28 Oktober 2009

Sejarah Penelitian Agama


Suatu Laporan Buku
Lian Padele (Okt 2009)

Sumber: Jacques Waardenburg, The Clasiccal Approach to the Study of Religion. (Nederland: Mouton & Co. N.V., 1973, p. 7-74)


Pendahuluan
Seluruh bagian yang diuraikan dalam tema-tema tulisan ini merupakan gambaran keseluruhan isi dari buku yang hampir mencapai 800 halaman, sehingga membaca dengan cermat bagian ini berarti mengetahui seluruh inti dari objek material dan alat kerja keilmuan para ahli menurut bidang studinyanya masing-masing. Jac sebagai pengedit tulisan-tulisan terpilih dari setiap bidang menjelaskan kategori sejarah yang dimaksudkan dalam studi ini. Ia mendasarkan konsepnya pada rumusan menurut kriteria para ahli yang ia teliti sehingga baginya sejarah yakni, “Peningkatan berhubungan dengan material, pengetahuan aktual, perkembangan teori-teorinya, penetapan masalah-masalah mayornya dan waktu yang berhubungan dengan kesejarahan generasinya”. Konfrontasi antara studi material dan personalitas para ahli dianggap sebagai yang dapat mewakilkan kesejarawan menurut bidang studi sebagai criteria pilihan para ahli yang bekerja 100 tahun dihitung dari penetapan bahwa agama telah menjadi disiplin akademik pada abad 19. Meskipun demikian, akar-akar studi agama akan dilihat sejak abad 16 dan perkembangannya sampai abad 20.

A. Latar Belakang Studi Agama
A. I. Dasar Perkembangan Ilmu Agama menjadi disiplin ilmu yang mandiri, menurut Jac, didasarkan pendapat 3 orang ahli sesudah reformasi abad 16 yakni: Gottfriel W. Leibnis (1646 -1716), David A. Hume (1711-1776) dan Immanuel Kant (1724-1804) yang telah melihat pengaruh agama natural dalam kekeristenan yang dibahasakan sebagai “kemurahan Allah”. Pemikiran mereka ini kemudian dijadikan titik tolak untuk meneliti agama-agama, terutama sekali akibat penemuan benua-benua dan penduduk yang baru dengan penganut agama seperti: Islam, Hinduisme dan Budhisme, Kong Fu Chu dan keyakinan yang tidak memiliki kitab.
A. II. Asal Usul Studi Agama. Jac pertama-tama menunjuk jurnal yang menguraikan pengamatan cermat seorang pelayar terhadap penduduk Indian Amerika Utara oleh Joseph-Francois Lafitau (1681-1746). Jac menyebutkan 3 karya sistimatis yang dihubungkan dengan materi-materi Joseph yang kemudian dikembangkan dengan metode yang berbeda oleh ahli yang berbeda dan dianggap sebagai awal studi fenomena agama yang meliputi: 1) Studi khusus di arahkan kepada pertanyaan mengapa muncul pemujaan fetishisme? Karena kelemahan, ketakutan manusialah yang menimbulkan imajinasi untuk memujanya. Demikianlah Charles de Brosses (1709-1777, memakai metode paralilisme untuk melihat kesamaan fetishisme di 3 lokasi penelitian, di Afrika Utara, Mesir serta Yunani, yang dipublikasikan tahun 1760. Apa yang diuraikan oleh Charles de Brosses merupakan kekayaan penelitian politheisme agama melampaui teori Hume (1711-1776. 2) Pendukung teori fetishisme yang menghubungkan dengan perasaan kepekaan sebagai bentuk imajinasi manusia yakni Chrisitopher Meiners (1747-1810), dan Benyamin Constanty de Rebeque (1767-1830). Kedua orang ini hanya menggantungkan analisis mereka berdasarkan material yang disediakan oleh Charles de Brosses. 3) Memunculkan studi perbandingan linguistic dilanjutkan dengan studi perbandingan mitologi oleh William Jones (1746-1794) dan Jean Francois Champolion (1790 – 1832) mengembangkan metode interpretasi. Sementara itu di Eropa daratan, para Filsuf di Jerman juga telah mengerjakan sejarah agama secara umum. Meskipun agama dapat dipahami oleh pemikir-pemikir ini dalam cara yang berbeda-beda: sebagai cara manusia mengarahkan ketajaman pada relasinya dengan alam, sebagai orientasi manusia kepada yang tidak pasti, sebagai kesadaran ketergantungan manusia kepada yang absolute, sebagai realisasi diri dari suatu ide-ide yang absolute, juga konsep sejarah berbeda secara umum di antara pemikir-pemikir lainnya seperti Johan G von Herder (1744-1803), Frederich von Schlegel (1772-1829), Friedrich D.E. Schleiermarcher (1768-1834) dan George W.F. Hegel (1770-1831), yang semuanya secara garis besar mengatakan bahwa agama-agama mempunyai eksistensi yang tak mungkin dapat dipelajari terlepas dari sejarah. Dengan demikian Jac menjelaskan bahwa sejak reformasi sampai memasuki abad 19, ada dua bidang penelitian fagama yang sudah mulai diletakan, pada satu pihak studi fenomena agama dengan alat yang digunakan dan pada pihak lain, bersamaan dengan itu, sejarah agama secara umum yang juga telah dikembangkan di Jerman.

