaan yang – pada musyawarah di Speyer tahun 1529 – menandatangani protes penolakan terhadap Edik Worms yang melarang ajaran-ajaran Lutheran dalam kekaisaran Roma Suci. Sampai sekarang kata Protestan dalam wilayah berbahasa Jerman masih secara khusus menunjuk pada gereja-gereja Lutheran, yang dibedakan dengan gereja-gereja Reformed, sementara keseluruhan gereja yang berlatar Reformasi disebut Injili (Evangelikal).

Dalam arti yang luas, Protestantisme adalah semua kelompok agama Kristen dari latar belakang Eropa Barat yang memisahkan diri dengan Gereja Roma Katolik, sebagai akibat dari pengaruh Martin Luther, pendiri gereja-gereja Lutheran, dan Yohanes Calvin, pendiri gerakan Calvinis. Cabang utama ketiga dalam Reformasi, yang bermasalah baik dengan Katolik maupun Protestan yang lain, disebut Reformasi Radikal atau Anabaptis.

Pokok-pokok Teologi

Empat slogan bahasa Latin dari kalangan Reformasi Protestan mengungkapkan prinsip-prinsip teologinya melawan Gereja Roma Katolik masa itu:

1) Solus Christus: Yesus Kristus semata. Hanya Yesus Kristus yang boleh dimuliakan dan disembah (melawan penyembahan orang kudus dalam Gereja Katolik).

2) Sola scriptura: Hanya Alkitab saja.

Protestan enentang ajaran Katolik bahwa di samping Alkitab juga diakui tulisan para Bapa dan Pengajar Gereja, dan khususnya keputusan-keputusan dogmatis Konsili dan Usku Roma (Sri Paus), dengan menegaskan bahwa hanya Alkitab semata adalah Firman Allah, sebagai dasar dan norma otoritas gereja.

3) Sola fide: Dengan iman semata.

Ajaran menentang sistem Roma Katolik – yang menerima perbuatan-perbuatan baik, pengampunan dan indulgensi, misa untuk orang mati, dan perbendaharaan kebajikan para orang kudus dan martir, suatu pelayanan keimamam, dan api penyucian (purgatory) – Protestan menegaskan bahwa setiap orang percaya adalah imam yang dipanggil menjadi orang kudus (imamat am orang percaya), dan hanya dengan iman kepada Yesus Kristus saja orang diperdamaikan dengan Allah.

4) Sola gratia: Semata-mata karunia. Ajaran melawan pandangan Roma Katolik bahwa iman dan perbuatan diperlukan untuk memelihara anugerah yang secara bebas diberikan Allah, kaun Reformasi menegaskan bahwa keselamatan adalah suatu karunia dari Allah yang disalurkan melalui Yesus Kristus, tanpa memperhitungkan kebajikannya, karena tak seorang pun layak untuk keselamatan.

Kadang-kadang pula ditambahkan slogan kelima, Soli Deo gloria -- Kemuliaan hanya bagi Allah. Kalangan Reformasi yakin bahwa manusia (seperti para orang Kudus dan Paus dalam Gereja Katolik) dan Gereja sendiri tidak layak untuk kemuliaan


Sejarah: Pengaruh Internal

Perkembangan Protestantisme dipengaruhi berbagai "gerakan reformasi" dalam kalangan gereja-gereja Protestan:

(a) Gerakan Kesucian dan Pietisme (abad ke-17 dan ke-18). Di antara akibatnya adalah munculnya Gereja Metodis (di Inggeris) dan Gereja Quakers (di Amerika Serikat). Pietisme sangat berjasa dalam bangkitnya gerakan pekabaran Injil di kalangan Protestan sejak abad ke 18.

(b) Gerakan Evangelikalisme (Injili). Pada akhir abad ke-18 gerakan kebangunan Pietisme berlangsung secara lintas denominasi, yang disebut gerakan Injili. Penekanan utama gerakan ini adalah pertobatan perorangan, kesalehan pribadi dan penelaahan Alkitab, moralitas umum (termasuk nilai-nilai hidup sederhana dan keluarga), dan menolak perbudakan, menentang formalisme ibadah dan doktrin, memberi peran yang lebih luas kepada kaum awam dan perempuan dalam ibadah, penginjilan dan pengajaran; serta kerjasama penginjilan lintas batas-batas denominasi.

