20 Februari 2012

Al-Amin

Oleh: Fredrik Y. A. Doeka*


Korupsi Berjamaah

Akhir-akhir ini korupsi berjamaah yang melibatkan para politisi, birokrat pemerintahan dan tokoh-tokoh agama terlihat secara kasat mata. Untuk yang terakhir ini, konon khabarnya keberangkatan sejumlah pendeta GMIT yang bertugas di Kota Kupang dan sekitarnya ke Jerusalem dalam kelompok terbang I dengan tiket ziarah yang diberikan oleh Walikota Kupang. Sementara itu, konon khabar pula, kelompok terbang II sedang siap-siap untuk berangkat dengan sponsor yang sama. Tentu pemberian semacam ini beraroma sangat politis menjelang PILKADA pada 1 Mei 2012.

Renungan penting kita dari kasus di atas ialah mengapa korupsi yang sejatinya membeberkan akar dari segala kejahatan (the root of all evils) masih terus menyebar di Indonesia dan bahkan telah membakar semangat hidup kalangan rohaniawan kita?

Mari Belajar dari Nabi

Qadi ‘Iyad ibn Musa (m. 1149), seorang ahli teologi yang sangat radikal, mengungkapkan perasaan kagumnya terhadap Muhammad dalam karyanya Kitab ash-Shifa’ fi Ta’rif Huquq al-Mushtafa: “Allah telah meninggikan derajad nabi-Nya dan memberinya kebajikan-kebajikan, sifat-sifat terpuji dan hak-hak istimewa tertentu. ... Dalam kitab-Nya Allah telah secara jelas dan secara terbuka memeragakan peringkatnya yang tinggi dan memujinya karena mutu sifat dan perilakunya yang mulia. ...” (Annemarie Schimmel, And Muhammad is His Messanger 1985:46).

Dalam karya agung Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin buku XX, di sana digambarkan akhlak mulia nabi yang sangat mengendalikan diri, adil, pemurah, sederhana dan jujur. Dia juga tidak pernah menyentuh tangan dari perempuan yang bukan isterinya, apalagi melakukan hubungan seksual dengan wanita yang tidak dinikahinya secara hukum. ... Yang menarik ialah kesaksian ‘A’isha (m. 678), salah satu istri nabi, bahwa Muhammad sangat menghemat kata-kata, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya bernas. Sekalipun demikian nabi juga memiliki sense of humor yang tinggi. Suatu ketika seorang wanita tua bertubuh kurus dan ceking datang kepada nabi dan bertanya: “apakah wanita seperti saya dapat masuk surga?” Spontan nabi menjawab: “Tidak! Tidak ada wanita tua di surga”. Wanita itu menjadi sedih. Melihat kesedihannya, nabi dengan senyum berkata, mereka semua akan diubah. Sebab di surga hanya akan ada penghuni berusia muda”. (L. Zolondek, Book XX of Al-Ghazali’s Ihya ‘Ulumuddin 1963:23-24).

Jalaluddin al-Rumi (m. 1273) dalam karyanya, Matsnawi, menguraikan refleksinya tentang Muhammad. Dikisahkan bahwa seorang kafir mengunjungi nabi dan, sebagaimana adat orang-orang kafir, yakni makan dengan tujuh “perut”. Setelah mengenyangkan perutnya dia berbaring di ruang tamu. Di sana dia mengotori karpet lenan dan meninggalkan ruangan itu dalam keadaan kotor. Ia menyelinap keluar sebelum fajar menyingsing. Akan tetapi dia harus kembali untuk mencari jimatnya yang ketinggalan di ruangan itu. Lalu ia menemukan nabi sedang mencuci karpet lenan yang ia kotori semalam dengan tangan nabi sendiri. Tentu saja sang kafir sangat malu dan kemudian menyatakan masuk Islam oleh karena kerendahan dan kemurahan hari sang nabi (Annemarie Schimmel, And Muhammad is His Messanger 1985:47).

Hidup sangat sederhana adalah ‘pakaian’ yang nabi dan keluarganya kenakan setiap hari. Suatu hari ‘Umar ibn al-Khattab (m. 644), khalifah II, meneteskan air mata ketika menyaksikan rumah tangga nabi yang sangat menyedihkan. Lalu nabi bertanya, “mengapa kamu mengeluarkan air mata?” Kemudian ‘Umar menjawab dengan terus terang. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Khores dan Kaisar, para penguasa Persia dan Bizantium, hidup dalam kemewahan sementara nabi Allah hampir kelaparan dalam kemiskinannya. “Mereka memiliki dunia ini, dan kita memiliki akhirat”, sahut nabi menenangkan hati sahabatnya itu (Annemarie Schimmel, And Muhammad is His Messanger 1985:48).

Masduri, peneliti di Pusat Kajian Filsafat dan Keislaman Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, menyimpulkan akhlak mulia nabi dalam empat karakter utama, yaitu jujur (sidik), terpercaya (amanah), menyampaikan (tablig), dan cerdas (fatanah). Selanjutnya ia menekankan, bahwa kejujuran adalah karakter nabi yang paling dominan dan menjadi kunci kesuksesan Muhammad dalam memimpin negara (Sinar Harapan, 8/2/2012).

Akhlak mulia makin mendorong Muhammad untuk berperan sebagai pemimpin yang sungguh-sungguh menolong kaum Muhajirun dan Ansar di Medina. Dua kaum ini, yang sebenarnya termarginalisasi di tengah-tengah pengaruh dua kerajaan besar: Bizantium dan Persia, bukanlah penduduk yang tidak tahu-menahu tentang kekuasaan dan struktur kekuasaan koruptif kedua bangsa itu. Mereka juga tahu kegelimangan harta kekayaan dua kerajaan tetangga itu dan kemungkinan besar tergoda juga. Hal-hal semacam ini Muhammad tentu menyadarinya. Karena itu berkhlak mulia seperti digambarkan di atas menjadi pilihan sikap nabi yang tepat di dalam membina kaum Muslimin agar tidak terlibat dalam peluang-peluang koruptif abad ke-7.

Hari ini, Indonesia sangat membutuhkan akhlak mulia nabi sebagai “obat” untuk menyembuhkan orang dari penyakit korupsi. “Obat” ini bukan hanya berguna bagi kaum Muslimin, tetapi juga bagi orang-orang Kristen di republik ini. Memiliki akhlak mulia nabi akan menobatkan orang dari perilaku korup kepada integritas diri yang tangguh. Pengaruh lain dari “obat” ini adalah orang menjadi sopan, hemat bicara, humoris, hidup sederhana, rendah hati, bertanggung jawab dan jujur. Bagi yang berakhlak demikian pasti tidak akan pernah mau terlibat dalam tindak korupsi, sekalipun diberi kesempatan tersebut.

Sejak kecil hingga dewasa Muhammad tidak pernah mau mengambil kesempatan tersebut dan karena itu ia diberi gelar al-amin (orang yang dapat dipercaya ) oleh orang-orang di sekitarnya. Maukah anda dan saya menjadi orang yang dapat dipercaya pula?


* Dosen Islamologi dan Teologi Agama-agama Fakultas Teologi UKAW – Kupang.