15 Desember 2011

Surat akhir tahun


Marie-Claire Barth- Frommel

Surat tahunan kepada sahabat dan kenalan
pada masa Natal 2011 dan Tahun Baru 2012


Salam sejahtera dalam Tuhan kita,

Hujan turun bergerimis, pohon-pohonan sudah telanjang, hanya bermacam cemara besar yang tetap hijau tua, asap kecil bagaikan bulu burung naik dari cerobong di atas atap basah, hawa dingin, tetapi belum di bawah 0° sehingga geranyum di depan jendela masih merah. Lilin menyala di depan saya di meja tulis , tanda masa Adven, dan hati mencari sahabat yang jauh.

1.Bagi saya tahun yang hampir silam ini ditandai oleh gelar „doctor theologia“. Pertama-tama Ati Hildebrand-Rambe menulis tentang upacara pada kematian orang di Sumba dan Mamasa, menganalisa makna dan peran dalam hidup orang yang berduka dan dalam masyarakat. Ia memikirkan arti kematian baik dalam agama lokal maupun dalam Alkitab dan melihat bahwa ayat seperti „Ishak dikeumpulkan pada leluhurnya“ (Kej 29:33) dan „di rumah BapaKu banyak tempat tinggal“ searah dengan harapan duduk bersama leluhur di rumah Pencipta . Dikembangkan pastoral baru yang menghormati agama lokal tetapi melihat dengan jelas bahwa dalam Injil semua anak Allah setingkat-sederajat dan oang yang masih hidup di dunia ini tidak tergantung pada berkat (atau kutuk) leluhur, tetapi pada Allah sajalah. Disertasi ini akan diterbitkan dalam bentuk dan bahasa Indonesia dan cukup penting! Disertasi kedua ditulis oleh Septemmy Lakawa di Boston: ia menganalisa akibat kerusuhan atas kehidupan penduduk di suatu desa di Halmahera Utara dan mencatat bahwa istilah inti iman kita mendapat warna baru: seorang martir adalah orang yang seperti Yesus sendiri menderita karena iman dan kini mengajak kita untuk mengikuti Jesus dan mencari perdamaian dan hidup dengan Tuhan, Salib tidak lagi mengingat akan pengampunan saja, melainkan akan penderitaan Yesus dan penderitaan sendiri yang bermuarah dalam kebangkitan dan mengajak kita memelihara hidup bersama... Disertasi ini amat kaya dan iapun akan diindonesiakan. Disertasi ketiga ditulis di Kampen oleh Agustinus Setiawidi yang melihat di mana ahli Perjanjan Lama telah berpikir secara kontekstual, Disertasi keempat dikerjakan oleh Yuberlian Padele di UKSW Salatiga dan berinti pada keadilan serta sumbangan yang dinberikan Agustina Lumentut, ketua sinode per. yang pertama di Indonesia, dalam perjuangan untuk keadilan itu. Akhirnya saya sendiri dikaruniakan doctor theologia honoris causa untuk karya sehidup di tengah gereja-gereja di Indonesia.; saya sangat heran menerima kehormatan ini dan merasa bahwa saya jauh lebih banyak belajar dari pada teman-teman dari memberikan sendiri; saya menjadi semacam penerjemah antara dua budaya. (Pidato di depan fakultas dengan judul „Persoalan toelogis yang kini dihadapi gereja-gereja protestan di Indonesia “ dapat diminta dan akan dikirim sebagai attachement mail). Saya berusaha menulis tafsiran kitab Ayub, tugas indah, sulit dan menantang dan maju pelan-pelan.

2. Dalam tahun yang silam arus perobahan dunia makin nyata: kelainan iklim: belum pernah kami menikmati musim rontok dengan bunga dan daun pohon kuning muda, mas tua dan merah di bahwa sinar matahari; kini akhirnya turun hujan grimis, para petani bersyukur, demikian juga penduduk gunung yang dapat mengharapkan touris yang main salju di liburan akhir tahun.
Krisis yang mulai di Amerika Serikat, kini sampai ke Eropa: dalam tahun 90an ekonomi berkembang, proyek riset dan pendididkan serta budaya dimulai, asuransi sosial diperluas, suasana terbuka; tetapi sekarang nyata bahwa Eropa hidup melebihi kemampuan, negara makin berutang, di mana-mana rencana baik dicoret, budget dikecilkan, orang dan lembaga harus menghemat. Rakyat kecil, yang tidak pernah memboros, paling terpukul. Situasi di Swis
masih lumayan, tetapi karena orang yang tadinya simpan uangnya dalam US dollar atau Euro kini pindah ke Franc Swis, maka uang itu naik harganya dengan akibat bahwa barang dan jasa yang diproduksi di Swis menajdi sangat mahal untuk negara tetangga dan ekspor berkurang. Perusahan melepaskan tenaga kerja dan /atau mentransfer sebagian produksi ke negara bergaji rendah; pengangguran bertambah dan orang gelisah. Prognose pun suram: kalau penduduk Eropa masih merupakan 20% penduduk dunia pada tahun 1950, diperkirakan bahwa 2050 masih tinggal 7% (karena jumlah orang tua bertambah dan anak berkurang); kalau tahun 1950 ekonomi Eropa masih merupakan 30% hasil di dunia, maka 1050 masih akan berjumlah 10% karena Cina, India, India dsb maju. Sebagai akibat krisis ini partai politik kanan menggunakan keresahan masyarakat untuk mengembangkan suatu nasionalisme sempit, yang mengagungkan masa lampau dan mempersalahkan “yang lain“ – globalisasi, imigrasi, Islam, dsb- sebagai ancaman nilai luhur. Mereka menutup diri pada perobahan dan menjanjikan keamanan yang takkan mungkin. Makin sulit mempertahankan „civil society“ yang terbuka, kreatip dan menghormati hak-hak asasi manusia. Namun kita harus tekun.

3. Berita keluarga: (omitted, zjn)

Saya mendoakan saudara sekalian dan mohon agar Tuhan menyertai dan memberkati uadara sekalian. Ia datang dalam bentuk seorang anak kecil dan mendampingi kita dalam kelemahan kita, iinlah kekuatan yang mendorong kita mengikuti jalanNya


Marie-Claire Barth- Frommel
e.mail < nenek@bluewin.ch

12 Desember 2011

Catatan kecil di minggu Adven ke-3


by Ati Hildebrandt Rambe
on Monday, December 12, 2011 at 4:07pm

"Weihnachten wird unterm Baum entschieden" terjemahan bebasnya: yang menentukan dalam perayaan natal adalah (hadiah-hadiah yang terletak) di bawah pohon. Begitu bunyi iklan salah satu mega store elektronik di Eropa Media Markt. Iklan ini menuai reaksi protes khusunya dari umat Kristen di Jerman yang anti terhadap komersialisasi perayaan-perayaan religius seperti hari Natal. Salah satu bentuk protes adalah dengan membentuk aksi di Facebook melalui grup „Weihnachten wird in der Krippe entschieden” (Natal di tentukan di palungan”) lihat: https://www.facebook.com/#!/events/100664083386195/ untuk menunjukkan esensi natal bukan di bawah pohon di mana hadiah natal terletak, melainkan di dalam palungan di tempat kelahiran sang Bayi Yesus sebagai Juruselamat dunia dan Raja damai.

Terlepas dari modus Media Markt yang selalu membuat sensasi atas slogan-slogan iklannya, misalnya “ich bin doch nicht blöd” (saya toh tidak bego), sebernarnya iklan ini tengah mengambarkan apa yang terjadi pada perayaan malam Natal (pada tanggal 24 malam) di kebanyakan keluarga di Jerman sini. Hadiah-hadiah natal sudah dipersiapkan berbulan-bulan sebelumnya, bahkan minggu-minggu Adven yang seharusnya diisi dengan minggu penghayatan kedatangan (Adven), dilalui sebagai minggu-minggu stress mencari hadiah. Bagaimana tidak, di negara yang berlebihan (superfluous) seperti di Jerman ini, di mana hampir semua orang telah memiliki semua, tidak gampang untuk mencari hadiah yang dapat membuat si penerima hadiah bergembira di malam Natal. Apalagi tekanan superlatif membuat seseorang terdesak untuk membeli sesuatu yang “lebih baik dari” yang lain atau dari Natal yang lalu. Toh, kekecewaan sering terjadi! Salah satu jawaban atas pertanyan, apa yang anda lakukan dengan hadiah-hadiah natal yang anda dapatkan tetapi tidak perlukan adalah: “untung ada ebay!” (ebay: portal online shopping).

