09 Februari 2013

Refleksi Sewindu Oase





Orasi pada perayaan syukur 8 tahun Oase, 2005- 2013
Restoran Himalaya, Jl. G. Latimojong 142 Makassar, 9 Februari 2013

oleh Zakaria J. Ngelow, Direktur Oase Intim


Bapak, Ibu, saudara-saudara hadirin yang saya hormati. Salam kasih dalam Kristus. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk bersama kami dalam acara sederhana perayaan delapan tahun (sewindu) Oase, yang jatuh pada tanggal 7 Februari kemarin dulu.


Dari Kampus ke Kampung-kampung

Pada tanggal 7 Februari 2005 Oase Intim didirikan, sebagai wadah yang menghubungkan kajian akademik teologi kontekstual di kampus dengan praksis pelayanan di jemaat-jemaat, namun dalam perkembangannya Oase menjadi wadah pelayanan di kalangan gereja-gereja dan komunitas Kristen. Para pendiri Oase adalah para dosen STT INTIM, [1] dan wadah ini dilembagakan bertolak dari berbagai pengalaman mengembangkan pola-pola baru pembelajaran melalui program-program pemberdayaan di kampus dan di jemaat-jemaat. Dalam sebuah dokumen Oase dicatat mengenai pembentukan Oase:

Untuk menyalurkan enersi secara kreatif dan positif dan memberi dukungan substansial terhadap tugas-tugas sebagai dosen, kami sepakat membentuk suatu wadah, Oase Intim: Lembaga Pemberdayaan Praksis Pelayanan dan Kajian Teologi Kontekstual Indonesia Timur. Wadah ini tidaklah tiba-tiba dipikirkan. Gagasan-gagasannya sudah lama berkembang dalam berbagai aktivitas, baik penelitian-penelitian, seminar & konsultasi, maupun dalam proses revisi kurikulum. [2]

Pelembagaan Oase merupakan alternatif ketika sejumlah dosen sepakat untuk bergiat dalam pengembangan akademik dan pelayanan kreatif, daripada masuk dalam jajaran pimpinan sekolah di bawah Ketua baru yang ditunjuk Yayasan. Keputusan itu diambil dalam suatu pertemuan historis di Restoran Istana Laut, gedung Menara Makassar.

Pilihan itu ternyata ditanggapi sebagai pembangkangan, sehingga kami berurusan dengan fihak yang memakai pendekatan kekuasaan dalam mengatasi konflik. Tapi akhirnya kami putuskan tidak perlu menghabiskan energi untuk berkonflik, dan memilih tindakan soft exit -- satu per satu kami mundur meninggalkan kampus. Lalu kami saling bertanya, apakah Oase yang baru dibentuk ini akan dibubarkan begitu saja atau diteruskan? Kami berkumpul memikirkannya bersama keluarga masing-masing dalam suatu retreat keluarga besar Oase di pantai Tanjung Bira, Bulukumba. Di hamparan pasir putih sehalus tepung, yang terus bercumbu dengan ombak selat Selayar itu, kami mengambil tekad untuk maju terus, pantang mundur, sesuai falsafah hidup siri’ na pacce Bugis-Makassar:

Takunjunga’ bangung turu’ nakugunciri’ gulingku, kualleanna tallanga na toalia. Aku tak sekadar ikut angin buritan tapi kuarahkan kemudiku, lebih baik tenggelam daripada berbalik pulang.

[Bugis: Pura ba’bara’ sompe’ku, pura tangkisi’ gulikku, ulebbirengngi telleng natoalie. (Karena) layar sudah kukembangkan, kemudi sudah kuarahkan, maka lebih baik tenggelam daripada berbalik pulang.

Demikianlah, dalam keyakinan bahwa Oase dapat dipakai Tuhan bagi pelayanan gereja-gereja dan masyarakat di Indonesia (bagian Timur), kami telah mendirikan kemah penyegaran di belantara pelayanan gereja. Kami mengandalkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengatasi jarak jauh persebaran para pendiri dan pengurus Oase: Ibu Ati dan Pak Markus di Jerman; Ibu Corrie dan Pak Jilles di Belanda; Pak Mojau di Tobelo, Halmahera Utara; Pak Marthen Manggeng di Mamuju; Ibu Lian di Salatiga; dan hanya saya sendiri di Makassar. [3] Maka saya diberi tanggung jawab untuk kelangsungan pelayanan Oase, dibantu Christin Hutubessy dan Jean Wattimena, dan kemudian juga Jenifer Ladja. [4] Mula-mula kami berkantor di rumah yang dikontrak per dua tahun di Jl. Mappaoddang, kemudian di kompleks Hartaco, lalu di Maizonette, Panakkukang. Setelah itu, pada bulan Agustus 2011, kami dapat menempati sebuah rumah mungil di Sudiang sebagai kantor tetap Oase.