(c) Gerakan Pentakosta. Gerakan Pentakosta muncul di AS pada awal abad ke-20 di kalangan gerakan Kesucian. Cirinutamanya adalah berusaha mewujudkan kembali bahasa lidah karunia Roh Kudus dalam Perjanjian Baru sebagai bukti “baptisan Roh Kudus”. Mereka juga menekankan penyembuhan Ilahi dan mujizat-mujizat. Hasilnya adalah meluas di kalangan gerakan Kesucian dan melahirkan banyak denominasi baru. Gerakan kiharismatik kemudian juga menekankan karunia -karunia Roh Kudus, namun lebih sering bekerja di dalam denominasi-denominasi, bukannhya muncul dari dalamnya.

(d) Liberalisme. Liberalisme merupakan berbagai upaya di kalangan gereja-gereja arus utama Protestantisme mengakomodasi prinsip-prinsip Pencerahan ke dalam ajaran dan praktek gereja. Adaptasi ini mencapai puncak kritisnya pada akhir abad ke-19 dalam gerakan Modernis dan penafsiran kristis-historis Alkitab.

(e) Fundamentalisme. Sebagai reaksi terhadap kritik Alkitab kaum liberal muncullah Fundamentalisme pada abad ke-20 di Amerika Serikat dan Canada, khususnya di kalangan denominasi yang banyak dipengaruni gerakan Injili. Fundamentalisme secara khusus menekankan otoritas dan kesempurnaan Alkitab; dan menganjurkan memisahkan diri dari penyimpangan dan berpegang pada konservatisme budaya sebagai aspek-aspek penting kehidupan Kristen.

(f) Neo-Injili. Neo-injili (neo-evangelicalism) adalah suatu gerakan pada pertengahan abad ke-20 yang bereaksi pada akibat-akibat tertentu Fundamentalisme, menekankan otoritas Alkitab dengan dukungan liberal arts (ilmu-ilmu sejarah, sastra, filsafat, dsb), kerjasama antar-gereja, apologetika Kristen, dan penginjilan non-denominasional.

(bersambung)

30 September 2009

Pergumulan Rangkap


SUARA PEMBARUAN DAILY

http://www.suarapembaruan.com/News/2009/09/30/index.html
Pergumulan Rangkap

Catatan Pra-Sidang Raya XV PGI

Trisno S Sutanto

Hampir empat dekade lalu, di Sukabumi, berlangsung suatu konsultasi teologis dalam lingkup Dewan Gereja-gereja di Indonesia -DGI (kini Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia-PGI) yang kemudian melahirkan dokumen sangat mahsyur, berjudul Pergumulan Rangkap.

Membaca kembali dokumen itu dan menempatkannya dalam konteks pergulatan gereja-gereja di Tanah Air, setidaknya gereja-gereja yang termasuk dalam lingkup PGI, membuat orang pantas bertanya: sampai sejauh manakah perubahan mendasar pada kehadiran dan misi gereja dalam empat dasawarsa terakhir? Ataukah, sesungguhnya, PGI dan bahkan protestantisme, secara keseluruhan mengalami kemandekan, berada di pinggiran, dan hanya menjadi penonton pasif perubahan masyarakat?

Sulit mencari jawaban pasti atas pertanyaan itu. Tetapi, pengalaman empat dasawarsa terakhir memperlihatkan bahwa dokumen teologis Pergumulan Rangkap (selanjutnya: PR) pantas disebut sebagai salah satu tonggak penentu arah yang penting, dan karenanya perlu dibaca ulang. Esai ini mau mengusulkan pembacaan ulang, yang menurut saya, kian mendesak dilakukan, ketika PGI akan menggelar Sidang Raya XV di Mamasa, November mendatang. Mungkin, dengan itu, kita dapat memberikan makna lebih mendalam pada pengakuan iman sang pemazmur, bahwa "Tuhan itu baik kepada semua" (Mzm 145:9).

Warisan Pietis

Teks PR punya makna sangat penting jika diletakkan pada konteks sosio-historis dan teologis yang melatarinya. Pada satu sisi, ia mau menegaskan kebutuhan bagi gereja-gereja melakukan mawas diri secara jujur dan mendalam terhadap warisan teologisnya. Pada sisi lain, ia sekaligus memberikan arah bagi upaya untuk mencari bentuk teologi yang lebih gayut bagi misi gereja dalam dunia yang sudah berubah.

Pergumulan Rangkap berangkat dari kesadaran bahwa warisan teologi pietis yang ditinggalkan para misionaris Barat, yang menekankan pada kesalehan individu dan keselamatan jiwa, sudah tidak gayut dalam konteks saat itu. Percepatan modernisasi, yang membawa arus industrialisasi, urbanisasi, dan sekularisasi, secara fundamental telah mengubah cara berpikir dan cara hidup masyarakat. Sementara itu, warisan teologi pietis Barat yang dihidupi gereja-gereja justru lebih berorientasi pada segi rohaniah semata, yang membuat gereja-gereja tidak mampu memainkan peran dalam perubahan masyarakat.

