27 Desember 2007

Menolak Pilkada Ulang Sulsel

Rabu, 26 Desember 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/26/opini/4100239.htm

Menolak Pilkada Ulang Sulsel


Denny Indrayana

Mahkamah Agung kembali menunjukkan kinerja yang aneh bin ajaib. Tiga hakim agungnya keblinger dalam memutuskan sengketa hasil pemilihan kepala daerah di Sulawesi Selatan. Meski perlu dicatat, dua hakim agung memberikan pendapat yang berbeda.

Putusan MA memerintahkan KPUD Sulsel mengulang pilkada di empat kabupaten, yakni Gowa, Bantaeng, Bone, dan Tana Toraja. Putusan demikian jelas harus ditolak, dan dilakukan upaya hukum luar biasa: peninjauan kembali (PK) di MA.

Hilangkan kewenangan MA

Putusan tersebut bukan saja melampaui kewenangan MA, tetapi lebih jauh justru menghilangkan kewenangan eksklusif MA dalam memutuskan sengketa hasil pilkada. Pasal 106 Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) secara jelas memberikan kewenangan kepada MA untuk menjadi forum previlegiatum, peradilan tingkat pertama dan terakhir. Artinya, hukum memberikan kewenangan terhormat kepada MA untuk menentukan suara terbanyak pemenang pilkada, dalam hal terjadi sengketa.

MA dalam sengketa pilkada adalah wasit terakhir penentu pemenang. Dengan memerintahkan pilkada ulang, MA tidak hanya melepaskan kewenangan wasit eksklusif tersebut, bahkan memperpanjang proses pilkada, yang sejatinya harus dibuat cepat dan singkat dengan peradilan satu tingkat pertama dan terakhir. Lebih jauh, bukan hanya prinsip sengketa pemilu yang cepat dan singkat yang dinafikan MA, tetapi juga perpanjangan potensi konflik antarpemilih serta pemborosan biaya pilkada.

Apalagi pilkada ulang pada aras kabupaten jelas-jelas tidak mempunyai dasar menurut UU Pemda. Yang diakui hanyalah penghitungan ulang, itu pun hanya pada tempat pemungutan suara (TPS) yang dianggap bermasalah, tidak di semua kabupaten. Terminologi "pilkada ulang" yang digunakan putusan MA pun nyata-nyata menunjukkan lemahnya pemahaman ketiga hakim agung atas konsep pilkada. Karena pilkada ulang berarti seluruh proses pilkada—bahkan penetapan calon kepala daerah—juga harus diulang, sesuatu yang sewajibnya bukan maksud putusan MA tersebut.

PK sebagai solusi terbaik

Nasi sudah menjadi bubur, putusan MA yang amat keliru sudah dikeluarkan. Saya berpendapat ada tiga upaya hukum yang tersedia: melakukan pilkada ulang, sesuai putusan MA; mengajukan sengketa kewenangan antarlembaga negara antara MA dan KPUD Sulsel di hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi (MK); dan melakukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali di MA.

Sebenarnya, tidak ada upaya hukum yang benar-benar tepat karena sejatinya putusan MA seharusnya final and binding. Tetapi karena MA sendiri memerintahkan pilkada ulang, berarti prinsip peradilan tingkat pertama dan terakhir itu telah dilanggar oleh MA sendiri, dengan tidak secara tegas menentukan pemenang pilkada. Pertanyaan sederhananya: bukankah jika pilkada ulang dilaksanakan, tetap ada potensi pihak yang tidak puas akan mengajukan keberatan lagi ke MA? Lalu kapan selesainya proses pilkada jika logika keblinger pilkada ulang dipatuhi?

Lebih jauh, alternatif pilkada ulang juga harus ditolak karena akan membuka kotak pandora pilkada ulang di mayoritas pelaksanaan pilkada. Jika pilkada ulang di Sulsel dipatuhi, maka ke depan, setiap ada sengketa pilkada, saya yakin pihak yang berkeberatan akan meminta pilkada ulang ke MA. Akibatnya, proses pilkada akan terjebak pada proses tanpa akhir. Karena itu, kotak pandora pilkada ulang yang telah dibuka lewat putusan MA tentang Pilkada Sulsel harus segera ditutup kembali.

Alternatif kedua, dengan mengajukan sengketa kewenangan antara MA dan KPUD Sulsel di MK, bukan pula pilihan yang tepat. Salah satunya karena berdasarkan UU MK dan Peraturan MK, MA tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan di MK. MA hanya bisa bersengketa dalam hal yang tidak berkait dengan persoalan yustisial. Maknanya, putusan MA tentang Pilkada Sulsel—yang jelas berkait dengan proses peradilan—seharusnya tidak boleh dijadikan obyek sengketa di hadapan MK.

Saya menolak putusan MA dibawa ke MK untuk diuji karena akan meletakkan posisi MA menjadi di bawah MK, suatu desain yang keliru dalam memaknai relasi antara MA dan MK yang seharusnya berbagi peran antara court of justice dan court of law, tanpa salah satu lebih superior dibandingkan yang lain.

Alternatif ketiga, dengan mengajukan upaya hukum luar biasa PK, adalah alternatif yang paling less evil, paling kecil mudaratnya. Satu-satunya konsep yang berpotensi terlanggar adalah teori putusan MA yang seharusnya final dan mengikat. Namun, sebagaimana diuraikan di atas, justru dengan memerintahkan pilkada ulang, MA telah menabrak prinsip putusannya menjadi penentu terakhir pemenang pilkada.

Karena itu, upaya PK harus dimaknai sebagai langkah penyelamatan untuk mengembalikan kewenangan eksklusif MA sebagai wasit terakhir yang menentukan pemenang pilkada, dalam hal terjadi sengketa hasil. Apalagi, tentang pengajuan PK dalam sengketa pilkada telah ada yurisprudensinya, yaitu dalam pemeriksaan Pilkada Depok. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang bersifat final, diajukan upaya PK dan diterima oleh MA.

KPUD Sulsel harus segera mengajukan PK, dan MA sewajibnya segera mengeluarkan putusan yang final dan mengikat, dengan menentukan pemenang Pilkada Sulsel. Gubernur Sulsel definitif harus segera ditetapkan.

MA berkesempatan dan mempunyai kewajiban konstitusional untuk mengeluarkan putusan peninjauan kembali yang meminimalkan potensi konflik dan mempercepat berjalannya roda pemerintahan menuju kesejahteraan rakyat Sulsel. Segera ajukan peninjauan kembali, tolak pilkada ulang di Sulsel.

Denny Indrayana Staf Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Yogyakarta

---------

Rabu, 26 Desember 2007

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/26/opini/4100252.htm


Kemelut Penyelesaian Sengketa Pilkada


Mohammad Fajrul Falaakh

Putusan Mahkamah Agung (19/12/2007) agar pemilihan gubernur diulang di empat kabupaten di Sulawesi Selatan mementahkan penghitungan dan proses pemberian suara di berbagai TPS di empat kabupaten. Keseluruhan proses politik dan suara rakyat setempat mengalami delegitimasi.

Putusan MA gagal membedakan tiga hal: kegagalan penyelenggaraan pilkada, kesalahan prosedur penghitungan suara karena kondisi tertentu, dan sengketa atas penetapan hasil penghitungan pilkada.

Kegagalan pilkada sebetulnya didasarkan pada asumsi kedaruratan seperti kerusuhan dan bencana yang memusnahkan hasil pemilihan maupun karena penyimpangan proses pemberian suara di TPS (Pasal 104 UU Pemda 2004). Penyimpangan proses pemberian suara mencakup pembukaan kotak suara yang tidak sesuai tata cara, surat suara tidak sah karena diberi tanda tertentu oleh petugas, penggunaan hak pilih lebih dari sekali, petugas merusak surat suara, lebih dari seorang pemilih tak terdaftar yang dapat memberikan suara.

Mengenai kesalahan prosedur penghitungan suara, Pasal 103 UU Pemda menentukan sebagai berikut: penghitungan di TPS secara tertutup, di tempat yang kurang cahaya penerangannya, para saksi tidak secara jelas dapat menyaksikan penghitungan, suara dihitung di tempat lain, inkonsistensi dalam menentukan surat suara yang sah dan tidak sah.

Penetapan hasil pilkada

Wewenang MA terbatas pada sengketa atas penetapan penghitungan akhir pilkada oleh penyelenggara pilkada yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon (Pasal 106 UU Pemda). Keberatan atas penetapan itu mengasumsikan selisih hitungan, yang dapat terjadi sejak tingkat KPPS, PPS, PPK, KPU kabupaten/kota dan terakumulasi di KPU provinsi. Dalam kasus Pilkada Sulsel, selisih itu sekitar 0,76 persen. Banyak atau sedikit, selisih hitungan memengaruhi kemenangan atau kekalahan politik.

Sebetulnya selisih suara yang dapat dibawa ke pengadilan perlu dibatasi persentasenya sehingga penetapan hasil tersebut tidak dipermainkan serta tidak perlu memicu ketegangan politik jika pihak yang kalah menuntut "keadilan kuantitatif". Selisih satu persen dapat mengharuskan penghitungan ulang di pengadilan.

Jadi, penetapan hasil pilkada dapat disengketakan ke pengadilan "dalam hal terdapat selisih penghitungan sebanyak-banyaknya satu persen dan atau memengaruhi terpilihnya pasangan calon" (sesuai sistem pemilihan dan jumlah calon). Pemohon pun harus menunjukkan kekeliruan penghitungan suara oleh KPU dan menyertakan koreksi penghitungan beserta bukti-buktinya, yang dapat diakumulasikan dari tingkat KPPS, PPS, PPK, KPU kabupaten, dan berakhir pada kekeliruan penetapan KPU provinsi.

MA harus menetapkan hasil penghitungan yang benar (putusan bersifat deklarator), yang mengubah hasil akhir pilkada (dalam kasus Sulsel, pemohon harus mampu membuktikan selisih penghitungan di atas 0,76 persen). Dalam hal bukti-bukti dari pemohon tidak mendukung, putusan pengadilan tidak memengaruhi terpilihnya calon yang ada. MA tidak dapat membatalkan hasil penghitungan suara rakyat pada tingkat dan di tempat yang tidak bermasalah.

Penyelesaian sengketa

Wewenang MA atas penetapan hasil penghitungan suara dalam pilkada termasuk sederhana meskipun penggunaan berbagai metode penghitungan suara dalam teori sistem pemilu dapat menjadikannya tidak sederhana. Dalam kesederhanaan itu terdapat dua dimensi mendasar: legitimasi politik dan hukum suara pemilih, dan cara melakukan penghitungan (soal petugas penghitung dan alat bantunya, akurasi dan verifikasi hitungan, serta pengawasan dan manipulasi penghitungan). Permasalahan yang muncul dari kedua dimensi tersebut dapat diselesaikan oleh penguasa, politisi, ahli behavioral politics, ahli statistik.

Ketika pengadilan diminta menyelesaikannya, pada dasarnya hukum diminta memberikan kepastian dan legitimasi secara terbuka dan damai. Kalau politik tidak memberikan kejelasan, mekanisme hukum berpotensi gagal untuk mencapai sasaran dan bahkan dimanipulasi (oleh politik maupun oleh hakim), lebih-lebih tanpa tradisi kuat dalam menangani sengketa pemilu sebelum reformasi (UU No 5/1986 menegaskan, penetapan hasil pemilu bukan merupakan kompetensi pengadilan).

UU Pemda menentukan bahwa putusan MA dalam sengketa hasil pilkada bersifat final dan mengikat serta dapat didelegasikan kepada pengadilan tinggi (PT). Tetapi penjelasan Pasal 106 Ayat (7) mementahkan sifat final tersebut karena putusan PT yang bersifat final adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum (penjelasan ini dapat diuji di Mahkamah Konstitusi).

Sifat final dan mengikat putusan pengadilan merupakan kunci bagi kepastian politik dan hukum hasil pilkada. Tetapi sifat tersebut tidak diterapkan sebagai lex specialis oleh MA. Penetapan hasil pilkada oleh KPU Kota Depok telah digugat ke PT Jawa Barat dan dikoreksi oleh putusan No 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. KPU Depok pun meminta peninjauan kembali dan putusan MA No 01 PK/Pilkada/2005 membatalkan putusan PT Jawa Barat (sekaligus menyalahi Perma No 6/2005; Putusan MA kemudian disengketakan ke MK meskipun permohonan untuk memperkarakan putusan tersebut tidak diterima). Rumusan UU Pemda tidak menghapus ketentu- an hukum acara MA mengenai peninjauan kembali meskipun hasil revisi UU Pemda lebih mutakhir (lex posteror) dibanding hasil revisi UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman pada tahun 2004.

