09 Desember 2008


Kawan-kawan dan mitra Oase, serta pengunjung blog ini

Kepada anda semua Yayasan Oase Intim menyampaikan
Selamat merayakan Hari Natal, Kalahiran Yesus Kristus; selamat menyambut Tahun Baru 2009. Tuhan memberkati

Pendeta Berpolitik?

(Dari presentasi seminar Pendeta dan Politik, Luwuk, 29 November 2008)

Peran politik Kristen dapat dijalankan dalam berbagai bentuk oleh berbagai fihak. Salah satunya adalah keterlibatan langsung orang Kristen dalam dunia politik praktis. Apakah kualifikasi / persyaratan yang cocok untuk panggilan Kristen dalam dunia politik? Sedikitnya tiga hal: kokoh integritas kepribadian Kristennya, dan mempunyai visi dan komitmen yang jelas mengenai partisipasi politik Kristen, serta memahami cara kerja dalam dunia politik secara profesional. Kalau yang pertama lemah dia akan menjadi koruptor karena besarnya godaan mammon dalam dunia politik, dan kalau yang kedua lemah dia akan menjadi oportunis, orang yang menganut aji mumpung. Dan kalau tidak profesional maka dia akan mengecewakan konstituen yang memilihnya, karena tidak dapat mewujudkan janji-janji kampanyenya.

Baik pada masa PARKINDO maupun di era Reformasi pendeta-pendeta terlibat langsung dalam dunia politik praktis. Apakah pendeta cocok menjalankan peran partisipasi politik Kristen? Ya dan tidak. Ya, karena pendeta adalah pemimpin umat yang (seharusnya) mempunyai wawasan yang luas terhadap berbagai aspek dan perkembangan dalam masyarakat, termasuk politik, dan selalu merelasikannya dengan panggilan gereja. Tidak, karena pendeta yang terlibat dalam politik praktis memilih salah satu partai/golongan politik, dan dengan itu tidak bisa lagi membina warga jemaatnya dalam aktivitas politik yang berbeda-beda.

Masalah pendeta dalam dunia politik praktis bukan terutama masalah doktrin jabatan menyangkut salah atau benar; melainkan masalah etika, boleh atau tidak boleh. Pendeta yang berpolitik akan cenderung mengarahkan warga jemaat pada kepentingan partainya, dan dengan demikian tidak netral. Bahkan dapat memakai mimbar gereja untuk kampanye politik, bukan pemberitaan Injil.

Yang juga penting adalah motivasi pendeta terjun dalam politik praktis. Ada pendeta yang memang bekerja dalam dunia politik dengan integritas, visi dan komitmen. Tetapi banyak pula yang sesungguhnya ikut Yunus “melarikan diri” ke Tarsis ...

Jadi, apakah pendeta boleh atau tidak boleh masuk dalam politik praktis? Apakah pendeta boleh menjadi caleg salah satu partai? Seharusnya tidak boleh. Tetapi dalam praktek ditentukan oleh pengaturan gerejanya. Ada gereja yang mengatur lunak: boleh merangkap jadi hamba Tuhan sambil berpolitik. Ada yang mengatur supaya selama menjadi politikus status kependetaannya “digantung”, dan dapat dipakai lagi kalau sudah berhenti dari aktivitas politik praktis. Ada pula gereja yang mencabutnya sama sekali: silahkan berpolitik tapi tanggalkan kependetaan; kalau nanti anda mau kembali, silahkan mendaftar ulang sebagai calon pendeta untuk diproses lagi sesuai aturan ...

Bagaimana pun, pada prinsipnya pilihan adalah menjadi pendeta atau menjadi politikus: melayani “ideologi Kerajaan Allah” atau tunduk pada ideologi partai politiknya. Artinya, seorang pendeta yang mau berkiprah di dunia politik praktis memang meninggalkan jemaat dan menanggalkan status sebagai pendeta. Dengan menjadi caleg dia mulai berpindah ke pelayanan lain yang bukan dunia pelayanan pendeta, melainkan kancah percaturan politik. (Zakaria Ngelow)

16 November 2008

Tulang-tulang Berserakan

Bagian dari Presentasi pada Pembukaan sidang Sinode GKST, 12 November 2008


... judul alinea ini mengingatkan pada kisah Alkitab, visi nabi Yehezkiel (ps 37), tulang-tulang berserakan yang dihidupkan Roh Tuhan. Bagi anda yang mempunyai minat sastra, ungkapan“tulang-tulang berserakan” akan mengingatkan pada puisi terkenal Khairil Anwar, “Krawang - Bekasi” (1947). Salah satu baitnya demikian:

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

[Selengkapnya lihat dalam http://chairil-anwar.blogspot.com/]

Para korban tragedi Poso dan bencana alam Morowali mungkin tersisa “tulang-tulang berserakan.” Tulang-tulang dari para korban yang mati sia-sia. Benarkah mereka mati sia-sia? Pada hemat saya, makna penting yang melekat pada kematian mereka – apa pun agamanya, baik yang Kristen maupun yang Islam, atau yang lain – adalah pencerahan kepada kita semua untuk tidak mengulangi peristiwa yang mendatangkan kematian seperti itu. Kematian mereka memberi pelajaran kepada kita bahwa bukan kematian melainkan kehidupan, bukan permusuhan melainkan perdamaian, bukan kebencian melainkan kasih yang seharusnya berlangsung dalam kehidupan bersama umat manusia. Sebab itu bukan para tokoh jantan-satria yang perkasa melawan musuh yang diagungkan dan memberi inspirasi bagi kehidupan, melainkan para korban yang tak berdaya itu. Cara pandang ini sesuai dengan teologi salib: Yesus yang mati di kayu salib, sebagai korban penebusan, yang memberi umat manusia pembenaran dan pendamaian. Dia bangkit, tepatnya, Yesus dibangkitan Allah, sebagai tanda bahwa Allah memihak Dia yang berkorban dan/atau dikorbankanitu. Kemenangannya bukan di dalam kemampuan-Nya bangkit, melainkan kesediaan-Nya mati, kesediaan berkorban. Allah sendiri memberi makna pada korban. Tetapi ini bukan mengagungkan dan melanggengkan korban sehingga menjadi ideologi yang membiarkan penindasan, sebagaimana diingatkan oleh Rene Girard, seorang pemikir asal Perancis, menyangkut kekerasan dan korban sebagai kambing hitam:

Bertentangan (dengan agama-agama purba), penyataan Alkitabiah membela korban – Habel dan Yusuf dalam kitab Kejadian, Hamba yang Menderita dalam Yesaya, Pemazmur yang teraniaya, Ayub dan Yesus – dan memperlihatkan mekanisme kambing hitam sebagai yang bertentangan dengan kehendak Allah. Dalam Alkitab Allah memihak korban yang tak bersalah, dan di dalam Yesus, Allah muncul sebagai korban itu sendiri. Girard menyatakan bahwa penyataan Alkitabiah ini perlahan-lahan menembus kesadaran manusia. Salah satu akibat jangka panjang berita Injil yang nampak pada tahun-tahun terakhir, menurut Girard, adalah makin meningkatnya kepedulian pada para korban dan cara-cara tanpa kekerasan dalam menyelesaikan konflik.

[5Leo D. Lefebure, “Beyond scapegoating: a conversation with Rene Girard and Ewert Cousins.” (Interview) The Christian Century | Date: 4/8/1998 | http://www.encyclopedia.com/doc/1G1-20515619.html]

Adanya orang-orang yang jadi korban dalam konflik (seharusnya) menjadi tanda bahwa kita terlibat bersalah karena dengan satu dan lain cara telah terlibat dalam konflik dengan kekerasan yang menyebakan mereka jadi korban. Dengan kata lain, setiap kali ada korban kekerasan di dalam masyarakat, kita disadarkan bahwa kekerasan adalah dosa, dan bahwa permusuhan adalah pelanggaran terhadap kehendak Allah. Kita dapat memahami maraknya pengembangan teori dan aktivitas conflict resolution dan peace education belakangan ini sebagai bagian dari dampak kesadaran itu.

[Zakaria Ngelow]