Situasi krisis itu tampak jelas pada tiga ranah problematis yang jadi sorotan PR: relasi gereja dengan adat, budaya, dan agama suku; relasi gereja dengan pemerintah atau kekuasaan negara; dan, akhirnya, relasi gereja dengan agama-agama dan kepercayaan lain. Pada setiap ranah itu dirasa kebuntuan yang membuat misi gereja cenderung memperkuat prasangka, dirasa asing dan tidak mampu melakukan transformasi kritis (terhadap adat dan kebudayaan sekitar), serta tunduk pada langgam kekuasaan negara, sehingga tidak mampu berperan profetis.

Dokumen PR menyerukan kebutuhan untuk melakukan pemikiran ulang teologi secara mendasar, dengan menggumuli apa yang disebut sebagai pergumulan rangkap, yakni "pada satu pihak pergumulan gereja dengan Tuhannya dalam arti menghayati kebenaran dan anugerah Allah dalam Yesus Kristus, dan di pihak lain sekaligus merupakan pergumulan dengan kebudayaan dan masyarakat, di tengah-tengah mana gereja itu hidup." Seruan inilah yang membuat PR terasa masih gayut, jauh setelah konteks awal yang melatarinya. Karena apa yang menjadi keprihatinan utama PR sebenarnya menyentuh pergulatan dasar setiap tradisi keagamaan yang otentik. Di tengah masyarakat yang berubah cepat, jika agama masih mau gayut, maka selalu dibutuhkan rethinking teologis persoalan-persoalan zamannya. Tanpa itu, agama dapat menjadi sekadar artefak peninggalan sejarah yang sudah selayaknya dimuseumkan saja!

Pergumulan Rangkap memberikan arah yang jelas dan tegas bagi rethinking itu. Agama (apalagi gereja) harus berani keluar dari benteng-benteng ke(ny)amanan dirinya, dan ikut masuk "meresapi", memakai istilah PR, perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Karena agama (apalagi gereja) bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sekadar alat, atau jalan, bagi karya Allah demi ciptaan-Nya. Kesalahan fundamental yang sering terjadi adalah ketika agama memandang diri bukan lagi sebagai alat, tetapi sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Pada titik itu, maka kehadiran agama dan kepercayaan lain justru dinilai sebagai saingan, atau bahkan musuh, bukan "mitra kerja" bagi rencana keselamatan Allah.

Teologi Inklusif

Ringkasnya, PR mengajak gereja-gereja mengembangkan suatu teologi inklusif yang transformatif. Dalam lingkup kekristenan, PR mengajak agar gereja-gereja mengembangkan relasi yang, pada satu pihak, positif terhadap nilai-nilai, adat istiadat, kepercayaan, agama lain, termasuk pemerintah; tetapi, pada pihak lain, selalu menjaga jarak dan bersikap kritis.

Jarak dan sikap kritis ini dibutuhkan agar berita keselamatan dalam Injil tidak lagi terkungkung, malah dijinakkan, oleh struktur-struktur kekuasaan, masyarakat (termasuk di dalamnya struktur gerejawi!), ataupun warisan adat-istiadat yang sudah membeku. Tetapi, pada saat bersamaan, juga dibutuhkan sikap positif yang, dengan sungguh-sungguh, mau terbuka dan berdialog dengan warisan budaya dan kepercayaan lain. Terlalu lama gereja-gereja, dan saya kira juga agama-agama, hidup dalam ghetto masing-masing yang hanya akan memelihara prasangka dan sikap saling mencurigai.

Pergumulan Rangkap mengajak kita untuk keluar dari jebakan ghetto itu, dan bersama-sama mencandra-dinamika rencana keselamatan Allah. Bukan lagi pada tataran kesalehan dan keselamatan individual, melainkan pada upaya bersama untuk "menciptakan struktur-struktur yang lebih memungkinkan terlaksananya keadilan dan kebenaran". Itulah tugas dan tantangan pokok yang diwariskan PR bagi kita.

Menurut saya, tantangan itu masih gayut untuk dibicarakan lagi dalam persidangan PGI, November mendatang. Karena hanya dengan cara itu, tema yang dipilih PGI, yakni pengakuan iman sang pemazmur bahwa "Tuhan itu baik kepada semua" akan punya makna. Semoga!

Penulis adalah mahasiswa STF "Driyarkara", bekerja di MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama), Jakarta

Last modified: 29/9/09