Komersialisasi perayaan-perayaan relijius bukan hanya terjadi pada hari Natal, tetapi intensitasnya terasa di hari natal karena tradisi saling memberi hadiah natal telah menjadi sebuah transaksi materi yang berfokus pada nilai nominal benda. Sehingga di sini yang utama adalah benda-benda apa yang ada “unterm Baum” (di bawah pohon natal) dan bukan interaksi relasional yang justru menjadi pesan utama Natal, yakni “karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan AnakNya…(Yoh. 3: 16). Interaksi relasional antara Allah dan dunia serta manusia yang berdasar kasih adalah dasar tradisi memberi yang juga dasar tradisi Natal. Namun dalam kenyataannya, benda-benda mati memperoleh tempat yang lebih tinggi ketimbang relasi antar sesama manusia. Sehingga tidak jarang terjadi, benda-benda mati tersebut justru “menghancurkan” relasi antar sesama justru pada hari Natal. Banyak dari apa yang ada “unterm Baum” adalah benda-benda mati hasil penderitaan panjang bahkan pengorbanan hidup para oppressed women dan buruh anak di dunia ketiga, justru diglorifikasi pada malam Natal. Sangat ironis memang!

Yang menentukan pada hari Natal bukan apa yang ada di bawah pohon, melainkan yang ada di dalam palungan, yakni Hadiah dari Allah karena Ia mengasihi kita. Hadiah ini bukan benda mati melainkan seorang bayi manusia yang kelahiranNya mendamaikan relasi-relasi yang hancur: relasi antar sesama, relasi manusia dan alam serta relasi antara bumi dan langit.

Selamat menghayati minggu-minggu Adventus & mempersiapkan perayaan penerimaan Hadiah Allah, Kelahiran (Natal) Kristus. Gloria in excelsis Deo

08 Desember 2011

Pesan Natal 2011

PESAN NATAL BERSAMA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI) KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA (KWI) TAHUN 2011

“Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar” (Yes. 9:1a)

Saudara-saudari yang terkasih, segenap umat Kristiani Indonesia di mana pun berada,

Salam sejahtera dalam kasih Tuhan kita Yesus Kristus.

Telah tiba pula tahun ini hari Natal, perayaan kedatangan Dia, yang dahulu sudah dinubuatkan oleh Nabi Yesaya sebagai “seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita, lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai”1. Tokoh inilah yang disebutnya juga di dalam nubuatan itu sebagai “Terang yang besar” dan “yang dilihat oleh bangsa-bangsa yang berjalan dalam kegelapan”2.

Inilah Kabar Gembira tentang kedatangan Sang Juruselamat, Yesus Kristus, Tuhan kita. Pada hari Natal yang pertama itu, para gembala di padang Efrata, orang-orang kecil, sederhana dan terpinggirkan di masa itu, melihat terang besar kemuliaan Tuhan bersinar di kegelapan malam itu3. Mereka menanggapi sapaan ilahi “Jangan takut” dengan saling mengajak sesama yang dekat dan senasib dengan mereka dengan mengatakan satu sama lain: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita”4. Para Majus yang masing-masing telah melihat terang besar di langit negara asal mereka, telah menempuh perjalanan jauh untuk mencari dan mendapatkan Dia yang mereka imani sebagai Raja yang baru lahir. Mereka bertemu di Yerusalem dan mengatakan: “Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia”5.

Sayang sekali, bahwa di samping para gembala dan para Majus dari Timur yang tulus itu, ada pula Raja Herodes. Ia juga mendapat tahu tentang kedatangan Yesus, bukan hanya dari para Majus, tetapi juga dari keyakinan agamanya, tetapi ia malah merasa tersaingi dan terancam kedudukannya. Maka dengan berpura-pura mau menyembah-Nya, ia mau mencari-Nya juga dengan maksud untuk membunuh-Nya. Ketika niat jahatnya ini gagal, ia malah melakukan kejahatan lain dengan membunuh anakanak tak bersalah dari Bethehem6. Kepada kita pun, yang hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merayakan Natal pada tahun 2011 ini, telah disampaikan Kabar Gembira tentang kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus, yang adalah “Firman, yang di dalamnya ada hidup dan hidup itu adalah terang bagi manusia”7.

Memang, yang kita rayakan pada hari Natal itu adalah: “Terang yang sesungguhnya yang sedang datang ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya”8. Tetapi sayangnya ialah bahwa, “dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya”9. Dan kita tidak bisa, bahkan tidak boleh, menutup mata untuk itu. Kita juga menyaksikan, bahwa bangsa kita masih mengalami berbagai persoalan. Kemiskinan sebagai akibat ketidakadilan masih menjadi persoalan sebahagian besar bangsa kita, yang mengakibatkan masih sulitnya menanggulangi biaya-biaya bahkan kebutuhan dasar, apalagi untuk pendidikan dan kesehatan;

Kekerasan masih merupakan bahasa yang digemari guna menyelesaikan masalah relasi antar-manusia; Kecenderungan penyeragaman, ketimbang keanekaragaman masih merupakan pengalaman kita. Akibatnya, kerukunan hidup, termasuk kerukunan antar-umat beragama, tetap masih menjadi barang mahal; Korupsi, bukannya dihapuskan, tetapi malah makin beranak-pinak dan merasuki segala aras kehidupan bangsa kita bahkan secara membudaya;

Penegakan hukum yang berkeadilan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia masih merupakan pergumulan dan harus tetap kita perjuangkan; Pencemaran dan perusakan lingkungan yang menyebabkan bencana alam, seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya, tetap mencemaskan kita. Mereka yang diberi amanat dan kekuasaan untuk memimpin bangsa kita ini dengan benar dan membawanya kepada kesejahteraan yang adil dan merata, malah cenderung melupakan tugas-tugasnya itu.

Oleh karena itu, saudara-saudari yang terkasih, dalam pesan Natal bersama kami tahun ini, kami hendak menggarisbawahi semangat kedatangan Kristus tersebut dengan bersaksi dan beraksi, bukan hanya untuk perayaan Natal kali ini saja, tetapi hendaknya juga menjadi semangat hidup kita semua:

• Sederhana dan bersahaja: Yesus telah lahir di kandang hewan, bukan hanya karena “tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan”10, tetapi justru karena Dia yang “walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”11.
• Rajin dan giat: seperti para gembala yang setelah diberitahu tentang kelahiran Yesus dan tanda-tandanya, lalu “cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria, Yusuf dan bayi itu”12. •?Tanpa membeda-bedakan secara eksklusif: sebagaimana semangat kanak-kanak Yesus yang menerima para Majus dari Timur seperti adanya, apapun warna kulit mereka dan apapun yang menjadi persembahan mereka masing-masing13.
• Tidak juga bersifat dan bersikap mengkotak-kotakkan, karena Yesus sendiri mengajarkan bahwa “barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu"14.

Saudara-saudari yang terkasih, Tuhan Yesus, yang kedatangan-Nya sudah dinubuatkan oleh Nabi Yesaya hampir delapan ratus tahun sebelum kelahiran-Nya, disebut sebagai “terang besar” yang “dilihat oleh bangsa-bangsa yang berjalan di dalam kegelapan”15. Nubuat itu direalisasikan-Nya sendiri dengan bersabda: “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup”16.

Di samping penegasan tentang diri-Nya sendiri itu, barangkali baik juga kita senantiasa mengingat apa yang ditegaskannya tentang kita para pengikut-Nya: "Hanya sedikit waktu lagi terang ada di antara kamu. Selama terang itu ada padamu, percayalah kepadanya, supaya kegelapan jangan menguasai kamu; barangsiapa berjalan dalam kegelapan, ia tidak tahu ke mana ia pergi”17. Akhirnya marilah kita menyambut kedatangan-Nya dengan sederhana dan tidak mencolok karena kita tidak boleh melupakan, bahwa sebagian besar bangsa kita masih dalam kemiskinan yang ekstrim. Dengan demikian semoga terjadilah kini seperti yang terjadi pada Natal yang pertama: ”Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya”18.

