21 Juli 2019

Teologi Bulan


Tepat 50 tahun lalu, 20 Juli 1969, manusia mendarat pertama kalinya di bulan. Dan program NASA, badan antariksa AS, tidak berhenti di bulan. Bagaimana para teolog Kristen dan gereja menanggapi penaklukan langit ini? Tujuan utama pendaratan di bulan pada awalnya adalah tujuan politik. Amerika sangat perlu mengembangkan keunggulan teknologi dan militer setelah merasa malu atas keberhasilan perjalanan ruang angkasa Rusia yang menakjubkan dengan Sputnik yang lewat di antariksa di atas kepala mereka pada tahun 1957 dan 1958. Tetapi bagi seluruh dunia pendaratan ini mendorong kepercayaan diri yang luar biasa terhadap kemampuan manusia.

Di balik program moonshot (program pendaratan manusia di bulan) AS ada perkembangan ilmu pengetahuan dan tekknologi yang luar biasa. Sebenarnya belum ada satu komputer pun pada saat itu yang memiliki kekuatan komputasi seperti smartphone yang terbelakang saat ini pun — sekali pun komputer yang ada berupa mesin raksasa seukuran beberapa kulkas. Kemampuan NASA dan MIT dalam waktu yang sangat singkat, membuat langkah besar dengan menciptakan komputer yang cukup kecil untuk dimuat dan dapat dioperasikan dalam pesawat antariksa— praktis merupakan keajaiban untuk masa itu.

Teolog Protestan

Pada tahun 1958 Christianity Today mengajukan pertanyaan, “Moonshot: Its Meaning?” (Penerbangan ke Bulan: Maknanya Apa?) kepada 25 teolog Protestan ternama, dengan esai pembuka oleh A.W. Tozer, “A Christian Look at the Space Age.” Rangkumannya ditulis oleh Douglas Estes dalam “Moonshot: What Barth, Tillich, and Tozer Thought of the Space Age.”

Reinhold Niebuhr (1892 - 1971), teolog Amerika ternama, penggagas Christian realism, bingung dengan program antariksa: setelah menyaksikan kejahatan Holocaust yang mengerikan, kebangkitan komunisme ateis, dan kebencian dan ketidakadilan yang merasuk begitu banyak orang pada abad ke-20, Niebuhr tidak dapat membayangkan bahwa teknologi yang canggih dapat juga menjadi kekuatan untuk kebaikan dunia, bukan hanya untuk kejahatan. Maka ketika senjata nuklir tampaknya siap untuk menghancurkan dunia, penerbangan antariksa memberi harapan kepada dunia dengan pengembangan kerjasama antar-negara —dimulai pada tahun 1975 dengan pembentukan Badan Antariksa Eropa dan kemudian dengan kerja sama AS-Rusia dan belasan negara maju lainnya membangun Stasiun Luar Angkasa Internasional.

Paul Tillich (1886 - 1965), filsuf dan teolog eksistensial yang terkenal, menyarankan bahwa mungkin sementara tidak ada efek religius langsung pada eksplorasi antariksa, tetapi ada beberapa hal positif bagi umat manusia yang patut disambut oleh umat Kristiani. Penjelajahan ruang angkasa dapat mengatasi keterpencilan bumi kita dan menghasilkan visi baru tentang kebesaran alam semesta di mana bumi dan umat manusia, ruang dan waktu, hanya merupakan bagiannya. Itu akan seperti penemuan Kepulauan Canary (Agustus 1492) oleh Christopher Columbus (1451 - 1506), yang merupakan awal penemuan orang Eropa terhadap bagian dunia yang lebih luas lagi.

Gordon H. Clark (1902 - 1985), filsuf Calvinis dan pendiri Scripturalism, berpendapat bahwa pendaratan di bulan adalah penugasan Ilahi; sayangnya bukannya orang-orang beriman yang aktif dalam program itu. Kebanyakan kalangan Injili tidak mendukung program antariksa AS.

