27 Januari 2011

Komentar atas Mika 6:1-8

Mika bernubuat pada bagian kedua abad ke-8 SM di Yehuda.

Latar Kisah (atau Konteks Sejarah)

Mika bernubuat dalam suatu masyarakat yang tidak kekurangan orang-orang beragama. Mika dengan jelas menyebut penyebaran religiositas di mana orang, khususnya para pemuka agama, memperlihatkan diri di muka umum betapa religius mereka itu, dengan mulut manis berseru di hadapan Allah (Mika 3). Nampaknya kehidupan beragama yang berlangsung seperti sediakala membuat para pemuka agama puas diri dan yang kuat tetap berkuasa. Maka dalam keadaan itu, munculnya seorang suruhan Allah mencanangkan hukuman Allah kepada orang saleh mestilah suatu kejutan.

Dipanggil ke Perundingan

Dalam ayat-ayat pembuka Allah mengajukan gugatan terhadap Israel, dan menyeru semua ciptaan menjadi juri. Gunung-gunung dan dasar-dasar bumi akan mendengar tuduhan Allah dan pembelaan Israel. Ini bukan pertengkaran kecil melainkan belangsung dalam suatu kerangka yang meliputi alam semesta.

Kita diberitahu bahwa “Allah berperkara dengan umat-Nya.” Kita tidak memperoleh daftar pelanggaran dalam ayat-ayat itu, namun sebelumnya, fasal 3 membeberkan setumpuk dosa dan ayat-ayat penutup fasal 6 menyatakan secara khusus: “kekayaanmu penuh kekerasan, pendudukmu bicara bohong” (ayat 12).

Kita mendengar berulang-ulang kesedihan Allah, “ O, umat-Ku,” dalam fasal 3 dan 5, ketika Allah mencoba memahami kesalahan apa yang terjadi. Ketika Allah meninjau hubungan ilahi – manusia sejauh itu, terkandung hukuman bagi umat yang kontras dengan kesetiaan Allah. Dan kita memperoleh suatu rangkuman sejarah keselmatan, di mana Allah menghitung “tindakan penyelamatan TUHAN” (ayat 4-5):

* Allah membebaskan dari perbudakan di Mesir
* memberi mereka para pemimpin (Musa, Harun, Miriam)
* memberkati mereka melalui imam asing Balam meskipun menentang kehendak rajanya sendiri
* dan membawa mereka ke tanah perjanjian (dari Sitim ke Gilgal).

Setiap kisah itu adalah suatu kisah lengkap tersendiri, dan setiap kisah memperlihatkan ketidaksetiaan umat secara kronis. Kedua ayat singkat ini membantu mengingatkan umat siapa Allah itu. Dialah Allah yang mendengar seruan umat dan membawa mereka keluar dari perbudakan. Dialah Allah yang mau memakai orang asing pun untuk memberi berkat. Dialah Allah yang memperlihatkan belas kasih dan rahmat ketika umat jatuh. Bahkan berhala dan ketidakadilan umat tidak mencegah Allah ini bertindak menolong. Keseluruhan ciptaan berdiri menjadi saksi penyelamatan Allah ini yang dinyatakan dalam tindakan-tindakan itu.

Jawaban Umat

Sekarang jawaban umat (ayat 6-7). Pertanyaan “dengan apakah aku akan datang ke hadapan TUHAN?” adalah semacam pengakuan bersalah. Tidak ada usaha untuk menentang klaim Allah, dan tidak ada bukti yang dikemukakan untuk membela diri mereka dari tuduhan-tuduhan Allah. Umat cepat-cepat kembali ke rumusan yang lazim: perlu persembahan korban untuk menutupi pelanggaran-pelanggaran mereka. Respon ini memperkuat pola pamer keberagamaan yang telah dikecam Mika, khususnya oleh para pemimpin yang mencari kepentingannya sendiri (3:11). Mika mestilah sudah menduga bahwa para pemimpin palsu itu akan mengarah ke tindakan pengorbanan yang mencolok itu, seakan-akan masalahnya adalah bagaimana menyenangkan Allah daripada mengubah kelakuan mereka sendiri. Mika memperjelas bahwa dalam bidang agama tidak akan ada lagi kehidupan beragama yang berlangsung seperti sediakala tanpa perubahan hati dan kehidupan.

