06 Desember 2014

Pesan Natal Bersama PGI-KWI 2014


PESAN NATAL 2014 PGI dan KWI


He Qi, Nativity (http://thejesusquestion.org/2011/12/25/nativity-paintings-from-around-the-world/)


 BERJUMPA DENGAN ALLAH DALAM KELUARGA
“Mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu” (Luk 2:16)


Dalam perayaan Natal tahun ini, kami mengajak seluruh umat Kristiani untuk menyadari kehadiran Allah di dalam keluarga dan bagaimana keluarga berperan penting dalam sejarah keselamatan. Putera Allah menjadi manusia. Dialah Sang Imanuel; Tuhan menyertai kita. Ia hadir di dunia dan terlahir sebagai Yesus dalam keluarga yang dibangun oleh pasangan saleh Maria dan Yusuf.
Melalui keluarga kudus tersebut, Allah mengutus Putera Tunggal-Nya ke dalam dunia yang begitu dikasihi-Nya. Ia datang semata-mata untuk menyelamatkan manusia dari kekuasaan dosa. Setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak akan binasa, tetapi akan memperoleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16-17).
Natal: Kelahiran Putera Allah dalam Keluarga
Kelahiran Yesus menguduskan keluarga Maria dan Yusuf dan menjadikannya sumber sukacita yang mengantar orang berjumpa dengan Allah. Gembala datang bergegas menjumpai keluarga Maria, Yusuf, dan Yesus yang terbaring dalam palungan. Perjumpaan itu menyebabkan mereka pulang sebagai kawanan yang memuliakan Allah (Luk 2:20). Orang-orang Majus dari Timur sampai pada Yesus dengan bimbingan bintang, tetapi pulang dengan jalan yang ditunjukkan Allah dalam mimpi (Mat 2:12). Perjumpaan dengan Yesus menyebabkan orientasi hidup para gembala dan Majus berubah. Mereka kini memuji Allah dan mengikuti jalan-Nya. Natal merupakan sukacita bagi keluarga karena Sumber Sukacita memilih hadir di dunia melalui keluarga. Sang Putera Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati di kayu salib. Di situlah Allah yang selalu beserta kita turut merasakan kelemahan-kelemahan kita dan kepahitan akibat dosa walaupun ia tidak berdosa (bdk. Ibr. 4:15).
Keluarga sebagai Tanda Kehadiran Allah
Allah telah mempersatukan suami-istri dalam ikatan perkawinan untuk membangun keluarga kudus. Mereka dipanggil untuk menjadi tanda kehadiran Allah bagi satu sama lain dalam ikatan setia dan bagi anak-anaknya dalam hubungan kasih. Keluarga mereka pun menjadi tanda kehadiran Allah bagi sesama. Berkat perkawinan Kristen, Yesus, yang dahulu hadir dalam keluarga Maria dan Yusuf, kini hadir juga dalam keluarga kita masing-masing. Allah yang bertakhta di surga tetap hadir dalam keluarga dan menyertai para orangtua dan anak-anak sepanjang hidup.
Dalam keluarga, sebaiknya Firman Tuhan dibacakan dan doa diajarkan. Sebagai tanggapan atas Firman-Nya, seluruh anggota keluarga bersama-sama menyampaikan doa kepada Allah, baik yang berupa pujian, ucapan syukur, tobat, maupun permohonan. Dengan demikian, keluarga bukan hanya menjadi rumah pendidikan, tetapi juga sekolah doa dan iman bagi anak-anak.
Dalam Perjanjian Lama kita melihat bagaimana Allah yang tinggal di surga hadir dalam dunia manusia. Kita juga mengetahui bahwa lokasi yang dipergunakan untuk beribadah disebut tempat kudus karena Allah pernah hadir dan menyatakan diri di tempat itu untuk menjumpai manusia. Karena Sang Imanuel lahir dalam suatu keluarga, keluarga pun menjadi tempat suci. Di situlah Allah hadir. Keluarga menjadi ”bait suci”, yaitu tempat pertemuan manusia dengan Allah.
Tantangan Keluarga Masa Kini