Carl F. H. Henry (1913 - 2003), teolog Injili Amerika terkemuka dan editor/pendiri Christianity Today, memperingatkan bahwa pendaratan di bulan tidak lebih dari bukti kesombongan umat manusia, mengikuti semangat Lucifer, yang congkak meninggikan diri melawan Tuhan Allah.

F. F. Bruce (1910 - 1990), seorang ahli Biblika dan teologi praktika terkemuka asal Inggris, menyatakan bahwa sementara penjelajahan manusia dapat memiliki motif pementingan diri sendiri, namun semakin banyak yang ditemukan manusia tentang alam semesta ciptaan Allah, semakin banyak alasan yang mereka untuk mengagumi kebijaksanaan dan kekuatan-Nya.

Karl Barth (1886 - 1968), yang sering dipuji sebagai teolog terhebat di zaman modern, menjelaskan bahwa dari ketinggian langit sampai ke kedalaman lautan, di mana pun orang berada, di situ juga Tuhan ada (band. Mazmur 139: 7-10). Jadi pergilah ke bulan! Tuhan pun akan ada di sana.

Dalam esainya A.W. Tozer (1897 - 1963, pendeta dan penulis Injili, mengeritik bahwa orang Kristen boleh prihatin atas kejahatan dan kebencian, ketidakadilan dan penderitaan di dalam dunia. Tetapi jika orang Kristen menyerah dan panik di hadapan perkembangan ilmu pengetahuan tentang benda-benda langit, maka akan mengungkapkan betapa tidak memadainya pengertiannya tentang Allah dan betapa lemah pemahamannya akan makna kebangkitan Kristus dan kenaikan-Nya ke tangan kanan Yang Mulia di surga. "

Gereja Katolik

Pastor Yesuit Adam D. Hincks (lahir 1983) dari Canada mendalami astronomi (ilmu falak) dan aktif mengobservasi ruang angkasa. Sebagai astrophysicist and cosmologist yang juga mendalami teologi, Pastor Hincks menegaskan tidak ada pertentangan antara sains dan teologi. Capaian iptek seperti penerbangan di antariksa membuka cakrawala iman. Di angkasa luar manusia makin sadar betapa besarnya semesta alam dan manusia hanyalah sebutir debu.

Dari angkasa luar terjadi “overview effect,” orang memandang betapa luas alam semesta dan betapa kecil manusia. Ini mengingatkan pada Alkitab, Mazmur 8: 4-5, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Seorang astronaut bersaksi bahwa terbang di ruang angkasa melihat realitas Bumi, seakan sendirian di jagat raya. "Pengalaman itu mengubah hidup saya dan sikap saya terhadap kehidupan itu sendiri.” Pastor Hincks mengemukakan adanya tradisi di Abad Pertengahan yang melihat alam sebagai semacam wahyu; ada kitab alam di samping Kitab Suci.

Pendaratan di bulan juga mengubah cara Gereja melihat sains. Sepuluh tahun setelah pendaratan di bulan, salah satu hal pertama yang dilakukan Paus Yohanes Paulus II adalah menghidupkan kembali Akademi Ilmu Pengetahuan Kepausan (the Pontifical Academy of Sciences). Pada tahun 1992, atas saran Akademi ini, Gereja Katolik secara resmi meminta maaf karena membungkam Galileo Galilei (1564 - 1642) pada tahun 1633 di bawah ancaman penyiksaan, kemudian menjadikannya tahanan rumah selama sisa hidupnya. Pada tahun 1996, Paus Yohanes Paulus II dengan tegas mengakui fakta evolusi dalam perkembangan spesies manusia. Dalam hal ini evolusi dilihat gereja sebagai proses penciptaan Allah.

