21 Mei 2015

Perspektif Global atas Pentakosta: Roh Allah yang Maha Hadir
Global perspectives on Pentecost: God’s ever-present Spirit
Oleh Dennis Smith  terjemahan bebas oleh Zakaria J. Ngelow


Pentecost, I had always thought, was God’s way of saying that in Christ, we’re all the same. Culture and language may divide us, but God’s Spirit makes it possible for all to be one. Pentecost, I had thought, was a divine remedy for the confusion and division created at the tower of Babel when God punished human arrogance by creating different languages.

Saya berpikir bahwa Pentakosta adalah cara Allah mengatakan bahwa di dalam Kristus kita semua sama. Kebudayaan dan bahasa bisa memisahkan kita, namun Roh Allah memberi kemungkinan kepada semua kita menjadi satu. Saya pernah menyangka bahwa Pentakosta adalah suatu pemulihan Ilahi bagi kekacauan dan perpecahan yang terjadi di menara Babel, ketika Allah menghukum kesombongan manusia, dengan menciptakan bahasa-bahasa yang berbeda-beda.

More than 35 years of mission service in Latin America have led me to suspect that I got it all wrong. Babel, far from presenting linguistic diversity as divine punishment, may teach us that God gave the gift of many languages as a way to protect those suffering under a despot, helping them to escape oppression and preserve their particular identities. In the same sense, at Pentecost, God does not erase diversity, but rather builds bridges of understanding and solidarity between radically distinct communities.

Lebih 35 tahun pelayanan misi di Amerika Latin mengarahkan saya pada kecurigaan bahwa pandangan itu keliru. Babel sama sekali tidak mengedepankan kepelbagaian bahasa sebagai hukuman Ilahi, melainkan mengajarkan bahwa Allah memberi karunia banyak bahasa sebagai suatu cara untuk melindungi mereka yang menderita di bawah suatu penguasa lalim, menolong mereka menghindari penindasan dan mempertahankan jati diri mereka yang khas. Dalam pemahaman yang sama, Allah pada peristiwa Pentakosta, bukannya menghapuskan kepelbagaian, melainkan membangun jembatan-jembatan pemahaman dan solidaritas antara komunitas-komunitas yang sama sekali berbeda.

Over the centuries, Latin America’s churches have been learning how God is present in the differences that define our human identity. Gradually we have learned that all of Creation and all cultures bear God’s unmistakable fingerprints. We can go nowhere where God is not already present; even the first missionaries came to lands already inhabited by God’s Spirit. We also have learned, as did the early church, that God does not call us to impose our culture on others but to accompany others as they discover how and where God has always been present in their lives, calling all to wholeness. It is within others’ culture and through their language that they come to know Jesus.

Selama berabad-abad gereja-gereja di Amerika Latin belajar bagaimana Allah hadir dalam perbedaan-perbedaan yang menentukan jati diri kemanusiaan kita. Secara bertahap kita belajar bahwa seluruh ciptaan dan semua kebudayaan benar mengandung sidik jari Allah. Kita tidak dapat pergi ke manapun dan menemukan bahwa Allah belum hadir di sana; bahkan para pekabar Injil pergi ke negeri-negeri yang telah didiami Roh Allah. Kita juga telah belajar, sebagaimana gereja mula-mula, bahwa Allah tidak memanggil kita untuk memaksakan kebudayaan kita terhadap orang lain, melainkan untuk mendampingi mereka dalam menemukan bagaimana dan di mana Allah telah selalu hadir dalam kehidupan mereka, memanggil semua ke dalam keutuhan. Melalui kebudayaan lain dan melalui bahasa mereka itulah sehingga mereka dapat mengenal Yesus.

The Evangelical Waldensian Church of Río de la Plata (IEVRP) is a PC(USA) mission partner with congregations in Uruguay and Argentina. The Waldensians are one of the earliest Reformed denominations, going back to the time of St. Francis of Assisi. From their earliest roots in Lyon, France, they moved into northern Italy and then, in the 19th century, to the U.S., Uruguay and Argentina.