01 Juni 2008

Citra Sosial-Politis Gereja-Gereja di Indonesia selama Orde Baru

Telaah Kritis atas Dokumen-Dokumen Teologis DGI/PGI
oleh Julianus Mojau

1. Pengantar
Karena artikel ini bermaksud memeriksa dokumen-dokumen teologis DGI/PGI maka sulit sekali kami memenuhi permintaan Redaksi INTIM untuk membatasi halaman artikel ini hanya pada +/- 8 halaman saja. Kesulitan ini terkait dengan sulitnya menghindari sejumlah kutipan langsung. Hal itu kami lakukan untuk menghindari salah paham pembaca yang akan memberi kesan bahwa apa yang kami lakukan dalam artikel ini hanya sebuah rekaan penulis semata. Memang kami cukup sadar bahwa sebuah artikel yang terlalu panjang dapat menimbulkan kejenuhan pembacanya. Untuk hal ini kiranya kami dapat dimaafkan.
Minat untuk memeriksa secara kritis dokumen-dokumen teologis DGI/PGI ini muncul karena kami melihat bahwa sejak kelahiran Orde Baru (1966) hingga keruntuhannya (1998) Gereja-gereja di Indonesia yang terhimpun dalam wadah oikumenis Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI; dulu namanya: Dewan Gereja-gereja di Indonesia, disingkat DGI) memperlihatkan sebuah komitmen sosial secara teologis yang kuat atau yang biasanya disebut dengan partisipasi Gereja dalam pergumulan bangsa sebagaimana dicerminkan dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila adalah sebuah pilihan sikap politis Gereja-gereja di Indonesia yang memberi implikasi tersendiri terhadap citra sosial Gereja-gereja itu sendiri selama Orde Baru. Apalagi kita membaca dalam pesan Konferensi Gereja dan Masyarakat II (KGM-II) tahun 1967, yang diselenggarakan sesudah peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto tahun 1966 melalui Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), menyambut komitmen dan janji Orde Baru dengan penuh antusias dan optimistis untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.1

2. Gereja-Gereja di Indonesia dan Proyek Modernisasi Orde Baru
Konferensi Gereja dan Masyarakat II (KGM-II) mencatat bahwa pembaruan sosial sebagaimana dicerminkan dalam “suasana pasca peralihan kekuasaan politik” itu tidak bisa tidak harus ditempuh dengan jalan mengikutsertakan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia ke dalam proses modernisasi. Konferensi menegaskan bahwa masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia harus mau mengembangkan diri menjadi suatu masyarakat, bangsa dan negara yang modern apabila ingin mewujudkan cita-cita politis yang telah dinyatakannya sejak tahun 1945.2 KGM II tanpa ragu-ragu memberi pesan kepada seluruh pimpinan dan warga Gereja-gereja anggota DGI:
Dalam pemikiran Konperensi mengenai pembaharuan masjarakat, modernisasi telah ditempatkan pada pusat perhatian. Konperensi yakin bahwa tjita-tjita untuk mendirikan masjarakat adil dan makmur hanja dapat ditjapai dalam masjarakat Indonesia jang modern. Tempat jang wadjar bagi Indonesia di antara bangsa-bangsa di dunia djuga hanja dapat ditjapai melalui modernisasi. Bahkan untuk “survival” sadja kita harus melaksanakan modernisasi.3
Selanjutnya dalam Konferensi Gereja dan Masyarakat III (KGM-III) tahun 1976 ditegaskan bahwa modernisasi Indonesia sebagai bentuk pembaruan sosial, ekonomi, politik, dan budaya pasca-peristiwa 30 September 1965 haruslah dipahami sebagai bentuk penghayatan tentang arti sejarah penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus sebagai pusat sejarah. Sambil menggarisbawahi logika pemahaman sejarah yang bersifat linear dan Kristosentris sebagaimana ditekankan oleh Latuihamallo4 serta menafikan pemahaman sejarah masyarakat dan bangsa-bangsa Timur, KGM-II menegaskan hal itu:
Dalam kebanyakan masyarakat Timur, terdapat pandangan tentang sejarah sebagai berikut:
(1) ada yang memandang sejarah sebagai suatu lingkaran atau siklus;
(2) ada yang memandang sejarah laksana siklus-siklus yang susul menyusul satu dengan yang berikutnya menuju ke depan.
Panggilan kita dalam hal ini adalah untuk memantapkan di lingkungan Kristen sendiri serta memperkenalkan kepada masyarakat luas, pengertian alkitab tentang sejarah sebagai suatu garis yang mengenal awal dan akhir dan yang bergerak terus ke masa depan, menuju ke kegenapan di dalam Tuhan dan akan diakhiri oleh Tuhan. Dengan demikian adanya tubrukan nilai-nilai diterima sebagai sesuatu yang wajar dalam garis yang selalu terarah ke depan. Derap modernisasi dihadapi dengan sikap terbuka, lebih dari sekedar sikap mengagungkan masa lampau. Pusat sejarah adalah karya Allah di dalam dan melalui Kristus. Dialah yang memungkinkan sesuatu yang sama sekali baru di dalam sejarah. Di dalamNya kita dapat melihat sesuatu yang baru, melalui tindakan Allah di tengah-tengah sejarah.5
Apa yang kita baca dari kedua kutipan di atas mengungkapkan pandangan dan sikap politis dan teologis para pemimpin Gereja-gereja di Indonesia pada awal konsolidasi kekuasaan hegemonis Orde Baru. Mereka berpendapat bahwa, sekalipun menimbulkan segi-segi negatif (seperti individualisme dan hedonisme), modernisasi dapat menjadi sebuah pilihan yang tidak dapat dihindari apabila bangsa Indonesia, di mana Gereja-gereja terlibat, melakukan pembaruan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya.6 Sebab, demikian keyakinan mereka, proses modernisasi dipandang dapat membawa beberapa nilai yang mendukung perubahan dan pembaruan di dalam masyarakat, seperti kebebasan yang memberi manusia otonomi untuk menguasai alam dan tanggung jawab yang memberi manusia untuk bertanggung jawab atas nasibnya sendiri.7
Dengan kata lain, Gereja-gereja di Indonesia melihat secara teologis bahwa modernisasi, sekalipun mengandung ambivalensi, harus diterima sebagai anugerah Tuhan dan dapat merupakan wahana penyelamatan Allah terhadap masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang sedang membarui dirinya pasca-peristiwa 30 September 1965 itu. Mereka yakin bahwa Allah adalah Alfa dan Omega (Wahyu 21) yang sekarang ini sedang bertindak untuk menyelamatkan dan memperbarui ciptaaan-Nya, termasuk masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang baru saja melepaskan diri dari pertentangan ideologis yang membahayakan NKRI.8