Kompetensi Profesional

Sebagaimana ketika memimpin administrasi kampus sebelumnya, kehidupan Oase kami bingkai dalam hubungan-hubungan pribadi yang mengedepankan nilai-nilai pelayanan Kristiani seperti akuntabilitas, transparansi dan kompetensi profesional. Dalam hal itu kami berterima kasih atas persaudaraan dan kepercayaan kawan-kawan pelayan dan pimpinan gereja-gereja dan berbagai lembaga atau komunitas Kristen, yang menjadi mitra pelayanan Oase selama ini. Juga terima kasih kami sampaikan kepada lembaga-lembaga mitra kami di luar negeri, yang setia memberi bantuan finansil bagi pelayanan kami. [5]

Pendekatan kontekstual Oase memerlukan dukungan dari kawan-kawan teolog maupun non-teolog, dalam upaya bersama memahami tantangan pelayanan dan pemberdayaan para pelayan. Oase diberkati dengan masuknya seorang yang punya kepakaran teologis secara akademis dan pengalaman praktis selama puluhan tahun dalam pelayanan jemaat-jemaat di NTT, Pdt. John Campbell-Nelson, Ph.D. Terima kasih Pak John, kami bersyukur hari ini Pak John dapat hadir dengan Ibu Karen, yang juga seorang profesional dalam pelayanan gereja, khususnya di bidang gender dan masalah-masalah HAM. Pak John dan Ibu Karen melayani di GMIT di Sinode dan di Fakultas Teologi UKAW, Kupang, sudah sekitar 30 tahun. Dari dunia praktisi hukum dan kesetaraan jender, kami mendapat dukungan Ibu Lusy Palulungan, yang kini menjabat Sekretaris Yayasan Oase, dan yang terkasih Ibu Fietje Pelupessy-Tatontos setia melayani kami sebagai Bendahara. Beberapa rekan lain terus membantu sebagai fasilitator dalam bidang-bidang berbeda sesuai kebutuhan program. Pada kesempatan ini saya menyebut dan sampaikan terima kasih kepada Ibu Hiltraut Link dan Pdt. Johann Link, Sisca Dalawir, Erni Tonapa, Dr. Lazarus Purwanto, Dr. Andreas Yewangoe, Dr. Ery Hutabarat-Lebang, Trisno Sutanto. Ada sejumlah nama yang dapat ditambahkan di daftar ini, termasuk beberapa rekan Muslim/ah. Saya juga mengingat dengan haru dan terima kasih dua rekan yang kini telah dipanggil mendahului kita: alm. Pdt. Dr. Nazarius Rumpak, dan alm. Asmara Nababan.



Lingkaran Hermeneutik

Fokus pelayanan Oase sejak semula adalah pengembangan teologi kontekstual dan pemberdayaan pelayan(an) lokal. Misi berganda ini dijalin dalam setiap pelayanan Oase: pemberdayaan para pelayan setempat difokuskan pada pembinaan kompetensi pelayanan transformatif setempat. [6] Karena itu kepekaan memahami realitas pelayanan lokal, dan kecermatan mengembangkan pemahaman teologis yang transformatif menjadi targetnya. Dalam pendekatan Oase ini teologi adalah produk bersama komunitas setempat. Sebab itu para peserta adalah nara sumber, dengan pengalaman-pengalaman yang berharga dan pemikiran-pemikiran serta visi masing-masing yang berguna bagi pengembangan teologi yang otentik: lahir dari pelayanan gereja dan bermuara pada kesaksian Injil yang transformatif.

Penekanan Oase pada teologi kontekstual dan pemberdayaan pelayanan lokal diletakkan dalam kerangka lingkaran hermeneutik, dengan keempat langkahnya: pengalaman, analisis sosial, refleksi teologis dan rencana tindak lanjut. [7] Konsultasi, lokakarya atau semiloka diselenggarakan dengan memulai dari pengalaman para peserta sebagai pelayan jemaat, untuk menemukan isu-isu yang menjadi pergumulan pelayanan setempat. Ini langkah untuk mengungkapkan apa yang menjadi persoalan dalam pelayanan, langkah “penggalian masalah”. Untuk itu berbagai metode dipakai – termasuk, misalnya metode world café, [8] yang diperkenalkan dalam Konsultasi Gereja dan Politik tahun lalu -- intinya adalah menempatkan pengalaman semua peserta sebagai informasi berharga untuk menemukan pokok-pokok kajian dalam proses selanjutnya. Setelah itu analisis sosial dimanfaatkan untuk memahami bersama akar-akar dan kaitan-kaitan setiap isu dalam menjawab pertanyaan mendasar mengapa terjadi demikian? [9]