B. Studi Agama Pada Permulaan Abad 19.
Perkembangan studi agama pada awal abad 19 terpusatkan pada dua elemen dasar: Mitologi dan ceritra-ceritra rakyat. Dalam bagian ini uraian tentang mitologi akan lebih ditonjolkan. Studi tentang mitologi diarahkan untuk mengungkapkan apa arti yang tersembunyi dalam mitos dan simbol-simbol alam. Persoalan epistemologi yakni bagaimanakah menemukan arti terdalam yang tersembunyi dari mitos. Jac Melihat ada dua kelompok ahli yang memfokuskan penelitian terhadap materi-materi yang berbeda. Pertama terhadap simbol dan ritus di lokasi berbeda-beda terdiri dari 5 orang sebagai kelompok pertama. George F. Creuzer (1771-1858), Gottfried Hermann (1772-1848), Joseph von Gorres (1776-1848). Pendapat yang berbeda dari Christian G. Heyne (1729-1812) bahwa studi mitologi bukan berarti bagaimana menginterpretasikan untuk menemukan makna (Freuzer dkk), tetapi justru pendekatan dilakukan melalui penelitian sejarah dan arkeologi berdasarkan lokasi darimana tradisi mitos itu berasal. Mengikuti Gottfried, Carl O. Muller (1797-1840) memakai pendekatan perkembangan sejarah mitologi dengan mempertimbangan perubahan dan lokasinya yang berbeda-beda. Bagi dia mitologi bukan ungkapan hikmat dari kelas para pendeta (Creuzer dan Herman) dan juga bukan bentuk imajinasi manusia (Heyne) tetapi lebih dari itu, sebagai produk emosi dan pemahaman pengalaman kehidupan dan alam. Manusia kemudian berhenti menciptakan mitos karena manusia telah menciptakan sejarah dan pemikiran yang lebih abstrak. Meski Muller lebih rasional tetapi pemahaman Freuzer yang lebih popular di kalangan elitis intelektual. Sementara itu Fredrick W.J. von Schelling (1775-1856), berdasarkan pada materi hasil kuliah-kuliahnya yang diterbitkan 2 tahun sesudah ia meninggal (1856), memilah konsep mitologi dan pewahyuan. Bagi dia, mitologi berfungsi sebagai pegangan manusia, sebagai refleksi yang evolutif dan perwakilan mental dunia manusia sedangkan pewahyuan sebagai bentuk yang berlawanan, yakni ekspresi dari dunia praktis manusia.
Kelompok kedua, Fokus studinya adalah bahasa sebagai alat mengekspresikan fenomena alam, khususnya memberi perhatian pada nama-nama dewa dan spirit fenomena alam. Epistemologi penelitian yang dikembangkan yakni: etimologi dan perbandingan bahasa. Ada 3 orang ahli yang menjadi pokok uraian disini. Mereka memberikan perhatian pada nama-nama dewa dan spirit fenomena alam, yakni F.F. Albert Kuhn (1812 – 1818) dan Wilhem Schwartz (1821-1899), menekankan pentingnya kilat dan petir. Friederich G. Welcker (1784-1868) yang mendasarkan studi mitologi dewa-dewa Yunani. Melawan pemikiran pada waktu itu, Welker berpendapat bahwa agama bukannya impresi tetapi sebagai suatu ekspresi manusia. Menarik untuk dicatat bahwa studi perbandingan agama muncul yang mempunyai pendahuluan pada studi perbandingan mitologi. Cerita-cerita rakyat merupakan mitologi terendah dari sejarah penyembah dewa-dewa.

C. Pendirian Studi Agama Sebagai Disiplin Ilmu yang Otonom.
Sebelum agama diakui sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri, ia telah melalui suatu studi dengan pengujian pemakaian metode serta perkembangan materi-materi sebagai objek penelitiaan, yang menghasilkan dalil-dalil yang berbeda, saling menyangkali atau mendukung di antara pendapat-pendapat para ahli. Dimulai dengan Friedrich Max Muller (1823-1900) yang menemukan metode perbandingan agama menurut model perbandingan bahasa. Dia dianggap sebagai sarjana pertama yang telah mempertimbangkan dan memproklamasikan otonomi “ilmu agama”. Dasar pembenaran bagi pendirian agama sebagai bidang studi keilmuan yang otomi menurut Muller yakni untuk menjawab persoalan, apakah agama itu, apakah fundasinya ada dalam jiwa manusia dan apakah hukum-hukum agama mengikuti sejarah pertumbuhan agama. Prinsip dasarnya bahwa “manusia tidak menyerahkan apa yang ia pegang terhadap kebenaran tetapi paling kurang pembenaran mengikuti kebenaran”. Cara kerja studi perbandingan agama: tahap pertama para sarjana harus menentukan bentuk paling dasar dari agama yang paling kuno dari setiap agama kemudian maju pada tahap kedua, menentukan nilai dan perbandingannya dari bentuk iman agama. Berdasarkan cara kerja yang sistimatis ini, Jac mempromosikan bahwa Max Muller sebagai “founding Father” disiplin ilmu agama. Moritz Lazarus (1824-1903) dan Heymann Steinthal (1823-1899), Cornellis P Tiele (1830-1902), yang mempunyai orientasi seperti Muller, tetapi mengarahkan kekhasannya pada sejarah agama purbakala dan melanjutkan penelitian sejarah agama pada beberapa agama lainnya di dasarkan studi bahasa-bahasa asli sebagai data-data yang ada di Iran, Mesopotamia, Mesir, Israel dan Yunani. Terakhir Tiele mengkombinasikan pendekatan sejarahnya dengan minat sistimatis dan mengikuti evolusi yang disebutnya ‘ide-ide religius’ melalui berbagai bentuk sejarah dari agama alam kepada agama etika. Baginya definisi agama adalah kumpulan dari semua fenomena agama. Carakteristik Tiele dan seluruh sekolah-sekolah sesudah dia adalah merupakan perwujudan sikap objektif terhadap semua bentuk-bentuk agama dari agama-agama itu sendiri. Tiele membedakan dirinya dengan para sejarawan agama lainnya ketika ia melampaui bagian dari filsafat penelitian fenomena agama dan memproklamirkan karakter ilmu agama dalam dua struktur bertingkat: yang fenomenologis sebagai tingkat pertama dan ontologism sebagai tingkat kedua.
Berdasarkan perkebangan metodologi penelitian agama maka pada akhir abad 19, sejarah agama telah diakui sebagai suatu disiplin ilmu pada beberapa universitas, yang dimasukan sebagai bagian dari fakultas kesenian atau dalam teologi. Pekerjaan yang sukses dalam sejarah agama dengan apa yang dilakukan oleh Albert Reville (1826-1906) dan Eugene d’Alviella (1846-1945). Terakhir diketahui pembagian studi agama dalam 3 bagian: 1)Hierografi sebagai deskripsi data religius dari lokasi menurut geografisnya. 2) Hierologi sebagai deskripsi pengelompokan data agama menurut keaslian kearah menurut rangkaian waktu. 3) Hierosophy sebagai penyelidikan kebenaran, nilai dan karakter metafisik agama-agama. Sarjana-sarjana lain membedakan antara deskripsi, kesejarahan dan penelitian filsafat agama.
Pierre D. Chantepie De La Saussaye (1848-1920) yang tidak mendirikan sekolah selama waktu hidupnya tetapi mempertimbangkan beragam teori sebagai permulaan klasifikasi agama. Terakhir, ia lebih tertarik dalam filsafat agama dan etika dan kurang memberikan perhatian pada masalah-masalah lainnya sebab penguasaannya yang terbatas pada bahasa. Saussaye dianggap penemu dispilin klasifikasi agama. Fenomena agama dianggap sebagai perantara antara sejarah dan filsafat agama. Keutamaan Theologi sebagai ilmu agama Kristen diatas ilmu agama-agama secara umum. Model agamanya dipengaruhi oleh van der Leeuw, dimana definisi filsafat agama menunjukan esensi bendanya. Pada akhirnya agama adalah mempunyai kategori teologi sejauh hanya objek nyata agama adalah Tuhan. Dengan demikian de La Saussaye menggeser studi fenomena agama menjadi studi theologis. Dapat dikatakan bahwa carakteristik otonomi studi agama terletak pada: 1) cara kerja yang ditentukan oleh alat-alat yang dipakai (metodologi) dan 2) klasifikasi studi agama.