Pengaturan dan praktik penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah masih membuka ketidakpastian hukum maupun destabilisasi politik. Sebuah desain penyelesaian hukum atas sengketa politik seharusnya mengandung kejelasan substantif dan ketegasan prosedural sehingga tidak mudah dibajak di pengadilan.

M Fajrul Falaakh Fakultas Hukum UGM, Anggota Komisi Hukum Nasional

---------

07 Desember 2007

Good Governance

http://publik.brawijaya.ac.id/simple/us/jurnal/pdffile/2Good%20Governance%20Paradigma%20Baru%20Manajemen%20Pembangunan.pdf

Good Governance (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan )
Prof. Bintoro Tjokroamidjojo

I. Pendahuluan

Bersama dengan reformasi dari sistem kearah yang lebih demokratis, perkembangan dari ekonomi pengarahan (plan) ke ekonomi pasar, berkembang pula pemikiran tentang good governance, kepentingan (pengurusan pemerintahan) yang baik (Sofyan Effendi). Tentang istilah ini Bondan Gunawan mengajukan padanan kata penyelenggaraan yang baik. Bahkan mengenai yang baik ini Emil Salim menyebut berintegritas. Tetapi pengertian good governance dengan masih simpang siur,pada umumnya mengartikan good governance dengan pemenrintahan yang bersih, atau clean governmant. Seringkali juga mengarah pada pemerintahan yang bersih dan beribawa. Disini diajukan suatu pemikiran awal, tentang good governance sebagai paradigma baru administrasi / manajemen pembangunan. Good Governance adalah suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan. Administrasi Pembangunan / Manajemen Pembangunan menempatkan peran Pemerintah sentral. Pemerintah maenjadi agent of change dari suatu masyarakat (berkembang / deloping) dalam negara berkembang. Agent of change (agen perubahan). Dan karena perubahan yang dikehendaki. Planned, perubahan berencana, maka juga disebut agent of development. Pendorong proses pembangunan, perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program. Proyek-proyek, bahkan industri-industri, dan peran perencanaan dan budget. Dengan perencanaan dan budget juga menstimulasi investasi sektor swasta. Kebijaksanaan dan persetujuan penanaman modal ditangan pemerintah. Dan banyak penanaman modal (investasi) dilakukan pemerintah. Dalam Good Governance tidak lagi pemerintah, tetapi juga citizen, masyarakat dan terutama sektor usaha/swasta yang berperan dalam governance. Jadi ada penyelenggara pemerintah, penyelewengan swasta, bahkan oleh organisasi masyarakat (LSM misalnya). Ini juga karena perubahan paradigma pembangunan dengan peninjauan ulang peran pemerintah dalam pembangunan, yang semula bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar, menjadi bagaimana menciptakan iklim yang konduktif dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha. Sudah barang tentu ini bisa dilakukan apabila masyarakat dan sektor swasta sendiri sudah semakin mampu/berdaya. Justru usaha pembangunan melalui koordinasi/sinergi (keselarasan kerja/interaksi) antara pemerintah –masyarakat – swasta. Mungkin dapat dilihat sebagai bentuk pemerintah memberdayakan masyarakat terutama sektor usaha agar menjadi partner pemerintah. Bahka masyarakat dunia sekarang sudah lebih private sector led Growth (Di Indonesia investasi nasional 70 persen oleh swasta). Justru diusahakan koordinasi/sinergi antar pemerintah dengan masyarakat. Terutama dengan dunia usaha/swasta. Ini tidaklah mudah, karena jangan sampai berupa kolusi, kroni. Mengenai citizen, masyarakat dimaksud masyarakat yang terorganisasi. Seperti misalnya LSM, asosiasi-asosiasi kerja dan profesi, bahkan paguyuban. Miltyon Esman pernah menulis buku Local Organizations Intermediaries in Rural Development. Good Governance oleh karena itu dimaksud mendukung proses pembangunan yang empower sumber daya dan pengembangan institusi yang sehat menunjang sistem produksi yang efisien oleh semua unsur governance. Memang good governance dalam sejarah perkembangan program Bank Dunia lebih diarahkan untuk pembangunan ekonomi atau pemulihan ekonomi. Misalnya upaya menghilangkan negartive influencing factors hindering positive economic development. Tetapi sebenarnya juga dalam menyelenggarakan kehidupan sosial politik yang sehat.

II. Perkembangan Paradigma From Government to Governance

Perkembangan kearah good governance ini juga bisa dilihat dari perkembangan ilmu pengurusan/administrasi (penyelenggaraan) pemerintah,publicadministration. Bagaimana mengurus suatu pemerintahan yang baik. Kepegawaian negeri yang efisien dan efektif. Perumusan tujuan pemerintaha, kebijakan (policy), kepemimpinan dan penggerakkan motivasi aparatur, pengawasan fungsional dan lain sebagainya. Sekarangpun masalah administrasi negara masih ada misalnya masalah pencampuran jabatan politis dengan jabatan karier dalam organisasi pemerintahan. Restrukturisasi pengorganisasian dan relokasi kepegawaian karena otonomi daerah-daerah. Dalam kepemimpinan dan motivasi prinsip-prinsip administrasi/manajemen yang baik diabaikan. Kemudian berkembang Administtrasi atau Manajemen Pembangunan. Terutama ini bagi negara-negara berkembang yang mempunyai niat mengusahakan perkapita terselenggaranya pembangunan. Apakah ini dalam arti pendapatan perkapita yang meningkat, distribusi pendapatan yang lebih adil. Pada pokoknya peningkatan kesejahteraan hidup anggota masyarakat. Ada yang menyebut yang dituju adalah improving quality of life (M.Soerjani). Untuk mengusahakan kearah itu, pemerintah berperan sebagai pendorong proses pembangunan, sebagai agent of change. Dan ini dilakukan melalui instrumen kebijakan (policy). Perencanaan (planning) dan Anggaran (Budget). Rinciannya melalui berbagai program dan proyek. Kemudian manajemen implementasinya dan pengawasannya (pengendalian pelaksanaannya). Dan ini disebabkan karena masyarakat sendiri perlu ditingkatkan keberdayaannya. Untuk meningkatkan produksi pangan sekaligus kesejahteraan hidup para petani ada program dan proyek, dan pembentukan kontak tani. Untuk meningkatkan peran usaha menengah dan kecil ada program dan proyek dari pemerintah. Demikian untuk KB dan lain sebagainya. Dalam pengembangan industri pemerintah memelopori dengan infant industries, bahkan industrial parks. Ini juga dengan pengembangan institusi keuangan seperti perbankan dan institusi keuangan non bank (misalnya venture capital). Tetapi yang jelas dalam paradigma ini Pemerintah adalah the agent of change. Mungkin ini perlu karena belum ada efective capacity disektor swasta dan juga di masyarakat (LSM masih belum berdaya) Kemudian berkembang pemikiran Reinventing Government bahkan Banishing Bureaucracy yang intinya Pemerintah (birokrasi) tidak perlu jadi pelaku pasar. Lebih memusatkan pada mengarahkan melalui kebijakan, steering rather than rowing. Dan memanfaatkan mekanisme pasar untuk mendorong perubahan Leveraging shange through the market. Pemerintah lebih bersifat entrepreneurial. Birokrasi yang ramping yang memberdayakan masyarakat. Fasilittating,enabling. Hal-hal yang sudah bisa dilakukan lebih baik olehdunia usaha swasta dan organisasi masyarakat serahkan kepada mereka. Kemudian berkembang paradigma (good) governace. Adatiga institusi dalam domain governance yaitu the state (negara atau pemerintah). Private sector (sektor swasta dan dunia usaha). Dan citizen mungkin lebih tepat organisasi lokal / kemasyarakatan. Mereka berinteraksi dalamfungsinya yang paling tepat bagi masing-masing. Pemerintah lebih berperan fasilitaty dan enabler (yangmemungkinkan masyarakat sendiri berperan aktif sebagai pelaku ekonomi sosial).

III. Good Governance bermula dari usulan Badan-badan Pembiayaan Internasional.

Governance artinya : Memerintah – Menguasai – Mengurus. Sekali lagi Bondan Gunawan menawarkan kata Penyelenggaraan. World Bank merumuskan / describe governance as “the exercise of political powers to manage a nation’s affairs” (Pelaksanaan kekuasaan politik untuk memanage masalah-masalah suatu negara). Jadi memang lebih berat ke Pemerintah – Public Governance karena punya legitimasi – kekuatan untuk memerintahkan/menguasai. UNDP mendefinisikan sebagai manage a nations affair at all levels”. Tapi ini bisa negara menjadi coercive atau arbitrary (bertindak memaksa atau semena-mena). Dan oleh karena itu perlu dichek dengan demokrasi, mekanisme pasar, berjalannya hukum bahkan HAM. Jadi memang pada dasarnya pengembangan good governance paralel dengan berkembangnya kearah masyarakat madani. Dalam good governance terjadi interaksi/hubungan kerja pemerintah dengan citizen dan sektor swasta, dan ini bisa berjalan baik kalau berjalan demokrasi dan mekanisme pasar sebagai sistem yang melandasi partisipasi/koordinasi/kerjasama itu. Keselarasan kerja berdasar kesetaraan (mungkin tetap pemerintah mempunyai legitimasi lebih). Seperti telah diuraikan diatas good governance dalam literatur lebih dikaitkan dengan partneship governance pembangunan/pertumbuhan. Paradigma baru Government sebagai enabler rather provider. Governance yang mengusahakan untuk meningkatkan/memudahkan/memungkinkan (fasilitasi) agar citixzen dan private sector yang terutama produce dan periode products/service. Badan-badan Pembiayaan Internasional seperti The Wiorld Bank dan bdan-badan pembiayaan internasional lain (IMF) mengajukan penggunaan konsep ini untuk memperbaiki manajemen pembangunan di negara-negara penerima bantuan (try to use this consept to improve the management of development in recipient countries). Perhatian Bank Dunia pada state and administration dalam memberikan bantuan. Dan good govermant programs (program bantuan reformasi ekonomi). Jadi suatu ekonomi negara tertentu yang dalam kesulitan, perlu perbaikkan dalam kepemerintahan lalu diajukanlah konsep good governance ini. Paling sedikit beberapa governance issues atau peningkatan peranan dari organisasi masyarakat dan dunia usaha. Untuk Indonesia ini misalnya Letter of Intent untuk MEFP (Memorandum of Economic and Financial Policies) sekarang-sekarang ini.

IV. Perubahan Besar Peranan Negara dalam Manajemen Pembangunan

Dalam dua buku World Development Report Bank Dunia tahun 1997 dan 1998 yaitu :
1. From Plan to Market (World Development Report 1997)
2. The Role of the State in a chaging World (World Developmnet Report 1998)

Digambarkan adanya shift, pergeseran penting peranan negara yang dominan melalui perencanaan ekonomi, kearah pemanfaatan ekonomi dan mekanisme pasar sebagai dasar pengambilan kebijakan pemerintahan dan keputusan (transaksi) ekonomi oleh masyarakat sendiri. Yang semula sebagai Agent of Development – yaitu semula strategi dan kebijaksanaan mendorong pembangunan sosial ekonomi dilakukan oleh Pemerintah – berkembang kearah upaya utama pembangunan melalui peran masyarakat khususnya sektor swasta. Ini juga disebut perkembangan dari public Sector Led ?? ke arah Private Sector Led Development. Suatu perkembangan daripada manajemen pembangunan yang lebih mendasarkan pada upaya pertumbuhan pembangunan oleh sektor masyarakat swasta, melalui pemanfaatan mekanisme pasar melalui proses market driven growth. Perkembangan ini juga terjadi bersamaan dengan perkembangan dari kebijaksanaan subtitusi impor kearah ekspor ke pasar dunia. Dari manajemen ekonomi yang inward looking- ke manajemen ekonomi yang outward looking. Dalam hubungan dengan atau negeripun tidak hanya dilakukan oleh pemerintah melainkan oleh sektor swasta dan organisasi masyarakat. Kenyataan ini juga mendorong berkembangnya good governance. Sebagai suatu kasus empiris Bank Dunia Asia Miracle Economic Growth and Public Policy. Buku inimembahas the appropriate role of public policy in economic development. “The success of many of the economies in East Asia in achieving rapid and equitable growth. Often in the context of activist public policies, raises complex questions about the relation ship berween the government, the private sector, and the market”. Jadi dengan sendirinya dalam good governance bukan Pemerintah dengan birokrasi besar (ngedabyah) yang diperlukan. Perlu reinventing government menurut Osborne dan Gaebler “Steering rather than rowing”, leveraging change through the market”. Bahkan pemerintah dalam good governance harus entreprecurial daripada bureau cratic. Dan menurut Osbone dan Plastrik dalam Banishing Bureaucray perlu dilakukan downsizing/privatization dalam birokrasi. Disamping fasilitas dan empower organisasi masyarakat dan sektor swast. Peran utama public governance lebih paada policy facilitation and implementation. Yaitu sebagai “anabler”.