Kedua langkah dalam proses ini – penggalian masalah dan analisis sosial – sering diselenggarakan Oase dengan pendekatan metode studi kasus (MSK), [10] yang dulu diperkenalkan kepada para mahasiswa dalam rangka metode penelitian sosial, baik secara teoritis di kampus maupun dalam praktiknya di lapangan. Di sini juga terungkap pendekatan pembelajaran partisipatif sesuai tuntutan pendidikan orang dewasa (andragogy). Setelah masalah dan sebab-musabab serta kaitan-kaitan akibatnya menjadi jelas, refleksi teologi dikemukakan, untuk menjawab aspek normatif (bagaimana yang seharusnya) dengan mempertimbangkan petunjuk alkitabiah dan tradisi iman yang diwarisi di dalam gereja. Dapat terjadi bahwa masalah muncul karena pemahaman teologi yang dibakukan justru mendukung ketidakadilan, sehingga perlu dekonstruksi teologi; misalnya dalam sikap gereja terhadap perempuan, atau terhadap kebudayaan. Dari refleksi teologi itu akan muncul pilihan-pilihan program pelayanan yang dirancang sebagai langkah action plan, yang bertujuan mengubah keadaan yang dipersoalkan menjadi keadaan ideal yang diharapkan.

Dalam pemahaman Oase, konteks tidaklah statis dan tertutup, melainkan dinamis dan terbuka. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta jaringan transportasi telah memungkinkan saling pengaruh yang mendalam dan cepat antara perkembangan di satu tempat dengan di tempat lain, atau perkembangan di satu bidang ke bidang lain, termasuk ke dalam kehidupan gereja. Di antara akibatnya adalah marginalisasi, dan mengaburnya identitas dalam proses hibridisasi manusia moderen. Karena itu teologi kontekstual tidak saja berurusan dengan bagaimana gereja secara formal-ritual dibina dalam bentuk-bentuk seni budaya lokal, melainkan bagaimana ikatan persekutuannya merangkul yang terpinggirkan dan memberi jati diri serta bersama-sama menghidupkan Injil melalui penegakan keadilan, perdamaian dan pemeliharaan alam ciptaan. Di sini mengemuka pendekatan pemihakan teologi pembebasan, preferential option for the poor. Dengan kata lain eklesiologi yang dipromosikan adalah yang memberi perhatian pada panggilan menampakkan tanda-tanda kerajaan Allah, shalom: keadilan, perdamaian, keutuhan ciptaan. 





Eklesiologi Kontekstual

Selama ini Oase berusaha melayani berbagai permintaan gereja-gereja untuk pengembangan bahan ajar dalam pengajaran Kristen (dari sekolah Minggu sampai katekisasi), pembekalan pejabat gereja, pembekalan khusus para pendeta, konsultasi, seminar, dsb. Dalam semua program itu tugas Oase adalah mendampingi proses pengembangan diri, penemuan atau pemahaman gagasan, serta pendalaman spiritualitas. Sesuai prinsip pendampingan dan pemberdayaan, Oase mengembangkan bersama, bukan membuat untuk gereja-gereja. Tetapi sebagaimana dikemukakan di atas, Oase juga memberi penekanan pada panggilan sosial gereja menghadapi masalah-masalah kemiskinan dan HAM, daripada hanya menjadi gereja yang beribadah. Tata gereja merupakan salah satu yang banyak digumuli, karena aturan yang digariskan tidak relevan atau tidak operasional di lapangan. Dan masalahnya yang lebih dalam menyangkut kualitas sumber daya manusia, yakni lemahnya pemahaman teologis mengenai hakekat dan fungsi Tata Gereja dan kaburnya pemahaman eklesiologi maupun teologi jabatan di kalangan para pelayan gereja. Salah satu masalah ketatagerejaan adalah kuatnya pemahaman hierarkhis jabatan pendeta, penatua dan diaken. Masalah lain muncul dalam keinginan banyak pendeta terlibat dalam politik kekuasaan – dari tim sukses sampai caleg, yang menimbulkan pro dan kontra di dalam gereja.