Jawaban pergi-berbuat adalah usaha menyenangkan Allah melalui suatu bentuk score-keeping, yang mencoba memberi harga tertentu pada rahmat Allah. Berapa bayarannya untuk menghentikan pengawasan Allah? Korban bakarankah? Ribuan domba jantan? Anak sulungku? Bagaimana kita menyamakan angka? Tapi Mika menolak. Kita tidak bisa sekadar membayar.

Tidak Lagi Beragama Seperti Sediakala

Mika mempertentangkan antara membuat score-keeping gampangan dengan jalan yang telah Allah berikan, “Dia telah memberitahumu, hai mahluk fana, apa yang baik” (ayat 8). Keseluruhan Torat telah memberikan jalan kehidupan kepada umat Allah. Mika juga berada di barisan para nabi yang telah berulang-ulang mengingatkan umat mengenai jalan ini. Mika membuat rangkuman atas apa yang Allah tuntut, yang sekaligus lebih mudah dan lebih rumit daripada melaksanakan praktek ritual: “berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu.”

Berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah, bukanlah suatu tindakan tunggal yang dapat ditandai di daftar lalu ditinggalkan. Pada suatu skala pribadi dan sosial, dengan cara yang besar dan kecil, ini adalah suatu jalan hidup. Mika memberitahu bahwa persetujuan berkala terhadap kesetaraan bukanlah suatu kesetiaan. Kita tidak boleh hanya memberi perhatian pada kuota keanggotaan komite-komite dalam mengupayakan keadilan rasial. Kita tidak boleh hanya mengirim sumbangan untuk bantuan bencana lalu mengabaikan memeriksa gaya hidup yang menyebabkan, setidaknya sebagian, terjadinya sejumlah bencana alam. Kita tidak boleh melakukan kampanye hunger walks namun menolak mengubah gaya hidup konsumeris kita. Kita tidak boleh mengaku dengan mulut pada hari Minggu pagi namun mendendam di kantor pada hari Senin.

Daripada mempersembahkan kepada Allah ribuan domba jantan, Mika menyerukan untuk mempersembahkan ribuan tindakan harian saling mengasihi sesama dan dunia yang Allah kasihi. “Berjalan rendah hati dengan Allah” berarti menyadari kecenderungan untuk membenarkan diri sendiri. Kita tidak boleh “bermain gereja” atau membingkai kehidupan keagamaan kita sebagai suatu permainan di mana kita menahan Allah dengan melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan. Kehidupan iman memang suatu perjalanan yang mereorientasi hati dan kehidupan.

Suatu Peringatan

Adalah mudah untuk membuat dikotomi palsu antara praktek ritual dan iman yang sejati dari ayat-ayat terkenal dalam kitab Mika ini, antara kesalehan dan keadilan sosial, atau antara “menjadi religius” dan “menjadi rohani” menurut istilah yang lazim. Mika tidak pernah melarang orang untuk berhenti melakukan praktek ritual atau berhenti menjadi religius. Masalahnya bukan agama itu sendiri. Masalahnya adalah memakai praktek ritualnya untuk melepaskan diri dari kehendak Ilahi atas keadilan dan kemurahan. Kebalikannya sama menimbulkan masalah, yakni menjauhkan diri dari tindakan persekutuan doa dan ibadah karena sibuk dalam aktivitas keadilan sosial. Setiap ektrim tidak bisa memberi yang utuh.