SELAMAT NATAL 2011 DAN TAHUN BARU 2012

Jakarta, 17 November 2011

Atas nama PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI),
Pdt. Dr. A.A. Yewangoe/Ketua Umum
Pdt. Gomar Gultom, M.Th /Sekretaris Umum

KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA (KWI),
Mgr. M.D. Situmorang /Ketua
Mgr.J.M. Pujasumarta /Sekretaris Jendral

1 Yes. 9:5. 2 Bdk. Yes. 9:1a. 3 Bdk. Luk. 2:8-9. 4 Ibid. ay 15. 5 Mat. 2:2. 6 Lih. Mat. 2: 8, 10-12. 7 Bdk. Yoh. 1:1-4. 8 Bdk Yoh 1:9 9 Ibid. ay. 1:10-11 10 Luk. 2:7. 11 Flp. 2:5-7. 12 Luk. 2:16. 13 Lih. Mat. 2:11 14 Luk. 9:50. 15 Bdk Yes. 9:1a. 16 Yoh. 8:12. 17 Yoh. 12:35. 18Luk. 2:14.

14 November 2011

Yerusalem Bukan Tanah Suci

Oleh: Dr. Fredrik Y. A. Doeka*

Minggu ini rombongan Haji NTT sedang menunaikan rukun Islam ke-5 di Mekah. Minggu ini pula satu rombongan pendeta GMIT sedang mempersiapkan diri untuk berkunjung ke Yerusalem. Pelepasan rombongan penziarah rohani ini menjadi pekerjaan publik perdana Majelis Sinode GMIT periode 2011-2015. Dari pekerjaan ini, kita dapat membayangkan mengenai apa yang Majelis Sinode baru harapkan terhadap perjalanan para kafilah Kristen itu yang dipimpin oleh mantan Ketua Sinode GMIT 2007-2011. Majelis Sinode baru yang diketuai oleh Pdt. Robert Litelnoni, S.Th. pasti mengharapkan rombongan akan kembali dari Yerusalem dengan selamat dan menjadi penziarah yang mabrūr (b. Arab), artinya penziarah yang diterima dalam anugerah dan berkat Allah.

Yerusalem menyimpan situs arkeologis dan religius bagi tiga agama besar, yaitu Yudaisme, Islam dan Kristen. Tembok Ratapan adalah salah satu situs religius penting Yudaisme. Penganut agama Yahudi orthodoks percaya, bahwa tembok ini tidak ikut hancur sebab di situlah berdiam "Shekhinah" (kehadiran ilahi). Jadi, berdoa di situ sama artinya dengan berdoa kepada Tuhan. Bagi kaum Muslimin, tembok ini juga merupakan bagian dari dasar Masjid al-Aqsa dan Masjid al-Omar, serta diyakini sebagai gerbang tempat terangkatnya Muhammad dari Yerusalem ke surga (mi'raj) dengan mengendarai buraq (http://id.wikipedia.org/wiki/Tembok_Barat). Sedangkan bagi orang-orang Kristen, mereka dapat menyaksikan secara langsung tempat kelahiran, pelayanan, kesengsaraan dan kematian Yesus, sang Juru Selamat.

Terminologi Yerusalem

Yerusalem berasal dari kata yerūsyāsalaim (b. Ibrani), yang menunjuk kepada sebuah kota, yang dalam Alkitab digambarkan sebagai negeri beradab dengan sejumlah nilai-nilai kemanusiaan. Dampak dari negeri beradab itu adalah kebenaran, keadilan, kesetaraan, perdamaian, dan cinta kasih menjadi suasana sehari-hari Yerusalem. Dengan demikian orang yang hidup di sana merasa bahagia.
Selain idealisasi Yerusalem secara terminologis, term religius juga memberi sumbangan bagi meningkatnya jumlah penziarah ke negeri yang saat ini dipimpin oleh PM Benjamin Netanyahu. Yerusalem, seperti apa kata Alkitab, mendorong tiap-tiap orang untuk rindu ke sana. Sekitar abad ke-6 s.M., atau abad-abad sebelumnya, Yerusalem sudah menjadi magnet spiritual bagi orang-orang yang hidup di Timur Tengah. Penulis kitab Mazmur adalah salah satu yang begitu tertarik atas peradaban kota itu sehingga dalam refleksi imannya ia gambarkan, Hai Yerusalem, yang telah didirikan sebagai kota yang bersambung rapat, ke mana suku-suku berziarah, yakni suku-suku TUHAN, untuk bersyukur kepada nama TUHAN sesuai dengan peraturan bagi Israel (Maz 122:3-4). Di tempat lain, masih sang pemazmur, dikatakan bahwa Tuhanlah yang membangun Yerusalem dan di negeri itu Dia mengumpulkan umat Israel yang tercerai berai (Maz 147:2). Singkatnya, Yerusalem sudah menjadi sebuah kota impian sejak itu. Maka pemazmur menulis lagi: Jika aku melupakan engkau, hai Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku! Biarlah lidahku melekat pada langit-langitku, jika aku tidak mengingat engkau, jika aku tidak jadikan Yerusalem puncak sukacitaku! (Maz 137:5-6).

Tafsir Islam

Yerusalem mendapat perhatian sungguh-sungguh dari para penafsir Islam di Indonesia. Negeri ini dipahami sebagai Tanah Perjanjian bagi Israel, umat Musa. Prof. Dr. Haji Abdul Malik Bin Abdul Karim Amirullah, disingkat HAMKA (1908-1981), dalam tafsirnya tentang sura 7:137, mengatakan Allah memberikan kepada umat Musa Tanah Perjanjian, yakni wilayah Syam yang menyebar hingga mencapai batas Timur, negeri Syria, ke Barat berbatasan dengan negeri Mesir, dan di dalamnya terdapat tanah Palestina (Hamka, Tafsir Al Azhar Jus IX, 2005:49). Sambil mengutip Kejadian 12:7, Hamka menegaskan Tanah Perjanjian (ardhul mi’ad) diberikan kepada anak-cucu Abraham (sura 5:21). Seperti diketahui Abraham memiliki dua anak laki-laki, Ismael dan Isak. Ismael dan keturunannya telah hidup di negeri Hijaz dan mereka beranak cucu menjadi bangsa yang besar, yakni bangsa Arab. Kemudian bangsa Israel, keturunan Isak, menduduki Tanah Perjanjian sesudah 400 tahun pada periode Musa (Hamka, Tafsir Al Azhar Jus VI, 2000:203). Umat Musa hanya menikmati tanah itu selama periode singkat. Hal ini karena umat Israel tidak suci di hadapan Allah (Hamka, Tafsir Al Azhar Jus IX 2005:141). Beberapa periode berikut, bangsa-bangsa seperti Babel, Persia, Roma dan Arab menduduki Tanah Perjanjian secara bergantian. Selama 1.400 tahun tanah itu di bawah kontrol bangsa Arab. Akan tetapi pada 1948, orang-orang Yahudi, yang didukung oleh Inggris dan Amerika Serikat, mengambil alih Tanah Perjanjian. Alasannya, mereka telah diberi hak untuk memiliki Tanah Perjanjian sejak 2500 s.M. Melalui tindakan itu, mereka mengusir 2 juta orang Arab, yakni populasi asli Tanah Perjanjian. Sejak itu orang-orang Yahudi memiliki negerinya dan tidak lagi hidup terpencar di penjuru dunia, termasuk hidup terasing di wilayah Arab. Tetapi, orang-orang Yahudi telah berdosa hingga hari ini karena menjadikan penduduk asli itu tercerai-berai. Karena itu hak istimewa mereka telah dicabut. Hamka mengutip sura 7:167, Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memberitahukan, bahwa sungguh, Dia akan mengirim orang-orang yang akan menimpakan azab yang seburuk-buruknya kepada mereka (orang Yahudi) sampai hari kiamat. Sesudah menaklukan wilayah Palestina dalam 1948, Israel menyerang lagi negeri-negeri Arab lainnya pada 1967 dan membakar mesjid Al-Aqsa pada 1969. Waktu itu bangsa Arab-Palestina melawan di bawah pimpinan Yaser Arafat. Mereka menuntut balas dan berjanji untuk tidak berhenti sebelum orang-orang Yahudi itu diusir dari Yerusalem, tanah tumpah darah mereka (Hamka, Tafsir Al Azhar Jus IX, 2005:151,152). Berbagai protes dan tindakan bom bunuh diri terhadap Israel yang dilakukan oleh pengikut-pengikut Yaser Arafat [atau yang dilakukan oleh kelompok Hammas saat ini] adalah hak mereka untuk menuntut tanah air. Tindakan bunuh diri warga Palestina merupakan pengejewantahan sikap hidup yang suci di hadapan Allah. Selanjutnya, Hamka mengajak seluruh Muslim sedunia mengambil kembali Yerusalem, sebagai Tanah Perjanjian, dan diserahkan kepada bangsa Arab. Allah-lah yang memiliki bumi ini, bukan orang-orang Yahudi. Oleh kehendak-Nya, Dia akan memberikan Yerusalem kepada kaum Muslim, yaitu orang-orang yang berserah kepada-Nya (Hamka, Tafsir Al Azhar Jus IX, 2005:50, 151).
Departemen Agama menafsirkan, Yerusalem sebagai sebuah wilayah yang lebih luas dari apa yang Hamka jelaskan. Wilayah itu terdiri dari Syria hingga Mesir dan seluruh negeri jajahan yang pernah dijajah oleh Firaun (pada zaman Musa) juga diberikan kepada Israel (sura 7:137). Pemberian ini oleh karena sikap Israel yang sabar menunggu pemenuhan janji Allah (Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid III, 1997/1998:563-564).
Berkaitan sura 7:128 dalam tafsir Al-Mishbāh, Prof. Dr. M. Quraish Shihab menerangkan secara teologis seluruh dunia adalah milik Allah. Demikian halnya Yerusalem yang sebenarnya dijanjikan kepada orang-orang Yahudi kecuali kalau mereka menjadi orang-orang takwa. Mereka akan menikmati tanah ini, tidak hanya untuk sementara, tetapi juga sesudah berakhirnya dunia ini (M. Quraish Shihab, Al-Mishbah Volume 5, 2006: 215).

