19 Desember 2013

Empat Agenda Kristen Bugis Soppeng




Zakaria J. Ngelow


Pada abad ke 16 sejumlah bangsawan dan rakyat Bugis dan Makassar menerima agama Kristen yang disebarkan kalangan Katolik Portugis di kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar. Namun tidak berkembang dan lenyap karena beberapa alasan. Ada usaha-usaha serius pada abad ke-19 melalui B. F. Matthes, namun ahli bahasa dari Lembaga Alkitab Belanda ini lebih berjasa mempetkenalkan dan melestarikan warisan budaya Bugis daripada membawa orang Bugis kepada Kristus. Baru pada tahun 1930-an dan awal 1940-an beberapa bangsawan Bugis di daerah Barru dan Soppeng tertarik pada Injil terkait dengan ramalan-ramalan mesianis Petta Barang, seorang tokoh religius setempat. Mereka bersama kelaurga dan banyak pengikutnya dibaptis. Gereja terbentuk namun tantangan penghambatan sejak zaman Jepang sampai revolusi kemerdekaan dan khususnya pada masa gangguan gerombolan DI/TII tahun 1950-an membuat banyak orang Kristen murtad. Beberapa terbunuh sebagai martir Kristus. 

Dewasa ini orang Kristen Bugis asal Soppeng terpisah-pisah menjadi anggota beberpa denominasi gereja yang berbeda, namun di Makassar mereka membentuk Kerukunan Keluarga Kristen Soppeng di makassar (K3SM).  Dalam suatu diskusi yang menghadirkan para sesepuh Kristen Soppeng mengemuka kebutuhan untuk menulis suatu buku sejarah Kekristenan di kalangan orang Bugis Soppeng, yang secara khusus memperlihatkan bagaimana mereka menerima Injil dan bagaimana mereka survive menghadapi gempuran penghambatan. 

Selain itu beberapa agenda dapat diusulkan untuk menjadi perhatian para pemuka Kristen Bugis, khususnya wadah seperti K3SM untuk memberi kontribusi sekaligus bagi gereja dan bagi, masyarakat Bugis -- yang tentu juga berlaku bagi komunitas Kristen Bugis lainnya, seperti dari Makassar dan dari Selayar:


1. Umat Kristen asal Bugis perlu mengembangkan kekristenan yang sekaligus afirmatif dan kritis terhadap budaya Bugis. Orang Bugis Kristen tetap hidup sebagai orang Bugis, namun berusaha menyoroti tradisi dan nilai-nilai budaya Bugis dalam terang Injil Kristus. Prinsip "siri' na pesse", misalnya, disambut positif namun dengan kritis menolak aspek-aspek budaya kekerasan di dalamnya dengan mengembangkan pola-pola budaya resolusi konflik secara damai. 

2. Umat Kristen asal Bugis perlu menghidupkan nilai-nilai ideal normatif budaya Bugis yang ditengarai dewasa ini terus digerus budaya kapitalistik-materialistik, yang al. terwujud dalam apa yang disebut "budaya pojiale", budaya menyombongkan diri. Budaya luhur seperti etos kerja tinggi yang diajarkan melalui ungkapan "tellabu' essoe ri tengngana bitarae" (jangan/tak terbenam matahari di tengah langit) dan aja’ muakkamporo’ (jangan ibarat telur dierami tak menetas).  Atau yang populer melalui semboyan pelaut, "pura ba'bara' somppekku, pura tangkisi' gulikku, ulebbirengi tellenge na toalie" (telah kupasang layarku, kuarahkan kemudiku, lebih baik tenggelam daripada pulang). 

3. Umat Kristen asal Bugis harus menebus sejarah konflik internal masa lalu dengan terus mengembangkan persaudaraan Kristen Bugis lintas denominasi, sehingga umat Kristen asal Bugis dalam berbagai gereja yang berbeda-beda saling mengasihi dan bersama-sama menjalankan panggilan pelayanan dan kesaksian gereja di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat Bugis. Pada gilirannya persaudaraan dapat diperluas secara lintas iman dengan semua orang Bugis, bahkan semua orang, sesuai perintah Krisus untuk mengasihi semua orang. Ini sesuai dengan falsafah “hukum kasih Bugis” dalam  apa yang disebut "mattulu tellue": malilu sipakainge, mali siparappe, rebba sipatokkong (tali berjalin tiga: khilaf saling mengingatkan, terdampar saling mendaratkan, rebah saling menegakkan).

4. Sebagai komunitas di rantau, pentinglah umat Kristen asal Bugis mengembangkan kecintaan, pengetahuan dan kebanggaan serta pengabdian bagi masyarakat dan tanah Bugis. Banyak orang Bugis di rantau yang tidak lagi mengenal (sehingga tidak mencintai dan membanggakan) budayanya, baik sejarah, bahasa maupun adat istiadat dan semua tradisi lainnya, dengan penekanan pada makna dan nilai-nilai luhur. 


Duami kuala sappo unganna panasae na belo-belona kanukue.


Makassar 19 Oktober 2013