Kita juga harus waspada pada penyalahgunaan yang lazim ayat ini, yakni membiarkan seseorang menjauh sama sekali dari persekutuan iman. Penekanan pada “berjalan rendah hati dengan Allahku,” dalam ayat 8 dapat menjadi manifesto agama pribadi, sebuah gereja perorangan.

Micah 6:1-8
Commentary by Amy Oden
http://www.workingpreacher.org/preaching.aspx?tab=1&alt=1

Terjemahan bebas oleh Zakaria Ngelow

21 Januari 2011

Natal Menembus Batas


Jenifer Ladja


Apakah anda seorang Ibu? Atau seorang Ayah? Atau anda adalah seorang yang pernah mendampingi seseorang yang anda kasihi dalam menanti masa-masa kelahiran bayinya? Jika demikian, maka Anda tentunya dapat dengan mudah membayangkan bagaimana perasaaan Maria (Ibu) dan Yusuf (Ayah) saat menanti kelahiran Yesus. Bagaimana cemas, gelisah, khawatir sekaligus bahagia kadang sulit diungkapkan.


Kesederhanaan
Proses kelahiran Yesus tidaklah berbeda dengan kelahiran sebagian bayi-bayi pada zaman-Nya maupun pada zaman sekarang. Bahkan kelahiran Yesus jauh lebih sederhana dibanding kelahiran bayi-bayi yang lain, Injil Matius 1 dan Lukas 2 mencatat bahwa ketika Yesus lahir Ia dibaringkan pada sebuah palungan. Jelas bahwa palungan tidak ada di sebuah rumah bersalin, melainkan di dalam kandang. Tentunya tidak mudah menerima kenyataan tersebut. Meskipun demikian, sukacita Maria dan Yusuf tentunya tidak lebih kurang daripada sukacita Ibu dan Ayah yang anaknya dilahirkan di rumah bersalin yang mewah.
Dalam perkembangannya di kemudian hari, kelahiran yang sederhana ini dirayakan oleh umat Kristen atau biasa disebut Natal. Natal, di hati umat Kristen selalu membawa sukacita tersendiri. Bagaimana tidak, Natal dipahami sebagai penggenapan nubuatan nabi-nabi jauh sebelum Yesus lahir, misalnya dalam kitab Yesaya dan Mikha. Oleh karena itu, Natal sering kali dirayakan dalam berbagai cara yang jarang tak meriah. Bahkan suasana persiapan Natal sudah terasa beberapa bulan sebelum Desember.
Sebagaimana Yesus lahir dalam kesederhanaan, maka perayaan Natal dalam kesederhaanan pun bukan dosa. Yesus juga bukan anak-anak yang suka ngambek jika perayaan kelahiran-Nya tidak dirayakan dengan meriah. Meskipun perayaan yang meriah juga tentu tidak ada salahnya. Terlepas dari bentuk perayaannya, apakah dirayakan secara meriah ataukah dalam kesederhanaan, yang penting daripada itu adalah; Apakah melalui perayaan itu kita dapat memaknai Natal?