V. Globalisasi Ekonomi

Perkembangan paradigma good governance ini juga untuk sebagian akibat adanya globalisasi. Globalisasi memang bukan hanya ekonomi tetapi juga Ideologi dan lain-lain (HAM). Politik (Demokrasi Barat). Dalam wacana Samuel P. Huntington. “The clash of civilizations, and the remaking of world order”. Francis Fukuyama. “The end of hoistory and the last man” dan lain-lain, ada pengaruh global tentang pemikiran peradapan-peradapan, sikap hidup cara gagasan good governance ini. Keniichi Ohmae, dalam “The evolving global economy” membahas lebih intensnya interaksi ekonomi antar negara yang batas-batasnya semakin tipis. Pembahasan yangpenting ialah mengenai globalisasi dibidang ekonomi. Disini terjadi dalam ekonomi-pengembangan sistem produksi global (strategic alliances, outsourcing, multisourcing), sistem pembiayaan global (consortium type financing, portfolio capital. Banking credits). Sistem pasar global (global markets, emerging markets). Kesemuanya didasarkan dengan lebih berkembangnya ekonomi pasar (mekanisme pasar dalam transaksi ekonomi). Dan ini didukung oleh kemajuan, dalam transportasi, telekomunikasi, informasi, tourism terutama cyber communication (digital econamies). Terjadilah peningkatan keterkaitan ekonomi antar negara, misalnya memproduksi barang di negara tertentu, lisensi desain negara lain, dieksporpun kemanca negara. Dapat pembiayaan yang bersumber dari berbagai negara, berbagai lembaga pembiayaan internasional dan pasar uang. Pada dasarnya peranan Pemerintah berkurang, paling sedikit harus bekerjasama dengan pelaku-pelaku ekonomi lain. Pelaku (ekonomi) dalam globalisasi bisa berperan multinational corporates, importir dan eksportir lintas global, investor manca negara, international banks, international (lending) agencies, LSM global dan lain sebagainya. Pasar mempunyai aturan/kekuatan sendiri. Kalau kebijakan Pemerintah tidak “market friendly” akan terjadi reaksi/gejolak pasar (dalam inflasi, nilai tukar currency dan lain sebagainya), bahkan reaksi pasar global.

VI. Perkembangan dalam masyarakat bangsa-bangsa

Menurut OECD ditahun 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet diangap sebagai merupakan konfirmasi jatuhnya ideologi dan sistem Komunisme dan berkembang kearah suatu pengakuan benarnya Ideologi dan sistem Liberal (liberal democracy), ada bahkan yang beranggapan keberan kapitalisme (ekonomi kapitalis). Dalam uraian ini dipakai saja ideologi leberal democracy yang dewasa ini lebih kuat pengaruh pemikiran “The Third Way”. The rise of social democracy dari anthony Giddens. Pemikiran ini terdiri dari prinsip-prinsip hidup bernegara, bermasyarakat yang menghargai : - HAM Perlindungan HAM - Ekonomi pasar yang sehat. Dimulai dari pemanfaatan mekanisme pasar dalam pengelolaan dan transaksi ekonomi. Dalam social democracy dibenarkan intervensi untuk keadilan-pemerataan (“welfare). - Demokrasi (liberal). Representative government. Kebijaksanaan politik lebih ditentukan oleh rakyat melalui sistem perwakilan berdaar Pemilu yang jurdil. - Rule of Law. Penegakkan (Supremasi) hukum atas dasar keadilan hukum. - Concern for the Environment. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang lebih memperhatikan sustainabiulity dari lingkungan. - Good Governance. Governance berdasar sinergy/koordinasi yang baik antara sektor public. Citizen dan private sector yang accountable. Kesemuanya ini mengarah kearah pembentukan Masyarakat Madani “Further more, good governance is playing an increasingly central role in conjunction with the demand for democracy in the consideration of international law in the area of sustainable development”. (Christian Theobold). Jadi dalam pemikiran perkembangan sistem bermasyarakat modern (madani) ini, perkembangan good governace merupakan part and parcel dari pengembangan masyarakat madani. Beberapa pemikir seperti Samuel Huntington berpendapat bahwa masa depan bukan lagi masa ideologi-ideologi, masa depan adalah masa pengembangan peradaban-peradaban *The clash of civilizations and the remaking of world order.)

VII. Kasus Perkembangan di Vietnam dengan Doi Moi

Kasus perkembangan di Vietnam ini dapat dijadikan contoh kasus dari negara yang Negara/Pemerintahannya overdominant kearah pemberdayaan sektor masyarakat terutama dunia usaha. Perkembangan dari ekonomi rencana/komando ke ekonomi pasar. Pham Chi Lau. Sekretaris Jenderal JADIN Vietnam mengemukakan bahwa Vietnam dalam dasawarsa akhir-akhir ini telah melalui suatu reformasi yang komprehensif yang disebut sebagai Doi Moi. Suatu reformasi yang merupakan turning point dari sejarah modern Vietnam. Vietnam betul-betul mengikuti trend perkembangan dunia yang disebut terdahulu yaitu from Plan to Market, dan lebih berperannya intitusi-institusi di sektor masyarakat.swasta dalam ekonomi. Beberapa elemen dalam perkembangan tersebut adalah seperti disebutnya :
1. State Ekonomi berkembang kearah private economy dan lain-lain. Developing productive forces and enhancing the effectiveness of the economy. Boleh dikata dari public sector led kearah private sector led economy.
2. Shifting from mechanism of the state that directs all economic activities kearah market mechanism sebagai landasan macro economic management by the state and business autonomy of all enterprise and citizens. From Plan to Market.
3. Shifting form autarkic closed economic structure kearah open economy and relation with out side world (integrasi dalam pasar global). Berusaha memanfaatkan globalisasi untuk ekonomi mereka.
4. Economic reform yang mengusahakan economic stability, groeth. Saya rasa juga dengan memperhatikan equity (karena dulu negara Komunis).
5. Berkembang kearah private sectory led economy. Good coordination *facilitating) between the govermant and business community (unsur-unsur dari good governance).
6. Semua ini ditunjang oleh legal frame work,policy sistem, economic environment and business representative mechanism. Demikian juga terjadi di RRC dimana mereka adopt yang disebut socialist market economy. Pergeseran kearah ekonomi pasar ini di RRC malah berjalan cukup pesat.

VIII. Good Governance bukan Clean Government bukan juga bukan juga Pemerintah yang bersih dan berwibawa.

Clean Government merupakan bagian dari Good Governance. Karena partisipasi /koordinasi Pemerintah-Organisasi Masyarakat-Swasta itu juga jangan KKN. Koordinasi bukan kolusi, kroni. Good Governance, adalah dimana birokrasi berperan enabling, empowering bukan justru membebani dengan bureauratic cost. Sektor publik (pemerintah), melakukan koordinasi/sinergi dengan sektor masyarakat (private sector), sektor masyarakat terutama dunia usaha kearah output transaksional yang diharapkan the most effcient, yang paling ekonomis melalui mekanisme pasar yang sehat (the less social cost). Mengacu pada istilah Oliver Williamson dan Barney dan Oucki, dikemukakan bahwa “good governance” dapat dicapai melalui pengaturan yang tepat dari fungsi pasar dengan fungsi organisasi termasuk organisasi publik sehingga dicapai transaksi-transaksi dengan biaya transaksi paling rendah. Mekanisme pasar dan demokrasi menjadi saringan pengambilan keputusan masyarakat yang memberikan a level playing field, medan persaingan yang sama bagi semua, untuk melakukan kegiatan (usaha/hidup bermasyarakat. Bukan karena keputusan pilih kasih. Penunjukkan sepihak, monopoli untuk kepentingan untung sendiri. Tipe ideal Good Governance adalah dimana terjadi suatu pengurusan yang compatible/yang saling mendukung dengan : Ekonomi Pasar (Merkanisme pasar yang fair/sehat) : Rule of Law dan Concern for the Environment; Good Governance juga termasuk clean government (dalam literatur terutama Bank Dunia disebut agains corruption and patronage) kalau di Indonesia anti KKN-lah. Ini karena prinsip penting Good Governance adalah akuntabilitas dan Transparancy (Akuntabilitas dan Good Governance LANBPKP).
Masalahnya ekonomi pasar yang sehat itu perlu didukung competition law dan regulatory policies yang transparan dan adil (tidak ada monopoli, discriminatory measure dan lain-lain). Jangan sampai lebih favour the well connected over the efficient. Di Indonesia telah dikembangkan UU tentang Perseroan Terbatas. UU tentang Larangan Usaha Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU Perlindungan Konsumen dan lain-lain. Sekarang ada Masyarakat Transparancy. Indonesia Corruption Watch. Ombudsman dan lain sebagainya. Tetapi kesemuanya itu baru mulai. Proses perlu dilanjutkan.

IX. Dalam Good Governance Kebijakan (Intervensi) Publik Masih Perlu

Apakah dalam Good Governance peran Pemerintah tidak legitimate untuk mengintervensi ekonomi. Menurut penulis bisa. Sebagai fasilitasi dan enabler pemerintah tidaklah duduk di side walk. Bisa intervensi (publik intervention). Misalnya apabila ekonomi pasar menjadi tidak sehat (distorsi) dimana jalannya mekanisme pasar dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku ekonomi yang kuat dengan motif untung yang tanpa kendali (kapitalisme). Terjadilah dalam transaksi ekonomi free fiht competition, bahkan kompetiti tidak fair, karena kekuat ekonomi yang memaksa (monopoli/oligopoli). Disini penulis berpendapat masih ada hak pengendalian Pemerintah. Hal ini juga pengaruh kuat pemikiran "The Third Way dari anthony Giddens" tentang social democracy. (Disini seperti ada kontroversi antara Milton Friedman, Ronald Reagen. Margaret Thatcher ><>

1. Untuk menciptakan kondisi makro ekonomi yang stabil. Conductive environment untuk kegiatan ekonomi, terutama investasi dan perdagangan,birokrasi yang efisien dan enabling. Institusi penunjang dan hukum.
2. Untuk fostering/mendorong memperkuat market. Pasar modal. Pasar uang,pasar barang,pasar jasa dan lain-lain yang sehat. Kadang – kadang malah memperbaiki institusi-institusi pasar yang bobrok. Seperti di Indonesia dengan Banking dan Corporate restructuring.
3. Untuk memperbaiki,menyehatkan jalannya ekonomi pasar, koreksi market distortions, Price relationship, kebijasanaan penghapusan subsidi.
4. Untuk keadilan, Memberdayakan yang kurang mampu agar dapat mencapai a level playing field dengan yang lain (dengan cara yang market friendly). Kebijakan venture capital misalnya.
5. Kebijaksanaan capacity building, pembinaan SDM.Pendidikan. Kesehatan, IlmuPengetahuan juga Infrastruktur Termasuk penelitian dasar dan terapan.


X. Private sector governance jadi bagian penting good governance

Untuk terjadinya koordinasi/sinergi yang baik antara Pemerintah dan sektor private maka perlu private sector governance menjadi bagian penting good governance. Misalnya corporate governance, banking sector governance yang sehat. Dalam ke-dua-duanya perlu kualitas manajer yang baik, dan sebaiknya melalui “fit and proper test” pemilihannya, ensuring accountability of management (ini meliputi visi, keahlian, pengalaman trackre-cord,moral dan achlak). Accountability of management to the company’s share holders, and for minority shareholders to voice their concerns. More complete and transparant disclosure of information. Telah diusahakan dikembangkan suatu Frame Work Code of Good Corporate Governance yang meliputi ketentuan-ketentuan tentang share holders rigts and procedures at general meeting of sharecholders (Rapat Umum Pemegang Saham). Ketentuan-ketentuan Dewan Komisaris. Ketentuan-ketentuan tentang Direksi (Board of Directors). Ketentuan-ketentuan tentang Audit System, tentang Corporate Secretatry tentang Disclosure. Bahkan mengenai Stake Holders,pemegang kepentingan yang lebih luas dari share holders (antara lain karyawan). (Tim J. Luhukay). Mengenai banking governance ada standar-standarnya (Basle standard for banking supervision dan lain sebagainya). Rasio kecukupan modal. Debt-Equity Ratio. Capital Adequacy Ratio, BMPK, penelaan due dilligence dan lain-lain. Penyebab krisis moneter Indonesia antara lain tapi terutama bahwa batas kemampuan, dan menggunakannya untuk investasi-investasi mark up dan yang kurang sehat. Untuk corporate governance kualitas manajemen harus dapat memenuhi pengujian-pengujian,seperti penilaian akuntansi dan audit dengan standar-standar yang baku,penerapan yang tepat dari bankcruptey laws. Kalau bisa melalui penelaahan Manajemen Mutu ISO 9.000 dan penilaian audit dan akuntansi “Wajar Tanpa Syarat”, Bahkan Bondan Gunawan mengetengahkan pemikiran agar ada semacam ISO sebagai compliance standards dibidang corporate governance. Dalam lingkup organisasi masyarakat/profersional juga bisa dikembangkan kriteria-kriteria good governance yang baik.Misalnya kode etik profesionalisme para profesional tertentu, seperti dokter,akuntan, jurnalistik dan lain sebagainya. Juga kriteria-kriteria pengelolaan lingkungan physik, pelayanan umum dan lain-lain.