Oase mencoba memperkenalkan eklesiologi yang alkitabiah-historis-kontekstual, artinya, yang berakar dalam pemahaman Alkitab dan mendapat bentuknya dari tradisi Kristen yang diwariskan, serta mempertimbangkan kenyataan sosial dan warisan budaya setempat. [11] Kekristenan dalam format “gereja etnis”, misalnya, yang berhadapan dengan format “gereja teritorial” dan “gereja denominasional” dalam gerakan ekumene, dapat difahami melalui eklesiologi alkitabiah-historis-kontekstual ini. Selain itu, Oase juga menambahkan aspek-aspek kontemporer bagi format tripanggilan gereja dalam eklesiologi tradisional, dengan memberi penekanan juga pada tugas pendidikan (didache), peribadatan (leitourgia) dan penatalayanan (oikonomia), selain ketiga yang lazim, koinonia, martyria dan diakonia. [12]

Persoalan lain menyangkut kebudayaan, yang memang sejarahnya sudah sejak Yesus mengecam orang Farisi, yang lebih menaati tradisi budaya Yahudi daripada Firman Allah (Mat 20; Mrk 7). Tetapi dalam sejarah zending di Indonesia masalahnya berakar pada penolakan kebudayaan tradisional sebagai yang khalaik, kafir atau demonis. Di era posmo dewasa ini dan dengan postcolonial theology kita harus memulihkan tempat kebudayaan di dalam gereja, atau bahkan menghidupkan Injil di dalam kebudayaan. [13] Dan sementara itu perjumpaan antaragama, khususnya dengan Islam, makin dewasa, baik dalam penerimaan terhadap kepelbagaian dalam panggilan bersama memulihkan martabat manusia dan ciptaan, maupun dalam penolakan terhadap radikalisme dan fundamentalisme yang merusak citra agama. Perjumpaan lain yang tak kalah sengitnya adalah hubungan ekumenis antargereja, yang sama bersepakat saling menerima dan mengakui dalam perbedaan, sesuai hakekat gereja sebagai satu Tubuh Kristus dengan kepelbagaian anggota, namun yang sering dicederai konflik inter- dan antargereja. [14] Agenda interfaith dan ekumene gereja-gereja akan menjadi perhatian khusus Oase ke depan. Kedua pokok terjalin, karena gerakan ekumene gereja-gereja dewasa ini sudah berkembang dari lingkaran dalam hubungan antargereja ke lingkaran luar hubungan antaragama, dengan fokus pada panggilan bersama untuk kemanusiaan (keadilan, perdamaian, kesejahteraan, HAM, dsb) dan kelestarian ciptaan. Mudah-mudahan Oase bisa mendampingi dan memberdayakan gereja-gereja dalam perjumpaan interfaith. Agenda lain adalah penelitian. Pelayanan gereja di abad ke-21 ini sudah perlu didasarkan pada hasil-hasil penelitian yang sahih, bukan hanya berdasar asumsi atau repetisi dari program-program sebelumnya.



Jalinan Sejuta Ilalang

Oase juga memberi perhatian pada masalah-masalah yang konteksnya berskala nasional. Pada tahun-tahun pertama, setelah trauma bencana sosial di Indonesia bagian Timur (tragedi kemanusiaan di Poso, Ambon, Halmahera, dll) dan bencana alam (terutama tsunami Aceh), masalah teodise menjadi pokok aktual. Maka Oase menyelenggarakan konsultasi yang melahirkan buku Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial (Oase, 2006). Dan sejak tahun 2008 Oase memberi perhatian pada pertanyaan seputar politik, khususnya bagaimana gereja-gereja di Indonesia (bagian Timur, khususnya) berhadapan dengan reformasi nasional, yang salah satu perkembangan fenomenalnya adalah pemekaran kabupaten dalam rangka otonomi daerah. [15] Sebuah assessment dilakukan pada tahun 2008, dan karena satu dan lain hal maka baru pada tahun 2012 lalu seminar dan konsultasinya diteruskan; dan kini hasil-hasilnya akan segera diterbitkan dalam buku Oase yang lain, Teologi Politik: Panggilan Gereja di Bidang Politik Pascaorde Baru (Oase, 2013). [16]