Perubahan cepat dan perkembangan dahsyat dalam berbagai bidang bukan hanya memberi manfaat, tetapi juga membawa akibat buruk pada kehidupan keluarga. Kita jumpai banyak masalah keluarga yang masih perlu diselesaikan, seperti kemiskinan, pendidikan anak, kesehatan, rumah yang layak, kekerasan dalam rumah tangga, ketagihan pada minuman dan obat-obatan terlarang, serta penggunaan alat komunikasi yang tidak bijaksana. Apalagi ada produk hukum dan praktek bisnis yang tidak mendukung kehidupan seperti pengguguran, pelacuran, dan perdagangan manusia. Permasalahan-permasalahan tersebut mudah menyebabkan konflik dalam keluarga. Sementara itu, banyak orang cenderung mencari selamat sendiri; makin mudah menjadi egois dan individualis.
Dalam keadaan tersebut, keluhuran dan kekudusan keluarga mendapat tantangan serius. Nilai-nilai luhur yang mengekspresikan hubungan cinta kasih, kesetiaan, dan tanggungjawab bisa luntur. Saat-saat kudus untuk beribadat dan merenungkan Sabda Allah mungkin pudar. Kehadiran Allah bisa jadi sulit dirasakan. Waktu-waktu bersama untuk makan, berbicara, dan berekreasi pun menjadi langka. Pada saat itu, sukacita keluarga yang menjadi dasar bagi perkembangan pribadi, kehidupan menggereja, dan bermasyarakat tak mudah dialami lagi.
Natal: Undangan Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga
Natal adalah saat yang mengingatkan kita akan kehadiran Allah melalui Yesus dalam keluarga. Natal adalah kesempatan untuk memahami betapa luhurnya keluarga dan bernilainya hidup sebagai keluarga karena di situlah Tuhan yang dicari dan dipuji hadir. Keluarga sepatutnya menjadi bait suci di mana kesalahan diampuni dan luka-luka disembuhkan.
Natal menyadarkan kita akan kekudusan keluarga. Keluarga sepantasnya menjadi tempat di mana orang saling menguduskan dengan cara mendekatkan diri pada Tuhan dan saling mengasihi dengan cara peduli satu sama lain. Para anggotanya hendaknya saling mengajar dengan cara berbagi pengetahuan dan pengalaman yang menyelamatkan. Mereka sepatutnya saling menggembalakan dengan memberi teladan yang baik, benar, dan santun.
Natal mendorong kita untuk meneruskan sukacita keluarga sebagai rumah bagi setiap orang yang sehati-sejiwa berjalan menuju Allah, saling berbagi satu sama lain hingga mereka pun mengalami kesejahteraan lahir dan batin. Natal mengundang keluarga kita untuk menjadi oase yang menyejukkan, di mana Sang Juru Selamat lahir. Di situlah sepantasnya para anggota keluarga bertemu dengan Tuhan yang bersabda: ”Datanglah kepada-Ku, kamu yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mat 11:29) Dalam keluarga di mana Yesus hadir, yang letih disegarkan, yang lemah dikuatkan, yang sedih mendapat penghiburan, dan yang putus asa diberi harapan.
Kami bersyukur atas perjuangan banyak orang untuk membangun keluarga Kristiani sejati, di mana Allah dijumpai. Kami berdoa bagi keluarga yang mengalami kesulitan supaya diberi kekuatan untuk membuka diri agar Yesus pun lahir dan hadir dalam keluarga mereka.
Marilah kita menghadirkan Allah dan menjadikan keluarga kita sebagai tempat layak untuk kelahiran Sang Juru Selamat. Di situlah keluarga kita menjadi rahmat dan berkat bagi setiap orang; kabar sukacita bagi dunia.
SELAMAT NATAL 2014 DAN TAHUN BARU 2015
Jakarta, 21 November 2014
Atas nama
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia,
Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe/Ketua Umum
Pdt. Gomar Gultom/Sekretaris Umum
Konferensi Waligereja Indonesia,
Mgr. Ignatius Suharyo/Ketua
Mgr. Johannes Pujasumarta/Sekretaris Jenderal