D. Hubungan Studi Kritis Agama dengan Disipline ilmu lainnya.
Menurut Jac, studi kritis dimulai oleh seorang antropolog perempuan yang bernama Johann J. Bachofen (1815-1887), teorinya yang mendapat penolakan masyarakat tentang tingkat matriarkhal yang telah terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia, kultur dan agama. Kemudian para filsuf akhir abad 19 melanjutkan studi kritis agama dengan memperlawankan pendapat berdasarkan hasil rasio penelitian berhadapan dengan kebenaran absolute sebagaimana yang sudah dikokohkan oleh institusi agama pada umumnya. Dari pihak agama Kristen muncul nama-nama antara lain: Voltire (1694-1778) sebagai pendahulu; abad 19 August Comte (1798-1857) Ludwigh Feurbach (1804-1872). Karl Marx (1818-1883), Engels (1820-1895), Nietzshe (1844-1900), John Stuart Mill (1806-1873). Pada masa itu para ahli berkosentrasi pada pertimbangan apa yang disebut dengan “yang sacral”. Pendiri Sekolah Tubingen, Derdinant Christian Baur (1792-1860), yang mengajukan pertimbangan bagi apa yang disebut dengan kesucian pada kebenarasn historis (historical truth) dipertentangkan dengan apa yang disebut sebagai kesucian pada jamannya. Di Perancis Joseph Ernest Renan (1823-1892) berhadapan dengan gereja berhubungan dengan metode kritis studi alkitab, kehidupan Yesus dan sejarah gereja. Ia telah mendorong terjadinya transisi studi agama kekeristenan tradisional ke studi dokumen sejarah kekeristenan. Teks yang diterbitkannya tentang “Life of Jesus” kemudian menjadi sumber uraian sejarah ilmu agama modern. Bagi Renan manusia dihormati sebagai pencari kebenaran sehingga ia menuntut kebebasan dalam studi agama.
Numa Denist Fustel de Coulnages (1930-1889) seorang sejarawan klasik dan arkeolog yang mempublikasikan hasil penelitiannya terhadap kota kuno tahun 1864, yang menekankan pentingnya studi peradaban Yunani Kuno dan Roma yang mempengaruhi perubahan kehidupan agama. Ia mengingatkan kesulitan studi masyarakat kuno sebagai patokan yang diidealkan sehingga diadopsi oleh masyarakat modern. Jadi agar studi kritis dapat berlangsung, maka haruslah peradaban kuno dilihat sebagai sesuatu yang asing yang tidak mempunyai hubungan dengan masyarakat modern. Studi agama kemudian bermakna bagi pengujian kritis lewat argumentasi bahwa kecerdasan manusia berlanjut terus ke arah kemajuan. Ia menekankan suatu relasi antara ide manusia dan situasi sosial sehingga agama merupakan bagian dari situasi sosial tetapi tidak bisa menjelaskan institusi-institusi sosial dari ide agama.
Jac kemudian memperlihat pengaruh studi kritis terhadap bidang-bidang studi: Study Bible: Beberapa orang dapat disebutkan di sini: Julius Wellhausen (1844-1918) objek kritik sejarah pada PL, BP serta sejarah Agama Islam mula-mula. Ia menunjukan bagaimana formulasi para penulis sebagai masalah sejarah dari 6 buku pertama PL? Ia melihat rumusan teks Alkitab sebagaimana yang berlaku pada literature sejarah umum, yang mempunyai pengaruh kekuasaan individu, kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi. Berbeda dengan Robert Smitt (1846-1894), menempatkan agama Yahudi dalam konteks tradisi agama dan pandangan bangsa Nomaden Semitik secara umum. Ia berorientrasi pada uraian totenisme dan pengorbanan, dan mengatakan bahwa untuk menginterpretasikan ritus-ritus pengorbanan, maka harus didudukan menurut waktu dan tempatnya. Ia menemukan variasi agama Semitik mengikuti agama suku-suku Semitik dan agama Semitik secara keseluruhan merupakan akar agama Yahudi, Kekeristenan dan Islam. Keberagaman agama memperlihatkan keberagaman realitas sosial dan dasar-dasar institusi kesadaran komunitas. Hugo Winckler (1863-1913), objek studinya, astrologi dan astronomi Babilonia Kuno. Semua mite di dasarkan pada mite bintang yang bermula sebagai studi tubuh-tubuh surgawi. Peradaban Babilonia telah memunculkan hipotesis panbabilonia (Alfred Jeremias: 1864-1935) dan penemuan peradaban Mesopotamia dan peradaban pan Babilonia mempunyai pengaruh yang sangat besar di Eropa pada permulaan abad 20. Peran hasil-hasil studi biblika PL bukan hanya berpengaruh ke dalam dirinya tetapi telah membawa reformasi bagi dunia, meskipun studi-studi ini telah disebutkan berpengaruh bagi desakralisasi kitab Suci juga. Menyusul banyak sarjana PL lainnya yang mencoba meneliti hubungan manusia dengan alam yakni Alfred Jeremias (1864-1935), Otto Grupe (1815-1919). Studi paralelisme data Mesopotamia dan PL menyimpulkan bahwa PL terinspirasi dari materi-materi Babilonia. Psikologi. William James (1842-1910), reputasinya sebagai psilogi agama berdasarkan penelitian terhadap “variasi pengalaman agama” 1902 yang menyumbangkan pengertian tentang hakekat manusia dalam penelitiannya tentang manusia yang memiliki napsu religius manusia. Ia juga menjelaskan metode penelitian pengalaman agama yang membedakan manusia berdasarkan otobiografi setiap orang. Ia membedakan antara eksistensi penghakiman dan nilai penghakiman. Dari sini ia memahami apa yang disebut agama, sentimen agama, objek agama dan tindakan agama sebagai perasaan atau emosi terhadap objek agama apapun jenisnya. Antropologi. Herbert Spencer (1820-1903), untuk memahami transformasi homogenis ke heterogenis melalui diferensiasi dengan memakai laporan sosiologi terhadap institusi agama. Titik mulainya yakni pemujaan roh nenek moyang (minism). Asumsinya, sebagaimana ketakutan hidup berakar pada institusi politik, ketakutan kematian berakar pada kontrol agama. Konsep “ghost” muncul sebagai duplikasi yang meninggal sekaligus keinginan untuk berdamai dengan ghost. Upaca orang mati bermakna bagi pendamaian ini dan berkembang pada pemujaan kepada dewa. Ide umumnya tentang agama, karena ilmu bertugas mencari pengetahuan, maka ilmu mengurangi wilayah (domain) dari yang tidak diketahui oleh agama. Evolusi agama mengikuti tingkat perkembangan intelektualitas manusia. Diuraikan juga pendekatan ahli-ahli lainnya seperti Edward B. Taylor (1832-1917), James George Frazer (1854-1941). Sosilogi. Emile Durkheim (1853-1917), melihat agama adalah masyarakat dan realitas yang disimbolkan oleh agama adalah realitas sosial. Agama dipelajari sebagai jawaban terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia. Analisis dilanjutkan dengan institusi sosial lainnya (misalnya hukum) sebagai representasi dan kategori-kategori intelektual dari semua kemurnian masyarakat. Baginya tujuan sosiologi agama adalah untuk memastikan pemahaman esensi agama sebagai aspek yang tak dapat berobah dalam diri manusia. Realitas sosial adalah ekspresi dari agama, termasuk semua intitusi manusia. Ia meletakan suatu metode sosiologi agama. Ia juga memilah yang sakral dan yang profan dalam agama dan meletakan teori agama berdasarkan totenisme Australia yang sama dengan Amerika Utara. Agama dibedakan dengan institusi lainnya sebagaimana antara oposisi yang sakral dan profan. Bagi Durkheim alam bukan sumber studi agama, alam hanya membuktikan simbol-simbol agama dan memajukan identitas kelompok. Marcel Maus (1873-1950), sebagai pengembang aspek-aspek masalah atas pendirian Durkheim. Ia meneliti agama dan fakta-fakta sosial sebagai “keutuhan fenomena sosial” bahwa tidak ada oposisi yang nyata antara individu dan masyarakat tetapi memiliki “interconnection”. Syaratnya masyarakat membolehkan individu berjalan sendiri. Sumbangan Marcel sebagai yang mendirikan jalan bagi penelitian struktural jaman sekarang. Bersama Durkheim membuat buku (1903) yang meneliti sistem-sistem agama yang diklasifikasikan berbeda dengan keilmuan lainnya. Lucien Levy-Bruhl (1857-1939), ia kemudian mempublikasikan masalah pemikiran primitive, yang membedakan dengan mentalitas modern. Partisipasi adalah prinsip dasar manusia dari masyarakat primitif yang terpelihara dalam masyarakat modern. Metodologinya didasarkan pada deskripsi lebih daripada pembenaran nilai. Kalau Durkheim membicarakan tentang representasi kolektif maka Levy menambahkan dengan mentalitas khas. Max Weber (1864-1920) meneliti pengaruh pandagan agama terhadap masyarakat, khususnya relasi antara agama dan ekonomi. Ia memakai pendekatan fungsional, yang membuat klasifikasi tipe-tipe yang dianggap ideal. Esensi agama dibatasinya sejauh mempunyai efek pada tingkah laku sosial. Karena tingkahlaku dan pemikiran agama dan magic diorientasikan secara mendasar pada dunia maka ia menduga tindakan itu bukan datang dari dunia keseharian manusia belaka. Ia mendiskusikan ‘kharisma’ dan menganalisa relasi-relasi yang berbeda antara agama dan adanya spiritual (soull, demon, god) dan baginya peristiwa keseharian merupakan simbol-simbol spiritual. Peneltian terhadap relasi struktural pandangan Calvinis tentang kehidupan dan motif kekuatan kapitalisme termasuk agama-agama lain. Fungsi penelitiannya menunjukan tingkat rasionalisasi semua aspek kehidupan. Psikologi yang mendalam (Sigmund Freud: 1856-1939). Ia meneliti bidang yang tidak disadari manusia dihubungakan dengan sejarah personal. Peran agama, mitos, seni dan literatur sebagai represi atau sublimasi konflik psikologis. Dari sini ia menganalisis dan menginterpretasi motivasi agama dan mengekspresikannya dalam istilah-istilah psikologi yang mendalam. Agama baginya merupakan ekspresi ketergantungan ketidakdewasaan terhadap adanya superhuman. Sejarah agama adalah sejarah neurosis kolektif tetapi sekaligus melaluinya manusia membebaskan dirinya melalui penggunaan akal. Dalam buku yang lain, ia menghormati agama, sebagai ilusi ideal (pemenuhan kedewasaan, kekuatan dan hikmat keinginan manusia). Kekuatan ide dihubungkan dengan kekuatan agama. Ia membedakan antara ilusi dan kesalahan keinginan manusia. Doktrin-doktin agama semuanya adalah ilusi dan tidak dipengaruhi oleh pembuktian. Bertentangan dengan ilusi yakni penelitian ilmiah sebagai jalan yang dapat membuka jalan bagi pengetahuan di luar diri manusia. Menurut Freud, “jikalau kita mengetahui kapan, dimana dan apa motivasi penciptaan doktrin maka sikap kita terhadap masalah agama berbeda dengan nenek moyang kita”. Bukunya yang ketiga, teori tentang pengembangan agama. Ia menguraikan munculnya monotheism Yahudi dan kekeristenan Paulus dengan istilah “pembunuh” Musa dan Jesus, kemudian memunculkan rasa malu yang kompleks terhadap masing-masing agama Yudaisme dan Kekeristenan. Ia menunjukan ketidakdewasaan manusia dan korban ketidakdewasaan yang tidak dapat dipecahkan oleh masalah psikologi sehingga menyatakan perang terhadap agama weltanschauung atas nama rasio. Studi ini pada akhirnya merupakan perlawanan terhadap agama. Kekurangan Freud bahwa ia tidak membuktikan motivasi dan aspirasi agama dalam lingkungan pemahamannya masing-masing