Dari segi budaya, pendaratan di bulan meningkatkan tempat teknologi dalam kehidupan manusia. Orang makin kuat berharap pada kemajuan teknologi. Tetapi Paus Francis memberi catatan kritis terhadap teknologi dan dampaknya bagi kehidupan manusia modern. Paus tidak menentang sains. Dalam ensikliknya Laudato Si’ (2015) Paus Francis mendukung pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi telah mengatasi kejahatan yang tak terhitung jumlahnya yang membahayakan dan membatasi manusia, namun kekuatan yang berasal dari teknologi dapat digunakan oleh mereka yang memiliki pengetahuan dan sumber daya ekonomi untuk mendominasi umat manusia dan seluruh dunia. Paus Francis tidak berpikir bahwa produk teknologi itu netral, melainkan menciptakan kerangka kerja yang akhirnya mengkondisikan gaya hidup dan membentuk kemungkinan sosial di sepanjang alur yang didiktekan oleh kepentingan kelompok kuat tertentu.
Jadi, pendaratan di bulan dan penaklukan ruang angkasa menandai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia. Kemajuan iptek ini harus terus diletakkan dalam bingkai moral-etik keagamaan: pada satu fihak demi kemuliaan Allah, dan pada fihak lain demi kesejahteraan seluruh umat manusia.

Beberapa acuan:
Ross Andersen What Will the Moon Landing Mean to the Future?” online at https://www.theatlantic.com/science/archive/2019/07/moon-landing-50-years-later/593803/
Douglas Estes dalam “Moonshot: What Barth, Tillich, and Tozer Thought of the Space Age,” [online athttps://www.christianitytoday.com/ct/2019/july-web-only/barth-tillich-tozer-space-age-moon-landing-anniversary.html]
Michael Swan, “Faith in the Stars: Moon Landing Changed How Church Sees Science” online athttps://bccatholic.ca/news/canada/faith-in-the-stars-moon-landing-changed-how-church-sees-science
“The Rebbe on the Lunar Landing and Human Prowess” online athttps://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/4439442/jewish/The-Rebbe-on-the-Lunar-Landing-and-Human-Prowess.htm

Makassar, 20 Juli 2019
Zakaria J. Ngelow




03 Juli 2019

Identitas Etnis Orang Seko (dan Hubungannya dengan Orang Toraja)


Zakaria J. Ngelow – berasal dari Seko dan bangga sebagai orang Seko

Ethnic identity is defined as a sense of belonging based on one's ancestry, cultural heritage, values, traditions, rituals, and often language and religion. Identitas suku didefinisikan sebagai rasa memiliki berdasarkan pada kesamaan leluhur, warisan budaya, nilai-nilai, tradisi, ritual, dan seringkali bahasa dan agama seseorang. [International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (Second Edition), 2015]


Ciri-ciri
Beberapa waktu lalu dalam WAG Seko Diaspora sempat ramai diperdebatkan tentang identitas kesukuan orang Seko. Apakah orang Seko salah satu suku di antara suku-suku yang ada di pulau Sulawesi? Apakah orang Seko termasuk suku Toraja? Pertanyaan-pertanyaan dapat dijawab secara subyektif dengan ya atau tidak, tergantung pada pendapat setiap orang, tentu dengan argumentasinya. Dalam tulisan singkat ini identitas kesukuan orang Seko akan ditinjau dengan lebih obyektif, dengan terlebih dahulu memahami apa itu suku, dalam hal ini apa ciri-ciri pokok suatu kelompok masyarakat yang disebut suku. Para ahli sosiologi dan antropologi dan psikologi mengajukan pandangan yang berbeda-beda mengenai hakekat suku. Namun mereka umumnya sepakat pada beberapa ciri pokoknya: kesamaan ciri fisik (sering dianggap keturunan dari satu nenek moyang yang sama); kesamaan bahasa yang digunakan; kesamaan kebudayaan (kesamaan dalam hal sejarah, bahasa, adat istiadat dan tradisi); dan adanya wilayah tradisionalnya. Penting juga mencatat bahwa para ahli umumnya sependapat bahwa identitas suku bersifat bentukan sosial, bukan biologis. Artinya, suatu suku tidak secara alami lahir dan ada dalam masyarakat, melainkan terbentuk oleh berbagai faktor sejarah, seperti sosial, ekonomi, budaya, ekonomi, politik, dan agama.