19 September 2014

Pelayanan gereja terhadap anak-anak

Catatan Kritis Pdt. Dr. Joas Adiprasetya
mengenai age-segregated model bagi pelayanan kategorial gereja terhadap anak-anak:



Dalam status Facebooknya, Pdt. Dr. Joas Adiprasetya, yang kini Rektor STT JAKARTA, risau pada model pelayanan gereja kepada anak-anak secara kategorial, yang dicelanya sebagai age-segregated model, dan divonis sebagai bunuh diri gerejawi.
Beberapa saat belakangan saya sangat concerned dengan model kategorial di GKI (dan banyak gereja lain), yang sesungguhnya bernama lain: age-segregated model. Tampaknya kita perlu kembali ke model intergenerational yang akan menghindarkan GKI dari "ecclesial suicide"-nya. Bunuh diri gerejawi ini makin tampak jelas. Anda bisa mendeteksinya dengan mudah. Beberapa di antaranya: [1] Jumlah anak-anak sekolah minggu lebih banyak dari remaja dan remaja lebih banyak dari pemuda; [2] Komisi-komisi kategorial melakukan semua dimensi gereja sehingga sebenarnya ada banyak gereja di dalam gereja (ecclesiola in ecclesia); [3] anak-anak raib di dalam ibadah gereja yang disebut "ibadah umum" (sic!); [4] Anak-anak muda mengalami bentuk ibadah yang asing dari model gereja induknya hanya karena ketakutan pada "rumput tetangga"; dll ...
Pdt. Joas berencana melakukan penelitian mengenai hal ini. Dia menunjuk pada sebuah tulisan singkat yang mengisahkan kerepotan ibu-ibu muda mengurus anak-anak mereka di tengah kegiatan ibadah. Di bagian akhir tulisan itu sang penulis, Steven Hunter, mencatat kisah Yesus dan anak-anak dalam Injil: 


Ketika Yesus orang tua membawa anak-anak mereka kepada Yesus , murid-murid-Nya menegur mereka (Mat 19.13-15), namun Yesus menegur murid-murid-Nya. Dia berkata: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga." Kata yang diterjemahkan anak-anak dalam Injil Matius dan Markus adalah paidon. Akar kata “pedagogue” dari kata ini. Kata “paidon” menunjuk pada anak-anak atau bayi, atau lebih khusus anak-anak yang baru bertumbuh, laki-laki atau perempuan. Ketika Lukas menulis kisah ini, dia memakai kata “brephos” yang berarti bayi. Lukas tidak bertentangan dengan kisah Matius dan Markus, sebab Lukas menulis bahwa mereka membawa bayi-bayi “juga” (Lk 18.15-17). Mereka mungkin gelisah. Bahkan mungkin menangis. Itu mungkin sebabnya para murid menegur para orang tua mereka, dan mungkin juga karena para bayi itu dianggap masih terlalu kecil untuk memahami berkat yang Kristus sampaikan kepada mereka.
Bawalah anak-anakmu ke gereja. Jika kamu tidak mendengar tangisan di dalam gereja, gereja sedang sekarat. If you don’t hear crying, the church is dying. Mungkin sebagaimana anda bersusah payah sebagaimana orang tua yang terkantuk-kantuk, tetaplah lakukan apa yang anda lakukan. Anda memberi dorongan dan memulai kehidupan anak-anakmu sebagaimana seharusnya.

[Selengkapnya lihat To You Who Bring Small Children to Church, http://veritasvenator.com/2013/09/25/to-you-who-bring-small-children-to-church/]

24 Mei 2014

Mimpi Yakub di Betel



Jacob by He Qi

Mimpi Yakub di Betel (Kej 28: 10-22)
 Khotbah dialog pelayanan lintas budaya, Bayern, Jerman, 18 Mei 2014
oleh Ati dan Markus Hildebrandt Rambe





Salam (Ati) :

Kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus dan kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian. (Amin)

Narator (Markus) :

Jakub tengah berada dalam pelarian. Dia menjadi seorang imigran. Dia sendirian.
Memang Yakub berasal dari keluarga dengan sejarah migrasi: Abraham, kakeknya, Ishak, ayahnya, dan Ribka, ibunya - semua mereka berpengalaman bagaimana harus meninggalkan kampung halamannya dengan ketidakpastian masa depan dan menjadi pengembara dan orang asing.