E. Agama Sebagai Subjek Penelitian Khusus.
Studi perbandingan agama-agama sebagai anak dari studi perbandingan mitologi. Juga penelitian sejarah agama secara tak langsung melawan absolutisme pemberian institusi serta telah menyumbangkan instrumen yang tak ternilai dalam studi agama. Kita juga telah melihat perbedaan studi ilmu agama dari sejarah, psikologi, antropologi, sosiologi dan biblika. Pendekatan sejarah ilmu agama dengan studi materialnya telah mengembangkan sejumlah teori hermeneutis selama abad 19 dan perbedaan bidang studi telah mempertemukan para ahli dalam suatu “understanding”. Wilhem Dilthey (1833-1911) dalam penelitian sejarah dan secara teoritis membuat perbedaan antara ‘ilmu dari pikiran” (geisteswissenschaften) dan “ilmu alamiah” (naturwissenchaften). Aplikasi pemikiran Dilthey dilakukan oleh ahli-ahli lainnya yang merasa bahwa pendekatan rasionalistis pada waktunya bukan menjelaskan tentang agama tetapi menguraikannya pada hakekat non agama, dengan sisi yang lebih objektif daripada realistis. Sementara studi subjektif lebih dekat psikologis. Atau adanya jurang antara hasil studi atau studi itu sendiri dengan kenyataan yang sesungguhnya. Sesuatu dianggap sebagai “pemahaman” jika menunjukan pelampauan sisi yang saling dipertentangkan satu dengan yang lain (Max Weber -sosiologi, Eduard Spancer – psikologis). Dalam studi agama ‘pemahaman” diaplikasikan pada ‘elemen religius’ dalam fenomena agama yang dianggap sebagai kesatuan semua agama. Untuk membedakan dengan ilmu agama, maka subjek penelitian haruslah sesuatu yang khas. Scleiermercher: 1768-1834 dan G.W.F. Hegel (1770-1831) mencoba melihat agama sebagai kenyataan. Struktur nilainya bahwa agama sebagai nilai tertinggi. Natan Soderblom (1866-1913), mendekati dan memformulasikan agama secara tipologis: keaslian kepercayaan manusia di dalam Tuhan. Ia mmbedakan uraian tentang Jiwa, melalui pengertian dan kenyataan Ilahi. Pemilahan ini sekaligus menunjukan cara penerimaan manusia terhadap eksistensi yang ilahi.