Menembus Batas
“Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia.” (Yoh 1:9) merupakan tema Natal 2010 yang diangkat oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konfrensi Wali Gereja di Indonesia (KWI).
Terminologi terang, hanya dapat dipahami oleh seseorang yang pernah berada dalam kegelapan. Seseorang yang tidak pernah berada dalam kegelapan (suasana gelap) akan sulit memahami makna setitik terang. Makna terang dalam kehidupan setiap orang pun akan berbeda satu dengan yang lainnya bergantung pada situasi orang tersebut. Bagi orang yang sedang berjalan dalam gelap, terang bisa menjadi penuntun, bagi orang yang sedang mencari sesuatu, terang akan bermakna sesuatu yang akan memperlihatkan barang atau apa saja yang sedang dicari, bagi orang yang sedang berkemah, terang adalah untuk menyatukan para peserta kemah dalam suasana yang akrab serta romantis, dll.
Terang yang dimaksud dalam Injil Yohanes adalah Yesus Kristus. Kelahiran Yesus Kristus yang dianalogikan dengan terang memiliki makna yang sangat mendalam bagi Jemaat Kristen dalam konteks Injil Yohanes, karena pada masa itu, Jemaat sedang berada dalam penindasan oleh pemerintah Romawi (70 M). Sehingga “Terang” yang dimaksud oleh Yohanes bermakna pembebas, penyelamat.
Terang yang dimaksudkan bukan sekedar terang biasa, melainkan “Terang yang sesungguhnya” karena terang yang biasa memiliki keterbatasan. Keterbatasan terang/cahaya nampak dari hadirnya bayangan. Ketika cahaya membentur benda maka bayangan pun hadir. Bayangan adalah wujud keterbatasan cahaya (Goenawan Mohamad, Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai). Terang yang sedang datang ini (baca= Yesus Kristus) adalah terang yang menerangi setiap orang. Terang ini tak terhalau oleh dinding atau benda apapun yang dapat menghalangi terang itu untuk nampak bagi semua orang.
Karya Yesus Kristus menembus segala “dinding” segala batas yang memisahkan; dinding suku, dinding agama, dinding kebudayaan, dinding kelas sosial, dls. Yesus menembus batas suci dan najis; Ketika Ia menyembuhkan orang Kusta yang diasingkan karena dianggap najis oleh orang Yahudi pada masa itu. Yesus menembus batas suku dan keagamaan; ketika Ia menyembuhkan anak perempuan Siro Fenesia, Ia menunjukkan bahwa kasih Allah melampaui batas suku bahkan batas keagamaan. Ia menembus batas kelas sosial; Ketika Ia membela hak-hak orang miskin saat Ia marah dan mengusir para pedagang yang menggunakan Bait Allah sebagai tempat untuk mencari keuntungan dari orang-orang miskin yang tidak berdaya. Semua itu, bagi Yesus bukanlah sebuah dinding yang harus menjadi pemisah.
Yesus adalah Terang yang sesungguhnya yang telah datang ke dalam dunia. Ia telah menunjukkan bagaimana menjadi terang. Oleh karena itu, Gereja (Umat Kristen) yang mengaku telah menerima terang itu juga hendaknya menjadi terang yang tak terhalau oleh segala jenis “dinding”
Di Indonesia masa kini, “kegelapan” hadir dalam bentuk; Kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, dll. Pada kondisi seperti inilah, Gereja hadir dan diutus. Oleh karena itu, melalui Natal, Gereja harus mampu menghadirkan “terang” dalam kehidupan sosial, dalam pelayanan yang menyentuh kehidupan secara nyata; terlibat dalam pengentasan kemiskinan, terlibat dalam penegakan keadilan, menyatakan sikap terhadap kekerasan, dll.
Sebagaimana pelayananan Yesus menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia; jasmani dan rohani; seperti ketika Ia memberi makan kepada lebih 5000 orang (Mat 14:13-21, Mrk 6:30-44, Luk 9:10-17, Yoh 6:1-13), melakukan penyembuhan-penyembuhan jasmani (orang lumpuh berjalan, orang buta melihat, dll) maka Gereja juga, dalam pelayanannya hendaknya menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia; jasmani dan rohani. Bukan melulu sebatas memuaskan kebutuhan rohani atau hanya sekedar mendiskusikan dan mendoakan mereka dari atas mimbar dan berharap Tuhan bekerja bagi mereka. Kebutuhan rohani memang perlu, tapi kebutuhan jasmani manusia pun tidak dapat diabaikan. Karenya pelayanan Gereja dalam masyarakat harus seimbang.
Menurut Dietrich Bonhoeffer, gereja dalam dunia yang sudah dewasa ini mempunyai tugas lain, bukan lagi untuk “berbicara” tentang pengampunan, penebusan, pembebasan,dll tapi untuk menyatakannya (menerjemahkannya) dalam perbuatan nyata (J.L. Ch Abineno, Dietrich Bonhoeffer: Hidup, Karya dan Perjuangannya).