Tafsir Kristen

Beberapa tafsiran Kristen Indonesia mengenai Yerusalem atau Tanah Suci menarik untuk disimak. Dr. Joas Adiprasetya, Ketua Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, memahami Yerusalem sebagai kota suci kalau negeri itu sudah damai. Selama belum ada perdamaian antara Israel dan warga Palestina, maka Yerusalem bukanlah Tanah Suci (Memahami Israel Alkitab dan Israel Kontemporer, 2011:1).
Selanjutnya Dr. Ioanes Rakhmat, mantan dosen STT Jakarta, menyinggung sepintas mengenai kerinduan orang ke Yerusalem sebagai bentuk zionisme Kristen. Gerakan fundamentalisme Kristen a la Amerika menginspirasi orang-orang Kristen Indonesia untuk berkunjung ke sana. Gerakan ini sesungguhnya hendak menggeser posisi masyarakat Israel sekarang dan menjadikan penganut aliran ini sebagai “Israel baru”. Tugas utama “Israel baru” adalah menobatkan warga Israel saat ini sehingga dengan pertobatan itu akan memungkinkan “Israel baru” terangkat ke sorga (Mulai dari Musa dan Segala Nabi, 1996: 65-67).
H. A. Pandopo, teolog Belanda bernama asli Harry A. van Dop yang bekerja di Indonesia selama 38 tahun, menafsirkan Yerusalem (dalam syair dan lagu “Kidung Jemaat” 134) sebagai kota yang tidak aman dan penuh dengan manusia pendosa. Tetapi jika Yerusalem sejahtera, maka pada saat itu juga sang Mesias sudah datang.
Di tempat lain “Madah Bakti” (buku nyanyian umat Katolik Indonesia) nomor 834 memberi gambaran Yerusalem sebagai kota surgawi. Di sana melimpah segala nikmat yang dapat membahagiakan setiap penghuni. Juga terjadi pesta akbar bersama Allah karena itu setiap orang diundang ke sana.

Bisnis Parawisata Israel

Sejak Negara Israel membuka situs-situs purbakala untuk kepentingan parawisata, banyak orang Kristen Indonesia berbondong-bondong ke sana. Para penziarah memiliki satu tujuan, yakni mengkultuskan Israel masa lampau. Sekurang-kurangnya, mereka memahami ikatan-ikatan sejarah dan tradisi-tradisi agama yang berkaitan dengan Israel di masa lampau yang merindukan Yerusalem dan percaya bahwa tanah itu sebagai bagian dari iman Kristen (Fredrik Doeka, The Enduring Mission of Moses, 2011:5). Motivasi religius semacam ini menjadi peluang bisnis pemerintah Israel untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Tercatat bisnis pariwisata Israel menjadi salah satu sumber pendapatan paling besar dalam rancangan pendapatan negara zionist itu. Lebih dari 2.7 juta turis asing mengunjungi Israel pada 2009 (http://id.wikipedia.org/wiki/Pariwisata_di_Israel). Tidaklah mustahil hasil pendapatan inilah yang dipakai untuk membeli peralatan militer Israel yang terkenal sangat canggih di dunia, yang dipakai untuk membunuh pejuang Palestina.

Penziarah yang mabrūr

Dalam tafsir Islam dan Kristen di atas, Yerusalem sekarang ini dengan luas 123 km2, yang dirindukankan rombongan pendeta GMIT dan juga rombongan orang-orang Kristen lainnya, bukanlah Tanah Suci. Kecuali kalau penghuni Yerusalem saat ini sudah bertobat dan bertakwa kepada Allah, hidup suci di hadapan-Nya dan mengasihi sesama manusia.
Hati kita teriris ketika mendengar penziarah-penziarah Kristen mau saja menghabiskan puluhan juta rupiah untuk pergi ke negeri yang sedang digenangi oleh darah dan air mata para martir Palestina. Hati tambah teriris lagi ketika kita mengetahui, bahwa orang terpaksa berhutang untuk ke sana. Sementara itu di sini, di bumi Flobamora, kemiskinan sedang merajalela, hantu KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) bergentayangan, busung lapar menjadi penyakit akut, kematian ibu-ibu hamil meningkat, mutu pendidikan sangat rendah, pengangguran di mana-mana, dan masih banyak masalah sosial lainnya. Bukankah ini keadaan riil negeri kita dan menjadi tugas anda dan saya untuk menjadikannya sebagai “Yerusalem”, negeri adil dan makmur atau Tanah Suci?
Sekali lagi Yerusalem yang berada di Timur Tengah itu bukanlah Tanah Suci. Ia hanyalah pentas kebrutalan tentara Israel saat ini. Ziarah ke Yerusalem sama dengan ikut mendukung aksi kekerasan Israel terhadap warga sipil Palestina. Tugas kita seharusnya menjadikan “Yerusalem” ideal itu nyata di bumi Flobamora dengan cara mengentaskan kemiskinan, memberantas KKN, meningkatkan dan menyediakan layanan kesehatan memadai bagi masyarakat, meningkatkan mutu pendidikan, menyediakan lapangan pekerjaan, dst. Selama tugas-tugas tersebut kita tunaikan, maka selama itu pula kita menjadi penziarah yang mabrūr.

*Dr. Frederik Doeka promosi doktoral di Universitas Utrecht, Negeri Belanda, dengan disertasi berjudul The Enduring Mission of Moses. Indonesian Muslim and Christian Representations of a Jewish Prophet. Bekerja sebagai pengajar Islamologi dan Teologi Agama-agama pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang

07 November 2011

Some Notes on the Revision of Church Order in Sulawesi, Indonesia

Zakaria J. Ngelow

Part of paper presented at conference on "Protestant Church Polity in Changing Contexts" of Protestant Theologische Universiteit, Utrecht, the Netherlands, 7 - 10 November 2011

As mentioned before, the paternalistic character of church office is a product of the churches’ history. The paternalistic character of missionaries’ traditional leadership culture and the hierarchial structure of the Indies Protestant Church shaped the development of the organizational culture. While in theory churches acknowledged the equivalence of the three offices, the deacon is seen as the lowest office after that of elder, and they are both beneath the pastor. In the liturgy, when elders and deacons lead the service, they are not allowed to raise their hands as they pronounce the blessings, and are required to change the blessing formulation from “you” to “us”.