Gereja Waldensian Injili di Río de la Plata (IEVRP) adalah suatu mitra misi PC(USA) dengan jemaat-jemaat di Uruguay dan Argentina. Kaum Waldensia adalah salah satu denominasi  Reform awal dari masa St Francis Assisi. Dari akar awalnya di Lyon, Perancis, mereka pindah ke Italia bagian utara dan pada abad ke-19 ke AS, Uruguay dan Argentina.

A few years ago I accompanied Kevin Fredericks (pastor of Waldensian Presbyterian Church in Valdese, North Carolina), Francis Rivers (executive secretary of the American Waldensian Society) and Jonathan Evans (pastor of First Presbyterian Church in Naples, Florida) on a 16-hour bus journey to visit one of the mission endeavors of the IEVRP in El Chaco, a vast, sparsely populated region that straddles Argentina, Bolivia and Paraguay. Our host was Hugo Malán, a Waldensian Bible scholar from Uruguay.

Beberapa tahun lalu bersama-sama dengan Kevin Fredericks (pastor of Waldensian Presbyterian Church in Valdese, North Carolina), Francis Rivers (executive secretary of the American Waldensian Society) and Jonathan Evans (pastor of First Presbyterian Church in Naples, Florida) dalam perjalanan 16 jam dengan bis kami mengunjungi salah suatu pelayanan misi IEVRP di El Chaco, sebuah wilayah luas berpenduduk jarang antara Argentina, Bolivia dan Paraguay. Tuan rumah kami adalah Hugo Malán, seorang sarjana Alkitab Waldensia dari Uruguay.

The Chaco is home to the Qom people. For decades the Waldensians have been working with ISEDET (an ecumenical seminary and PC(USA) mission partner) in Buenos Aires to help staff a Bible Institute for the Qom. Malán has long been a professor at the institute.

Chaco adalah kediaman orang Qom. Selama puluhan tahun orang Waldensia bekerja sama dengan ISEDET – sebuah seminari ekumenikal dan mitra misi PC(USA) di Buenos Aires untuk membantu staf Institut Alkitab bagi orang Qom. Malán sudah lama menjadi dosen di lembaga itu.

Like so many other tribal peoples throughout the world, the Qom struggle to preserve traditional cultural values while adapting to challenges ranging from jobs and education for their youth to preserving their rights to ancestral lands.

Sebagaimana banyak masyarakat suku di seluruh dunia, orang Qom berjuang untuk memelihara nilai-nilai budaya tradisional sambil menyesuaikan dengan tantangan yang merentang dari lapangan kerja dan pendidikan bagi kaum muda mereka sampai hak-hak mereka atas tanah leluhur mereka.

In El Chaco we met Auden Charole, a young Qom pastor. He was team-teaching a class with Malán. Charole shared with us a new book, published by the provincial government that documents Qom knowledge of local wildlife, including legends told by the elders explaining each creature’s place in the community of all created things. Auden drew many of the illustrations for this pioneering volume.

Di El Chaco kami bertemu Auden Charole, seorang pendeta muda Qom. Dia tim pengajar suatu kelas bersama Malán. Charole memberi kepada kami sebuah buku baru yang diterbitkan oleh pemerintah provinsi yang mendokumentasikan pengetahuan kehidupan satwa liar setempat, termasuk legenda yang diceriterakan para leluhur menjelaskan tempat setiap mahluk dalam komunitas dari semua ciptaan.  Auden melukis banyak ilustrasi dalam terbitan awal ini.

Charole explained that his parents are Christians; he came to know the Gospel as a child. When he was 16, however, he left the church and went to work as a day laborer for immigrants that had usurped Qom lands. “It didn’t occur to me to value my own culture; I had no hope of defending my rights as a person,” he observed. “But then in 2001 our community experienced a rebirth of our rights as a people, of our self-esteem, of our traditions. It was the Bible school that provided the space where we made all these discoveries. This is where our leaders gathered. I was able to finish my schooling here. Now I have a family and when I look at my young son I am encouraged to continue the struggle for our rights, for our land.”

