23 Juni 2011

Catatan dari Toili

Pembekalan anggota Majelis Jemaat GKLB Klasis Toili, 7-11 Juni 2011

Mendarat di antara gunung dan laut di sisi kanan dan kiri pesawat adalah awal dari langkah Tim Oase Intim melangkahkan kaki ke bumi Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah tepat pada tanggal 6 Juni 2011. Daratan yang kami injak untuk pertama kali setelah turun dari pesawat bukanlah tujuan perjalanan kami, melainkan ibu kota kabupaten Banggai, Luwuk. Dari sana kami masih harus melanjutkan perjalanan melalui darat selama dua jam, dengan Ketua Panitia Kursus Teologi Terapan (KTT) Klasis Toili, dokter Christofer Ladja, sebagai sopir …

Menyisiri pantai menuju Toili, kami melihat suasana yang berbeda setiap kecamatan, ini disebabkan oleh setiap kecamatan memiliki ciri khas masing-masing. Kecamatan yang didiami oleh penduduk asli sangat berbeda dengan kecamatan yang didiami oleh penduduk pendatang atau transmigran. Pada kecamatan yang terakhir inilah, ban mobil berhenti dan kami disambut oleh panitia-panitia lokal yang telah siap menjamu kami.

Ada harapan besar yang nampaknya ingin dititipkan oleh panitia dalam setiap sentuhan tangan ketika sedang berjabat tangan dengan kami, tim dari Oase Intim. “Semoga tidak mengecewakan” pikirku tanpa mengetahui isi pikiran tim yang lain (Pak Zakaria, Pak Manggeng, Christin).

Hari pertama kedatangan kami, berlalu dengan banyak percakapan dengan panitia lokal di klasis Toili. Klasis Toili merupakan salah satu klasis GKLB (Gereja Kristen di Luwuk Banggai) yang meliputi dua kecamatan; Toili dan Toili Barat. Dua kecamatan ini adalah kecamatan transmigran mayoritas Jawa dan Bali selebihnya Mori, Manado, Bugis, dll. Karena itu tak heran jika jemaat-jemaat yang ada di klasis ini sangat beragam dari segi pandangan dan budaya. Hal ini terlihat jelas selama lima hari kegiatan yang dimulai setiap pukul 14.00-20.30 WITA.

Seperti kegiatan-kegiatan lainnya, kegiatan KTT ini juga diawali dengan ibadah pembukaan (7/6) pada pukul 10.00 yang dipimpin secara bergantian oleh Pdt. Martoyo sebagai liturgis dan Pdt. Marthen Manggeng, membawakan khotbah. Diakhir ibadah, kegiatan ini dibuka oleh Sekum BPS GKLB, Pdt. I Made Subagiarta.

Sebagaimana biasanya dalam pendekatan yang Oase lakukan, tim tidak memulainya dengan penyajian materi kepada peserta, melainkan terlebih dahulu melakukan penggalian informasi; motivasi, harapan dan permasalahan-permasalahan dalam pelayanan yang dialami peserta. Dari informasi-informasi tersebut inilah, tim Oase menyusun materi dan langkah-langkah strategis untuk disajikan pada hari kedua. Berita baik pada hari pertama kegiatan ini adalah kedatangan salah satu fasilitator Oase yang menyusul dari Kupang, Pak John Campbell Nelson. Hari pertama berlalu dengan “penggalian” masalah, yang nampaknya dari beberapa peserta yang belum terbiasa dengan pendekatan seperti ini sedikit kecewa, karena pada hari pertama mereka sudah siap dengan materi-materi.

Menarik bahwa, dari 35 peserta, sebagian diantaranya telah menjadi Majelis Jemaat belasan hingga puluhan tahun dengan motivasi ditunjuk maupun karena panggilan secara pribadi untuk melayani Tuhan. Dan sebagian besar peserta membutuhkan materi mengenai pengetahuan isi alkitab, metode berkhotbah, dll.

Hari kedua dan seterusnya, diawali dengan penyajian materi sesuai dengan hasil penggalian hari pertama kegiatan. Selama beberapa hari ini, tim telah mencoba untuk menyajikan materi dengan metode yang berbeda-beda agar peserta tidak bosan dan juga “energizer’ untuk menyegarkan pikiran peserta yang lelah berkegiatan. Bagaimana tidak, peserta yang terdaftar pada umumnya adalah pegawai dan petani yang telah beraktivitas di kantor dan di ladang pada pagi hari dan melanjutkan kursus pada sore harinya. Ini pula yang menjadi alasan penyelenggaraan KTT ini hingga diadakan pada siang hari

Meskipun demikian, mereka adalah peserta-peserta yang luar biasa bersemangat hingga hari terakhir, bahkan salah seorang peserta, Ibu Marni T. Bisi, berharap bahwa Oase masih akan memberikan materi pada hari minggu (12/6) sebelum penutupan berlangsung. Menurut Ibu Marni, kegiatan ini sangat membantu mereka dalam pelayanan, apalagi kegiatan seperti ini belum pernah ada sebelumnya, khusus di jemaat ibu Marni, bahkan pembekalan Penatua dan Syamas pun belum pernah ada.

Di tengah waktu seggang, pada pagi hari, kami dikunjungi oleh pendeta-pendeta klasis setempat untuk melakukan percakapan-percakapan seputar pelayanan. Dalam percakapan tersebut juga muncul beberapa pergumulan yang dibagi bersama dan hampir tidak begitu jauh berbeda dengan pesoalan yang dikemukakan oleh para peserta; Majelis dan Pelayan Kategorial. Persoalan yang paling banyak muncul adalah persoalan terkait Tata Gereja; bolehkan Penatua menumpangkan tangan pada saat mengucapkan berkat? Dll.