F. Hasil Penelitian Para Ahli Sejarah Agama
Natan Soderblom (1866-1931), membedakan agama: etnik, mistisisme dan pernyataan Ilahi. Pembedaan yang datang dari kategori karakter “kekudusan (holiness) berbeda dengan Durkheim (Sakral) dan Rodolf Otto konsep “the Holly”. Ia lebih maju dari penelitian lainnya: yang mulai dengan penelitian animiseme, Originator, dan ‘mana’ sebagai cara untuk mempertajam pemahaman tentang ke-Allahan. William Brede Kristensen (1867-1953), mencari nilai-nilai agama dalam tradisi khususnya dalam wilayah misteri agama. nilai disebutnya sebagai “keyakinan orang-orang percaya” (belief of the believers). Ia menentang suatu pengertian jika tidak sesuai dengan pengalaman orang-orang-orang yang mempercayai keyakinannya itu. Ia membedakan sejarah, fenomenologi dan typologi serta Filsafat sebagai 3 dimensi ilmu agama. Ia membedakan fenomena agama melalui agama deskriptif dan normatif. Ia menolak evolusi idealis atau historis tetapi mengakui yang falsafi (sama dengan Hegel).
Agama Pasca perang Dunia I. Penelitian agama menekankan keyakinan dalam hubungan psikologis sebagai instrumen memahami agama dengan memakai pendekatan ‘pengalaman’ dalam pengertian psikologis sebagai metodologis (Jerman). Misalnya George Wobbermin (1869-1943) memakai teori “lingkaran hermeneutic” dalam pemahamannya. Geraldus Van Der Leeuw (1890-1950), memakai metode fenomenologist atau psikologis untuk memahami fenomena agama. Ia melihat kembali karya-karya para ahli sebelumnya tentang psikologi dan sejarah agama, empati, relasi stuktural, tipe-tipe ideal melampaui studi yang dibatasi oleh geografi. Interpretasi masalah struktur antropologi dengan seni menemukan bahwa apresiasi teologi merupakan bagian religiusitas manusia (homo religious) sehingga fenomenologi agama adalah teologi dan antropologi. Ia kemudian mengembangkan metodologinya dengan mencari aplikasi bagi teologi, hasilnya theologi fenomenologis cocok dengan ‘pengertian’ data agama, yang mengantarai teologi sejarah dan sistematik. Ia menekankan bahwa fenomenologi agama cocok dengan konteks darimana pengertian itu muncul dan bukan pada realitas empiris atau yang terakhir. Rudolf Otto (1869-1937) Seorang theologi sistematis. Baginya “the holly” sebagai kategori utama dari makna dan nilai yang sama dengan hakekat theologi sebagai kecenderungan apologetis. Dalil yang mengikutinya yakni suatu fundasi epistemologi dan pembenaran agama bagi pengetahuan agama sebagai manusia punya ‘sensus numinis’ (pembawaan sejak lahir). Ia membedakan antara fenomena dan agama dari agama India dan tradisi agama Barat. Dalam Filosofi agama ia mengembangkan suatu metodologi dengan kesadaran menggunakan intuisi untuk menganalisa pengalaman agama dimana ia mencoba adil memahami agama secara subjektif semua sisi objektive pengalaman agama. Ia tidak memisahkan “The Holy” dari aspek rasional dan irasional yang menyebar dalam kualitas kehidupan beragama. ‘The Holy” adalah kategori kompleks, yang memuat rasionalisasi tetap menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak dapat diukur, dan inilah saat irasional yang membuka ruang bagi dimensi religius. Dimensi irasional inilah sebagai mistisisme “pengasah jiwa” dan mengarahkan pengalaman numinous. Dalam teks yang lain ia mengembangkan aplikasi dari pemahaman “the Holly Other” dan “Absolute”. Dimensi ini menjamin otonomi agama dalam realitas. Otonomi agama sebagai subjek ilmu adalah pembenaran theologis, termasuk pembenaran terhadap dimensi irasional pengalaman agama. agama sebagai perasaan ketergantungan kepada yang absolut. Konsep theologi sistimatisnya dipengaruhi oleh Schliermarcher dan Natan Soderblom. Friedrick Heiler (1892-1967). Studinya terhadap doa-doa pada personalitas religious dan terhadap ekumenis agama-agama yang berbeda. Ia melihat semua agama mempunyai dasar “unity”. Konsekuensinya ia mengembangkan fenomenologi agama yang diorientasikan ke arah garis theologis dengan pertentangan yang difokuskan antara deus absconditus dan deus revelatus. Ia menyadari kekuatan agama diantara yang kurang berpendidikan. Ia menekankan bahwa psikologi diperlukan untuk memahami agama. Ia memanggil para sarjana menyadari bahwa precondition untuk mausk dalam dunia agama adalah pengalaman agama secara personal. Dalam Teks yang lain ia memformulasikan agama pada akhir kehidupan. Ia menghitung 5 syarat bagi studi para ahli: “phenomenological Method” dan 3 syarat untuk studi agama. Kontribusi terakhir juga tercatat dari Carl Gustav Jung (1875-1961), Bronislaw Malinowski (1884-1942), Robert H. Lowie (1883-1975), Paul Radin (1883- 1959), Marthin P. Nilsson (1874-1967) dan terakhir Walter F. Otto (1881-1955).