Num 6: 24 "The LORD bless you and keep you; 25 the LORD make his face shine upon you and be gracious to you; 26 the LORD turn his face toward you and give you peace."

2Cor 13:14 May the grace of the Lord Jesus Christ, and the love of God, and the fellowship of the Holy Spirit be with you all.

The deacon is seen as a candidate for the office of elder. This perception corresponds with the absence of diakonia as one of the main calls of the church. The diaconate is practiced as a ceremonial event on Christmas or Easter, and limited to a small gift for widows in the congregation. Revision of the church order revives the understanding of church mission as including the diaconate in its holistic character, and its relation to the specific office of deacons.

Most Indonesian churches acknowledge three major aspects of church mission, namely koinonia (communion), martyria (witness) and diakonia (social ministry). In the ecclesiology consultation we introduce broader aspects uch as leitourgia (worship), oikonomia (stewardship), and didache (teaching).

Churches are also exposed to problems of presbytery-synodal structure. The Toraja Church, GTM and GKSB allocate relatively greater power to local congregational councils; while GEPSULTRA tends to centralize in the synod, including centralized finances (for the payment of pastors’ salaries). [Some churches in Indonesia, such as Kalimantan Evangelis Church (GKE) and Christian Church of Gospel Lighthouse (GKPI) employ the term synodal-presbytery (=sinodal-presbiterial) in their Church Order to underline the greater power at the synod.]

Churches generally employed a three-sphered structure of congregation, classis and synod. But bigger churches like Toraja and GTM had four in the past, as some classis were united in a regional synod. In most cases, churches developed top-down relationships in the church structure, with the synod on the top, then classis and then congregations at the bottom. In the consultation on ecclesiology a reversion was developed, that the local congregation is central as it is the full expression of the church in the world.

Churches employ different organizational structures for the categorical ministries of children, youth and women. They are independent organizations in the congregation and function more as close partners rather than in sub-ordination to the presbyters council. While the church has her church order, these organizations have their own respective statutes. Youth and women’s organizations then become a strategic factor in terms of both church ministry and socio-political leadership.

Regarding the role of the General Assembly, the Toraja church with her big membership and strong human resources recently managed to conduct a relative successful General Assembly. Other churches in the region need to develop a better quality of their General Assembly. In the General Assembly, participants seem to spend most of their time promoting their respective candidates for new Synod Executive Committee personnel.

There are some aspects that need to be addressed to have a good General Assembly: well prepared needed documents, organizing committee with a qualified steering committee, a team of qualified General Assembly moderators, and also well informed and disciplined participants. In general, General Assembly documents consist of (a) the report (including financial report) of the outgoing Synod Executive Committee with all its attachments; (b) draft of the programs for the coming period; (c) other draft documents to be evaluated or decided; and (d) other documents for the General Assembly: agenda, list and address of participants, daily liturgy, rules of order, etc. Steering committees and moderators should be well aware of the process and progress of the meeting and the substance of the ongoing session. They also should lead every session toward achieving well-conceived goals for the assembly.

One area of development of church order that is often neglected is that of the pastoral offices: church discipline and the ministries of baptism, communion, marriage, and funerals. Several of the churches surveyed here maintain largely outdated practices of barring church members from communion (and often refusing baptism to their children), mostly for violating sexual and marital norms, while other serious moral failings such as domestic violence and corruption are routinely ignored. The practice of church discipline also exists in tension with local traditions for the resolution of conflicts and disputes by means of councils of traditional elders to levy fines on those determined to be in the wrong. This is one area in which the contextualization of church order needs further development based on a more contextual theology of ministry. The same applies to the integration of baptism with rituals celebrating the birth of a child and the integration of marriage and funerals with local ritual practices relating to these important rites of passage.

Finally, we should note the difficulty faced by the churches in producing regulations that are equally applicable to both rural and urban congregations, and also providing structures that enable continuing fellowship between urban and rural members. As the process of urbanization progresses in Indonesia, this will become a more urgent problem.

21 Oktober 2011

Oikonomia

Bahan Baku bagi Pandangan Teologis tentang Ekonomi

John Campbell-Nelson

“Apa kata Alkitab tentang ekonomi?” Kalau dilihat secara harafiah, Alkitab membisu. Kata “ekonomi” tidak muncul sama sekali dalam keseluruhan Alkitab bahasa Indonesia dari Kejadian sampai Wahyu. Namun muatan Alkitab tentang berbagai aspek kehidupan manusia yang masa kini disebut ekonomi justru banyak sekali. Kata “kaya/kekayaan” muncul 168 kali, miskin 156 kali, jual/beli/bayar 177 kali, makanan 186 kali, pakaian 179 kali, harta 138 kali, uang 112 kali, dan emas 295 kali.

Dalam kitab-kitab Musa, kita boleh pelajari peraturan-peraturan perekonomian yang melandasi pembentukan Israel sebagai sebuah bangsa baru, termasuk undang-undang agraria, perburuhan, hutang-piutang dan suku bunga, timbangan, peraturan jual-beli, kebijakan keuangan dan perpajakan, perlindungan lingkungan dan sumber daya alam, kesejahteraan sosial, dan masih banyak lagi. Pada zaman kerajaan, para Nabi memberi perhatian yang besar pada ketimpangan-ketimpangan dan penindasan ekonomis, bahkan sering mereka lebih mengutamakan keadilan ekonomis ketimbang urusan keagamaan.

Yesus sendiri mulai misi pemberitaanNya dengan menyatakan bahwa Ia telah diurapi untuk “menyampaikan kabar baik pada orang-orang miskin” dan dalam ajaran dan pelayananNya Ia mengembangkan sebuah ekonomi alternatif berdasarkan prinsip hidup sederhana dan membagi-bagikan segala harta milik tanpa batas. Ekonomi ini bukan sebuah impian saja, melainkan terwujud dalam pola hidup jemaat pertama di Yerusalem: “segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.” (Kis. 2.45) Kalau meragukan keseriusan gereja mula-mula mengenai tatanan ekonomi komunal ini, tanya saja pada Ananias dan Safira!

Kita tidak perlu heran kalau Alkitab banyak memperhatikan masalah-masalah ekonomis. Ekonomi justru berhubungan dengan salah satu pokok keprihatinan utama dalam tradisi iman kita: kesejahteraan manusia. “Aku datang supaya manusia peroleh hidup dalam segala kelimpahan,” kata Yesus (Yoh. 10.10), dan tentu kelimpahan itu tidak terlepas dari soal makan-minum (termasuk anggur yang enak, kalau kita perhatikan pesta pernikahan di Kana!).

Pada kesempatan ini, kami akan memberi sebuah definisi singkat tentang ekonomi dari segi Alkitabiah, kemudian mengangkat beberapa tema teologis yang terkait, dan berkhir dengan beberapa “perumpamaan” tentang ekonomi masyarakat adat.

Oikonomia

Dalam artian yang paling sederhana, konsep ekonomi merujuk pada segala upaya untuk mengolah sumber daya alam, dengan segala kreatifitas dan talenta yang kita miliki, demi produksi, pertukaran, dan konsumsi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Kata ekonomi berasal dari bahasa Yunani oikos = “rumah” dan nomos = “tatanan”; sehingga oikonomia dapat diartikan sebagai “penataan rumah tangga” atau secara lebih umum, “penatalayanan.” Pada zaman Perjanjian Baru, seorang oikonomos adalah sejenis pelayan yang diberi kepercayaan untuk mengatur rumah tangga atau kebun tuannya. Dalam penafsiran terhadap kitab Kejadian, banyak teolog dari Bapak-Bapak gereja sampai dengan Calvin melihat peranan oikonomos ini sebagai peranan yang pertama-tama diberikan Tuhan Allah kepada manusia dalam penciptaanNya. “Tuhan Allah membuat taman di Eden ...lalu Tuhan Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya; [dan] mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kej. 2.8-9, 15) Dari sudut pandang Kejadian, dapat dikatakan bahwa homo economicus adalah bagian dari kemanusiaan kita yang paling asli.