Tanah Seko
Orang Seko berasal dari daerah Seko, daerah yang terletak di jantung pulau Sulawesi, di dataran tinggi (1.200 – 1.800 m dpl), di perbatasan tiga provinsi, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Ada wacana pemerintah membangun jalan raya menghubungkan ketiga propinsi ini melalui Seko. Gunung tertinggi adalah gunung Kambuno (2.950 mdpl). Dari Seko mengalir sungai Betue dan sungai Uro ke arah Barat, menyatu dengan sungai Karama di Kab. Mamuju dan bermuara di Selat Makassar. Setelah sebelumnya digabung dengan daerah Rongkong dalam Kecamatan Limbong, Kab. Luwu (sebelum dimekarkan) sejak tahun 2005 berdiri sendiri sebagai Kecamatan Seko di Kabupaten Luwu Utara. Jumlah penduduknya sekitar 13 ribu orang di 12 desa. Diperkirakan terdapat juga belasan ribu orang Seko di luar Seko, akibat pengungsian dan perantauan. Selain agama Kristen, terdapat juga orang Seko beragama Islam. Hasil-hasil pertaniannya adalah beras, kopi dan kakao. Transportasi darat ke Seko masih sangat sulit. Transportasi udara dilayani penerbangan perintis dari Masamba ke Eno, pusat kecamatan Seko.

Asal-usul
Salah satu cara masyarakat tradisional mengidentifikasi dirinya adalah dengan mitos atau legenda asal-usul yang diriwayatkan dari generasi ke generasi. Disebutkan bahwa moyang orang Seko adalah Tomessalu. Mungkin ini sebutan yang menunjukkan bahwa leluhur itu datang menyusur sungai (dalam hal ini sungai Karama) lalu terus ke sungai Betue. Legenda lain menyebutkan tentang seorang bernama Bulu Pala’ dengan lima orang putera, Tapadang, Tabalang, Tahoneang, Tayane, yang masing-masing mendirikan kampung-kampung Padang (Hono), Amballong, Pohoneang dan Hoyane. Anak kelima menjadi pandai besi, yang keturunannya menjadi pandai besi di kampung-kampung saudara-saudaranya. Kisah lima bersaudara ini terkait dengan leluhur orang Seko Padang dan orang Seko (Tengah) yang bahasanya serumpun dengan bahasa orang Panasuan, yang tinggal di sebelah Barat Seko, di kaki gunung Sandapang, Kec. Kalumpang, Kab. Mamuju. Seko pada masa lalu penghasil lempeng-lempeng besi yang diolah dari batu besi, yang ditambang di Seko (al. di Sae dekat kampung Amballong dan di Pebatuan, antara kampung Beroppa dan Kariango). Lempeng-lempeng besi itu diangkut dengan kuda ke sungai Karama lalu dengan perahu ke pelabuhan Sendana di muara, dan selanjutnya dipasarkan ke seluruh Nusantara untuk berbagai kebutuhan.

To Lemo
Selain kedua rumpun orang Seko Padang dan Seko Tengah, ada juga orang Seko Lemo, yang bahasanya merupakan dialek bahasa Toraja. Asal-usulnya adalah perpindahan sekelompok penduduk dari daerah Rongkong, ke Seko dan kawin-mawin dengan orang Seko Tengah atau Seko Padang serta dengan orang Karama (tetangga sebelah Barat Seko di daerah Kalumpang, Kab. Mamuju). Orang Rongkong sendiri dikisahkan berasal dari suatu daerah bernama Lemo Tua (di daerah Kecamatan Walenrang, Kab. Luwu, sekarang).
Bahasa Toraja
Bahasa Toraja berpengaruh luas di kalangan orang Seko oleh pendidikan dan penginjilan. Sekolah-sekolah yang dimulai di Seko pada awal tahun 1920-an oleh Indische Kerk (Gwereja Protestan di Hindia Belanda) memakai bahasa Toraja sebagai bahasa pengantar dan bahasa buku-buku pelajaran. Baru kemudian bahasa Melayu/Indonesia diajarkan di sekolah-sekolah. Agama Kristen diperkenalkan kepada orang Seko dengan memakai bahasa Toraja, termasuk terjemahan Alkitab dan nyanyian-nyanyian gerejawi, khotbah dan liturginya. Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Seko baru pada awal tahun 2000-an. Terjemahan bahasa Seko Padang surat-surat Perjanjian Baru 1 Tesalonika, 1 Timotius dan Titus diterbitkan pada tahun 2006, dikerjakan oleh suatu tim penerjemah di bawah pimpinan Tom Laskowske, seorang ahli bahasa yang mendalami bahasa Seko. 