Tapi Yakub? Dia memang bepindah-pindah bersama seluruh keluarga besarnya, tetapi dia selalu berada dalam kemah ayahnya; ia menikmati keamanan dan kenyamanan kehidupan yang beradab. Sebagai anak kesayangan Ribka, ibunya, ia mungkin bahkan lebih sebagai "anak kesayangan mama"; dia tidak pernah disuruh pergi jauh.

Tapi sekarang Yakub ada di perjalanan karena takut terhadap balas dendam Esau. Yakub tidak hanya mengambil hak kesulungannya, tapi juga ia menipu berkat dari ayahnya, karena dihasut oleh ibunya, Ribka. Sekarang dia disuruh pergi jauh dari Bersyeba di Kanaan ke Haran di Mesopotamia, untuk mencari perlindungan dan untuk mengambil seorang perempuan Aram dari keluarga ibunya menjadi istrinya.
Belum 100 KM perjalanan Yakub - lebih 800 KM masih di depannya! Tapi dia sekarang sudah di batas kekuatannya. Dengan kelelahan, dia datang ke suatu tempat yang masih bernama Luz pada saat itu, dan mencari tempat untuk tidur, dengan sebuah batu di bawah kepalanya. Sebuah batu untuk bantal! Ternyata begitu keras, sekeras batu ini, realitas yang dialami ketika meninggalkan rumah.

Saya tidak berpikir bahwa Yakub segera tertidur. Semua pikirannya berputar-putar dalam kepalanya. Apa saja kiranya yang datang kepadanya sebelum tidur dalam pikirannya?

Yakub (Ati) :
Ya, itu benar. Saya sungguh-sungguh tak berdaya. Saya merasakan sakit di seluruh tubuhku Saya tidak tahu mana yang lebih buruk, rasa lapar, dingin, atau gejolak batin dalam hatiku. Dan pikiranku penuh bayangan peristiwa hari-hari terakhir dan apa yang mungkin akan menimpaku.

Saya tidak tahu apakah anda dapat membayangkan ketakutanku! Untuk pertama kalinya dalam hidupku, saya meninggalkan keluarga dan rumah saya. Sangat berbeda dari saudara kembarku Esau, yang terbiasa berkeliaran ketika berburu dan bertualang sendirian di padang gurun. Sementara saya tinggal sepanjang waktu di rumah di tengah keluarga saya di Bersyeba dan menikmati rasa aman.

Di pelarian ini semua jaminan kepastian itu meninggalkan dan melawanku. Saya sendirian. Saya sangat takut pada ketidakpastian apa yang akan menimpa saya dalam perjalanan ke Haran; takut bahwa saudaraku akan mencari dan membunuhku; takut karena tidak tahu bagaimana harus melangkah lebih jauh. Dari kejauhan, saya merasa ancaman dan kesepian sedang mendekat. Tapi tidak ada jalan untuk kembali, karena keluarga dan rumah saya tidak bisa lagi memberikan keamanan bagi saya.

Sebenarnya, saya telah menerima berkat hak kesulungan dari ayah saya dan bahkan telah diberkati dua kali, tapi apakah semua ini menolong saya? Apakah para hamba, semua hasil panen dan anggur serta harta yang saya peroleh dari hak kesulungan ini, menolong saya? Tidak satu pun dari ini semua yang saya bisa andalkan. Saya harus bertahan hidup sepanjang malam yang dingin tanpa perlindungan dan atap di atas kepala. Tampaknya, sekarang berkatku telah menjadi kutukan bagiku.

Kalau saja aku tidak mengkhianati saudaraku dengan mengambil berkatnya! Jika saja saya tidak mengikuti rencana ibuku! Sekiranya hak kesulungan ini tidak saya terima! Jika saja saya tidak begitu pengecut untuk mengakui rasa bersalah saya di hadapan ayahku dan saudaraku untuk meminta pengampunan mereka!