Berangkat dari gambaran tentang peranan manusia sebagai oikonomos di kebun Allah, maka Rasul Paulus dan beberapa teolog gereja mula-mula mengembangkan artian yang utama dari oikonomia dalam tradisi Kristen: Allah telah menciptakan bumi ini sedemikian rupa sehingga segala kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara baik dan lestari, asal manusia mengolanya secara setia dan bertanggung jawab. Tatanan alam ini dan peranan manusia di dalamnya disebut Oikonomia Allah. Bahwa manusia akan jatuh ke dalam dosa sudah diperhitungkan Allah, sehingga karya keselamatan Yesus juga dilihat sebagai bagian dari Oikonomia yang Agung ini. Dengan demikian, secara sederhana, dapat dikatakan bahwa oikonomia pada asal mula tradisi Kristen berarti rencana Tuhan demi pemeliharaan dan keselamatan seisi bumi ini.

Landasan-landasan Teologis

1. “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya.” (Maz. 24.1) Prinsip ini membawa beberapa konsekwensi:
• Menetapkan hak milik Allah yang tidak boleh dialihkan pada pihak lain (“Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu.” Imamat 25.23). Negarapun tidak berdaulat secara mutlak atas tanah air dalam daerah kekuasaannya.
• Bumi, flora, dan fauna ciptaan Tuhan harus dihormati sesuai kemuliaan pemiliknya.
• Segala kepunyaan manusia adalah pemberian dari Allah, dan harus disyukuri dan diterima dengan kerendahan hati. (Yak. 1.17)
• Hutang-piutang antara manusia direlativisir oleh hutang kita semua kepada Tuhan. “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.” (Mt. 10.8)


2. “Janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mt. 6.32-34) Implikasinya:
• Percayalah kepada kebaikan Allah untuk “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”–jangan mencobai Allah seperti orang Israel di padang gurun (soal manna di Kel. 16) Dalam tradisi ini disebut providentia dei.
• Percayalah juga kepada sesamamu. Ketika Yesus mengutus murid-muridnya, Ia menyuruh mereka tidak membawa bekal apa-apa di perjalanan, supaya mereka harus bergantung pada keramah-tamahan rakyat yang mereka layani. (Mt. 10.9-10) Sampai sekarang para pendeta hidup kurang lebih menurut prinsip ini.
• Kesejahteraan diperoleh sebagai konsekwensi dari kebenaran Kerajaan Allah; sebaliknya, kebenaran tidak perlu dan tidak boleh dikorbankan demi kesejahteraan. Hal ini kalau dipatuhi bisa memberantas KKN.
• “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Mt. 6.24) Yesus dengan tegas menyatakan bahwa upaya untuk mencari kekayaan pribadi bukan hanya menjadi halangan bagi iman, melainkan merupakan sejenis berhala. Mamon adalah semacam personifikasi dari kecenderungan manusia untuk mendewakan harta. Mengabdi kepada Mamon berarti menyangkal atau meragukan kebaikan (providentia) Allah, and lebih dari itu menjadikan manusia sebagai pelaku kejahatan ekonomis. Masalah ini ada di belakang kecaman Yesus terhadap orang kaya: “celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu.” (Lukas 6.24)

3. “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.” (Lukas 6.20) Inilah kabar baik yang Yesus sebutkan pada khotbahnya di Nazaret (Lukas 4.18). Orang miskin diberi perhatian khusus oleh Allah bukan karena mereka lebih baik dari orang lain; kebobrokan moral bukan monopoli orang kaya. Justru orang miskin diistimewakan karena mereka susah dan menderita, dan Allah menaruh belas kasihan pada mereka.
Selain itu, orang miskinlah yang lebih banyak menyambut pemberitaan Yesus dengan gembira dan rela menjadi pengikutnya. Kalau membagi-bagikan harta milik sesuai kebutuhan sesama menjadi persyaratan mengikut Yesus, maka orang yang “berpunya” justru paling merasa berat untuk melepaskan hartanya. Bagi mereka yang tidak punya apa-apa, merekapun tidak merasa kehilangan. Implikasi:
• Sebuah ekonomi yang berkembang dalam kesetiaan pada Yesus akan diukur dari bawah, bukan dari atas. Kebijakan dan praktek ekonomi dapat dikatakan baik kalau membawa kesejahteraan bagi orang miskin; dan tidak baik kalau membuat orang kaya tambah kaya.
• Pemerintah selayaknya memihak pada rakyat berhadapan dengan investor, bukan bersekongkol dengan investor untuk merampas sumber daya alam dari tangan rakyat.

4. Berpuasa yang Kukehendaki,
ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman,
dan melepaskan tali-tali kuk...
supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar
dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah,
dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian
dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!
(Yes. 58.6-11; band. Amos 5.21-24)
Yesaya mengecam puasa dan Amos mengecam perayaan-perayaan dan pesta korban kepada Allah, tapi dua-dua karena alasan yang sama. Ternyata Tuhan lebih mementingkan keadilan ekonomis terhadap orang-orang miskin dan tertindas daripada atribut agama. Implikasi:
Mestinya anggaran diakonia lebih besar dari anggaran untuk pembangunan gedung gereja.

5. “Janganlah mengambil kilangan atau batu kilangan atas sebagai gadai, karena yang demikian itu mengambil nyawa orang sebagai gadai.” (Ul. 24.6) Mungkin aturan ini terdengar agak aneh, tapi di belakangnya ada sesuatu yang penting: batu kilangan dibutuhkan untuk orang Israel menghancurkan gandum untuk masak roti, yang adalah makanan pokok mereka. Untuk konteks kita, mungkin lesung lebih tepat. Tanpa alat ini, orang akan susah makan. Dengan berbagai cara, tatanan ekonomi Israel kuno berupaya untuk menjamin sumber kehidupan yang minimal untuk semua orang, “supaya mereka bisa bertahan hidup di antara kamu.” Ketetapan ini mengandung prinsip bahwa:
• Sarana produksi untuk kebutuhan pokok tidak boleh diambil dengan alasan apapun.
• Daripada membubarkan masyarakat kita sendiri melalui imigrasi ke kota dan pengiriman tenaga kerja asing, lebih baik mengembangkan ekonomi lokal “supaya mereka bisa bertahan hidup di antara kamu.”

6. “Haruslah kauingat, bahwa engkau pun dahulu budak di Mesir dan engkau ditebus Tuhan, Allahmu, dari sana; itulah sebabnya aku memerintahkan engkau melakukan hal ini.” (Ul. 24.18) Peringatan ini muncul berulang kali dalam kitab Ulangan (mungkin ini yang dimaksud dengan “ulangan”). Setiap perintah dan peraturan yang sifatnya melindungi orang yang lemah, orang asing, janda dan yatim piatu disusul dengan peringatan ini, supaya dalam kemakmurannya orang Israel jangan menjadi sombong dan lupa Tuhan–ataupun lupa sesama. Implikasi:
• Keberhasilan ekonomis membawa kewajiban yang mutlak untuk menolong orang yang lebih susah dari kita.
• Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan kita, kita tidak boleh memperbudak orang lain.

7. "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Mt. 20.26-28)
Yesus sedang berbicara tentang kepemimpinan dalam persekutuan para pengikutNya, sehingga mungkin tidak nampak kalau perkataan ini ada makna ekonomis. Namun ada implikasi yang langsung dan prinsipil. Para anthropolog yang meneliti sistem-sistem ekonomi dalam masyarakat tradisional telah mencirikan salah satu bentuk ekonomi tradisional sebagai gift economy (ekonomi pemberian). Sistem ini hampir merupakan kebalikan dari sistem kapitalis. Prinsip kapitalis adalah bahwa para “pemain” ekonomi bersaing untuk memperoleh keuntungan terbesar. Siapa yang paling beruntung dianggap “sukses” dan siapa yang paling rugi dianggap “gagal.” Dalam sebuah gift economy justru terbalik: orang bertanding untuk memberi lebih banyak dari apa yang mereka menerima. Hal ini bukan karena mereka luar biasa baik hati, tapi karena sistem nilai dalam masyarakat seperti ini memberi hormat terbesar pada orang yang paling banyak memberi. Setiap pemberian akan dibalas dengan pemberian yang lain, sehingga terjadi suatu pertukaran (exchange) yang mengikat masyarakat tersebut dalam suatu jaringan kasi dan menerima, kasi dan menerima, dan....terima kasih! Implikasi:
• Dalam terang anthropologis itu, kita bisa membaca perkataan Yesus di atas dengan artian ekonomis: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah dia banyak memberi.” Atau lebih baik kutip langsung dari Yesus sendiri: “Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu.” (Lukas 6.30)

Dari sejumlah kutipan Alkitab yang di atas, tentu kita tidak memperoleh sebuah teori ekonomi. Pada zaman Alkitab memang tidak ada usaha-usaha teoritis seperti yang ditemukan dalam universitas-universitas, lembaga-lembaga pemerintahan, atau perusahaan-perusahaan besar masa kini. Yang kita peroleh adalah sejumlah patokan moral yang memiliki relevansi bagi sistem ekonomi yang manapun, dari ekonomi tradisional masyarakat adat sampai pada konglomerat global. Tidak dapat disangkali bahwa dalam komunitas yang Yesus bangunkan terjadi semacam ekonomi komunal pada skala yang sangat kecil. Saya tidak berani untuk meramalkan jenis ekonomi macam apakah yang Yesus akan kembangkan kalau Ia berhadapan dengan zaman McDonald’s dan Coca Cola. Apakah Ia akan mengatakan, “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada McMamon?”