Perjumpaan
Dari segi sejarahnya, selain latar belakang orang Seko Lemo dari Rongkong/Lemo Tua, perkenalan dengan orang Toraja (Rantepao/Makale) berlangsung melalui kedatangan orang Toraja membeli kerbau di Seko, yang umumnya dibarter dengan budak. Ada pula perjumpaan orang Seko dengan suku-suku tetangga di hutan ketika pergi berburu. Konon nama Seko (berarti sahabat, teman) adalah sebutan dari fihak tetangga kepada orang Seko melalui perjumpaan itu. Dalam salah satu dongeng Toraja, dikisahkan tentang Salogang, seorang pemburu dari Seko, yang kawin dengan Lambe’ Susu di Sesean, melahirkan puteri cantik Lando Rundun, yang kemudian dipersunting seorang pangeran Bone. Yang lebih historis bukan hubungan dengan orang Toraja melainkan dengan orang Badak dan orang Kulawi. Kedua suku tetangga jauh di sebelah utara Seko ini terlibat peperangan dengan orang Seko, karena mereka datang menyerang Seko.

Gereja Toraja
Sudah disebut di atas hubungan orang Toraja dengan orang Seko dalam sejarah agama Kristen. Ds. H. J. van Weerden (1899 - 1948), pekabar Injil Gereformeerde Zendingsbond (GZB), suatu badan zending dari Belanda, memimpin resort Rongkong-Seko sejak 1928. Pada tahun 1947 Gereja Toraja dibentuk meliputi semua resort, termasuk Resort Rongkong-Seko. Baru kemudian sejumlah jemaat di Seko pindah bergabung dengan GPIL ketika sebagian jemaat Gereja Toraja di Luwu mendirikan gereja Luwu itu pada tahun 1965.

Pengungsi Seko
Penting untuk mencatat bahwa hubungan yang lebih akrab dan penuh persaudaraan dengan orang Toraja berlangsung pada tahun 1950-an ketika orang Seko mengungsi dari kekuasaan gerombolan DI/TII. Kelompok-kelompok pengungsi dari Seko Lemo dan Seko Tengah, yang mengungsi ke daerah Karama dan Karataun (sekarang Kec. Kalumpang, Kab. Mamuju) sebagiannya terus ke Toraja dan hidup tersebar di banyak kampung, lalu akhirnya sekelompok cukup besar menetap di Limbong Padang, daerah Rindingallo (Pangala’). Sebagian dari mereka pindah ke daerah Seriti (Palopo Selatan) pada awal tahun 1960-an, sebagian kembali ke Seko setelah Seko aman (sesudah 1965), dan sebagian tetap tinggal di Toraja, sampai sekarang. Sejak masa pengungsian itu banyak anak-anak Seko yang melanjutkan pendidikannya di Toraja. Dan banyak pula yang menikah dengan orang Toraja. Masyarakat Seko Padang mengungsi ke utara, ke daerah Kulawi,  dalam beberapa rombongan pelarian. Mereka kemudian dikumpulkan di Omu, sekitar 40 KM di sebelah selatan kota Palu, pada tahun 1956. Puluhan pemuda Seko direkrut menjadi tentara di Palu oleh seorang perwira TNI, asal Toraja, Komandan Kompi yang waktu itu berpangkat Letnan Satu, Frans Karangan (beliau purnawirawan dengan pangkat Brigadir Jenderal). Dan pada tahun 1963, ketika orang Seko yang sudah kembali ke Seko diserang gerombolan DI/TII (setelah membunuh 30-an pemuka masyarakat Seko), sekelompok tentara asal Toraja pergi ke Seko turut membantu pengamanan. Singkatnya, di masa pengungsian persaudaraan yang erat dengan orang Toraja dialami orang Seko.