G. Pendekatan Studi Fenomenologis Terhadap Agama.
Ciri khas pendekatan studi ini berdasarkan pendapat bahwa agama adalah realitas struktur manusia yang bermakna, dan meyakini bahwa yang bermakna itu diekspresikan secara berkesinambungan. Raffaele Pettazzoni (1883-1959) seorang sejarah agama, yang tahun 1954 ia memproduksi tulisan yang melawan jarak yang sangat besar antara penelitian fenomenologis dan histories dan menyarankan studi agama menurut strukturnya dalam konteks sejarah actual. Hendrik Kraemer (1888-1965) ahli interpretasi dan sarjana agama yang titik tolak pemahamannya tentang “realisme agama”. Menurut hasrat jamannya, ia menandai studi sejarah dan komparatif agama sebagai agama filsafat. Dalam tulisannya tentang “agama dan iman Kristen” ia berargumen bahwa kenyataan kesadaran beragamalah sebagai yang mengarahkan tantangan dalam studi filsafat dan akhirnya menunjuk isu-isu teologi yang didiskusikan dalam pembicancangan agama-agama. Max Heiler (1874-1924), menerbitkan ‘From the Eternal in Man’ yang membedakan studi fenomena agama berbeda dari psikologi dan agama serta membedakan dari fenomena kongkrit dan yang lebih esensi dari filsafat agama. dengan pertolongan studi fenomenologi agama akhirnya ia menghasilkan ontologi.

