14 November 2011

Yerusalem Bukan Tanah Suci

Oleh: Dr. Fredrik Y. A. Doeka*

Minggu ini rombongan Haji NTT sedang menunaikan rukun Islam ke-5 di Mekah. Minggu ini pula satu rombongan pendeta GMIT sedang mempersiapkan diri untuk berkunjung ke Yerusalem. Pelepasan rombongan penziarah rohani ini menjadi pekerjaan publik perdana Majelis Sinode GMIT periode 2011-2015. Dari pekerjaan ini, kita dapat membayangkan mengenai apa yang Majelis Sinode baru harapkan terhadap perjalanan para kafilah Kristen itu yang dipimpin oleh mantan Ketua Sinode GMIT 2007-2011. Majelis Sinode baru yang diketuai oleh Pdt. Robert Litelnoni, S.Th. pasti mengharapkan rombongan akan kembali dari Yerusalem dengan selamat dan menjadi penziarah yang mabrūr (b. Arab), artinya penziarah yang diterima dalam anugerah dan berkat Allah.

Yerusalem menyimpan situs arkeologis dan religius bagi tiga agama besar, yaitu Yudaisme, Islam dan Kristen. Tembok Ratapan adalah salah satu situs religius penting Yudaisme. Penganut agama Yahudi orthodoks percaya, bahwa tembok ini tidak ikut hancur sebab di situlah berdiam "Shekhinah" (kehadiran ilahi). Jadi, berdoa di situ sama artinya dengan berdoa kepada Tuhan. Bagi kaum Muslimin, tembok ini juga merupakan bagian dari dasar Masjid al-Aqsa dan Masjid al-Omar, serta diyakini sebagai gerbang tempat terangkatnya Muhammad dari Yerusalem ke surga (mi'raj) dengan mengendarai buraq (http://id.wikipedia.org/wiki/Tembok_Barat). Sedangkan bagi orang-orang Kristen, mereka dapat menyaksikan secara langsung tempat kelahiran, pelayanan, kesengsaraan dan kematian Yesus, sang Juru Selamat.

Terminologi Yerusalem

Yerusalem berasal dari kata yerūsyāsalaim (b. Ibrani), yang menunjuk kepada sebuah kota, yang dalam Alkitab digambarkan sebagai negeri beradab dengan sejumlah nilai-nilai kemanusiaan. Dampak dari negeri beradab itu adalah kebenaran, keadilan, kesetaraan, perdamaian, dan cinta kasih menjadi suasana sehari-hari Yerusalem. Dengan demikian orang yang hidup di sana merasa bahagia.
Selain idealisasi Yerusalem secara terminologis, term religius juga memberi sumbangan bagi meningkatnya jumlah penziarah ke negeri yang saat ini dipimpin oleh PM Benjamin Netanyahu. Yerusalem, seperti apa kata Alkitab, mendorong tiap-tiap orang untuk rindu ke sana. Sekitar abad ke-6 s.M., atau abad-abad sebelumnya, Yerusalem sudah menjadi magnet spiritual bagi orang-orang yang hidup di Timur Tengah. Penulis kitab Mazmur adalah salah satu yang begitu tertarik atas peradaban kota itu sehingga dalam refleksi imannya ia gambarkan, Hai Yerusalem, yang telah didirikan sebagai kota yang bersambung rapat, ke mana suku-suku berziarah, yakni suku-suku TUHAN, untuk bersyukur kepada nama TUHAN sesuai dengan peraturan bagi Israel (Maz 122:3-4). Di tempat lain, masih sang pemazmur, dikatakan bahwa Tuhanlah yang membangun Yerusalem dan di negeri itu Dia mengumpulkan umat Israel yang tercerai berai (Maz 147:2). Singkatnya, Yerusalem sudah menjadi sebuah kota impian sejak itu. Maka pemazmur menulis lagi: Jika aku melupakan engkau, hai Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku! Biarlah lidahku melekat pada langit-langitku, jika aku tidak mengingat engkau, jika aku tidak jadikan Yerusalem puncak sukacitaku! (Maz 137:5-6).