Pada hari ini, sebuah buku Oase akan diluncurkan secara resmi. Sesuai hakekatnya, buku Jalinan Sejuta Ilalang adalah liber amicorum – ungkapan bahasa Latin yang bermakna buku yang ditulis oleh para sahabat, sebagai hadiah peringatan ulang tahun saya yang ke-60 pada awal Desember tahun lalu. [17] Proses penyusunan buku ini dirahasiakan sedemikian rupa dan berhasil diterbitkan Oase tanpa sepengetahuan saya, sekalipun Ike dan anak-anak kami terlibat. Yang memimpin ‘konspirasi’ penerbitan buku ini adalah Bu Ati – Pdt. Dr. Ati Hildebrandt Rambe – yang sayang sekali tidak bisa hadir pada acara syukuran sewindu Oase ini, karena sedang dalam suatu tugas memimpin suatu tim peninjau ke beberapa sekolah teologi terpilih di Indonesia dan Malaysia menyangkut pengembangan teologi kontekstual di sekolah-sekolah itu. Sejak beberapa hari ini Bu Ati dan dua rekan sedang berada di UKDW, Yogyakarta, dan akan melanjutkan ke STT JAKARTA minggu depan.

Saya ucapkan terima kasih kepada kawan-kawan semua, yang terlibat menulis dan menerbitkan liber amicorum ini. Saya sungguh tidak sangka akan mendapat hadiah luar biasa ini, apalagi diberikan dengan cara yang sungguh-sungguh suatu kejutan yang membuat saya terkesima.

Saya tidak sanggup mengulas lebih 30 tulisan dalam buku setebal 400 halaman ini. Tetapi saya ingin kemukakan beberapa catatan singkat, mulai dengan judul buku, Jalinan Sejuta Ilalang. Tentu saja ilalang yang dimaksudkan di judul ini bukan lalang yang disemai di antara gandum, sebagaimana perumpamaan Yesus (Mat 13: 24-30, 36-43). Bu Ati, Pak Jilles dan Lady Mandalika-Wilar sebagai editor rupanya terinspirasi oleh anyaman tikar ibunda saya, ale tika’ – sebagaimana gambar sampul buku – yang merupakan salah satu kerajinan tradisional kami, masyarakat Seko. [18] Bahannya memang bukan ilalang, melainkan sejenis rumput rawa, yang dalam kamus bahasa Indonesia disebut mendong (Lat. scirpus articularis). Falsafah di balik ale tika’ adalah harmoni warna-warni kepelbagaian yang terjalin menyatu dan simbol kebersamaan dalam musyawarah, serta keramah-tamahan: orang Seko menyambut dan menghormati tamu dengan menggelarkan ale tika’ di lantai rumah panggungnya. [19] Saya berterima kasih atas gambar sampul, yang membawa sekaligus dua hal yang melekat di hati saya: ibunda saya (dengan perkenan Tuhan tahun ini mencapai usia 80 tahun), dan masyarakat Seko. [20]

Terima kasih untuk Ike dan ketiga putera-puteri kami, Dion, Ca, Ela dan adik saya Martha Pandonge, yang menulis mengenai saya dengan jujur dari hati mereka masing-masing. Demikian juga penilaian dari guru dan sahabat saya almarhum Prof. Pieter Holtrop, yang dilengkapi oleh Bu Ati, Prof. Nico Schulte Nordholt dan Pak Jusuf Ladja.

Saya ingin mencatat bahwa Bu Ati dan kawan-kawan editor, menangkap dengan jitu bidang-bidang perhatian saya melalui pembagian isi buku ini: hubungan interfaith, gereja dan politik, sastra, pendidikan teologi dan panggilan sosial gereja. Mengenai hubungan lintas iman, saya dikenal kawan-kawan di luar gereja sebagai aktivis lintas iman. Dan di kampus, setelah menyelesaikan studi di bidang sejarah gereja, saya malah ditugaskan mengajar beberapa mata kuliah yang terkait dengan misiologi dan teologi agama-agama. Khusus mengenai gereja dan politik, perhatian saya lebih pada perspektif sejarah daripada etika. Dan berbeda dengan teman-teman yang mendalami sejarah gereja sebagai bagian dari ensiklopedi teologi, saya menempatkannya pertama-tama sebagai bagian dari ilmu sejarah, dalam hal ini sejarah agama Kristen. Saya menulis disertasi mengenai suatu pokok yang terkait politik, yakni tanggapan umat Kristen Indonesia terhadap pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. [21] Sejarah perlu didalami bukan sekadar daftar urutan kejadian peristiwa-peristiwa, melainkan bagaimana gereja merespon peristiwa-peristiwa atau perkembangan dalam masyarakatnya, di tiap zaman dan tempat. Karena itu studi sejarah yang kritis diperlukan untuk memahami konteks kehadiran dan respon gereja (sebagai lembaga dan/atau sebagai perorangan Kristen). Di sini aspek teologis pengutusan gereja ke dalam dunia menjadi fokus perhatian sejarah, bukan hanya kronologi perluasan geografis atau pertambahan jumlah warganya atau perkembangan organisasinya.