Kalau saja…. seandainya..sekiranya…? Apa yang akan terjadi jika... ? Semua pertanyaan ini begitu sia-sia.

Saya malu terhadap ayah saya, karena bagaimana saya bisa berdiri di hadapannya dan menerima berkatnya? Bagaimana saya bisa bertatap muka dengan saudaraku, yang telah saya tipu habis-habisan dan rampok hak-haknya? Saya malu. Dan karena itu seolah-olah saya tidak hanya lari dari saudaraku melainkan dari diriku sendiri - dan dari hadapan Allah leluhurku, yang perintah-Nya saya telah langgar.

Dan ke mana saya harus pergi sekarang? Ke suatu keluarga jauh di Haran, yang saya tidak kenal? Saya tidak tahu bagaimana mereka menyambut saya. Akan menikahi seorang perempuan yang akan menganggap saya sebagai pecundang yang melarikan diri dari keluarganya sendiri?

Aku tidak tahu lagi di mana dan mengapa itu semua. Aku hanya ingin tidur - sebagaimana di rumah dan ingin bangun di kemah saya keesokan harinya, seolah semuanya hanyalah suatu mimpi buruk! Seandainya ada yang dapat memutar kembali waktu!

Narator (Markus) :

Sekali lagi Yakub memperbaiki letak batu di bawah kepalanya sebelum akhirnya ia jatuh terlelap.

Namun di tengah malam Yakub bermimpi - dan apa yang ia mimpikan begitu jelas dan begitu dahsyat, seperti sesuatu yang ia belum pernah alami. Dia melihat tangga di depannya, tegak dari bumi ke langit. Dan para malaikat, utusan Allah, tak henti-hentinya naik dan turun di tangga itu.

Lalu langit terbuka! Dan tiba-tiba ada hubungan yang mengubah semua kegelapan dan kesendirian dalam cahaya benderang. Dari atas ia mendengar suara Allah yang berbicara kepadanya: "Yakub, Akulah Allah nenek moyangmu, aku tidak meninggalkan engkau kemana pun engkau pergi, dan Aku pada suatu hari nanti aku akan membawa engkau kembali ke tempat ini. Aku punya rencana besar untukmu, engkau akan menjadi bangsa yang besar. Aku akan memberkati engkau, dan melalui engkau semua kaum di muka bumi di utara dan di selatan, barat dan timur akan mendapat berkat."

Dalam mimpi itu perspektif baru terbuka untuk Yakub. Sampai saat itu, segala sesuatu kelihatannya dalam relasi horisontal, yakni pikiran-pikirannya, keluarganya, pelariannya. Semuanya berkisar pada kekuatiran yang sama. Jalan buntu yang sama. Tapi sekarang tiba-tiba hubungan ini ada. Gerakan para malaikat yang membuat hubungan yang hidup dari atas ke bawah. Sebuah hubungan dengan Allah.

Batu yang di atasnya Yakub meletakkan kepalanya menjadi tempat yang menghubungkan sorga dan bumi. Tetapi bagaimana Yakub akan memahami semua yang telah terjadi di malam hari ketika dia bangun keesokan harinya?

Yakub (Ati) :

Ketika saya bangun di pagi hari, saya tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Apakah itu hanya mimpi? Atau benarkah TUHAN, Allah Abraham dan Ishak benar-benar berbicara dalam tidurku kepadaku?

Saya tahu, itu lebih dari hanya mimpi. Karena saya dapat merasakan di dalam diriku: ada yang berubah. Saya tidak lagi sama seperti saya yang tidur kemarin. Dan saya tahu: Allah ada di sini! Kini, saya tidak melihat tangga dan para malaikat lagi. Namun hubungan dengan Allah moyangku itu ada di sini dan jelas, sejelas yang belum pernah saya alami sebelumnya. Sekarang Dia tidak hanya Allah moyangku, tapi sungguh-sungguh Allahku juga!