Tafsir Islam

Yerusalem mendapat perhatian sungguh-sungguh dari para penafsir Islam di Indonesia. Negeri ini dipahami sebagai Tanah Perjanjian bagi Israel, umat Musa. Prof. Dr. Haji Abdul Malik Bin Abdul Karim Amirullah, disingkat HAMKA (1908-1981), dalam tafsirnya tentang sura 7:137, mengatakan Allah memberikan kepada umat Musa Tanah Perjanjian, yakni wilayah Syam yang menyebar hingga mencapai batas Timur, negeri Syria, ke Barat berbatasan dengan negeri Mesir, dan di dalamnya terdapat tanah Palestina (Hamka, Tafsir Al Azhar Jus IX, 2005:49). Sambil mengutip Kejadian 12:7, Hamka menegaskan Tanah Perjanjian (ardhul mi’ad) diberikan kepada anak-cucu Abraham (sura 5:21). Seperti diketahui Abraham memiliki dua anak laki-laki, Ismael dan Isak. Ismael dan keturunannya telah hidup di negeri Hijaz dan mereka beranak cucu menjadi bangsa yang besar, yakni bangsa Arab. Kemudian bangsa Israel, keturunan Isak, menduduki Tanah Perjanjian sesudah 400 tahun pada periode Musa (Hamka, Tafsir Al Azhar Jus VI, 2000:203). Umat Musa hanya menikmati tanah itu selama periode singkat. Hal ini karena umat Israel tidak suci di hadapan Allah (Hamka, Tafsir Al Azhar Jus IX 2005:141). Beberapa periode berikut, bangsa-bangsa seperti Babel, Persia, Roma dan Arab menduduki Tanah Perjanjian secara bergantian. Selama 1.400 tahun tanah itu di bawah kontrol bangsa Arab. Akan tetapi pada 1948, orang-orang Yahudi, yang didukung oleh Inggris dan Amerika Serikat, mengambil alih Tanah Perjanjian. Alasannya, mereka telah diberi hak untuk memiliki Tanah Perjanjian sejak 2500 s.M. Melalui tindakan itu, mereka mengusir 2 juta orang Arab, yakni populasi asli Tanah Perjanjian. Sejak itu orang-orang Yahudi memiliki negerinya dan tidak lagi hidup terpencar di penjuru dunia, termasuk hidup terasing di wilayah Arab. Tetapi, orang-orang Yahudi telah berdosa hingga hari ini karena menjadikan penduduk asli itu tercerai-berai. Karena itu hak istimewa mereka telah dicabut. Hamka mengutip sura 7:167, Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memberitahukan, bahwa sungguh, Dia akan mengirim orang-orang yang akan menimpakan azab yang seburuk-buruknya kepada mereka (orang Yahudi) sampai hari kiamat. Sesudah menaklukan wilayah Palestina dalam 1948, Israel menyerang lagi negeri-negeri Arab lainnya pada 1967 dan membakar mesjid Al-Aqsa pada 1969. Waktu itu bangsa Arab-Palestina melawan di bawah pimpinan Yaser Arafat. Mereka menuntut balas dan berjanji untuk tidak berhenti sebelum orang-orang Yahudi itu diusir dari Yerusalem, tanah tumpah darah mereka (Hamka, Tafsir Al Azhar Jus IX, 2005:151,152). Berbagai protes dan tindakan bom bunuh diri terhadap Israel yang dilakukan oleh pengikut-pengikut Yaser Arafat [atau yang dilakukan oleh kelompok Hammas saat ini] adalah hak mereka untuk menuntut tanah air. Tindakan bunuh diri warga Palestina merupakan pengejewantahan sikap hidup yang suci di hadapan Allah. Selanjutnya, Hamka mengajak seluruh Muslim sedunia mengambil kembali Yerusalem, sebagai Tanah Perjanjian, dan diserahkan kepada bangsa Arab. Allah-lah yang memiliki bumi ini, bukan orang-orang Yahudi. Oleh kehendak-Nya, Dia akan memberikan Yerusalem kepada kaum Muslim, yaitu orang-orang yang berserah kepada-Nya (Hamka, Tafsir Al Azhar Jus IX, 2005:50, 151).
Departemen Agama menafsirkan, Yerusalem sebagai sebuah wilayah yang lebih luas dari apa yang Hamka jelaskan. Wilayah itu terdiri dari Syria hingga Mesir dan seluruh negeri jajahan yang pernah dijajah oleh Firaun (pada zaman Musa) juga diberikan kepada Israel (sura 7:137). Pemberian ini oleh karena sikap Israel yang sabar menunggu pemenuhan janji Allah (Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid III, 1997/1998:563-564).
Berkaitan sura 7:128 dalam tafsir Al-Mishbāh, Prof. Dr. M. Quraish Shihab menerangkan secara teologis seluruh dunia adalah milik Allah. Demikian halnya Yerusalem yang sebenarnya dijanjikan kepada orang-orang Yahudi kecuali kalau mereka menjadi orang-orang takwa. Mereka akan menikmati tanah ini, tidak hanya untuk sementara, tetapi juga sesudah berakhirnya dunia ini (M. Quraish Shihab, Al-Mishbah Volume 5, 2006: 215).