XI. Upaya Internal Good Governance

Public bureauracy /public governance sendiri perlu dilakukan perbaikanperbaikan, reorientasi internalnya. Ini juga disebut sebagai reinteving government. Disini disebut saja elemen-elemen penting dari upaya reinteveing tersebut menurut David Osborne dan Ted Gaebler. Yang merupakan arus gerakan pemikiran tersendiri. Steering rather than rowing Empowering rather than Serving. Injecting competition into service delivery. Funding outcomes not inputs Meeting the need of the costumer. Not the bureaucracy. Earning rather than spending Preventing rather than cure. From hierarchy to participation and team work. Leverage change through the market (mendongkrak perubahan melalui pasar) dan Pemerintah yang bersih KKN (David Osborne dan Ted Gaebler “Reinventing Government”) Dari elemen-elemen penting yang dikemukakan tersebut public bureaucracy / public governance juga harus berubah dari sikap yang bureaucratic menjadi enterprenureal juga harus berubah dari sikap yang buereauratic menjadi entreprenureal, ini yang disebut governornance (HG. Frederickson) Reinventing ini atau reform birokrasi ini pada umumnya dilakukan kearah “Downsizing / privatization” dari birokrasi. Membangun entreprenureal minded public sector (David Osborne, Peter Plastrik “Banisihing Bureauracy”). Jadi birokrasi sebaiknya small ( efficient) effective entrepreneural.

XII. Unsur-Unsur Utama Good Governance

1. Akuntabilitas (accountability) – tanggung gugat dari pengurusan / penyelenggaraan, dari governance yang dilakukan. Menurut LAN akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seorang pemimpin suatu unit organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau yang berwenang meminta pertanggungjawaban. Akuntabilitas ada akuntabilitas politik, keuangan dan hukum.
2. Transparansi (transparancy) Transparansi yaitu dapat diketahuinya oleh banyak pihak (yang berkepentingan mengenai perumusan kebijaksanaan (politik) dari pemerintah, organisasi, badan usaha. Tender pelelangan dan lain-lain dilakukan secara transaparan.
3. Keterbukaan (openes) Pemberian informasi secara terbuka, terbuka untuk open free suggestion, dan terbuka terhadap eritic yang merupakan partisipasi. Keterbukaan bisa meliputi bidang politik dan pemerintahan.
4. Aturan Hukum (Rule of Law) Keputusan, kebijakan pemerintah, organisasi, badan usaha berdasar hukum (peraturan yang sah). Jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Juga dalam social economic transaction. Conflict resolution berdasar hukum (termasuk arbitrase). Institusi hukum yang bebas, dan kinerjanya yang terhormat ( an independendt judiciary). Dasar-dasar dan institusi hukum yang baik sebagai infrastuktur good governance.
5. Ada yang yang menambahkan jaminan fairnes, a level playing field (perlakuan yang adil / perlakuan kesetaraan) Adamolekun dan Briyant menambahkan dalam unsur-unsur good governance, management competency dan human rights.

XIII. Bringging The State Closer to the People (Otonomi Seluas-luasnya)

Dalam World Development Report 1997 “The State in a Changing World”, diberikan satu pembahasan chapter khusus tentang “Bringing the State Closer to the People”. Ini dilakukan melalui terutama suatu pemerintah yang demokratis (termasuk perwakilan-perwakilan rakyat daerah / lokal) dan desentralisasi. Demokratis, aspiratif closer to the people. Desentralisasi mendekatkan dan menyesuaikan pelayanan dengan kebutuhan lokal (misalnya izin investasi, perdagangan luar negeri dan antar daerah, izin usaha). Dekonsentrasi mendekatkan dan menyesuaikan pelayanan dengan kebutuhan lokal (misalnya izin investasi, perdagangan luar negeri dan antar daerah, izin usaha). Dekonsentrasi ?? Desentrialisasi ?? Otonomi tidak saja dalam tingkatan pemerintahan tetapi juga pada organisasi masyarakat. Jadi tidak saja decentralized government tetapi juga decentrallized to the citizen organization. Program KB dilakukan oleh kelompok-kelompok KB masyarakat, programprogram sosial oleh organisasi /LSM sosial. Pengawasan etika Pers oleh masyarakat Informasi. Kelaikan usaha oleh Asosiasi Usaha. Meningkatkan akuntabilitas dan kepekaan sosial melalui partisipasi. Mendapat masukan dari Opini Publik tentang kebutuhan dan pelaksanaan pelayanan. Mekanisme pattipasi masyarakat didaerah (LSM, kelompok-kelompok kepentingan, organisasi buruh, asosiasi produsen, paguyuban daerah). Satu aspek penting dari otonomi adalah kemampuan pembiayaan / pendanaan. Daerah perlu diberi cukup taxing power kekuasaan pemajakan, pajak daerah dan diberi cukup tax share (perimbangan penerimaan keuangan). Dan bentuk-bentuk swadana bagi kegiatan usaha masyarakat. Tentu saja peningkatan capacity SDM ditingkat daerah / lokal/ lihat Gambhir Bhatta “Capacity Building at the local level for effective governance, empowerment without capacity is meaningless”.

XIV. Indikator keberhasilan good governance (secara makro dan secara sektoral).

Dalam praktek good governance perlu dikembangkan indikator keberhasilan pelaksanaan good governance. Keberhasilan secara umum dapat dilihat dari indikator ekonomi makro atau tujuan-tujuan pembangunan atau indikator guality of life yang dituju. Untuk negara-negara terkena krisis, indikator recovery. Tetapi bisa juga secara sektoral (produksi tertentu) , peningkatan eskpor, investasi, jaringan jalan, tingkat dan penyebaran pendidikan). Dan juga secara mikro seperti laporan hasil audit suatu badan usaha. Tidak saja perusahaan tetapi juga unit-unit birokrasi (misalnya dalam pelayanan). Misalnya Lembaga Administrasi Negara telah mengembangkan Modul tentang Pengukuran Kinerja Instansi Pemerintah dan Modul tentang Evaluasi Kinerja Instansi Pemerintah. Pengembangan indikator keberhasilan atau kegagalan dilakukan antara lain mengenai : Pelayanan publik UU NO.I/1995 Koordinasi sektor publik dan swasta (terutama dari keluhan sektor swasta / masyarakat. Pengelolaan usaha yang memperhatikan dampak terhadap lingkungan ISO 14.000. ISO 9.000 Kendali Mutu. Penilaian aspek manajemen tertentu. Sertifikasi dan Standarisasi, juga suatu pengukuran / indikator kualitas produk. MRA Standard and Conformance. Adanya kesepakatan aturan penilaian mutu produk antar negara. Audit Report, Neraca Untung Rufi dan lain sebagainya bagi sesuatu badan usaha.

XV. Persepektif Penerapan Good Governance di Indonesia

Pertama perlu dipikir benar-benar apa Pemerintah the State perlu melakukan operasi / jadi pelaku pasar / investasi usaha sendiri. Apakah tidak lebih confine / membatasi pada fungsi pemerintahan yang esensial, yaitu kebijaksanaan pemerintah. Kebijakan luar negeri, kebijakan (politik) dalam negeri, kebijakan keuangan dan moneter, kebijakan anggaran, kebijakan perdagangan, keamanan dan pertahanan, tetapi usaha perbankan, badan usaha perdagangan bisa diserahkan pada sektor swasta. Bahkan dalam operasi services seperti listrik, telekomunikasi jasa angkutan sudah tidak perlu pemerintah. Dan sebelumnya malah kecenderungannya monopoli oleh pemerintah. Dari fungsi-fungsi yang sebaiknya dilakukan pemerintah sendiri (the state) bisa dibagi dalam kewenangan-kewenangan pusat dan kewenangankewenangan daerah (otonomi). Dibeberapa negara bahkan ada polisi distrik lokal. Taxing power dalam bentuk pajak daerah, mengenai pendidikan dan pelayanan kesehatan demikian pula. Bahkan banyak penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan dapat dilakukan swasth, organisasi masyarakat. Program keluarga berencana, dan program –program sosial dan pemeliharaan kelestarian lingkugan dapat dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat sendiri, berdasar swadaya dan swadana masyarakat. Peran citizen yang besar dalam good governance ialah menjaga agar governance tetap accountable, tanggung gugat. Organisasi masyarakat akan dapat menetapkan sendiri kriteria kelayakan dan kelaikan profesi, kode etiknya. Seperti telah disebutkan terdahulu praktek dokter, akuntan, jurnalistik / media, guru/pendidikan dan lain sebagainya. Dalam Pemerintahan / Kabinet Persatuan Nasional Gus Dur –Mega baik dalam pembentukan maupun dalam pelaksanaannya ada pengaruh besar dari pemikiran Good Governance ini. Kita lihat dalam pembentukan Kabinet. Ada dua Departemen dihapus. Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Dalam Good Governance banyak. Kalau tidak semua fungsi departemen tersebut sudah bisa dilakukan oleh organisasi masyarakat dan perusahaan –perusahaan dunia usaha. Usaha-usaha penerbitan media termasuk elektroik (TV) bisa dilakukan oleh badan usaha. Pengembangan dan pengadaan kode etik pers oleh kalangan peer of the press, tidak perlu Pemerintahan. Hanya di Indonesia yang ada TV negara (ini juga mungkin di Rusia). Panti sosial sudah bisa oleh organisasi masyarakat sendiri termasuk penyuluhan sosial. Ya hanya mungkin penghargaan sosial masih berfungsi negara / pemerintah. Kemudian Departemen-departemen juga dijadikan Kantor Menteri Negara Saja,dari PU, Pariwisata, Koperasi, Transmigrasi. Fungsi-fungsi operasi dari Departemen-departemen tersebut sudah bisa diserahkan kepada organisasiorganisasi masyarakat dan swastha atau dibentuk. Badan yang mestinya kecil saja. Badan-badan pengiriman transmigran dan tenaga migran keluar (TKI) oleh badan-badan usaha konstruksi jalan, bahkan jalan tol, perumahan real estate, sudah swasta. Koperasi itu badan usaha ekonomi masyarakat. Pemerintah confine itself dalam policies / kebijakan-kebijakan. Tapi ya itu karena pengambil keputusan serta merta, dadakan pemecahannya malah menjadi masalah. Bagaimana dengan pembentukan Badan Komunikasi dan Informasi yang sama ngedabyahnya dengan sebelumnya. Badan Kesejahteraan Sosial Nasional, betul-betul tidak refunctioning sesuai good governance. Pelaksanaan good governance yang benar-benar jadi tantangan dari Kabinet Persatuan Nasional ini ialah dengan otonomi Daerah. Bagaimana refunctioning kewenangan-kewenangan Pusat Daerah. Kemudian reposisi dari para pegawai ke daerah-daerah, diplot sesuai dengan kemampuan pendanaan daerah baik dari taxing power dan dari tax share.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. World Development Report 1996. “From Plan to Market”.1996
2. Bintoro Tjokroamidjojo. “The Global Context”. 1990.
3. Francis Fukuyama. “The End of History and the Last Man”. 1992
4. Samuel P. Huntington. “The Clash of Civilizations and The Remaking of WorldOrder”.1996.
5. Kenichi Ohmae ed. “The Evolving Global Economy”. 1990-1995.
6. Karhi Nisjar S. Ak. MM. “Beberapa Catatan tentang Good Governance”. Dalamjurnal Administrasi dan Pembangunan.1997.
7. J.B Kristiadi. “Perspektif Administrasi Publik Menghadapi Tantangan Abad 21”.1997
8. O.L Williamson. “The Economic Instituatiuons of Capitalisan”. The Free Press,1985.
9. J.B. Barney, and W.G Ouchi, “Organizational Economic”. Jossey – Bass Publisher.1986.
10. World Development Report 1997. “The State in a Changing World” 1997.
11. David Osborne and Ted Gaebler. “Reinventing Government” : How theEntrepreneural Spirit is Transforming the Public Sector”.1992.
12. David Osborne and Peter Plastrik. “Banishing Bureaucracy : The Five Strategicfor Reinventing Government”. 1997.
13. Gambhir Bhatta. “Capacity Building at the Local Level for EffectiveGovernance, Empowerment Without Capacity is Meaningless”.1996.
14. Meuthia Ganie Rochman, Good Governance”. Kompas 23 Agustus, 1999.
15. Bob Widyahartono. “Good Governance Memang Masih Impian”
16. Mari Pangestu. “Good Public Governance dan Pemulihan Ekonomi”. Tempo. 15 Agustus 1999.
17. Harian Ekonomi Neraca. “Indeks Good Governance Indonesia Terendah di AsiaTimur”. 11 Oktober 1999.
18. Christian Theobold. “The World Bank : Good Governance and The NewInstitutional Economics”.in Law and State Volume 59/60-1999.
19. Bondan Gunawan/ “Governance”. Kompas 23 April 2000.
20. LAN – BPKP. “Pemikiran tentang Framework Code of Good CorporateGovernance”. Maret 2000.