Sampai pada malam sebelumnya, saya berpikir bahwa Tuhan telah meninggalkan saya karena pelanggaran-pelanggaranku. Saya tidak tahu bahwa Dia bersamaku, berjalan melewati kesulitan dan ancaman. Melalui kehadiranNnya, Dia bahkan telah memperkenalkan diriNya sebagai „Allah Penyerta“.

Tradisi di rumah ayahku, seseorang harus memenuhi syarat tertentu untuk menjadi "wahana (pembawa?) berkah“, entah itu berkaitan dengan status sebagai anak sulung dan sebagai anak kesayangan, atau persyratan khusus lainnya. Seperti saudaraku Esau, ia bukan hanya anak sulung, tapi sebagai seorang pemburu ia bisa mempersiapkan hasil buruannya dengan keterampilan hidangan kesukaan ayah. Ayah suka itu. Tapi di tempat asing ini, saya sekarang mengalami berkat yang berbeda. Saya mengalami kasih tanpa syarat dari Tuhan.

Bayangkanlah!

  • Justru ketika saya merasa tidak pantas, Allah berbicara kepadaku dan bahkan memberi saya berkat-Nya. Untuk berkat ini saya tidak harus berjuang atau membuktikan diri lebih baik daripada yang lain, karena berkatNya adalah milik-Nya sendiri dan anugerah-Nya. Untuk mendapatkan berkat-Nya tidak perlu persaingan dengan orang lain.
  • Justru ketika saya mengalami perasaan putus asa, saya mengalami kehadiran Allah, harapan dan perspektif baru, yaitu menjadi berkat bagi semua orang. Tuhan berkata kepada saya "semua keluarga di bumi akan mendapat berkat melaluimu dan keturunanmu" (ayat 14). Saya, yang tidak layak ini, yang telah menipu dan mengkhianati sesama dijadikan pembawa berkat bagi semua orang di bumi!

Jika semua ini bukan tanda-tanda pendamaian Allah, lalu apa?

Dengan kekuatan pendamaian Allah ini, saya mengalami dimensi baru tentang makna berkat. Dia tidak dibatasi sebagai hadiah khusus atau hanya diperuntukkan bagi orang tertentu, sebagaimana ayah menjawab ketika Esau, saudara saya, meminta dia memberi berkat lain. Tetapi Tuhan telah menunjukkan kepada saya bahwa berkat-Nya tak terbatas, berlimpah dan untuk semua. Dari pengalaman dengan Allah ini saya mengerti sekarang apa maknanya berada di bawah berkat Tuhan.

Pengalaman dijaga dan disertai oleh Allah ketika jauh dari rumah dan di dunia yang tampaknya berbahaya ini, merupakan hal yang baru bagi saya. Karena saya selalu menempatkan keselamatan dan kenyamanan terkait dengan rumah (kampung halaman). Tapi pengalaman saya sebagai pengembara di negri asing telah mengubah saya. Allah sang Penyerta memberi saya janji-Nya: " Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke manapun engkau pergi. (...) Karena Aku tidak akan meninggalkan engkau, sampai Aku telah melakukan apa yang telah saya janjikan." (ayat 15)

Narator (Markus) :

Untuk Yakub, telah terjadi perubahan yang sangat berarti. Meskipun keadaannya masih sama. Tapi kini dia tiba-tiba memiliki perspektif baru tentang apa rencana Allah baginya. Ada harapan dan perspektif baru lagi, yang menjadikannya berguna untuk melanjutkan perjalanan.

Batu yang malam itu menjadi simbol kegagalannya, telah menjadi tempat di mana Allah berbicara kepadanya. Di sini langit dan bumi telah saling menyentuh. Ada yang terpulihkan karena dia mengalami kehadiran Allah yang tidak pernah meninggalkan dia. Sebuah tempat suci. Oleh karena itu, ia mendirikan batu di mana ia tidur, untuk menjadi tonggak. Ia kuduskan dengan minyak dan menyebutnya "Beth-El" - rumah Allah. Di sini dia pada suatu hari, jika mimpinya benar-benar terbukti, akan kembali dan membangun rumah ibadah.