Tafsir Kristen

Beberapa tafsiran Kristen Indonesia mengenai Yerusalem atau Tanah Suci menarik untuk disimak. Dr. Joas Adiprasetya, Ketua Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, memahami Yerusalem sebagai kota suci kalau negeri itu sudah damai. Selama belum ada perdamaian antara Israel dan warga Palestina, maka Yerusalem bukanlah Tanah Suci (Memahami Israel Alkitab dan Israel Kontemporer, 2011:1).
Selanjutnya Dr. Ioanes Rakhmat, mantan dosen STT Jakarta, menyinggung sepintas mengenai kerinduan orang ke Yerusalem sebagai bentuk zionisme Kristen. Gerakan fundamentalisme Kristen a la Amerika menginspirasi orang-orang Kristen Indonesia untuk berkunjung ke sana. Gerakan ini sesungguhnya hendak menggeser posisi masyarakat Israel sekarang dan menjadikan penganut aliran ini sebagai “Israel baru”. Tugas utama “Israel baru” adalah menobatkan warga Israel saat ini sehingga dengan pertobatan itu akan memungkinkan “Israel baru” terangkat ke sorga (Mulai dari Musa dan Segala Nabi, 1996: 65-67).
H. A. Pandopo, teolog Belanda bernama asli Harry A. van Dop yang bekerja di Indonesia selama 38 tahun, menafsirkan Yerusalem (dalam syair dan lagu “Kidung Jemaat” 134) sebagai kota yang tidak aman dan penuh dengan manusia pendosa. Tetapi jika Yerusalem sejahtera, maka pada saat itu juga sang Mesias sudah datang.
Di tempat lain “Madah Bakti” (buku nyanyian umat Katolik Indonesia) nomor 834 memberi gambaran Yerusalem sebagai kota surgawi. Di sana melimpah segala nikmat yang dapat membahagiakan setiap penghuni. Juga terjadi pesta akbar bersama Allah karena itu setiap orang diundang ke sana.