Karena begitu banyak pertanyaan dan pergumulan yang dialami oleh para pelayan Tuhan di Klasis ini, maka salah satu upaya Oase untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah membuka sessi bebas, untuk menjawab semua pertanyaan peserta yang ditulis dalam kertas yang disiapkan; 3 pertanyaan untuk setiap peserta. Pertanyaan yang paling banyak mencuat adalah; Bagaimana status pendeta yang menjadi Pegawai Negeri Sipil? Tritunggal dan Trinitas, persembahan perpuluhan, liturgi, pakaian jabatan, baptisan, denominasi, dan masalah budaya di dalam gereja.

Pada hari terakhir, hal yang tidak biasanya kami temui dalam kegiatan Oase adalah, panitia mencari peserta favorite perempuan dan laki-laki pilihan peserta. Dan terpilihlah dua orang, Ibu Tin dan Pak Darius. Kesan dari mereka berdua adalah, bahwa KTT yang diselanggarakan oleh Oase dan Klasis Toili ini sangat membantu mereka dan berharap bahwa kegiatan ini tidak berakhir sampai di sini saja.

Akhirnya, setelah melalui hari-hari yang tidak “normal” karena cukup melelahkan panitia dan peserta yang setia hingga akhir, kursus pun ditutup pada tanggal 12 Juni 2011 oleh Koordinator Klasis Toili, Pdt. Marthon. [Jenifer Ladja]

08 Juni 2011

Revisi tata Gereja Gepsultra

Laporan kegiatan, oleh Jenifer Ladja

Untuk menjawab tantangan zaman yang terus berkembang, Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara (Gepsultra) merasa perlu untuk merevisi Tata Gereja yang berlaku saat ini. Maka untuk mewujudkan hal tersebut Gepsultra membentuk Tim Revisi Tata Gereja dan bekerja sama dengan Yayasan Oase Intim untuk mendampingi proses revisi ini.
Salah satu proses yang dilakukan oleh tim sebelum perampungan draft revisi adalah melakukan Konsultasi Tata Gereja dengan menghadirkan presbiter-presbiter dan Vikaris dari seluruh jemaat Gepsultra. Selain sebagai sosialisasi kepada presbiter, juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari para presbiter sesuai dengan pergumulan di jemaat masing-masing agar kemudian “digodok” oleh Tim Revisi merupakan tujuan yang hendak dicapai.
Kerjasama Yayasan Oase Intim dan Sinode Gepsultra, bukanlah yang pertama kalinya, khususnya dalam hal revisi Tata Gereja, konsultasi ini adalah langkah kedua setelah sebelumnya dilakukan Lokakarya Tata Gereja (4-6 November 2010) di Kendari.
Bersama dengan narasumber yang ahli di bidang Tata Gereja; Pdt. Dr Lazarus Purwanto, Pdt. Dr. Zakaria Ngelow dan Pdt. Marthen Manggeng, M.Th, Konsultasi ini berlangsung selama tiga hari (26-30 Maret 2011) di Pendopo Kantor Sinode Gepsultra, Kendari.
Meskipun dalam suhu yang panas karena hujan yang tak kunjung menghampiri Kendari beberapa hari itu, konsultasi yang dihadiri oleh 83 peserta ini berlangsung dengan serius. Walau terkadang terjadi perdebatan yang alot, namun gelak tawa pun sering kali menghiasi seluruh proses. Menarik bahwa diskusi tidak hanya berlangsung di pendopo yang terbuka, tapi juga berlanjut pada waktu-waktu informal; di ruang makan atau bahkan saat istrahat. Ini menunjukkan keseriusan mereka untuk kemajuan pelayanan Gepultra.
Adapun pendekatan yang dilakukan oleh Fasilitator Oase; “semua peserta adalah fasiltator”, hingga Tata Gereja yang dihasilkan pun adalah Tata Gereja “dari, oleh dan untuk Gepsultra”; berasal dari pergumulan Gepsultra dari berbagai lingkup bagi kemajuan pelayanan Gepsultra. Salah satu hal substansial yang berubah adalah perubahan dari dua lingkup pelayanan (Jemaat dan Sinode) menjadi tiga lingkup (Jemaat-Klasis-Sinode)
Berdasarkan hasil evaluasi dan wawancara dengan beberapa peserta, mereka mengatakan bahwa proses ini sangat bermanfaat bagi mereka dan menambah banyak pengetahuan. Bahkan salah seorang peserta- Pnt. Benyamin Sampe, yang telah menjadi presbiter selama 4 periode –mengaku; mendapat hal baru/pengetahuan tambahan, misalnya mengenai sistem presbiterial sinodal yang selama ini dianut oleh Gepsultra namun tidak begitu dipahami secara lebih baik.
Selain itu Pdt. Pempy Maria Syella, S.T- salah satu peserta- menilai kegiatan ini mendapat perhatian yang besar di kalangan para penatua. Jika selama ini dalam rapat, Tata Gereja, hanyalah urusan pendeta dan para penatua hanya menunggu, kali ini penatua memperlihatkan antusias yang besar. Menurut Pdt. Pempy, hal ini dimungkinkan oleh beberapa faktor; kerinduan untuk kemajuan Gepsultra dan pola penyampaian materi dari fasilitator yang menarik. Namun, dibalik proses yang menarik ini, terbersit harapan bahwa Tata Gereja yang dirumuskan tidak hanya sekedar perbincangan di Pendopo, melainkan dapat terealisasi di jemaat-jemaat.