Keksusastraan: saya anggap kesusasteraan, sebagaimana kesenian pada umumnya, merupakan bidang penting bagi para teolog, khususnya karena kesusasteraan dan teologi sama bermain di arena kata-kata, tafsir dan inspirasi. [22]

Kalau ada yang terlampaui dalam rangkuman lima bidang dari para editor, mungkin itu perhatian saya pada IT. [23] Generasi saya memang bukan digital native seperti generasi ketiga anak kami, namun saya tergolong warga digital immigrants, [24] yakni orang yang sudah lahir sebelum era komputer dan internet, namun telah ikut masuk menjadi warga dunia maya, cyberworld alias cybernaut. [25] Pertama kali saya belajar dan punya komputer pribadi pada tahun 1990 ketika studi di Negeri Belanda, namun baru pada tahun 2000, juga di negeri kincir itu – dalam suatu konsultasi mengenai IT and Christian Education, saya menemukan titik sambung antara teologi dan teknologi. Teknologi informasi dan komunikasi adalah alat maha dahsyat di tangan segelintir orang pandai, kaya atau berkuasa, sesuai semboyan information is power (yang melengkapi knowledge is power) untuk kepentingannya. Maka gereja dan pendidikan teologi harus juga memanfaatkannya sebagai alat yang bisa sangat efektif dalam pelayanan gereja, pemberitaan Injil dan pendidikan teologi (dhi. pengembangan SDM). [26] Sebab itu saya dan kawan-kawan mengembangkan aplikasi IT di kampus, dalam administrasi, perkuliahan, sarana informasi publik, email (surel, surat elektronik) dan layanan perpustakaan. [27] Ketika menjabat sebagai Ketua PERSETIA, saya juga anjurkan pemanfaatan IT di kalangan sekolah-sekolah teologi. Saya memotivasi para mahasiswa dengan mencanangkan bahwa di abad ke-21 ini pendeta yang tidak memanfaatkan IT, gagap teknologi – gaptek dan tidak mampu memahami teks berbahasa Inggeris – tidak layak menjadi pelayan umat, apalagi memimpin gereja atau lembaga-lembaga Kristen.

Ike menulis betapa saya mencintai buku; I am a booklover, bibliophile. IT memberi kemungkinan baru bagi saya mengoleksi buku, yang tidak memerlukan kertas, rak buku atau kamar perpustakaan, bahkan juga dengan biaya yang sangat irit, yakni melalui koleksi eBooks secara offline. Saya tidak hanya mengunduh (atau juga mengopi dari teman-teman) buku-buku ke dalam koleksi, melainkan juga artikel-artikel, karya sastra, lukisan, foto, dsb dalam berbagai bidang yang saya minati. Banyak teman telah tertolong dari koleksi itu. Tapi saya juga perlu sampaikan sedikitnya empat bahaya dalam cyberworld dewasa ini: yang pertama, adanya beragam cybercrime, mulai dari sekadar penipuan pulsa sampai pembobolan ATM, penculikan gadis-gadis, dan kejahatan lainnya. Bahaya yang kedua adalah memudarnya hubungan-hubungan sosial yang hangat dan manusiawi. Sering orang bilang teknologi informasi mendekatkan yang jauh namun menjauhkan yang dekat. Yang ketiga, cyberworld penuh bujuk rayu menawarkan gadgetnya: maka ingatlah, jangan tergiur mengganti HP atau laptop anda hanya karena ada model baru, supaya anda jangan terpaksa ngutang. Yang keempat, khusus untuk para mahasiswa, internet menyediakan begitu banyak bahan sehingga banyak yang cari gampang, mengerjakan tugas kuliah dengan mengcopy-paste dari internet, alias nyontek. Bahaya yang sama bagi para pengkhotbah, termasuk pendeta, karena ada begitu banyak khotbah jadi di internet, termasuk yang ditayangkan di Youtube …

Baiklah Bapak, Ibu, saudara-saudara sekalian saya akhiri orasi ini dengan sekali lagi – mewakili seluruh jajaran dan pengurus Oase-- menyampaikan terima kasih atas dukungan terhadap Oase, atas kehadiran di acara sewindu Oase dan peluncuran Jalinan Sejuta Ilalang di sini.

Kiranya nama Tuhan dimuliakan dalam hidup dan pelayanan kita.