07 November 2007

Jalan Baru Politik Kristen di Indonesia

SUARA PEMBARUAN DAILY
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/04/03/index.html

Oleh Martin Lukito Sinaga

SAAT ini, biasanya orang akan mengaitkan persoalan politik dengan partai-partai politik. Ketika persoalan politik Kristen hendak dikaji maka segera orang akan merujuk pada Partai Kristen Indonesia (Parkindo) atau Partai Damai Sejahtera/PDS yang kali ini ikut meramaikan Pemilu 2004. Namun segera pula ingatan terarah kepada 'nubuat' atau komentar TB Simatupang mengenai partai-partai Kristen bahwa mereka akan memposisikan dirinya selaku a permanent minority party.
Tampaknya dalam lintasan sejarah di negeri ini, kehadiran partai Kristen bukan sekadar membuktikan lagi bahwa jumlah kursinya tidak signifikan, tetapi pada gilirannya malah menggiring umat Kristen ke dalam mentalitas minority complex. Mentalitas itulah yang dipompa oleh partai tersebut. Hanya dengan cara itulah suara bisa didulang dan sentimen teologi akan dipakai secara manipulatif untuk membenarkan kepentingan partai kecil itu, dengan menampilkan dirinya selaku juru selamat kaum minoritas.
Kalau politik (dalam hal ini Kristen) dipahami dengan maknanya yang luas, ia adalah horison kehadiran Kristen, di mana peran dirinya dapat mendorong transformasi seluruh kehidupan. Politik dalam arti yang luas tidak hanya sekadar perebutan kekuasaan, tetapi juga penegasan arah etis kehidupan bersama karena hadirnya komunitas religius di mana power hendak ditawar dengan truth.
Jadi, --sekadar mengambil contoh mutakhir-- akibat 'kuasa' ditantang oleh 'kebenaran' religius mengenai jati diri manusia selaku ciptaan Tuhan (selaku citra Allah), maka kita dapat menyaksikan Hak-hak Asasi Manusia/ HAM masuk ke dalam kosa kata politik dan memiliki klaim politik. Kurang lebih seperti inilah makna luas politik Kristen. Sehingga suatu penyempitan ke dalam partai-partai politik akan mengerdilkan makna strategis dan kreatif dari kehadiran politik Kristen tersebut.
Penekanan saya pada horison politik yang lebih luas dari komunitas Kristen di atas berarti juga suatu ikonoklasme. Maksudnya: posisi strategis politis tadi harus diambil karena sejak semula politik Kristen di Indonesia berbentuk penggumpalan diri yang eksklusif sambil mendefinisikan diri dalam kecemasan minoritas. Mentalitas sedemikian harus direkonstruksi, atau dihancurkan (seperti dalam peristiwa ikonoklasme), bukan saja karena yang hendak ditinggalkan ialah watak eksklusif di atas, tetapi terlebih karena kita mau jujur dan belajar dari sejarah kehadiran politisi Kristen di Indonesia.

Konservatisme
Cukup menarik mencatat bahwa prototipe politik Kristen dapat dilacak jauh ke zaman kolonial, dan cukup mengagetkan bahwa ahli sejarah gereja semisal Zakaria Ngelow menegaskan bahwa genesis politik Kristen itu secara simbolik tampak pada diri seorang anggota Volksraad, yaitu TS Gunung Mulia. Dia "berakar dalam lingkungan zending/misi dan sukunya (Batak), dan konservatif dalam sikap politik terhadap Belanda" (Ngelow, Kekris- tenan dan Nasionalisme, 1996:277).
Malah Gerry van Klinken memahami Gunung Mulia selaku kolaborator kolonialisme, dan karena itulah Gunung Mulia melihat bahwa politik etis yang dijalankan Belanda kala itu adalah pencerminan iman Kristen (van Klinken, Minorities, Modernity and the Emerging Nation, 2003:73). Pada gilirannya Gunung Mulia mendukung kolonialisme, dan merelakan umat Kristen berkibar dalam naungan dan perwalian Badan Misi Gereja Belanda.
Memang harus jelas dipahami, agar tinjauan historis fair adanya, bahwa dalam sejarah Indonesia, para kolaborator (baca: berpolitik secara kooperatif) adalah bagian dari kaum elite terdidik pertama di negeri ini yang memilih dunia modern selaku jalur emansipasi menghadapi kolonialisme Belanda. Dan memang Gunung Mulia mewakili kondisi orang-orang Kristen saat itu, mereka -sekali lagi mengutip van Klinken- masuk ke dunia modern, lalu masuk Kristen dan terhisab dalam arus embourgeoisement alias naik status kelas sosial (menjadi kelas menengah).
Sekadar catatan, dalam situasi inilah genesis politik Kristen lainnya yang muncul dari diri Amir Syarifuddin akan terasa marginal. Hampir tidak mungkin watak radikal Amir Syarifuddin itu mengambil bentuk dalam tubuh komunitas Kristen Indonesia.

Mencoba Berpartisipasi
Kalau catatan historis sedikit meloncat ke era Orde Baru, maka fusi partai-partai politik ke dalam tiga besar itu mendorong suatu manuver politik Kristen baru: ia memilih jalur mendukung kekuasaan yang ada, dan tema politiknya ialah partisipasi.
Pada masa ini ada kesan bahwa politik semakin meluas maknanya, dan umat Kristen seolah terbebas dari penyempitan politik ala partai-partai. Tetapi saat ikhtiar perluasan politik hendak diajukan, justru ruang dan atmosfir politik yang menyempit.
Semua dipaksa berbaris rapi mendukung otoritarianisme Orde Baru, dan malah tidak ada politik partisipatif saat itu, yang ada hanya satu politik kekuasaan milik Bapak Pembangunan.
Patut dicatat, kala itu jalur keterlibatan sosial yang mendukung proyek pembangunan Orde Baru dapat dikatakan dipelopori oleh umat Kristen. Munculnya embrio gerakan LSM semisal Dharma Cipta mengisyaratkan bahwa partisipasi politik bukan lagi sekadar ikut menumpang di dalam otoritarianisme Orde Baru, tetapi malah ia ikut mendorong program konkret Orde Baru, yaitu kerja-kerja praktis (yang belakangan memang dinilai sebagai pembangunanisme). Malah Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) secara maraton melatih tenaga-tenaga motivator pembangunan yang setetah dididik di Cikembar (Sukabumi) diterjunkan ke desa-desa melatih partisipasi warga membangun dirinya sendiri.
Salah satu akibat dorongan mengabdi dan berpartisipasi pada ideologi dan proyek Orde Baru tadi, umat Kristen hampir tak siap mengantisipasi kebangkrutan Orde Baru itu. Tak pernah diperhitungkan bahwa Orde Baru akan runtuh justru karena proyek pembangunan itu sendiri keropos dililit utang dan korupsi. Malah TB Simatupang terus menerus meyakinkan umat Kristen bahwa Orde Baru dengan dukungan militernya akan menempuh mission imposible, yaitu memelopori demokrasi dan koreksi dari dalam.
Dalam teologi gereja, seorang seperti Victor Tanja, yang terlibat dalam Golkar namun pengajar pada STT Jakarta, terus-menerus melarang kaum muda Kristen mempelajari teologi pembebasan. Terlena dengan perspektif ini, umat Kristen umumnya mengarahkan diri menjadi para profesional pekerja pembangunan, dan kaget ketika gelombang perubahan mencabik-cabik status quo.

Jalan Baru
Setelah meninjau segi-segi politik Kristen tadi, ternyata ada dua pelajaran penting yang didapat. Pertama, penyempitan ekspresi politik ke dalam partai politik selain hanya menghasilkan suara minoritas juga terbukti mendorong kelembaman (inertia) umat Kristen sendiri. Ia memiliki akar konservatif dan eksklusif di masa kolonial, dan ekspresi partai dari situasi sedemikian akan hanya menyuburkan isolasinya.
Kedua, tabiat minoritas yang cenderung menumpang ke dalam struktur kekuasaan yang ada malah pada gilirannya akan menanamkan bukan hanya mentalitas status quo, tetapi juga ketiadaan daya terobos di era transisi menuju demokrasi saat ini. Kalau sering dikatakan bahwa transisi Indonesia ini mengalami musim kemarau yang panjang, maka tepat juga kalau dikatakan ekspresi politik umat Kristen di dalam proses itu pun berada dalam suasana kering-kerontang.
Dari tinjauan tadi, bagaimanampun juga, bisa ditarik kesimpulan positif. Kalau memang politik Kristen itu sebaiknya tanpa partai minoritas, maka paling tidak ia bisa bergerak leluasa di ruang lain, yaitu ruang civil society. Sehingga memang politik Kristen kini dapat secara konsisten meluas, dan ia masuk dalam arus baru politik kewargaan itu: suatu politics of influence di mana kekristenan tidak lagi dilihat sebagai sumber kuasa di kotak suara, tetapi sebagai inspirasi perubahan masyarakat dengan pengorganisasian rakyat sebagai fokusnya.
Tentu dari situ, dari ruang-ruang kebebasan yang tercipta, pengaruhnya akan sampai kepada perubahan kebijakan dan kultur politik negara. Dan kalau memang tabiat menumpang di kekuasaan malah akan mencelakakan diri sendiri, kini tiba saatnya umat Kristen mencari rallying point dalam pergerakan sosial baru (New Social Movement). Di situlah berkumpul seluruh elemen-elemen demokratis yang akan mempercepat transisi ini menemukan format barunya. Kedua pilihan di atas akan meretas jalan baru politik Kristen di Indonesia.
Penulis adalah pengurus pusat Persekutuan Gereje-gereja di Indonesia (PGI).
Last modified: 3/4/04

Gambaran Aktivitas Wanita "Masa Kini" dalam PolitikOLITIK

http://www.angelfire.com/md/alihsas/aktivitas.html


Oleh : Alfii Majidah

Sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia telah mencatat nama-nama wanita yang turut andil dalam aktivitas politik. Perjuangan fisik melawan penjajah telah mengabadikan nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Martha Tiahahu, Yolanda Maramis dsb. Dalam pergerakan nasional muncul nama Rasuna Said dan Trimurti. Sedangkan RA Kartini dan Dewi Sartika, telah terpahat nama-nama mereka sebagai orang yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan pria.

Era Orde Baru telah melempangkan jalan bagi para wanita untuk aktif berkiprah dalam segala aspek kehidupan termasuk politik. Berbagai bentuk perjuangan politik telah digeluti para wanita, seperti parlemen, kabinet, partai politik, LSM, dan sebagainya.

Namun kesimpulan yang diambil delegasi 27 negara yang hadir dalam sebuah konferensi perempuan tahun 1994 lalu menyatakan bahwa akses perempuan Asia untuk terjun kebidang politik, masih rendah. Hal ini disebabkan perempuan Asia pada umunya masih terbelenggu masalah klasik yakni adanya diskriminasi, kurangnya dana dan dukungan. Konferensi yang dihadiri para perempuan politisi dan akademisi serta organisasi swadaya itu bertujuan mencari solusi bagaimana caranya meningkatkan peranan perempuan dalam bidang politik, bidang yang secara tradisional dikuasaii kaum laki-laki.

Seorang politisi sekaligus ilmuwan wanita dari Bangladesh, Rounaq Johan mengatakan bahwa dari seluruh perempuan yang ada di muka bumi ini, hanya 10% saja yang menduduki jabatan sebagai anggota parlemen. Sementara yang beroleh jabatan anggota kabinet (menteri) hanya 4%. Di Asia, tercatat hanya 5 perempuan yang (pernah) berhasil merebut posisi kepala negara, yakni Indira Gandhi di India, Sirimaaro Bandaranaike di Srilangka, Benazir Bhuto di Pakistan, Khaleda Zia di Banglades dan Corazon Aquino di Filipins. [dan Megawati Sukarno Putri di Indonesia ...]