Orang Luwu
Dalam sejarah politik, daerah Seko merupakan wilayah dari kadatuan Luwu, sebagaimana juga Tana Toraja. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda wilayah Tana Toraja menjadi onderafdeeling (=distrik) Makale dalam afdeeling (=kabupaten) Luwu. Wilayah Seko masuk dalam onderafdeeling Masamba. Jadi wilayah Seko tidak pernah masuk dalam kesatuan dengan Toraja, kecuali sebagai salah satu resort pekabaran Injil. Secara sosial politik kerajaan Luwu pernah berjaya, namun tidak ada orang Luwu. Menurut seorang ahli budaya Luwu, ungkapan “orang Luwu” (=wija To Luwu) bukan menunjuk pada satu suku, melainkan belasan suku yang ada di wilayah yang pernah berada di bawah pemerintahan kerajaan Luwu. Di sebuah daftar tercatat antaranya “To Ugi (Bugis), To Ware, To Ala, To Raja, To Rongkong, To Pamona, To Limolang, To Seko, To Wotu, To Padoe, To Bajo, To Mengkoka”. Di masa lalu ada fenomena “orang Luwu” yang beragama Islam mengaku orang Bugis dan yang beragama Kristen mengaku sebagai orang Toraja.

Budaya
Dari segi kebudayaan, bahkan orang Seko Lemo, yang jelas merupakan subsuku Toraja, tidak berkebudayaan Toraja, misalnya tidak ada tongkonan (sistim rumpun keluarga berdasar rumah leluhur), tidak ada tradisi “pesta” orang mati, serta bentuk-bentuk seni budaya yang lazim di kalangan orang Toraja, seperti seni tari ma’gellu’, seni ukir atau ma’badong (tarian dan nyanyian di acara duka). Ada pun nilai-nilai budaya, sebagaimana masyarakat Sulawesi (Selatan-Barat-Tengah dan Tenggara) pada umumnya, orang Seko terutama menjunjung kejujuran, keuletan dan kesetiakawanan, serta keberanian. Upacara yang penting dalam kehidupan orang Seko dahulu kala adalah pesta panen. [Lihat tulisan J. Kruyt, “Ma’bua dan Moronno di Seko” dalam Masyarakat Seko pada Masa DI/TII.] Beberapa kelompok masyarakat asli di daerah Sulawesi Barat, seperti orang Kalumpang di lembah sungai Karama menolak disebut orang Toraja. Tetapi sesuai namanya, orang Toraja Mamasa adalah orang Toraja, antara lain berdasarkan mitos asal-usul, bahwa moyang mereka bernama Pongka Padang berasal dari Toraja.

Toraja Raya
Di atas telah dikemukakan bahwa identitas suku tidak lahir secara alami melainkan dibentuk oleh dinamika sosial dalam sejarah. Kedua pekabar Injil di daerah Sulawesi bagian Tengah pada akhir abad ke-19, A.C. Kruyt (teolog, antropolog) dan N. Adriani (filolog), menyebut seluruh masyarakat di pedalaman Sulawesi bagian Tengah -- al. Bada, Kaili, Kalumpang, Kulawi, Mori, Mamasa, Pamona, Rampi, Rongkong, Toraja (Rantepao-Makale), Seko -- sebagai suku Toraja, yang mereka bagi atas Toraja Utara (Toraja Koro), Toraja Timur (Toraja Bare’e) dan Toraja Selatan (Toraja Sa’dan). Penyebutan itu terkait dengan suatu impian membangun kesatuan masyarakat Kristen di kalangan suku-suku di wilayah itu, yang pada akhir abad ke-19 umumnya masih beragama suku (dianggap orang kafir). Tetapi kemudian gagasan “Toraja Raya” (Grooter Toradja) itu tidak berkembang, baik secara sosial-politik maupun gerejawi, sekalipun agama Kristen diterima secara umum oleh masyarakat-masyarakat yang disebut Toraja oleh Kruyt dan Adriani. Orang Poso (Pamona, Mori dll) tidak bisa “ditorajakan”, demikian juga orang Kulawi dan Kaili.