Penutup.
Kosentrasi utama pekerjaan dari pengedit buku ini menurut saya yakni bagaimana menafsirkan sejarah penelitian agama. Cara kerja penulis naskah: pertama menyeleksi hasil studi para ahli yang paling kurang menyumbangkan suatu gerakan yang significant bagi suatu peningkatan studi pada jamannya dan kedua mengkalisifikasikan mereka di dalam 5 kategori sebagaimana yang tergambar dalam setiap tema. Pendekatan sejarah perkembangan studi penelitian agama sangat kentara dalam sistematika penulisannya dan ketika ia sampai pada bagian “D. Agama sebagai subjek penelitian khusus”, maka sesungguhnya ia menguraikan suatu kesimpulan mendasar dari puncak studi agama yang telah membuka ruang bagi studi kritis pada semua disiplin ilmu. Ciri studi agama sampai pada pertengahan abad 20 ditandai dengan PD I yang menarik perkembangan studi psikologi agama dan studi fenomena agama. Karena agama tidak dapat dipisahkan dengan studi sejarah, maka Jac menguraikan hasil studi para ahli sejarah agama, yang kemudian menghasilkan studi fenonologi agama. Menarik untuk dicatat bahwa apa yang telah dilakukan oleh Jac dapat pula menjadi bahan studi penelitian agama, apakah menghasilkan suatu kritik sumber (ahli) atau untuk melakukan studi kritis berhadapan dengan arus studi agama perspektif dari Barat. Terlihat bahwa studi perkembangan agama mengikuti roh jaman dimana abad Pencerahan (18) lebih menekankan pertimbangan dan toleransi, sementara abad Romantisisme mulai permulaan abad 19 penekanannya pada perasaan dan pada alam serta terbuka pada dimensi pengalaman agama dan pengalaman nyata secara umum. Persoalan pluralitas kebudayaan dan agama juga telah menjadi suatu tantangan studi agama-agama pada masa-masa tersebut.
Varian studi agama dengan pendekatan dan objek materi yang berbeda-beda, telah membuka debat yang sangat tajam terhadap hasil studi pengalaman beragama dengan pendekatan metode yang sangat beragam. Sikap kritis terhadap agama-agama telah mendesak para penganut agama-agama untuk lebih mengenal, paling kurang mengidentifikasikan dengan tegas bentuk-bentuk penamaan baik dalam teologi, upacara dan tindakan-tindakan dramaturgis keseharian. Inilah ciri agama pada masa kini yang semakin menunujukan keberagaman penamaan yang mewakilkan semua aspek keberagamaan.
Berdasarkan studi ini pula, saya mengingat kembali dari perbincangan pada gerakan ekumenis awal yang mempertanyakan: mau dibawah kemanakah arah gerakan ekumenis Gereja-Gereja se Dunia?. Gagagsan pertanyaan yang sudah dilontarkan sebelum tahun 1928 itu, dua orang ahli agama-agama Rudolf Otto dan Heiler mengajak Gereja-gereja Ekumenis se Dunia mengarahkan gerakannya pada Ekumene Antar Agama-agama tetapi kelompok Hendrik Kraimer dan Natan Soderblom (yang meninggal dunia lebih awal dari pembentukan WCC) yang memenangkan pengaruhnya dalam sidang-sidang pra DGD, terutama karena mereka terlibat sebagai Steering Commitee persidangan sehingga mereka mempunyai kesempatan untuk menyebarkan gagasan-gagasan mereka ke gereja-gereja calon anggota. Demikianlah DGD mengarahkan gerakan ekumenis terbatas di kalangan gereja-gereja saja. Akhirnya Rudolf Otto dan Heiler bergabung dalam pembentukan Deklarasi Agama-agama se Dunia. Demikian peran para ahli bukan hanya mendesakan identitas penamaan apapun dalam setiap elemen-elemen beragama yang mereka teliti tetapi pun dapat menentukan arah dari institusi suatu agama.

15 Oktober 2009

Protestantisme (2)

http://knowledgerush.com/kr/encyclopedia/Protestantism/.

Pengertian Protestantisme

Arti sempit “protestantisme” adalah kelompok raja-raja dan kota-kota kerajaan yang – pada musyawarah di Speyer tahun 1529 – menandatangani protes penolakan terhadap Edik Worms yang melarang ajaran-ajaran Lutheran dalam kekaisaran Roma Suci. Sampai sekarang kata Protestan dalam wilayah berbahasa Jerman masih secara khusus menunjuk pada gereja-gereja Lutheran, yang dibedakan dengan gereja-gereja Reformed, sementara keseluruhan gereja yang berlatar Reformasi disebut Injili (Evangelikal).