Drs. Arbi Sanit dalam seminar "Peranan Wanita dalam Pesta Demokrasi 1997" yang diselenggarakan oleh Fatayat NU dan Harian Republika menyatakan meski secara kuantitatif jumlah wanita Indonesia lebih banyak dibandingkan pria, perkembangan posisi dan peran politik wanita Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif, wanita Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik Indonesia. Selanjutnya Dosen FISIP UI ini mengungkapkan data perkembangan jumlah wanita dalam parlemen. Di DPR porsi wanita meningkat dari 6,25% pada tahun 1955 menjadi berturut-turut 7,17% pada tahun 1971, 8,48% pada tahun 1977 dan 9,35% pada tahun 1982.

Terlepas dari suara-suara yang menyimpulkan bahwa jumlah wanita yang berkecimpung dalam politik masih terlalu sedikit, perlu kita cermati apa sebenarnya peran yang mereka mainkan.

Parlemen

Litbang Republika telah mengadakan penelitian tentang aspirasi wanita anggota perlemen Indonesia pusat dan 5 DPRD (yaitu DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara) terhadap pemberdayaan politik wanita. Hasilnya, mereka terdorong akan kenyataan bahwa keterwakilan wanita dalam badan Legislatif masih jauh dari memadai. Yaitu tak lebih dari 12% saja, padahal populasi wanita berjumlah lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia.

Kedudukan mereka dalam badan legislatif tersebut dianggap mempunyai akses politik terhadap pembuat kebijakan dan diharapkan pemberdayaan wanita Indonesia dapat dilakukan. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota parlemen kurang bisa mengaktualisasikan diri sesuai dengan misi yang harus mereka emban. Bahkan 36,3% dari mereka tidak tahu Konvensi PBB tentang wanita dan 41,3% tidak tahu bahwa pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasinya.

Kabinet

Dalam susunan kabinet periode 1992-1997 telah terdapat 2 menteri wanita yaitu Ny. Mien Sugandhi sebagai Meneg Urusan Peranan Wanita (UPW) dan Ny. Inten Suweno sebagai Menteri Sosial. Sistem politik yang tidak mempresentasikan populasi wanita dengan baik merupakan sesuatu yang dikeluhkan menteri UPW belakangan ini. Contoh konkrit yang dikeluhkannya adalah ketiadaan gubernur wanita, padahal wanita merupakan pemilih mayoritas dalam pemilu. Data tahun 1993 mengenai posisi (politik) strategis di indonesia menunjukkan bahwa jumlah masih minoritas. Misalnya Dari 22 duta besar, Wanita hanya 1,6 % dan dari 15.332 pejabat eselon I dan II departemen, wanitanya hanya 5,5 %.

Penelitian Republika menunjukkan bahwa kurang terwakilinya wanita dalam posisi politik disebabkan faktor kultural maupun struktural. Fakta kultural misalnya ada mitos bahwa politik adalah dunia pria, serta kurangnya kepercayaan diri wanita berkompetisi dengan pria dalam dunia politik.

Sedangkan faktor struktural adalah adanya sejumlah aturan main yang mendiskriminasikan wanita. Sebanyak 15 orang responden (14,4%) menyatakan bahwa aktifitas wanita dalam politik terkendala oleh kurangnya dukungan pemerintah. Dengan demikian apakah Kantor Meneg UPW kurang efektif menjalankan fungsinya ?

Sejumlah analisa muncul menyangkut masalah ini. Efektifita kantor Meneg UPW sebagai sebuah kementrian non departemen tidak memiliki birokrasi yang bekerja efektif di tingkat lokal. Lalu anggaran untuk kementrian inipun tidak teralokasikan secara khusus sebagaimana alokasi anggaran untuk sebuah departemen. Akan tetapi ‘terserak’ secara sektoral.

Untuk itu ada 44 orang wanita anggota parlemen (42,3%) menurut penelitian Republika yang menginginkan UPW jadi departemen. Alasan mereka adalah untuk meluaskan kesempatan bagi wanita yang berpotensi di tiap propinsi atau daerah untuk berkiprah secara langsung dalam agenda wanita. Juga agar persoalan kurangnya anggaran untuk proyek pemberdayaan wanita bisa teratasi. Dan segala program peningkatan peranan wanita bisa leluasa dirancang.

Namun aspirasi mereka ini ditentang oleh 60 orang responden (57,7%). Alasan mereka dengan mendepartemenkan UPW berarti adalah (1) karena banyak urusan sudah ditangani oleh departemen lain secara terpisah; (2) non departemen sudah cukup karena tuntutannya memang hanya memberikan arah kebijakan saja; (3) bukan prioritas untuk mengatasi diskriminasi terhadap wanita.

Kebanyakan wanita anggota parlemen memang menyadari bahwa mendepartemenkan UPW tidak otomatis menyelesaikan sejumlah agenda pemberdayaan politik wanita. Seorang nggota FPDI DPRD DKI jakarta bahkan mengusulkan agar Kementrian Negara UPW dihapus saja. Menurutnya kementrian itu tidak berguna, karena tidak pernah menyelesaikan permasalahan. Usulan radikal tersebut muncul ketika melihat kemungkinan efektifitas dan skala perhatian atas persoalan keterpurukan politik perempuan.

Di balik itu semua penelitian menemukan seorang anggota FKP yang justru mengira Kantor Meneg UPW selama ini telah menjadi departemen.

Partai Politik

Partai politik merupakan salah satu wadah dimana wanita bisa berkiprah dalam bidang politik atau dengan kata lain untuk meningkatkan pemberdayaan politik perempuan.

Partai politik di Indonesia juga merupakan jenjang untuk seseorang menjadi anggota parlemen. Dari 500 orang anggota DPR 50 orang adalah wanita; FPP terdapat 4 orang wanita dari 60 orang anggota, FKP ada 12 orang wanita sedangkan FPDI terdapat 6 orang dari 56 anggota.

Aisyah Amini, ketua komisi I DPR-RI dan merupakan Anggota DPR dari FPP menyatakan bahwa kegiatan politik adalah untuk mendukung dan memperjuangkan idealisme, bukan untuk mencari penghidupan. Politik adalah suatu bidang pengabdian untuk memperjuangkan cita-cita. Persaingan dalam dunia politik amat keras, tetapi mempunyai kenikmatan tersendiri karena bisa menyentuh banyak orang. Beliau juga mengatakan bahwa dalam PPP berpolitik itu adalah ibadah. PPP pun tidak membatasi seorang wanita untuk menjadi anggota, pengurus, sekretaris atau ketua. Namun budaya masyarakat yang masih menganggap pria lebih pantas berada dalam posisi top harus diperhatikan.

Adapun pandangan beliau tentang keseganan orang memasuki partai politik adalah karena orang yang masuk partai akan mengalami banyak kesulitan.

Megawati Soekarnoputri yang pernah menjabat Ketua Umum DPP PDI mempunyai obsesi berjuang untuk membuat wong cilik dapat tersenyum. Senyum bahagia. Dengan demikian perbaikan kepentingan rakyat banyak harus diperjuangkan. Menurutnya kepentingan rakyat banyak dalam totalitasnya mencakup kesejahteraan, memelihara dan menjaga hak asasinya dan kehidupan dalam demokrasi, memerangi kemiskinan dan mengatasi pengangguran merupakan upaya nyata (?) untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Memperjuangkan perbaikan nasib dari para petani, buruh dan nelayan dan kaum berekonomi lemah lainnya merupakan bukti nyata dari kepekaan atas kepentingan rakyat banyak.

LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) LSM Lahir dari kekecewaan beberapa aktivis ’66 yang sangat berharap Orde Baru melakukan perubahan dan perbaikan di segala bidang, terutama ekonomi. Harapan tersebut ternyata tidak menjadi kenyataan. LSM segera menyatakan diri independen dari negara, bekerja memperkuat posisi masyarakat sipil. Namun muncul perkembangan berikutnya sehubungan dengan sentralisme negara dalam melaksanakan politik pembangunan yang tidak menyertakan kepentingan rakyat.

Jalur-jalur LSM juga banyak mendorong lahirnya organisasi-organisasi wanita, konon setelah melihat kaum wanita juga menjadi korban yang diperparah oleh adanya politik gender Orde Baru.

Organisasi wanita LSM mempunyai sikap dan peran politik menolak kooperasi Orde Baru. Juga membela dan membawa suara wanita yang terepresi Orba.

LSM wanita pertama muncul tahun 1982 di yogyakarta dengan nama yayasan Annisa Swasti (Yasanti). Programnya membina buruh dan petani perempuan. Dua tahun kemudian muncul Yayasan Kalyanamitra di Jakarta. Sejak awal yayasan ini melakukan kegiatan dengan buruh wanita, lalu memposisikan organisasinya di kalangan menengah dan secara khusus memberi supporting informasi persoalan ke jaringan LSM. Setelah itu Organisasi-organisasi dengan identitas wanita LSM bermunculan, diantaranya Solidaritas Perempuan (Jakarta), Yayasan Perempuan Mardika (Jakarta), PPSW (Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita Jakarta), APIK (Asosiasi Perempuan untuk Keadilan ; Jakarta), LSPPA (Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak ; Yogyakarta), SBPY (Sekretariat Bersama Perempuan Yogya), Rifka Annisa (Yogyakarta), Divisi Advokasi Solidaritas Perempuan (Jakarta).

APIK didirikan oleh 7 orang wanita pengacara di Jakarta pada tanggal 4 Agustus 1995. APIK bertujuan untuk ikut mewujudkan masyarakat yang adil dipandang dari pola relasi kekuasaan dalam masyarakat, khususnya relasi perempuan-lelaki dalam segala aspek kehidupan. Prioritas yang diambil adalah mewujudkan sistem hukum yang adil dipandang dari pola relasi kekuasaan dalam masyarakat, khususnya relasi perempuan-lelaki, yang ditandai oleh ciri-ciri ; tidak terjadi marjinalisasi, subordinasi, stereotyping, kekerasan secara fisik, mental dan seksual serta tidak terjadi beban berlebihan dalam satu fihak.

Tujuan tersebut akan dicapai dengan berpedoman pada nilai-nilai keadilan, kerakyatan, persamaan, kemandirian, emansipasi, persaudaraan, non sektarian, anti kekerasan dan nilai-nilai kelestarian lingkungan.

Sedangkan divisi advokasi solidaritas perempuan yang dikoordinasi oleh Yuniyanti Chuzaifah bertujuan menangani perempuan pekerja migran (TKW). Solidaritas Perempuan ini mencoba memperbaiki kondisi lewat berbagai bentuk misalnya dialog dengan pemerintah, mengajak masyarakat ikut peduli dengan TKW juga, melakukan demonstrasi. Demonstrasi ditempuh karena dianggap lebih cepat mendapat respon dari pihak-pihak yang terkait.

Kenyataannya kebanyakan LSM cenderung mengambil langkah operasional praktis dalam berperan. Sehingga terkesan aktivitas mereka tidak mempengaruhi perubahan kebijakan yang ada. Menurut para aktivis LSM, langkah praktis yang bersifat nyata bisa dilakukan dengan memotori rakyat untuk memprotes kebijakan atau melakukan unjuk rasa. Dengan cara ini diharapkan para penentu kebijakan dapat mempertimbangkan suara-suara rakyat. Namun langkah ini sering kali dituding memunculkan kerusuhan, minimal konflik. Bahkan tak jarang bila emosi rakyat tak terkendali, konflik ini dapat mengakibatkan pengrusakan fasilitas-fasilitas milik kalangan tertentu ataupun umum.

Hal ini dapat terjadi mengingat langkah praktis ini bersifat temporal. Perjuangannyapun bersifat parsial tanpa memiliki kejelasan visi yang bisa difahami rakyat. Rakyat mudah terpancing emosi dan perasaan ketertindasan yang meluap tanpa memiliki landasan kesadaran politik yang benar.

Ormas (Organisasi Masyarakat)

Aisyiyah dan fatayat merupakan dua diantara ormas-ormas wanita yang ada di Indonesia.

Aisyiyah adalah organisasi otonom Persyarikatan Muhammadiyah yang bergerak dikalangan wanita. Didirikan di Yogyakarta tanggal 22 April 1917 M. Tujuan organisasi adalah terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridloi Allah SWT dengan jalan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Untuk mencapai tujuan itu organisasi mempunyai usaha-usaha antara lain : meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita menurut ajaran agama Islam, membimbing kaum wanita ke arah kesadaran beragama dan berorganisasi, juga membimbing ke arah perbaikan kehidupan dan penghidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.