Jika Gereja ingin menjadi terang, Gereja sendiri yang harus membuka “pintu” membuka “jendela” untuk menampakkan terang agar terang itu bercahaya bagi semua orang. Gereja tidak akan berguna, jika ia hanya menjadi terang di dalam “gedung” atau dengan kata lain menjadi sangat ekslusif. Gereja harus menjadi terang di dalam dan di luar dirinya.

Pernah dimuat dalam koran Tribun Timur, Makassar

Jenifer A.S. Ladja
Sarjana Teologi, menjadi staf pada OASE INTIM

13 Januari 2011

Gereja dan perubahan masyarakat

Beberapa catatan dari Amerika dan dari Kalumpang

Zakaria J. Ngelow



Kaum muda menghilang

Sebulan penuh pada bulan September – Oktober saya mengikuti program International Peacemaker Gereja Presbiterian di AS – Presbyterian Church (USA). Dari perkunjungan ke beberapa klasis (presbytery) di beberapa negara bagian saya mengamati suatu gejala menyedihkan, yang kabarnya sudah cukup lama melanda gereja-gereja Protestan main stream di Amerika Utara dan Eropa, yakni menghilangnya kaum muda dari kehidupan aktif persekutuan jemaat. Akibatnya, anggota gereja hanya orang yang rata-rata berusia lanjut, dan makin berkurang juga karena mereka secara alami menghilang karena meninggal. Hanya gereja-gereja Injili dan gereja-gereja kalangan Black American dan kalangan migran (dari Asia, Afrika, Amerika Latin) yang kaum mudanya masih aktif. Ada yang menghubungkan kenyataan ini dengan liturgi tradisional yang datar membosankan (dibandingkan dengan liturgi Injili yang lebih hidup dan dinamis, khususnya dengan iringan musik moderen). Ada pula yang menunjuk pada sekularisasi masyarakat (Barat) moderen yang tidak memerlukan agama. Memang dewasa ini bukan gereja saja yang kehilangan warganya, melainkan juga berbagai organisasi sosial, bahkan partai-partai politik. [Di Indonesia banyak orang mendirikan partai politik tetapi makin kurang orang mau menjadi anggota tetap suatu partai politik. Orang lebih suka menjadi massa mengambang, yang orientasi politiknya kadang-kadang bisa dibeli, sementara para pemimpin politik sering menjadi kutu loncat. Dalam urusan sosial orang juga hanya terlibat gerakan-gerakan solidaritas secara insidentil, jika ada kebutuhan yang dikomunikasikan dengan baik.]

Mungkin juga melemahnya gereja terkait dengan format kelembagaan yang tidak selaras dengan perkembangan masyarakatnya: gereja dan lembaga-lembaga lainnya mempertahankan format masyarakat agraris sementara masyarakat telah melampaui era industri ke informasi. Reformasi gereja di Eropa pada abad ke-16 terkait dengan adanya perubahan mendasar dari dunia abad pertengahan ke dunia moderen, sementara gereja masih mempertahankan status quo. Maka penting memperhatikan bahwa masyarakat Indonesia sedang mengalami transisi ke masyarakat industri, sementara gereja-gereja di Indonesia masih mempertahankan kelembagaan masyarakat agraris. Konflik kepemimpinan pada semua lingkup mungkin mengungkapkan disharmoni antara kelembagaan gereja dengan perkembangan masyarakatnya.