Dalam arti yang luas, Protestantisme adalah semua kelompok agama Kristen dari latar belakang Eropa Barat yang memisahkan diri dengan Gereja Roma Katolik, sebagai akibat dari pengaruh Martin Luther, pendiri gereja-gereja Lutheran, dan Yohanes Calvin, pendiri gerakan Calvinis. Cabang utama ketiga dalam Reformasi, yang bermasalah baik dengan Katolik maupun Protestan yang lain, disebut Reformasi Radikal atau Anabaptis.

Pokok-pokok Teologi

Empat slogan bahasa Latin dari kalangan Reformasi Protestan mengungkapkan prinsip-prinsip teologinya melawan Gereja Roma Katolik masa itu:

1) Solus Christus: Yesus Kristus semata. Hanya Yesus Kristus yang boleh dimuliakan dan disembah (melawan penyembahan orang kudus dalam Gereja Katolik).

2) Sola scriptura: Hanya Alkitab saja.

Protestan enentang ajaran Katolik bahwa di samping Alkitab juga diakui tulisan para Bapa dan Pengajar Gereja, dan khususnya keputusan-keputusan dogmatis Konsili dan Usku Roma (Sri Paus), dengan menegaskan bahwa hanya Alkitab semata adalah Firman Allah, sebagai dasar dan norma otoritas gereja.

3) Sola fide: Dengan iman semata.

Ajaran menentang sistem Roma Katolik – yang menerima perbuatan-perbuatan baik, pengampunan dan indulgensi, misa untuk orang mati, dan perbendaharaan kebajikan para orang kudus dan martir, suatu pelayanan keimamam, dan api penyucian (purgatory) – Protestan menegaskan bahwa setiap orang percaya adalah imam yang dipanggil menjadi orang kudus (imamat am orang percaya), dan hanya dengan iman kepada Yesus Kristus saja orang diperdamaikan dengan Allah.

4) Sola gratia: Semata-mata karunia. Ajaran melawan pandangan Roma Katolik bahwa iman dan perbuatan diperlukan untuk memelihara anugerah yang secara bebas diberikan Allah, kaun Reformasi menegaskan bahwa keselamatan adalah suatu karunia dari Allah yang disalurkan melalui Yesus Kristus, tanpa memperhitungkan kebajikannya, karena tak seorang pun layak untuk keselamatan.

Kadang-kadang pula ditambahkan slogan kelima, Soli Deo gloria -- Kemuliaan hanya bagi Allah. Kalangan Reformasi yakin bahwa manusia (seperti para orang Kudus dan Paus dalam Gereja Katolik) dan Gereja sendiri tidak layak untuk kemuliaan


Sejarah: Pengaruh Internal

Perkembangan Protestantisme dipengaruhi berbagai "gerakan reformasi" dalam kalangan gereja-gereja Protestan:

(a) Gerakan Kesucian dan Pietisme (abad ke-17 dan ke-18). Di antara akibatnya adalah munculnya Gereja Metodis (di Inggeris) dan Gereja Quakers (di Amerika Serikat). Pietisme sangat berjasa dalam bangkitnya gerakan pekabaran Injil di kalangan Protestan sejak abad ke 18.

(b) Gerakan Evangelikalisme (Injili). Pada akhir abad ke-18 gerakan kebangunan Pietisme berlangsung secara lintas denominasi, yang disebut gerakan Injili. Penekanan utama gerakan ini adalah pertobatan perorangan, kesalehan pribadi dan penelaahan Alkitab, moralitas umum (termasuk nilai-nilai hidup sederhana dan keluarga), dan menolak perbudakan, menentang formalisme ibadah dan doktrin, memberi peran yang lebih luas kepada kaum awam dan perempuan dalam ibadah, penginjilan dan pengajaran; serta kerjasama penginjilan lintas batas-batas denominasi.

(c) Gerakan Pentakosta. Gerakan Pentakosta muncul di AS pada awal abad ke-20 di kalangan gerakan Kesucian. Cirinutamanya adalah berusaha mewujudkan kembali bahasa lidah karunia Roh Kudus dalam Perjanjian Baru sebagai bukti “baptisan Roh Kudus”. Mereka juga menekankan penyembuhan Ilahi dan mujizat-mujizat. Hasilnya adalah meluas di kalangan gerakan Kesucian dan melahirkan banyak denominasi baru. Gerakan kiharismatik kemudian juga menekankan karunia -karunia Roh Kudus, namun lebih sering bekerja di dalam denominasi-denominasi, bukannhya muncul dari dalamnya.

(d) Liberalisme. Liberalisme merupakan berbagai upaya di kalangan gereja-gereja arus utama Protestantisme mengakomodasi prinsip-prinsip Pencerahan ke dalam ajaran dan praktek gereja. Adaptasi ini mencapai puncak kritisnya pada akhir abad ke-19 dalam gerakan Modernis dan penafsiran kristis-historis Alkitab.

(e) Fundamentalisme. Sebagai reaksi terhadap kritik Alkitab kaum liberal muncullah Fundamentalisme pada abad ke-20 di Amerika Serikat dan Canada, khususnya di kalangan denominasi yang banyak dipengaruni gerakan Injili. Fundamentalisme secara khusus menekankan otoritas dan kesempurnaan Alkitab; dan menganjurkan memisahkan diri dari penyimpangan dan berpegang pada konservatisme budaya sebagai aspek-aspek penting kehidupan Kristen.

(f) Neo-Injili. Neo-injili (neo-evangelicalism) adalah suatu gerakan pada pertengahan abad ke-20 yang bereaksi pada akibat-akibat tertentu Fundamentalisme, menekankan otoritas Alkitab dengan dukungan liberal arts (ilmu-ilmu sejarah, sastra, filsafat, dsb), kerjasama antar-gereja, apologetika Kristen, dan penginjilan non-denominasional.

(bersambung)