***


Catatan:

[1] Para pendiri Oase adalah: Aguswati Hildebrandt Rambe, Corrie van de Ven, Jilles de Klerk, Julianus Mojau, Markus Hildebrandt Rambe, Marthen Manggeng, Yuberlian Padele, Zakaria Ngelow.

[2] Point 4 naskah “Beberapa Penjelasan atas Keputusan Bersama: mundur dari posisi sebagai Dosen Tetap STT INTIM MAKASSAR, terhitung mulai tanggal 1 Agustus 2005” Dokumen empat halaman (1.666 kata) ini, memuat 12 point alasan pengunduran diri para dosen pendiri Oase. Dokumen ditandatangani oleh enam (dari delapan) dosen pendiri Oase. Pdt. Aguswati Hildebrandt Rambe dan Pdt. Markus Hildebrandt Rambe pada waktu itu sudah pulang ke Jerman, karena BP Yayasan STT INTIM menolak memberi rekomendasi untuk urusan perpanjangan visa mereka.

[3] Setelah menyelesaikan masa baktinya sebagai anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat, Pdt. Marthen Manggeng kebali ke Makassar melanjutkan studinya pada program S3 jurusan Anthropologi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Sejak meninggalkan kampus, berturut-turut menyelesaikan program doktornya Pak Jilles (Biblika PL), Bu Ati (Teologi Lintas Budaya) dan Bu Lian (Studi Perempuan). 

[4] Christin Hutubessy sementara ini sedang menyelesaikan program magister dalam studi perempuan di Universitas Indonesia, Jakarta, sebagai bagian dari pengembangan SDM Oase. Mudah-mudahan Jenifer Ladja dapat menyusul secepatnya.
[5] ICCO/Kerkinactie (di Negeri Belanda), CGMB of UCC and DC (di Amerika Serikat), Eukumindo (di Eropa), serta jaringan Oase Circle of Friends (CoF).

[6] Pemberdayaan juga terhadap kemampuan pembiayaan gereja, dengan berbagi beban: Oase menanggung biaya perjalanan pergi-pulang dan honorarium fasilitator, sedangkan gereja/jemaat sebagai host menanggung board and lodging dan biaya penyelenggaraan lainnya.

[7] Untuk rangkuman lingkaran pastoral, lihat "The Pastoral Spiral: a Framework for Action" di http://www.faithdoingjustice.com.au/docs/ThePastoralSpiralFrameworkforAction.pdf. Uraian cukup lengkap dalam konteks Indonesia lihat J.B. Banawiratma and J. Müller, Contextual Social Theology. An Indonesian Model. Online di http://eapi.admu.edu.ph/content/east-asian-pastoral-review-1999.

[8] Untuk memahami metode ini silakan kunjungi situsnya, http://www.theworldcafe.com.

[9] Untuk analsis sosial (ansos), lihat Ch. 5 Notion and Functions of Social Analysis dalam J.B. Banawiratma and J. Müller, Contextual Social Theology. An Indonesian Model. Klik di http://eapi.admu.edu.ph/content/chapter-5-notion-and-steps-social-analysis. Asia Development Bank menerbitkan suatu handbook, Handbook on Social Analysis A Working Document di http://www.adb.org/sites/default/files/pub/2007/social-analysis-handbook.pdf

[10] Untuk pengantar MSK (dan analisis sosial), lihat tulisan tulisan Corrie van de Ven di http://www.oaseonline.org (klik Indeks Pengarang); lihat juga Susan K. Soy, "The Case Study as a Research Method", di http://www.gslis.utexas.edu/~ssoy/usesusers/l391d1b.htm; dan "Introduction to the Case-Study Method", di http://www.uiweb.uidaho.edu/ag/agecon/391/casestudmeth.html.

[11] Lihat untuk pengantar eklesiologi, John Campbell-Nelson, “Sumber-sumber Identitas Gereja: Bahan Baku bagi Eklesiologi yang Kontekstual” di http://www.oaseonline.org/artikel/johncampbellnelson/identitas.htm.

[12] Untuk aspek-aspek tambahan terhadap tripanggilan gereja, lihat artikel-artikel tulisan John Campbell-Nelson di di http://www.oaseonline.org.