Ermalena M, Hs, ketua 1 Fatayat NU mengemukakan bahwa kegiatan yang dilakukan fatayat merupakan kebijakan nasional yang pertama-tama diputuskan melalui konggres. Dalam Rapat Kerja Konggres, yang dihadiri 24 wilayah disepakati 12 item yang terbagi dalam 4 kelompok, yakni ekonomi, pendidikan, kesehatan dan organisasi sebagai misi yang harus diperjuangkan Fatayat.

Bila kita memperhatikan aktivitas kedua ormas ini, dari segi tujuan mereka memiliki skala nasional. Namun dari segi operasional, gaungnya belum terdengar.

Pendapat

Menanggapi peran wanita dalam politik, Roekmini Soedjono, Pengamat Politik dan Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa peran wanita Indonesia dalam bidang ekonomi dan lainnya lebih maju dibanding negara lain. Tapi wanita Indonesia masih terjebak pada budaya politik yang tidak memungkinkannya berperan penuh di dalam kehidupan politik. Gerak wanita yang berkecimpung dalam kehidupan politik sudah dibatasi dan dipolakan. Ironinya para wanita tidak menyadari hal demikian. Dalam mengisi kemerdekaan, wanita terlihat belum bisa memberi warna. Merekapun, kecuali para aktivis muda, cenderung menghindari "wilayah rawan". Hadir semacam kegamangan diantara wanita yang sidah mempunyai posisi tertentu untuk mendobrak status quo bidang politik.

Wilayah-wilayah politik yang memang penuh resiko, tampaknya amat diperhitungkan. Kita mengharapkan wanita yang duduk di DPR lebih nyaring bersuara, tetapi kebanyakannya sangat jarang terdengar. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Faisal Siagian (Republika 15/9/95) bahwa jumlah anggota MPR/DPR wanita itu sangat sedikit yang vokal dan cukup menonjol seperti Megawati Soekarnoputri dan Fatimah Achmad dari PDI, Aisyah Amini dari PPP atau Mien Sugandhi dari Golkar.

Sementara wanita yang tidak masuk dalam organisasi atau lebih bebas seperti LSM dalam konstelasi politik Indonesia masih belum terdengar gaungnya.

Wanita selama ini justru mementingkan masalah peranannya. Sehingga menjadi kurang mampu melihat wawasan lebih luas, padahal banyak hal yang sebenarnya harus segera ditangani. Masalah mendasar seperti feodalisme, korupsi, kolusi, monopoli, kemunafikan, budaya politik dan lain-lain malah tidak dijangkau.

Budaya politik sekarang diwarnai oleh feodalisme dan wanita terjebak di dalamnya. Semua orang, termasuk banyak wanita tanpa disadari terjebak pada kepentingan-kepentingan sesaat karena harus menyesuaikan dengan budaya politik yang berlaku.

Selanjutnya Roekmini mengutip pernyataan Wahono bahwa kita sudah terjebak pada kemunafikan. Untuk memapankan diri, semua orang yang tidak ingin terganggu atau takut dengan resiko terpaksa menyesuaikan dengan kemunafikan. Ini bukan lagi persoalan sopan santun, tetapi kemunafikan yang bertentangan dengan hati nurani.

Yang Harus Didahulukan

Roekmini Soejono melihat bahwa kecenderungan wanita-wanita yang terjun dalam bidang politik belum sepenuhnya memberikan akses untuk meningkatkan pemberdayaan politik wanita. Hal ini disebabkan karena para wanita terjebak dengan budaya politik yang berlaku disamping hanya mementingkan masalah peranannya.

Mencermati pendapat Roekmini, mungkin kita perlu bertanya apakah untuk meningkatkan pemberdayaan politik wanita kita perlu menduduki posisi tertentu, sehingga kita harus merasa terjebak dengan budaya politik yang ada?

Pemberdayaan politik kalau kita fikirkan ternyata tidak harus ditempuh dengan menduduki posisi tertentu (dalam kekuasaan). Beliaupun sebagai pengamat politik bisa bersuara lantang mengkritik peran politik wanita sekarang. Dengan demikian sebenarnya pemberdayaan politik bisa dilakukan oleh siapapun dengan kedudukan apapun.

Setiap orang yang ingin dirinya maju (apalagi menginginkan bangsanya maju) harus memiliki kesadaran politik. Dengan demikian ia akan menyadari apa yang harus diperbuat dan apa yang harus diberlakukan untuk dirinya dan bangsanya.

Seperti pendapat Roekmini juga kita tidak harus berfikir untuk satu bidang saja seperti adanya bidang wanita untuk wanita. Namun sudah seharusnya kita mampu berfikir dalam segala bidang. Karena suatu sistem itu tidak hanya terdiri dari satu bidang, tetapi banyak bidang yang saling terkait satu sama lain. Sehingga mengkhususkan diri hanya dalam satu bidang, sama saja dengan menanam kegagalan.

Untuk itu dimanapun kita berkiprah, di situ pula kita harus menyadari bahwa dalam memandang setiap masalah harus dipandang secara integral, secara sistem. Kita pun tidak perlu terjebak pada budaya politik yang ada kalau kita tidak terpaku pada perjuangan untuk menduduki posisi tertentu (penentu kebijakan) dalam menyuarakan aspirasi perempuan. Dengan catatan, para wanita punya visi tertentu yang melatarbelakangi terlibatnya mereka dalam aktifitas politik.

DAFTAR PUSTAKA

Mely G. Tan. Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan? 1991 Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Pokok-pokok Pikiran Megawati Soekarnoputri. ‘Bendera Sudah Saya Kibarkan’. 1996. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
B.N. Marbun, SH. Kamus Politik. 1996. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Prisma No. 5. 1996
leaflet APIK.
Talk Show. Trijaya FM.
Republika. 15 September 1995, 20 Desember 1996, 30 September 11996, 27 Juni 1996, 24 Mei 1996.
Media Indonesia, 30 Maret 1996.

Partai Politik Kristen, Perlukah?

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0702/23/opi01.html


Oleh
Andreas A Yewangoe

Pertanyaan ini kembali mengemuka ketika kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik dibuka seluas-luasnya pada masa-masa permulaan era reformasi. Ketika pada tahun 1945, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dibentuk, hampir semua orang tidak menolak kehadirannya.
Pembentukannya itu dianggap perlu, bukan saja untuk menanggapi secara positif Maklumat Wakil Presiden tentang pembentukan partai-partai politik, tetapi juga untuk membuktikan bahwa orang-orang Kristen pun mempunyai andil penting di dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan Negara RI.
Segera setelah pembentukannya, kita menyaksikan kiprah Parkindo yang cukup signifikan. Dalam hampir semua kabinet, entah itu dibentuk oleh Masyumi atau oleh PNI, selalu ada wakil Parkindo di dalamnya. Demikian juga ketika negeri kita berada di bawah sistem “Demokrasi Terpimpin” kehadiran Parkindo tetap nyata, kendati generasi belakangan mengkritiknya sebagai kurang kritis terhadap sistem pemerintahan yang sedang berlaku.
Ketika negeri kita berada di bawah rezim Orde Baru terjadilah penyederhanaan partai-partai politik. Sebagai “Partai Pemerintah” Golkar menduduki tempat utama, sedang partai-partai lainnya difusikan. Parkindo yang semula merupakan satu dari sepuluh partai yang diakui lalu memfusikan diri dengan partai-partai berasaskan kebangsaan. Itulah yang dikenal sebagai Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Alhasil, di dalam era itu kita hanya mengenal Golkar dan dua partai politik. Sering dua partai politik ini hanya dipandang tidak lebih sebagai aksesori demokrasi.
Ketika dalam era reformasi diberi kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara membentuk partai-partai politik, orang-orang Kristen pun tidak ketinggalan menyambutnya. Mereka merasa berhak dan berkewajiban membentuk partai dengan nilai-nilai kekristenan.
Maka lahirlah belasan partai Kristen, walau dalam Pemilu-pemilu hanya PDKB (1999) dan PDS (2004) yang berhasil mengikutinya. Keduanya berhasil mendudukkan wakil-wakilnya di DPR-RI, namun tidak mencapai electorate threshold.
Menjelang 2009, kembali partai-partai Kristen ini berusaha untuk mengikuti Pemilu. Sementara itu diusahakan juga untuk mem”fusi”kan partai-partai Kristen yang ada. Namun pertanyaan mendasar adalah apakah perlu sebuah partai Kristen?

Ketika Gereja Ditutup Paksa
Dari berbagai diskusi, antara lain yang difasilitasi bersama oleh PGI, PGLII, dan PGPI muncul setidak-tidaknya dua pendapat yang saling bertentangan. Satu pihak berpendapat tidak perlu dan menganjurkan orang-orang Kristen menggabungkan diri saja dengan partai-partai politik yang ada. Pada pihak lain, kuat juga pendapat yang membela perlunya sebuah partai politik Kristen.
Ini didasarkan pada pengalaman bahwa kepentingan Kristen sama sekali tidak diperhatikan oleh partai-partai politik yang ada, yang kepadanya suara orang-orang Kristen “dititipkan”. Dikemukakan contoh, ketika sekian banyak gedung gereja ditutup secara paksa di beberapa tempat di Tanah Air, partai-partai itu diam seribu bahasa. Maka sebuah partai politik Kristen bukan saja perlu, tetapi mendesak.
Bagaimanapun tidaklah bisa menjawab sekadar “ya” atau “tidak” pertanyaan perlukah partai politik Kristen. Dengan bercermin pada negara-negara “Barat” yang telah maju, bisa dikatakan bahwa adanya partai-partai politik adalah sebuah gejala modern.
Di Belanda misalnya, baru dimulai sejak 1848, ketika sistem parlementer dengan pertanggunganjawaban kementerian diwujudkan. Adanya partai politik bertolak dari pra-anggapan bahwa manusia yang dewasa (artinya dalam pemikiran dan perilaku), melalui pemikiran dan perbuatannya, patut mengambil bahagian dalam perkara-perkara publik. Berbeda dengan kebiasaan di era monarki absolut, di mana rakyat hanya merupakan objek kekuasaan sang Raja (Ratu), kini mereka pun subjek kekuasaan.
Yang dimaksud dengan perkara-perkara publik adalah yang menyangkut kehidupan bersama, pemikiran bersama, penilaian bersama, keputusan bersama dan perbuatan bersama. Di dalam pemikiran dasar ini terkandung dua unsur penting, yakni setiap warganegara berhak mengambil prakarsa, tidak usah selalu menunggu “mobilisasi” penguasa, dan bisa menolak dengan tegas hal-hal yang bersifat absolut.
Dari sudut pandang gereja, adanya sebuah partai politik dapat dilihat sebagai upaya menyampaikan suara-suara kenabian dan melakukan tugas-tugas pengudusan. Partai politik dipahami sebagai bahagian dari usaha mencari kebenaran dan kebaikan, menyerukannya dan mengarahkan kehidupan agar sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan itu.

Keuntungan dan Kerugian
Tetapi rumusan ini belum menjawab pertanyaan. Mungkin baik pula dicatat apakah keuntungan dan kerugian sebuah partai politik Kristen. Keuntungannya adalah, dengan sebuah partai politik Kristen, sebuah forum tersedia, di mana berbagai persoalan masyarakat dan negara direnungkan, direfleksikan, dan didiskusikan secara mendalam dengan bertolak dari Penyataan Allah.
Rasanya hal ini sangat mendasar. Tidak ada hal-hal yang berlaku dalam masyarakat dan negara yang terhindar dari Pemeliharaan Allah. Partai Kristen pun dapat menjadi forum perjuangan bagi “kepentingan Kristen”, tentu saja bersama-sama dengan elemen-elemen masyarakat lainnya. Kita tidak perlu mengingkari hal ini.
Kerugiannya adalah adanya kecenderungan untuk secara mudah mengidentikkan Allah dan Kristus (dan kehendak-Nya) dengan wajah dan pencapaian-pencapaian politik. “Sukses” kita di bidang politik dapat dianggap sebagai sukses Allah, padahal hal itu terjadi hanya karena adanya kompromi-kompromi politik (dengan pihak-pihak lainnya). Kerugian kedua, Kabar Baik (Injil) dan keselamatan secara gampang direduksi hanya bagi kepentingan orang-orang Kristen belaka. Maka universalitas Injil, yang memberitakan Kabar Baik bagi semua umat manusia, di mana gereja adalah pengembannya, secara mudah dipahami hanya dalam penampilan sebuah partai politik Kristen.
Yang paling tragis adalah, apabila partai politik Kristen itu didesak ke sudut yang tidak signifikan karena dianggap eksklusif dan tidak bermanfaat bagi kehidupan bersama.
Saya sendiri secara serius tidak mendukung pembentukan sebuah partai politik Kristen. Dengan menggabungkan diri pada partai-partai politik yang bersifat umum, akan mendorong orang-orang Kristen untuk terus-menerus berada dalam perenungan dan diskusi mendalam dengan orang-orang lain (non-Kristen) tentang persoalan hidup bersama di dalam masyarakat dan negara.
Sekaligus kita juga ditantang untuk menginterpretasikan Injil di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bersama orang-orang lain itu, di mana kita semua saling diperkaya. Dengan demikian, orang-orang Kristen sepenuhnya berdiri dengan kedua kakinya di dalam dunia (politik) yang konkret.
Pada pihak lain, apabila orang tetap berkeras untuk mendirikan sebuah partai politik Kristen, maka spesifikasi partai itu mesti dirumuskan dengan baik. Mesti sangat jelas apa yang membedakan partai politik Kristen itu dibandingkan dengan partai-partai lainnya dalam seluruh kiprah politiknya. Kalau tidak, keberadaan partai politik Kristen akan menjadi mubazir.