Bisnis Parawisata Israel

Sejak Negara Israel membuka situs-situs purbakala untuk kepentingan parawisata, banyak orang Kristen Indonesia berbondong-bondong ke sana. Para penziarah memiliki satu tujuan, yakni mengkultuskan Israel masa lampau. Sekurang-kurangnya, mereka memahami ikatan-ikatan sejarah dan tradisi-tradisi agama yang berkaitan dengan Israel di masa lampau yang merindukan Yerusalem dan percaya bahwa tanah itu sebagai bagian dari iman Kristen (Fredrik Doeka, The Enduring Mission of Moses, 2011:5). Motivasi religius semacam ini menjadi peluang bisnis pemerintah Israel untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Tercatat bisnis pariwisata Israel menjadi salah satu sumber pendapatan paling besar dalam rancangan pendapatan negara zionist itu. Lebih dari 2.7 juta turis asing mengunjungi Israel pada 2009 (http://id.wikipedia.org/wiki/Pariwisata_di_Israel). Tidaklah mustahil hasil pendapatan inilah yang dipakai untuk membeli peralatan militer Israel yang terkenal sangat canggih di dunia, yang dipakai untuk membunuh pejuang Palestina.

Penziarah yang mabrūr

Dalam tafsir Islam dan Kristen di atas, Yerusalem sekarang ini dengan luas 123 km2, yang dirindukankan rombongan pendeta GMIT dan juga rombongan orang-orang Kristen lainnya, bukanlah Tanah Suci. Kecuali kalau penghuni Yerusalem saat ini sudah bertobat dan bertakwa kepada Allah, hidup suci di hadapan-Nya dan mengasihi sesama manusia.
Hati kita teriris ketika mendengar penziarah-penziarah Kristen mau saja menghabiskan puluhan juta rupiah untuk pergi ke negeri yang sedang digenangi oleh darah dan air mata para martir Palestina. Hati tambah teriris lagi ketika kita mengetahui, bahwa orang terpaksa berhutang untuk ke sana. Sementara itu di sini, di bumi Flobamora, kemiskinan sedang merajalela, hantu KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) bergentayangan, busung lapar menjadi penyakit akut, kematian ibu-ibu hamil meningkat, mutu pendidikan sangat rendah, pengangguran di mana-mana, dan masih banyak masalah sosial lainnya. Bukankah ini keadaan riil negeri kita dan menjadi tugas anda dan saya untuk menjadikannya sebagai “Yerusalem”, negeri adil dan makmur atau Tanah Suci?
Sekali lagi Yerusalem yang berada di Timur Tengah itu bukanlah Tanah Suci. Ia hanyalah pentas kebrutalan tentara Israel saat ini. Ziarah ke Yerusalem sama dengan ikut mendukung aksi kekerasan Israel terhadap warga sipil Palestina. Tugas kita seharusnya menjadikan “Yerusalem” ideal itu nyata di bumi Flobamora dengan cara mengentaskan kemiskinan, memberantas KKN, meningkatkan dan menyediakan layanan kesehatan memadai bagi masyarakat, meningkatkan mutu pendidikan, menyediakan lapangan pekerjaan, dst. Selama tugas-tugas tersebut kita tunaikan, maka selama itu pula kita menjadi penziarah yang mabrūr.

*Dr. Frederik Doeka promosi doktoral di Universitas Utrecht, Negeri Belanda, dengan disertasi berjudul The Enduring Mission of Moses. Indonesian Muslim and Christian Representations of a Jewish Prophet. Bekerja sebagai pengajar Islamologi dan Teologi Agama-agama pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang

07 November 2011

Some Notes on the Revision of Church Order in Sulawesi, Indonesia

Zakaria J. Ngelow

Part of paper presented at conference on "Protestant Church Polity in Changing Contexts" of Protestant Theologische Universiteit, Utrecht, the Netherlands, 7 - 10 November 2011

As mentioned before, the paternalistic character of church office is a product of the churches’ history. The paternalistic character of missionaries’ traditional leadership culture and the hierarchial structure of the Indies Protestant Church shaped the development of the organizational culture. While in theory churches acknowledged the equivalence of the three offices, the deacon is seen as the lowest office after that of elder, and they are both beneath the pastor. In the liturgy, when elders and deacons lead the service, they are not allowed to raise their hands as they pronounce the blessings, and are required to change the blessing formulation from “you” to “us”.