Kemandirian, Pemberian dan Persekutuan dalam Ekonomi NTT: Perumpamaan-Perumpamaan dari Om Ma’u

Karena saya tidak berkompeten untuk berteori tentang ekonomi, saya akan bercerita saja. Pada poin 7 di atas saya telah menyinggung tentang konsep gift economy yang menurut saya sangat mirip dengan apa yang Yesus kembangkan di antara murid-muridNya. Hal yang sama juga nampak dalam sejumlah nilai ekonomi (walaupun sering dilanggar dalam praktek) yang hidup di antara masyarakat tradisional yang saya kenal di Indonesia Bagian Timur. Mengapa masyarakat tradisional? Bukan karena saya mau menyuruh kita semua supaya menyangkal listrik dan aspal dan kembali ke kampung (boleh juga, tapi itu bukan urusan saya). Alasannya adalah bahwa kalau saya mencari aspek-aspek ekonomi yang mirip dengan apa yang saya pelajari dari Yesus, maka saya tidak melihatnya di Kupang atau di Jakarta atau di Los Angeles. Namun saya melihatnya, walaupun samar-samar, dalam ekonomi pedesaan. Sumber dari semua cerita ini adalah “Om Ma’u”, seorang petani dan tua adat dari Timor Tengah Selatan yang sudah lebih dari 25 tahun menjadi sahabat dan guru saya dalam adat dan kemanusiaan Timor. (Nama yang sebenarnya dirubah supaya dia jangan malu atau sombong.)

• Seorang tamu datang dari Kupang, dan terkesan dengan kesuburan tanah, hutan rimba dan air yang melimpah. Namun dari segi lain dia terganggu dengan keadaan rumah tradisional, pakaian sehari-hari yang masih berupa pakaian adat (selimut daripada celana, misalnya), dan tidak adanya listrik atau televisi. “Sebenarnya kalau anda berupaya, anda bisa cukup makmur,” katanya. Ma’u tersenyum. “Pak, kami kurang apa? Paling-paling kami beli sabun dan baterai di toko. Lain-lain kami hasilkan sendiri: pakaian, makanan, bumbu-bumbu, kopi...Api pun kami bisa bikin sendiri dengan batu api. Siapa mau bergantung pada toko untuk api? Tidak perlu televisi. Lebih baik tuturkan kami pung cerita sendiri daripada duduk bodoh-bodoh nonton orang Jakarta pung cerita.”

• Adiknya Ma’u sudah menjadi pegawai negeri di Kupang. Kalau ada kumpulan keluarga di kampung, orang nikah atau orang mati, maka semua membawa beras, babi, atau paling sedikit ayam. Kecuali si adik PNS, yang tidak membawa apa-apa (walaupun dia sering membawa pulang banyak natura). Mungkin dia rasa malu sedikit, sehingga dia bilang, “Maaf, saya datang dengan tangan kosong. Tapi kami tidak ada tempat untuk pelihara ternak atau berkebun. Maklumlah, kami hanya hidup dari gaji.” Ma’u bersambung, “Memang, saya mengerti. Uang tidak berkeluarga.”

• Pada musim jeruk, seorang papalele datang untuk beli jeruk cina dari kebunnya Ma’u. Setelah tawar harga untuk sejumlah pohon, papalele menunjuk pada dua pohon di depan rumah yang paling sarat dengan buah. Dia menawarkan harga yang cukup tinggi. Tapi Ma’u tidak mau jual. “Setiap tamu yang datang harus lewat dua pohon ini, dan mereka petik dan makan. Kalau saya jual, nanti kalau tamu datang saya mau kasi apa?”

• Rumah bulat sudah perlu diatap kembali. Ma’u pada mulanya mau sewa orang untuk mengerjakannya, tapi kemudian dia berobah pendekatan. “Ini rumah adat, jadi saya harus buat secara adat,” katanya. Dia mengundang semua sanak saudara, kunyadu, dsb. untuk datang. Sekitar 200 orang berkumpul selama tiga hari untuk mengganti atap alang-alang. Dan sepanjang waktu itu, semua makan pesta. Setelah pekerjaannya selesai, Ma’u mulai hitung ongkosnya: dua ekor sapi dan tiga ekor babi, dan beberapa karung beras–sedangkan jagung tak terhitung. Padahal kalau sewa orang untuk pekerjaan itu, harganya tidak lebih dari Rp. 150,000. “Kamu rugi besar!” saya bilang. “Ya,” Ma’u menjawab sambil goyang kepala. “Tapi kalau saya tidak bikin begini, bagaimana kami akan tahu bahwa kami bersaudara?”

• Siang hari terdengar orang berteriak, “Rumah terbakar!” Mengikuti kolom asap, seluruh kampung berkumpul di rumah bulat milik sebuah keluarga yang terhitung lebih miskin di antara orang-orang miskin. Ayahnya adalah keturunan dari seorang budak yang dibeli dari Belu pada zaman Belanda. Ada isteri dan tiga anak, dan seluruh harta milik mereka terbakar habis bersama rumah bulat itu. Tinggal pakaian di badan. Melihat orang berdiri “tanganga,” Ma’u bergerak. Dia tarik naik isterinya punya sarung. “Kamu ada roh dalam di bawa? Neu, baik. Buka itu sarung sudah dan kasi pada keluarga ini.” Ma’u pun membuka baju kaosnya dan berikan pada ayah yang rumahnya terbakar. Kemudian dia balik pada para penonton yang lain: “Pulang cepat! Kamu bawa piring dan sendok. Kamu, kuali. Kamu, bawa jagung dua ikat..... Saya tunggu di sini. Dan besok, kita kembali untuk bangun rumah baru.”

Kami kebetulan ke kampung itu lima hari setelah peristiwa kebakaran, dan keluarga yang malang itu sudah tinggal dalam sebuah pondok yang sederhana, namun penuh dengan segala kebutuhan hidup.



Sebagaimana Yesus biasanya mengakhiri sebuah perumpamaan, “Barangsiapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!"