Charole menjelaskan bahwa orangtuanya adalah orang Kristen; dia mengenal Injil sejak masih kecil. Tetapi ketika berusia 16 tahun dia meninggalkan gereja dan pergi bekerja sebagai seorang pekerja harian bagi para pendatang yang menduduki tanah orang Qom. “Tidak terjadi padaku menghargai kebudayaanku sendiri; aku tidak punya harapan mempertahankan hak-hakku sebagai seorang manusia,” kenangnya. “Tetapi kemudian pada tahun 2001 komunitas kami mengalami suatu kelahiran kembali hak-hak kami sebagai suatu kaum, harga diri kami, dan tradisi kami. Adalah sekolah Alkitab yang menyediakan ruang di mana kami membuat semua penemuan-penemuan ini. Di sinilah para pemimpin kami berkumpul. Aku dapat menyelesaikan sekolahku di sini. Kini aku punya keluarga dan ketika melihat anak laki-lakiku aku didorong untuk melanjutkan perjuangan untuk hak-hak kami, untuk tanah kami.”

As we observed the class, we witnessed faithful men and women from an oral culture working hard to interpret Bible texts and link those teachings to their own time and place. We noted that Auden and Hugo had the good sense not to provide easy answers, nor to interrupt the silences as the Qom leaders struggled with the Scriptures.
God’s Spirit was there, another Pentecost.

Selama kami meninjau kelas, kami menyaksikan laki-laki dan perempuan beriman berbudaya lisan bekerja keras menafsirkan teks-teks Alkitab dan menghubungkan ajaran-ajaran itu dengan keadaan hidup mereka sekarang. Kami perhatikan bahwa Auden dan Hugo punya pertimbangan yang baik dengan tidak menyediakan jawaban-jawaban gampang, dan tidak juga mengganggu ketenangan ketika para pemimpin orang Qom bergumul dengan Kitab Suci.

Roh Allah ada di sana, suatu Pentakosta yang lain.

DENNIS SMITH is a PC(USA) regional liaison for the Southern Cone and Brazil.Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, 

Jelang Pembukaan 14th General Assembly CCA, 21 May 2015

22 Maret 2015

Menuju keadilan air: suatu ziarah keadilan dan perdamaian




“Towards water justice: a pilgrimage of justice and peace” 
Terjemahan Zakaria J. Ngelow

"Menuju keadilan air: suatu ziarah keadilan dan perdamaian" adalah tema kampanye Prapaska DGD yang diluncurkan untuk Hari Air Sedunia PBB yang dirayakan pafa 22 Maret 2015 denfan motto: "Air dan pembangunan berkelanjutan". Kampanye dilaksanakan the Ecumenical Water Network (Jaringan Air Ekumenis) DGD, mengundang semua persekutuan Kristen untuk berdoa, berdialog dan bertindak selama tujuh minggu demi keadilan air. Sejumlah meditasi mingguan yang dapat menolong dan menuntun perenungan dapat ditemukan dalam website DGD (klik http://water.oikoumene.org/en/whatwedo/seven-weeks-for-water/2015/). Berdasarkan Alkitab, renungan-renungan ini menawarkan berbagai respon terhadap berbgai masalah seperti ekonomi air, produksi dan pembuangan sampah, produksi pertanian berwawasan lingkungan dan penyesuaian dengan perubahan iklim.
"Suatu sikap biblikal dan teologis terhadap air dibutuhkan kan sebab air merupakan dasar kediaman kita, bumi. Dan kediaman ini bukn hanya suatu habitat manusia, melainkan kediaman yang kita bagi dengan semua makhluk lain," kata Pdt. KuzipaNalwamba dari Gereja Kesatuan Zambia, salah seorang yang menyumbang bahan-bahan kampanye Seven Weeks for Water (Tujuh Minggu untuk Air). "Untuk kebaikan kita dan kebaikan semua makhluk di bumi, kita terpanggil untuk memelihara sumber-sumbernya, khususnya air yang adalah kehidupan dalam semua hal yang hidup."