[13] Untuk rangkuman postcolonial theology, lihat Steve Hu, "The Task of the Postcolonial Theologian" di http://isaacblog.wordpress.com/2009/09/11/the-task-of-the-postcolonial-theologian-by-steve-hu/

[14] Penting mencatat bahwa masalah dalam hubungan antargereja bukan saja timbul oleh gangguan gerakan (neo)kharismatik, melainkan juga dalam konflik-konflik internal gereja, yang tak jarang bermuara pada perpecahan dan pembentukan gereja baru. Lembaga gereja bertambah, tetapi jumlah warga gereja tidak bertambah …

[15] Sampai 2011 di Indonesia sudah terdapat 33 provinsi, 399 kabupaten, 98 kota (total 497 kabupaten dan kota), dimuat di http://www.ditjen-otda.depdagri.go.id/otdaii/otda-iia.pdf. Pertambahan kabupaten/kota hampir dua kali lipat dari sebelumnya.

[16] Isu politik reformasi ini juga telah menjadi perhatian Badan Litkom PGI dalam penelitian akhir tahun 2012 lalu. Lihat Badan Litkom PGI, “Gereja dan Politik Pasca Orde Baru: Refleksi 15 Tahun Reformasi”.

[17] Juga biasa dipakai kata Jerman festschrift (=buku perayaan).

[18] Kerajinan menganyam tikar dari bahan mendong ini tidak khas masyarakat Seko. Beberapa tempat di Jawa Barat menjadi pusat kerajinan anyaman, termasuk anyaman mendong. Demikian juga suku-suku Dayak di Kalimantan dan Malaysia. Selain tikar, juga dianyam wadah beragam ukuran untuk beberapa liter beras atau tempat nasi, yang disebut kapipe, dan dalam pengembangan kemudian juga topi (seperti topi cowboy).

[19] Sekali pun bukan bahan tikar itu, di Seko ilalang dipakai sebagai atap rumah, khususnya di kebun. Bagian besar negeri indah subur terpencil di balik pegunungan di Luwu Utara ini telah menjadi padang ilalang, karena sejak zaman leluhur rimba raya dibakar dijadikan padang rumput bagi kelompok-kelompok ratusan-ribuan kerbau milik pribadi yang dibiarkan hidup liar di padang rumput. Dalam Google earth wilayah Seko tampak seperti dataran padang rumput.

[20] Saya memimpin suatu yayasan untuk masyarakat Seko. Kami telah menerbitkan sebuah buku yang mengungkapkan masa lalu masyarakat pegunungan ini, ketika mengalami pendudukan gerombolan DI/TII pada tahun 1950-an. Lihat Zakaria J. Ngelow dan Martha Kumala Pandonge, Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII (1951-1965). Makassar, Yayasan Ina Seko, 2008. Informasi mengenai masyarakat Seko al. dapat dilihat online di: http://toseko.blogspot.com.

[21] Disertasi saya yang diterbitkan BPK Gunung Mulia (1993, 1996), Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950. Untuk versi online silakan akses di website Institut Leimena, http://www.leimena.org/id/page/v/286.

[22] Salah satu buku penting mengenai hal ini ditulis oleh Y. B Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas. Kanisius 1982.

[23] IT, information technology, lengkapnya information and communication technology. Dalam bahasa Indonesia teknologi informasi dan komunikasi, disingkat TIK, namun sehari-hari orang terbiasa menyebut IT (ai-ti). Mengenai IT, lihat pengantar dalam “Information technology” di http://en.wikipedia.org/wiki/Information_technology.

[24] Lihat “Digital native” di http://en.wikipedia.org/wiki/Digital_native. Lihat juga evaluasi Apostolos Koutropoulos, "Digital Natives: Ten Years After" Merlot Journal of Online Learning and Teaching Vol. 7, No. 4, December 2011 di http://jolt.merlot.org/vol7no4/koutropoulos_1211.pdf

[25] Cica, anak kami yang kedua, menulis penilaiannya: “He is pretty much old school and conservative in general, but he keeps up to date with the world and technologies. It is rare to find an old historian who knows how to write HTML tags and design websites.” (h. 380)

[26] Sengaja rujukan tulisan ini pada sumber-sumber online. Salah satu layanan informasi digital yang saya kerjakan belakangan ini – dalam peran sebagai Moderator Persekutuan Gereja-gereja Reform di Indonesia (beranggotakan 27 gereja)-- adalah informasi terkait warisan gereja-gereja Reform dalam website Oase, http://www.oaseintim.org/wcrc-indonesia.

[27] Di masa itu, STT INTIM salah satu lembaga pendidikan teologi di Indonesia yang mulai menggunakan website sebagai sarana informasi, dan selain dalam hal automasi, juga STT pertama di Indonesia yang mengembangkan layanan digitalisasi local content di perpustakaan.

***