Pada akhir Oktober saya menghadiri sidang sinode Gereja Kristen Sulawesi Barat (GKSB) di Bonehau, 70KM dari kota Mamuju. GKSB adalah sebuah gereja dengan mayoritas warganya orang Kalumpang (salah satu kelompok suku Toraja di lembah sungai Karama, pedalaman Mamuju, Sulawesi Barat), yang bekerja sebagai petani tradisional, dan sebagian beralih menjadi petani tanaman industri (kakao, sawit, kopi). Sebagaimana kebanyakan gereja di Indonesia, partisipasi pemuda dalam gereja ini masih cukup tinggi melalui organisasi gerakan pemuda atau persekutuan pemuda jemaat setempat.

Salah satu masalah gereja-gereja di pedalaman seperti GKSB adalah urbanisasi kaum mudanya ke kota (untuk studi lanjut atau mencari pekerjaan). Banyak di antara mereka “hilang” di kota: ketika tamat SMP atau SMU dan belum mengikuti katekisasi/sidi mereka tidak punya dasar Kristen yang kuat sehingga banyak yang telah meninggalkan Kekristenan, khususnya para gadis Kristen. Dalam hal seperti ini pembekalan dari anak-anak Kristen di pedesaan dari Sekolah Minggu /persekutuan remaja ke persekutuan pemuda dan pengajaran katekisasi bersifat strategis. Sayangnya banyak gereja tidak mengembangkan pembina yang memadai dan bahan-bahan ajar yang terencana, bahkan bidang pembinaan sering dilalaikan. Di beberapa gereja ada ketegangan-ketegangan antara pengurus pemuda gereja dengan Majelis Jemaat, baik karena kurangnya dukungan finansil terhadap program-program pemuda maupun karena kalangan pemuda gereja mendesakkan perubahan menentang berbagai kemapanan di dalam gereja. Bagaimana pun, gereja-gereja kita perlu belajar dari kenyataan di Barat yang menjadi the dying church, kehilangan kaum muda dan dengan demikian kehilangan masa depannya.

Gereja Suku

Pada sidang sinode GKSB itu saya memberi perhatian secara historis pada dua konteks kehadiran gereja-gereja yang dilembagakan menurus garis etnis (ciri umum gereja-gereja dengan nama etnis, seperti Gereja Toraja, Gereja Toraja Mamasa, Gereja Protestan Maluku, Gereja Kristen Indonesia Papua, Gereja Sumba, dsb), yakni konteks masyarakat etnisnya dan konteks Islam. Sebagai gereja etnis maka tersirat tanggungjawabnya menjadikan gereja sebagai agen perubahan dalam masyarakat sukunya, dan masyarakat pada umumnya. Idiom Alkitabnya adalah menjadi garam dan terang: garam di dalam masyarakat etnisnya dan terang terhadap masyarakat seluruhnya (Mat 5: 16, 17). Kecuali masyarakat Toraja, masyarakat-masyarakat etnis yang umumnya beragama Kristen di pedalaman Sulawesi Barat- Selatan-Tengah-Tenggara, seperti Kalumpang, Kulawi, Lore, Mamasa, Mori, Moronene, Pamona, PUS, Rampi, Seko, Tolaki, dll masih terbelakang, baik sumber daya manusianya maupun sarana dan prasarana wilayahnya. Para pemimpin gereja-gereja di Indonesia yang hadir pada rangkaian Sidang Raya PGI tahun lalu melihat dan mengalami secara langsung kenyataan keterbelakangan di wilayah kabupaten Mamasa. Pemerintahan pada masa Suharto lebih banyak menguras sumber daya alam daerah-daerah pegunungan ini daripada membangun masyarakatnya. Peran gereja di dalam masyarakat di pegunungan itu perlu terus dikembangkan, baik dalam pembekalan warganya maupun dalam tanggungjawab mencegah/menentang perusakan lingkungan alamnya.