Num 6: 24 "The LORD bless you and keep you; 25 the LORD make his face shine upon you and be gracious to you; 26 the LORD turn his face toward you and give you peace."

2Cor 13:14 May the grace of the Lord Jesus Christ, and the love of God, and the fellowship of the Holy Spirit be with you all.

The deacon is seen as a candidate for the office of elder. This perception corresponds with the absence of diakonia as one of the main calls of the church. The diaconate is practiced as a ceremonial event on Christmas or Easter, and limited to a small gift for widows in the congregation. Revision of the church order revives the understanding of church mission as including the diaconate in its holistic character, and its relation to the specific office of deacons.

Most Indonesian churches acknowledge three major aspects of church mission, namely koinonia (communion), martyria (witness) and diakonia (social ministry). In the ecclesiology consultation we introduce broader aspects uch as leitourgia (worship), oikonomia (stewardship), and didache (teaching).

Churches are also exposed to problems of presbytery-synodal structure. The Toraja Church, GTM and GKSB allocate relatively greater power to local congregational councils; while GEPSULTRA tends to centralize in the synod, including centralized finances (for the payment of pastors’ salaries). [Some churches in Indonesia, such as Kalimantan Evangelis Church (GKE) and Christian Church of Gospel Lighthouse (GKPI) employ the term synodal-presbytery (=sinodal-presbiterial) in their Church Order to underline the greater power at the synod.]

Churches generally employed a three-sphered structure of congregation, classis and synod. But bigger churches like Toraja and GTM had four in the past, as some classis were united in a regional synod. In most cases, churches developed top-down relationships in the church structure, with the synod on the top, then classis and then congregations at the bottom. In the consultation on ecclesiology a reversion was developed, that the local congregation is central as it is the full expression of the church in the world.

Churches employ different organizational structures for the categorical ministries of children, youth and women. They are independent organizations in the congregation and function more as close partners rather than in sub-ordination to the presbyters council. While the church has her church order, these organizations have their own respective statutes. Youth and women’s organizations then become a strategic factor in terms of both church ministry and socio-political leadership.

Regarding the role of the General Assembly, the Toraja church with her big membership and strong human resources recently managed to conduct a relative successful General Assembly. Other churches in the region need to develop a better quality of their General Assembly. In the General Assembly, participants seem to spend most of their time promoting their respective candidates for new Synod Executive Committee personnel.

There are some aspects that need to be addressed to have a good General Assembly: well prepared needed documents, organizing committee with a qualified steering committee, a team of qualified General Assembly moderators, and also well informed and disciplined participants. In general, General Assembly documents consist of (a) the report (including financial report) of the outgoing Synod Executive Committee with all its attachments; (b) draft of the programs for the coming period; (c) other draft documents to be evaluated or decided; and (d) other documents for the General Assembly: agenda, list and address of participants, daily liturgy, rules of order, etc. Steering committees and moderators should be well aware of the process and progress of the meeting and the substance of the ongoing session. They also should lead every session toward achieving well-conceived goals for the assembly.

One area of development of church order that is often neglected is that of the pastoral offices: church discipline and the ministries of baptism, communion, marriage, and funerals. Several of the churches surveyed here maintain largely outdated practices of barring church members from communion (and often refusing baptism to their children), mostly for violating sexual and marital norms, while other serious moral failings such as domestic violence and corruption are routinely ignored. The practice of church discipline also exists in tension with local traditions for the resolution of conflicts and disputes by means of councils of traditional elders to levy fines on those determined to be in the wrong. This is one area in which the contextualization of church order needs further development based on a more contextual theology of ministry. The same applies to the integration of baptism with rituals celebrating the birth of a child and the integration of marriage and funerals with local ritual practices relating to these important rites of passage.

Finally, we should note the difficulty faced by the churches in producing regulations that are equally applicable to both rural and urban congregations, and also providing structures that enable continuing fellowship between urban and rural members. As the process of urbanization progresses in Indonesia, this will become a more urgent problem.