Dari Oikonomia Allah sampai ke Ekonomi Manusia:Sebuah Catatan Historis

John Campbell-Nelson

Pada tahun 1991, HKUP GMIT menambah dua bidang pelayanan yang “baru” pada tritunggal pelayanan yang terkenal: Koinonia, Marturia, dan Diakonia diperluas dengan Liturgia dan Oikonomia menjadi “panca pelayanan” yang dipakai sampai sekarang. Pada waktu itu, tidak ada yang mempertanyakan liturgia. Kita beribadah kepada Tuhan sejak dahulu kala. Hanya, ada yang merasa ganjil dengan soal oikonomia. Begitu mereka tahu bahwa kata “ekonomi” berasal dari bahasa Yunani oikonomia mereka berkeberatan: “Ekonomi itu soal duniawi. Gereja jangan urus bisnis.” Memang kita tidak mau kalau gereja menjadi semacam perusahaan. Hal ini sudah digumuli ketika kekayaan gereja menjadi salah satu pokok persoalan pada masa Reformasi. Pada abad-abad pertengahan, gereja telah berkembang sampai menjadi lembaga yang paling kaya di Eropa. Para Reformator mengecam korupsi dalam tubuh Kristus kalau gereja menjadi pemilik perkebunan yang luas, penjual jasa rohani, atau malah memungut pajak dan mengelola bank sendiri. Dalam keadaan demikian, terlalu gampang persembahan “demi kemuliaan Tuhan” bergeser pada “kemegaan GerejaNya” dan pada akhirnya menjadi kekayaan para “Hamba Tuhan.” Justru karena bahaya seperti itu, oikonomia perlu dipahami dalam arti yang asli dalam tradisi kita, sebab jauh sebelum oikonomia bergeser pada ekonomi dalam bahasa sehari-hari, ia adalah sebuah konsep teologis yang cukup sentral. Ada baiknya kalau kita mengikuti riwayatnya.Kata oikonomia berasal dari bahasa Yunani: oikos = “rumah” dan nomos = “penataan.” Dengan demikian oikonomia berarti penataan rumah tangga. Dalam bahasa sehari-hari, seorang oikonomos adalah juru kunci, kepala dapur, dan penilik perkebunan pada sebuah rumah besar; sedangkan oikonomia adalah tata aturan dalam sebuah rumah tangga. Berdasarkan arti yang sehari-hari ini, berkembang dalam pemikiran Rasul Paulus sebuah kiasan tentang dunia ini sebagai “rumah tangga Allah” (Ef. 2.19) dan oikonomia sebagai tatanan Allah terhadap ciptaanNya, dan lebih jauh lagi sebagai rencana penyelamatan Allah: “sebagai persiapan [oikonomian] kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.” (Ef. 1.10). Paulus juga menyebut diri sebagai “oikonomos rahasia Tuhan” (Ef. 3.9; I Kor. 4.1; Kol. 1.25).Selanjutnya, dalam pemikiran para Bapak Gerejawi konsep oikonomia sudah menjadi sebuah istilah yang khas teologis yang mencakup: (1) Tatanan internal dari Trinitas, semacam “pembagian tugas” di antara Bapak, Anak, dan Roh Kudus; (2) Konsep providentia, yaitu pemeliharaan Allah dalam pemberian alam semesta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keberlangsungan hidup manusia; (3) Inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus sebagai penggenapan rencana keselamatan. (4) Merangkum semua arti di atas, pada akhirnya disebut “Sang Oikonomia” untuk mencakup keseluruhan Rencana Tuhan dalam penciptaan, keselamatan, dan penggenapan pada akhir zaman.Dari evolusi makna oikonomia sejak Rasul Paulus lewat Krysostomus, Athanasius, Agustinus, bahkan sampai Luther dan Calvin nampak suatu keyakinan bahwa dunia ciptaan Allah dan keseluruhan perkembangan sejarah manusia adalah bagian dari suatu rencana agung yang ditata secara rapih demi kebaikan manusia dan kemuliaan Allah. Bagian manusia dalam rencana ini adalah sebagai oikonomos Allah yang dipercayakan dengan tugas untuk hidup sebagai penata rumah tangga Allah dan penjaga kebun Allah yang setia.Kalau memang demikian, sejak kapan oikonomia bergeser dari arti teologis ini menjadi “ekonomi,” dalam arti kegiatan produksi, pemasaran dan konsumsi barang, jasa, dan uang?Perobahan ini terjadi mulai pada zaman yang disebut “Pencerahan” di Eropa, pada abad ke15-18. Pertama, terjadi sejumlah terobosan dalam bidang ilmu alam, di mana para ilmuan seperti Galileo dan Kopernikus menemukan bahwa bumi ini bulat dan mengelilingi mata hari—ternyata bukan seperti dalam Alkitab, di mana bumi ini dianggap plat seperti sebuah piring dan mata hari mengelilingi bumi. Menyusul keberhasilan dalam ilmu alam, sejumlah pemikir mulai menerapkan metode observasi dan analisis yang serupa pada kehidupan dan kegiatan manusia. Tidak lagi terpaku pada “apa kata Alkitab,” mereka mencari pengetahuan tentang manusia dengan mata dan kepalanya sendiri.Salah satu pemikir yang menerapkan metode observasi-analisis ini pada kegiatan produksi dan perdagangan adalah Adam Smith, dalam bukunya Menelusuri Kekayaan Bangsa-Bangsa (An Inquiry into the Wealth of Nations, 1776). Smith meletakkan dasar bagi teori kapitalisme dan “pasar bebas” yang sempat berdaulat dalam pemikiran dan penetapan kebijakan-kebijakan perdagangan sampai abad ke 20. Pada saat yang sama, dia mempopulerkan sebuah istilah untuk bidang studinya yang melekat sampai sekarang: ekonomi politik (“political economy”). Para pemikir masa kini akan mengatakan bahwa bidang ini disebut ekonomi politik karena ia meneliti hubungan di antara kebijakan politik dan pengelolaan kegiatan ekonomi. Namun, dalam konteks berpikir Adam Smith ada alasan yang lain yang sama penting: Smith menyebut ekonomi politik untuk membedakannya dari istilah yang lebih tua: ekonomi Allah.Smith, seperti kaum “pencerahan” lain, berupaya untuk memahami dunia ini semata-mata dalam kerangka berpikir ratio manusia, tanpa mengandalkan intervensi Allah. Para ekonom selanjutnya meneruskan upaya itu, sampai ekonomi (biasanya tanpa kata sifat “politik” lagi) telah berkembang menjadi ilmu sosial yang paling berpengaruh dalam dunia masa kini. Penasehat ekonomi menjadi tokoh yang sangat berperan dalam pemerintahan, dan biarpun keadaan ekonomi memburuk betapapun, namun sulit mencari seorang ahli ekonomi yang menganggur. Bahkan di Amerika gelar akademis yang paling digemari adalah dalam bidang ekonomi.Lebih dari itu, hampir dapat dikatakan bahwa “Sang Ekonomi” dalam versi kapitalisme global telah menjadi pengganti Tuhan kalau orang mau menjelaskan apa yang paling berkuasa dalam kehidupan manusia masa kini. Mengapa kita susah? “Karena ekonomi memburuk.” Mengapa kita senang? “Karena ekonomi membaik.” Para bank besar dan kantor perusahaan global menjadi “Bait Suci” moderen, dengan bankir dan peramal ekonomis sebagai kaum imam. Salah-benar sebuah kebijakan publik dinilai dari “reaksi pasar.” Dalam pertarungan di antara Allah dan Mamon, kelihatannya seperti Mamon telah menang.Sementara itu, apa nasibnya oikonomia Allah? Dalam gereja, oikonomia, kalau disebut sama sekali, sering dibatasi pada soal keuangan dan harta milik gereja sebagai lembaga. Bahwa hal ini hanya sebagian yang kecil dari amanat Tuhan kepada manusia sebagai oikonomos Allah sepertinya dilupakan dalam upaya untuk mencari gaji bagi para pelayan dan menghimpun dana untuk membangun gedung-gedung yang dapat bersaing dengan para bait suci Mamon. Sampai sejauh gereja terlibat dalam kegiatan ekonomis, ia biasanya mengekor pada ekonomi kapitalis (misalnya melalui pinjaman-pinjaman untuk usaha-usaha kecil), atau ia mendapat bagian merawat para korban ekonomi kapitalis global melalui pelayanan diakonal. Usaha-usaha ini bukan tidak baik. Namun perlu dikatakan bahwa pelayanan gereja dalam bidang oikonomia cukup kerdil kalau dibandingkan dengan kemuliaan dari panggilannya sebagai Oikonomos Allah. Kalau dunia ini adalah kebun Allah, bagaimana kita membagi hasilnya secara adil? Bagaimana kita merawatnya supaya tidak dicemarkan oleh polusi atau dimakan erosi? Kalau kita berdiam bersama dalam rumah tangga Allah, mengapa ada yang makan dua piring dan ada yang mati kelaparan?Kalau kita mau setia pada amanat yang Tuhan berikan, kita harus mulai dengan upaya untuk mengembalikan oikonomia pada agenda teologia; para teolog harus belajar ilmu ekonomi seperti dulu kita belajar untuk berdialog dengan psikologi, sosiologi, dan antropologi. Dan yang utama, kita harus mengupayakan sebuah visi yang baru tentang Oikonomia Allah, Rencana Tuhan yang agung, yang dapat mengekspos ekonomi kapitalis global sebagai berhala kepada Mamon, dan dapat mengembalikan penataan rumah tangga Allah kepada tuan rumah yang sebenarnya.