Sebagaimana dikemukakan di atas, GKSB sebagai gereja suku perlu memberi perhatian pada kenyataan sosial bahwa dia hadir tidak hanya dari dan untuk orang Kalumpang, melainkan baik untuk orang Kalumpang maupun untuk masyarakat Sulawesi Barat, yang sejak beberapa dekade cepat bertambah karena menjadi tujuan perpindahan penduduk. Memang berat beban bagi gereja dari pedalaman ini, yang masyarakatnya setiap tahun mengalami bencana kelaparan karena kemarau panjang. Sementara itu gereja ini perlu pula memberi perhatian pada gencarnya berbagai perusahaan dari luar mengeksploitasi sumber daya alamnya yang kaya -- berbagai bahan tambang (minyak, mineral), kayu, perkebunan sawit – tetapi mengabaikan nasib masyarakatnya. Sumber daya manusia dan sumber dana GKSB sangat terbatas, tetapi dengan “kenekatan iman” berani mengambil tanggungjawab pelayanan terhadap suku-suku terpencil Tobinggi di pegunungan sekitar Pasangkayu di Mamuju Utara. Realitas GKSB seperti ini menjadi tantangan nyata bagi kemitraan ekumenis gereja-gereja di Indonesia untuk mewujudkan saling topang-menopang, yang khabarnya mulai dirintis bersama Gereja Kristen Indonesia. Dalam kenyataan mengurangnya keanggotaannya, jemaat-jemaat Gereja Presbiterian Amerika tetap mewujudkan panggilan misioner –ekumenis dengan menjalin hubungan-hubungan kemitraan langsung dengan jemaat-jemaat di berbagai bagian dunia.


Konteks Islam

Untuk konteks Islam, gereja-gereja perlu meneruskan dialog yang didasarkan baik pada pengakuan terhadap kebebasan beragama, maupun pada tanggungjawab bersama memajukan Indonesia. Hubungan Kristen dan Islam di Indonesia dipengaruhi berbagai faktor, baik teologi maupun politik dan ekonomi. Dengan demikian gereja perlu memberi perhatian pada berbagai perkembangan dalam masyarakat, yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi hubungan sosial, termasuk antara kelompok umat beragama.

Warga Gereja Presbyterian di Amerika yang saya kunjungi bertanya-tanya mengenai hubungan umat Kristen dengan umat Islam di Indonesia. Apakah benar ada penganiayaan (persecution) terhadap orang Kristen Indonesia? Latar belakang pertanyaan warga jemaat di AS itu secara umum berhubungan dengan meluasnya upaya mengenal Islam, yang dalam media banyak dikaitkan dengan terorisme sejak peristiwa tragedi 911, maupun karena keterlibatan AS dalam peperangan di negara-negera Islam seperti Afganistan dan Irak. Pertanyaan itu mengingatkan saya pada nasib umat Kristen pertama pada masa para rasul: mereka dikejar-kejar sampai ke luar negeri, al. oleh Paulus, yang kemudian bertobat dan menjadi rasul penyebar Injil Kristus yang menentukan kemajuan gereja. Ada beberapa peristiwa konflik pada tahun-tahun awal memasuki abad ke-21 seperti tragedi di beberapa daerah (Kalimantan, Ambon, Halmahera, Poso) di mana kedua komunitas berbunuh-bunuhan, dan beberapa kasus pelarangan mendirikan gereja di beberapa tempat di Bekasi dan di Bogor serta beberapa tempat lain. Tetapi kasus-kasus itu tidak dapat digeneralisasi sebagai adanya penghambatan terhadap orang Kristen di Indonesia. Memang ada kelompok-kelompok yang atas nama agama memusuhi gereja dan bahkan memusuhi fihak-fihak lain juga. Ada juga kelompok-kelompok yang terus memperjuangkan ideologi agama menggantikan ideologi Pancasila. Perlu diteliti alasan-alasan permusuhan itu, dan khususnya mengapa di Jakarta dan sekitarnya muncul kelompok-kelompok garis keras dengan membawa bendera agama. Mungkin saja ada alasan-alasan sosial ekonomi, misalnya marginalisasi dari kemajuan Jakarta. Saya menjelaskan bahwa dalam kasus-kasus permusuhan itu keprihatinan utama pimpinan gereja-gereja di Indonesia adalah pada sikap pemerintah yang membiarkan saja kelompok-kelompok garis keras melakukan kekerasan terhadap berbagai kelompok yang mereka tidak sukai, seperti Ahmadiah dan aliran-aliran kegamaan yang mereka anggap sesat, dan juga permusuhan kepada jemaat-jemaat Kristen tertentu. Namun saya juga mengungkapkan fakta bahwa ada banyak kelompok-kelompok interfaith tersebar di seluruh Indonesia, yang umumnya terdiri atas kalangan muda terpelajar yang mengembangkan saling pengertian dan kerjasama lintas kelompok agama.