Empat Suku?
Ada pernyataan bahwa di Sulawesi Selatan (dan Barat) hanya ada empat suku: Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Ini juga suatu konstruksi sosial yang terkait dengan kepentingan politik dan keagamaan. Dan orang harus tetap sadar bahwa generalisasi itu tidak serta merta menghilangkan identitas sosial kelompok-kelompok yang sekalipun kecil tetapi tidak dapat dilebur ke dalam suku-suku besar itu. Sensus Penduduk tahun 2010 menemukan 1.331 suku Indonesia, termasuk sub-subsuku. Suku-suku utama berjumlah 633 suku, dan terbanyak di Indonesia bagian Timur. Sensus juga menemukan 1.158 bahasa daerah, di antaranya bahasa Seko.

Persatuan Seko
Uraian di atas mencoba mengemukakan secara singkat bahwa orang Seko mempunyai sejarah, bahasa, wilayah dan budaya yang berbeda dengan suku-suku lain, termasuk dengan orang Toraja. Secara subyektif, terpulang kepada orang Seko, yang tinggal di Seko maupun di rantau, untuk secara pribadi memilih menegaskan identitasnya sebagai orang Seko atau mengaku sebagai orang Toraja. Atau ikut pilihan orang Seko peranakan Toraja sebagai "orang Seko suku Toraja". Secara obyektif jelas bahwa orang Seko suatu identitas sosial-etnis tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat lainnya, termasuk berbeda dengan orang Toraja. Dan dalam hubungan itu perlu dipertimbangkan bahwa yang penting dewasa ini adalah memperkuat kesatuan dan persatuan masyarakat Seko sebagai satu kelompok masyarakat tersendiri, sekali pun tetap terbuka dalam interaksi positif dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, khususnya dengan orang Toraja. Dalam hal ini sifat multikultural masyarakat Indonesia dikedepankan, yakni persatuan dibangun di atas kepelbagaian, Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan tidak menghilangkan kepelbagaian. Maka identitas sebagai orang Seko harus dijunjung bersama dengan penuh komitmen dan dalam getar kebanggaan, seperti ketika menyanyikan Hymne Tanah Seko: “Tanah itu kucintalah selama hidup”. Komitmen dan kebanggaan sebagai orang Seko akan berdampak positif bagi kemajuan masyarakat Seko, di Seko dan di rantau. Maka kepada semua orang Seko di mana pun, janganlah malu mengaku sebagai orang Seko, dan besarkanlah Seko melalui sikap terpuji, prestasi dan karya bhaktimu.

Beberapa Rujukan:
Ø  Semua rujukan dari internet diakses pada akhir Juni 2019.
4 Ciri Ciri Suku Bangsa dan Penjelasannya”, online di https://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/ciri-ciri-suku-bangsa
Chapter 11 Race and Ethnicity”, online di https://opentextbc.ca/introductiontosociology/chapter/chapter11-race-and-ethnicity/
Daftar bahasa di Indonesia menurut BPS 2010”, online di https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_bahasa_di_Indonesia_menurut_BPS_2010
Ethnic group”, online di https://en.wikipedia.org/wiki/Ethnic_grouphttps://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja
Mengulik Data Suku di Indonesia”, online di https://www.bps.go.id/news/2015/11/18/127/mengulik-data-suku-di-indonesia.html
Suku Toraja”, online di https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja
Suku-Suku Sulawesi”, online di https://arkeologiriset.wordpress.com/2017/11/09/suku-suku-sulawesi/
Toraja Bukan Anak Suku Luwu”, online di https://www.karebatoraja.com/toraja-bukan-anak-suku-luwu/
Understanding Racial and Ethnic Differences in Health in Late Life: A Research Agenda”, online di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK24684/
Tutut Chusniyah dan Ardiningtiyas Pitaloka, Pengaruh Identitas Nasional, Etnis dan Agama terhadap Multikulturalisme dalam menghadapi Globalisasi di Indonesia” online di http://fppsi.um.ac.id/?p=851
Zakaria J. Ngelow dan Martha Kumala Pandonge (eds.), Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII (1951-1965). Makassar: Yayasan Ina Seko, 2008.

Makassar, 1 Juli 2019