Penulis adalah Ketua Umum PGI.

Copyright © Sinar Harapan 2003

Perempuan dan Politik

http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtID=448&term=kekerasan
28 Mei 2007 - 04:38 (Diposting oleh: em)
PEREMPUAN::

Transisi demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini, membangkitkan tuntutan yang lebih luas atas peningkatan kehidupan politik bagi setiap warganegara. Dalam kaitan ini terjadi tarik menarik dan proses negosiasi yang ketat antara ideologi politik dominan dengan aspirasi yang berkembang. Misalnya, saja dalam menetapkan wakil-wakil rakyat di setiap partai politik, perempuan masih di tetapkan pada nomor paling bawah. Hal ini menandakan masih adanya hegemoni kaum laki-laki untuk tetap menguasai di parlemen.
Dengan dukungan iklim keterbukaan sekarang ini, kompleksitas hubungan jender dengan demokrasi juga memperoleh perhatian yang cukup banyak dari berbagai kalangan dalam topik–topik seminar dan lokakarya ataupun berbagai pernyataan di media massa. Ditambah lagi terbentuknya kelompok-kelompok atau organisasi dan kaukus perempuan dalam politik.
Salah satu pertanyaan kunci yang muncul adalah, apakah proses demokratisasi yang berlangsung saat ini dapat menciptakan suatu iklim yang kondusif bagi kaum perempuan yang selama bertahun-tahun dipinggirkan dalam arena politik. Dalam kaitan ini cukup krusial juga untuk dipertanyakan apakah sistem pemerintahan yang hendak berkembang saat ini memberikan kesempatan dan manfaat yang maksimal bagi perempuan guna meningkatkan peran politiknya, terutama dalam pengambilan keputusan, menikmati hak-haknya seperti yang tertuang dan dijamin dalam konstitusi dan UU atau peraturan lainnya, serta memperoleh kesempatan yang setara dengan kaum laki-laki dalam segala bidang kehidupan.
Oleh karena itu, membangun demokrasi yang partisipatif adalah tantangan utama pada masa transisi ini. Konsep ini mensyaratkan pengakuan dan pemahaman yang mendalam terhadap individu dan kelompok yang selama ini powerless di bawah sistem politik (patriarkhi) yang berlaku. Selain itu juga penting meningkatkan kesadaran politik, sehingga mampu menggunakan kesadaran politik itu untuk mengekspresikan sikap politiknya dalam rangka melakukan perubahan kebijakan politik yang berdampak pada kehidupannya. Peningkatan kesadaran hidup ini ditujukan pada para pengambil keputusan dan penguasa lainnya, agar mereka dapat menghormati suara masyarakat serta mendekatkan pemerintahan kepada rakyat. Membangun jaringan kerja dan informasi adalah hal penting lainnya untuk memperkuat posisi politik rakyat. Semua ini hanya dilakukann jika didukung lingkungan sosial politik damai tanpa tekanan.
Msa transisi ini telah memberikan kotribusi yang cukup signifikan dalam penguatan demokrasi. Salah satu yang menonjol dibentuknya Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan (KNKP). Namun sejauh ini kontribusi kaum perempuan terhadap pembentukan institusi demokrasi penting lainnya tidak banyak jika tidak ingin mengatakan tidak ada. Salah satu sebabnya adalah karena kurangnya kemampuan perempuan mengartikulasikan masalah-masalah tersebut ke permukaan. Dengan kata rendahnya partisipasi dan representasi politik perempuan berkontribusi sangat signifikan terhadap kurangnya perhatian masyarakat terhadap pemberdayaan perempuan.
Saat ini masalah perempuan dalam politik dalam pengambilan keputusan telah mejadi isu global karena beberapa alasan.
Pertama, pemerintahan oleh (mayoritas) laki-laki dengan perspektif laki-laki (dengan sendirinya lebih menguntungkan laki-laki), tidak dapat melegitimasi “prinsip pemerintahan untuk rakyat oleh rakyat” sebagai esensi demokrasi.
Hal ini disebabkan di antaranya, hak-hak politik perempuan merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia, bahwa dalam demokrasi pandangan dari kelompok yang berbeda-beda termasuk berbeda jenis kelamin harus dipertimbangkan dalam setiap kebijakan, dan perempuan adalah separoh penduduk dunia dan separoh dari jumlah penduduk masing-masing negara.
Kedua, tidak ada sekelompok orangpun yang dapat mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan perempuan dengan kualitas tertinggi selain kaum perempuan sendiri khususnya umtuk mengartikulasikan kebutuhan perempuan yang spesifik misalnya dalam maslah kekerasan terhadap perempuan, kesehatan reproduksi dll.
Ketiga, kebutuhan-kebutuhan perempuan yang spesifik diatas, lebih berhasil diagendakan oleh perempuan sendiri dari pada kaum laki-laki.
Keempat, perempuan dianggap membawa perubahan dalam gaya dan nilai-nilai baru dalam politik dan juga dalam pembangunan. Peminggiran perempuan dalam politik dan pembangunan telah bertentangan dengan kemampuan mereka dalam mengelola ketahanan keluarga dan pemeliharaan kehidupan.
Dengan kata lain bahwa peminggiran perempuan dalam arena publik berarti telah menyia-nyiakan bakat, kemapuan dan kearifan mereka dalam membuat keputusan. Pengalamannya sebagai penjaga dan pemelihara kehidupan, memberi kearifan kepada perempuan untuk melihat pembangunan sebagai satu cara untuk mengatasi kemiskinan. Dalam hal ini kemiskinan tidak hanya diartikan sebagai kemiskinan harta benda akan tetapi meliputi juga kemiskinan personal atau social, seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan pengambilan keputusan yang membuat mereka tidak dapat keluar dari situasi kemiskinannya itu.
***
Perbincangan tentang perempuan dan politik pada umumnya terfokus pada masalah peningkatan akses dan partisipasinya dalam politik khususnya dalam parlemen serta transformasi atau perubahan relasi jender dalam institusi-institusi politik yang ada, serta dalam keluarga dan masyarakat. pengalaman menunjukkan bahwa meskipun jumlah perempuan meningkat di lembaga-lembaga pengambil keputusan khususnya di parlemen, tidak dengan sendirinya menghasilkan perubahan dalam upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender.
Masalahnya adalah karena sebagian perempuan yang terjun dalam dunia politik juga mengalami kendala kultural maupun struktural baik yang berkenaan dengan substansi kebijakan yang ada maupun mekanisme pembuatan kebijakan itu sendiri. Kendala kultural terkait dengan masih kentalnya budaya partiarkhi dalam masyarakat yang menetapkan pola dan peran sosial yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan.
Sosisalisasi nilai-nilai kultural yang berasal dari ideologi jender ini membuat perempuan kurang percaya diri untuk terjun dalam dunia politik. Kendala ini diperkuat oleh persepsi yang salah dari kaum perempuan sendiri tentang pengertian politik sebagai suatu yang buruk, kotor, kekerasan dan intimidasi (yang pada umumnya dibentuk cara berpolitik laki-laki). Kehidupan perempuan yang banyak ditampilkan dalam media massa juga turut memperkecil keberanian perempuan untuk terjun ke arena ini.
Kendala-kendala tersebut tercermin pula dalam model kehidupan politik yang dikembangkan seperti dalam sistem pemilu yang kurang memperhitungkan dampaknya bagi perempuan, kurangnya dukungan partai dalam mencalonkan perempuan, terbatasnya dana untuk pengembangan keterampilan kandidat perempuan dan tidak tersedianya sistem pendidikan dan pelatihan, serta terbatasnya jaringan kerja mereka dengan kelompok di luar partai politik. Kebanyakan kaum perempuan menghadapi kendala sosial ekonomi yang meliputi kurangnya pendidikan, kemiskinan, beban akibat UU Perkawinan yang menempatkan mereka pada posisi dilematis; antara keluarga dan karier. Akibatnya, terjadilah maskulinisasi politik di mana laki-laki mendominasi arena dan proses-proses politik yang menyebabkan kaum perempuan semakain sukar memasuki arena tersebut.
Sebagaimana penjelasan Nursyahbani Kantjasukana, mantan Sekjen KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), yang perlu dilakukan untuk meningkatkan partisipasi dan representasi perempuan dalam politik adalah :
Pertama, tetapkan target. Baik pemerintah maupun partai politik harus menetapkan paling sedikit sebesar 30 persen bagi perempuan untuk duduk di lembaga pengambil keputusan. Amandemen UUD 1945 kedua telah memberikan pedoman untuk membuat kebijakan ini sebagaimana tercermin dalam pasal 28 h dan pasal 4 konvensi penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan yang telah diratifikasi dengan UU nomor 7 tahun 1984.
Kedua, memastikan bahwa pilihan sistem pemilu yang harus diterapkan dapat menguntungkan perempuan. Sistem proporsional oleh banyak pihak dianggap dapat menguntungkan perempuan karena hanya dalam sistem ini kebijakan afimatif dapat diterapkan.
***
Iklim politik yang cukup kondusif saat ini merupakan peluang yang baik untuk melakukan perubahan mendasar di segala bidang. Namun demikian, perubahan yang harus dilakukan cukup besar dan meliputi semua institusi demokratis yang diperlukan bagi pembentukan masyarakat warga (civil society). Pemerintah harus efektif dan responsif terhadap kebutuhan kaum perempuan. Lembaga-lembaga legislatif di semua tingkatan juga harus diberdayakan agar dapat melakukan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif. Lembaga-lembaga peradilan harus dirubah agar lebih melayani kepentingan publik ketimbang melayani kepentingan pemerintah dan pengusaha, atau kepentingan politik tertentu. Badan-badan usaha negara juga harus meningkatkan akuntabilitas mereka terhadap rakyat sebagai pemilik sah dari usaha-usaha tersebut. Sistem pemilihan dari level presiden sampai tingkat desa juga harus diubah agar mereka lebih akuntabel terhadap pemilihnya dan sekaligus mempercepat proses peningkatan kesadaran politik rakyat. (Isre/Majemuk).
MaJEMUK Edisi 8 (Majalah ICRP) ------

31 Oktober 2007

Teologi Bencana?

Dari materi Konsultasi Teologi Bencana oleh OASE INTIM, Makassar, Juni 2005:

Zakaria J. Ngelow: Bianglala di atas Tsunami. Sebuah Pemetan sebagai Latar Belakang Pemikiran Tradisi Teologi Protestan
Andreas A. Yewangoe: Teologi Bencana
E. Gerrith Singgih: Allah dan Penderitaan di dalam Refleksi Teologis Rakyat Indonesia
Barend D. Drewes: "Tsunami" dan "Ciptaan yang baik" - Refleksi dari Kejadian 1 sampai ke Wahyu 21

Dokumentasi & materi lengkap Konsultasi Teologi Bencana lihat di OASE INTIM - Dokumentasi - Konsultasi Teologi Bencana.

visit: www.oaseonline.org\teologibencana.html

Selengkapnya dalam buku OASE INTIM tentang Teologi Bencana.

Apakah ...?

Anda membutuhkan kesegaran baru sebagai sumber kreativitas intelektual dan spiritual di tengah-tengah kesibukan dan pelayanan Anda sehari-hari?
Anda merindukan kesempatan membagi pengalaman dan refleksi teologis tentang pergumulan konteks pelayanan Anda?
Anda masih haus belajar terus-menerus, mengembangkan diri dan memberdayakan orang lain?
Anda ikut bertanya: Bagaimana arah dan praksis teologi kontekstual yang relevan bagi konteks-konteks sosial dan multikultural di Indonesia Timur?
Anda konsern terhadap masa depan pendidikan teologi dan pendidikan agama yang relevan dalam konteks ekumenis gereja-gereja Kristen-Protestan di Indonesia Timur?