Seperti Yakub, kita juga sedang berada di perjalanan hari ini. Dan seperti Yakub, kita juga memerlukan batu seperti itu, yakni tempat-tempat perjumpaan dengan Allah, di mana di dalam pengembaraan, kita menemukan perspektif baru. Sebuah tempat di mana kita mengalami pemulihan di tengah-tengah kerapuhan dan kegalauan hidup kita. Sebuah tempat di mana langit dan bumi bersentuhan satu sama lain.

Juga, Allah ingin memberikan tempat-tempat suci seperti itu kepada anda. Juga Allah ingin memberikan pengalaman di mana anda akan menyadari, berkat-berkat apa saja, rumah (home) mana saja dan keamanan yang bagaimana, yang Allah sang Penyerta berikan.

Mungkin hal ini terjadi dalam pertemuan dengan seseorang yang akan menjadi malaikat Allah bagi anda. Mungkin ini terjadi dalam ibadah di gereja anda, di mana Allah berbicara kepada anda dan Roh-Nya menyentuh anda.

Akan tetapi kadang-kadang terjadi juga seperti melalui mimpi, ketika kita berada di titik terendah kesepian dan merasa ditinggalkan seorang diri.

Allah tidak meninggalkan anda. Dia memberkati anda. Dan melalui anda, orang-orang lain akan mendapat berkat.

Berkat akhir (Ati) :

Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. (Amin)


---------------


20 Februari 2014

Pengantar Diskusi Buku





Aguswati Hildebrandt Rambe, Keterjalinan dalam Keterpisahan. Mengupaya Teologi Interkultural dari Kekayaan Simbol Ritus Kematian dan Kedukaan di Sumba dan Mamasa (Oase Intim, 2014)