Perlu mencatat di sini suatu perkembangan global dalam hubungan antar agama. Dengan dimotori Pangeran Gazhi dari Yordania, para pemimpin Islam sedunia beberapa tahun lalu menawarkan suatu dialog demi perdamaian dunia berdasarkan A Common Word, yakni kasih: kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia, yang diakui sebagai prinsip dasar yang dikehendai Allah baik dalam Alkitab maupun dalam Al-Qur’an. Sejumlah tokoh Kristen Indonesia merespon himbauan itu secara positif (selengkapnya lihat www.jalandamai.net). Berdasar pada prinsip kasih itu pula pada bulan Oktober lalu, Raja Yordania menyampaikan usul kepada Sidang Umum PBB – yang secara aklamasi menyetujui -- adanya perayaan tahunan Minggu Kerukunan Umat Beragama (World Interfaith Harmony Week) pada setiap minggu pertama bulan Februari.

Multikulturalisme Gado-gado

Pada masa lalu masyarakat Amerika terbagi atas migran Eropa kulit putih dan kalangan Black American dan Indian American. Dalam pendekatan apa yang disebut melting pot, semua orang dari berbagai latar belakang dileburkan ke dalam satu budaya ideal (yang dalam prakteknya budaya kulit putih dominan). Pendekatan dari abad ke-19 ini kemudian dikritik dan direvisi ke dalam pendekatan baru, salad bowl: di mana terhimpun semua unsur yang berbeda membentuk suatu kesatuan tanpa mengubah identitas masing-masing. Ibarat lain adalah simfoni musik, di mana berbagai alat musik yang berbeda mempunya tempat dan sumbangannya dalam memainkan suatu lagu. Untuk kenyataan Amerika, posisi masyarakat kulit hitam menjadi lebih baik setelah sukses gerakan emansipasi yang dipimpin Martin Luther King Jr (1929-1968) pada tahun 1960-an. Salad bowl dalam bentuk Indonesianya adalah sayur gado-gado. Dalam percakapan dengan warga jemaat-jemaat Presbiteran Amerika saya memakai gado-gado sebagai ilustrasi kepelbagaian Indonesia yang bhinneka tunggal ika. Dalam gado-gado unsur-unsur sayuran yang berbeda – kangkung, kacang panjang, wortel, kol, dst – tetap dengan jati dirinya. Unsur-unsur yang berbeda itu dipersatukan oleh bumbu kacang menjadi suatu kesatuan yang tetap jelas identitas individunya. Demikianlah saya memahami dan menjelaskan kesatuan dan persatuan Indonesia di bawah ideologi Pancasila: menghargai dan memberi tempat pada semua yang berbeda-beda (suku, agama, ras, golongan) dalam kebersamaan sebagai satu bangsa. Identitas tidak ditiadakan, melainkan diberi tempatnya dalam kebersamaan. Salah satu upaya untuk mewujudkannya adalah melalui pendidikan multikulturalisme, yang dewasa ini diperkembangkan untuk menghargai perbedaan demi persatuan.



Wassenaar, Nederlands, Nov 2010

Berita Oikoumene, Des 2010-Jan2011
dimuat kembali di sini dengan perbaikan redaksional