Pergumulan yang diangkat di dalam buku ini pada awalnya lahir dari ruang kelas mata kuliah "Teologi Interkultural", ketika penulis mengajar di STT INTIM pada tahun 1999 - 2005. Kekayaan informasi tentang budaya-budaya dan agama-agama lokal yang diangkat oleh para mahasiswa/i, demikian halnya sejumlah studi kasus yang sangat menarik dan menantang berhubungan dengan perjumpaan iman Kristen dan agama-agama lokal, secara khusus tentang ritus - ritus kematian dan kedukaan, telah membuka mata penulis bukan hanya tentang kekayaan bahasa simbol agama-agama lokal melalui ritus, namun juga penulis disadarkan tentang kompleksitas yang dihadapi oleh gereja - gereja serta urgensi  memberi jawaban teologis atas sejumlah pertanyaan yang lahir dari perjumpaan tersebut.
Kesadaran yang lahir dari ruang kelas ini membuahkan keinginan dan motivasi untuk mengenal lebih jauh konteks berteologi di Indonesia, secara khusus di Indonesia bagian Timur, dengan cara melakukan perjalanan ke daerah-daerah seperti Mamasa (Nosu, Pana) dan Sumba Timur. Di dalam perjalanan ini, penulis menemukan secara ril kompleksitas persoalan yang berkepanjangan, yang dihadapi gereja dan umatnya
Sikap dan paradigma gereja dalam menghadapi persoalan pelik relasi agama-agama lokal dan iman Kristen (baca: ajaran gereja) adalah dengan menggunakan pola atau sikap memilah (selektif dualistik), mana elemen yang sesuai iman kristen dan mana yang bertentangan. Pola berpikir seperti ini telah lama menyejarah sebagai sikap utama gereja dan cenderung menjadi sikap satu-satunya dalam menghadapi rumitnya persoalan perjumpaan iman Kristen dan agama-agama lokal.  Dalam proses studi ini ditemukan bahwa sikap dan paradigma ini justru menjadi perangkap bagi gereja dan umatnya yang secara tidak sadar diarahkan untuk masuk ke kedalaman pusaran persoalan yang semakin rumit, sehingga gereja dan umatnya tidak dapat keluar dari rumitnya persoalan yang berkepanjangan. Salah satu akibat logis dari "sikap memilah" ini adalah ketegangan dan dilema identitas. Umat diperhadapkan dengan pilihan sulit berhubungan dengan identitas dirinya: entah setia pada leluhur atau setia pada iman Kristen. Alhasil, umat Kristen dituntun untuk beriman secara ganda yang terpilah dan justru di dalam situasi - situasi tertentu seperti menghadapi kematian dan kedukaan, umat terdesak untuk menentukan pilihan yang membebaninya.
Salah satu simpul dari studi ini menunjukkan bahwa paradigma selektif dualistik ini telah gagal menolong gereja dan umat dalam sejarah perjumpaannya dengan agama-agama lokal. Berangkat dari "kegagalan sejarah" tersebut, karya ini mencoba untuk menawarkan sikap dan paradigma yang konstruktif, yakni dengan tidak lagi bertanya: mana saja elemen budaya atau agama-agama lokal yang terartikulasi di dalam ritus-ritus kematian dan kedukaan, yang sesuai dengan iman Kristen dan mana saja yang bertentangan. Melainkan karya ini merumuskan pertanyaan konstruktif yang sederhana, yakni: Manfaat apa yang didapatkan oleh gereja dan umat Kristen di dalam perjumpaannya dengan agama-agama lokal. Atau bagaimana gereja melihat perjumpaan ini sebagai momen pembelajaran dan pengayaan bentuk-bentuk artikulasi pelayanan dan kehadirannya.
Berangkat dari pertanyaan konstruktif tersebut di atas, maka tulisan ini menyingkap (entdecken)  sebagai bagian dari proses berteologi bahwa bahasa simbol yang kaya yang terungkap melalui ritus - ritus kematian dan kedukaan masyarakat tradisional di Sumba dan Mamasa, tengah mengartikulasi sejumlah informasi penting tentang kebutuhan, pergumulan, kegelisahan, ketakutan umat yang tengah menghadapi dahsyatnya kuasa maut dan kematian. Di pihak lain, kekayaan bahasa simbol tersebut menjadi penanda bahwa ritus adalah mekanisme yang digunakan agama-agama lokal untuk menolong warganya menghadapi persoalan eksistensial seperti kematian. Pengalaman menghadapi dan mengalami dekatnya keterpisahan yang kekal oleh karena kematian terkadang tak dapat terbahasakan oleh ungkapan verbal, karena di sana bahasa verbal menjadi miskin. Oleh sebab itu, simbol menjadi alat bantu membahasakan dunia yang tak terbahasakan oleh ungkapan atau bahasa verbal.
Salah satu jawaban atas pertayaan konstruktif di atas tadi, sebagai manfaat yang tersingkap dari proses mendengar dan membaca bahasa simbol dalam ritus kematian adalah pemahaman akan kebutuhan dan kerinduan serta kegelisahan umat yang tengah menghadapi kematian dan berada di masa-masa duka. Berangkat dari hasil bacaan simbol-simbol ini, gereja tertolong untuk merancang dan merumuskan jawaban-jawaban teologis, demikian halnya merancang praksis pelayanan pendampingan yang membebaskan dan berpihak serta sesuai dengan kebutuhan umat. Dengan begitu, pedekatan konstruktif ini digunakan untuk keluar dari kondisi dilematis gereja yang berkepanjangan dan membebaskan umat dari sikap dilematis dan keterpaksaan untuk memilih antara kesetiaan kepada leluhur atau kesetiaan pada imannya.
Kedua wilayah studi ini (Mamasa dan Sumba) dimaksudkan sebagai "contoh kasus" semata dari realitas yang kompleks berhubungan dengan relasi agama Kristen dan agama -agama lokal di tempat - tempat lain di Indonesia. Dipahami pula dengan sungguh akan keterbatasan penulis sebagai orang yang bukan berasal dari kedua daerah ini, secara khusus berkaitan dengan bahasa daerah yang digunakan pada pemaparan ritus.
Diharapkan bahwa karya ini menjadi "provokasi" bagi pembacanya untuk terus menerus melahirkan dan merumuskan pertanyaan - pertayaan baru di dalam berteologi sebagai sebuah proses yang dinamis dan aktual.
Semoga terprovokasi!

Makassar, 8 Februari 2014
Aguswati Hildebrandt Rambe