3. Gereja-gereja di Indonesia dan Politik Asas Tunggal Rezim Orde Baru
Dalam Konsultasi Teologi tahun 1970 di Sukabumi, para pemimpin Gereja-gereja Protestan di Indonesia memperkokoh keyakinan bahwa proses modernisasi itu harus dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. Konsultasi, yang menurut hemat kami mencerminkan pengaruh Simatupang, menegaskan bahwa sekalipun Injil dengan ideologi tidak dapat dipersamakan begitu saja, namun Konsultasi mendorong agar Gereja-gereja memperkembangkan pemikiran teologis mengenai hubungan antara Injil dengan ideologi Pancasila untuk mendorong memperdalam kesadaran warga negara mengenai hak-haknya dan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara terhadap negara. Sebab, demikian Konsultasi menekankan, sekalipun Pancasila sebagai ideologi tidak mengandung suatu penyataan teologis namun Pancasila sebagai ideologi negera memiliki unsur yang mempersatukan dan menjamin kebebasan para warga negara untuk memuliakan Tuhan menurut kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Itulah sebabnya Konsultasi juga menganjurkan agar umat Kristen di Indonesia perlu mempertahankan dan memelihara Pancasila sebagai dasar negara.9
Kalau kita memperhatikan sikap Gereja terhadap ideologi Pancasila sebagaimana diuraikan di atas ini, kita dapat mengatakan bahwa sikap itu masih sangat terkait dengan isu klasik sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945, yaitu polarisasi ideologis Indonesia merdeka antara nasionalisme – etnis (yang mentransformasi diri menjadi golongan nasionalis Indonesia dan yang menghendaki Indonesia merdeka sebagai Negara berdasarkan Pancasila), nasionalisme-agama (Islam) dan nasio-nalisme-komunisme. Konsultasi berpendapat bahwa penerimaan Pancasila secara positif diharapkan dapat memberi dampak positif juga bagi hubungan antar-umat beragama yang berbeda di Indonesia. Oleh sebab itu, ketika Orde Baru mulai menunjukkan kekuasaan hegemonisnya dengan penyederhanaan Partai-Partai Politik ke dalam dua kekuatan politik PDI (Partai Demokrasi Indonesia - fusi antara partai-partai Nasionalis seperti PNI dan partai-partai Kristen seperti Parkindo dan Partai Katolik; atau kami lebih senang menyebut dengan koalisi golongan nasionalis dengan umat Kristen) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan - fusi Partai-Partai Islam) di samping GOLKAR (Golongan Karya - satu satunya peserta Pemilu yang dianggap non-partisan) dengan dukungan penuh dari ABRI melalui UU No. 3 Tahun 1975, Gereja-gereja menyambut positif kebijakan hegemonis Orde Baru itu dan dipandangnya sebagai sebuah kemajuan demokrasi dalam kehidupan sosial politik di Indonesia.10
Keberhasilan Orde Baru melalui UU No. 3 Tahun 1975 tadi semakin membuat Gereja-gereja di Indonesia optimis dengan ideologi Pancasila. Oleh sebab itu, Konsultasi Teologi tahun 1979 di Tentena, yang menandai Gereja-gereja di Indonesia memasuki dasawarsa 80-an dan satu tahun sesudah Tap MPR tentang P-4 (1978), memberi kesan bahwa persoalan polarisasi ideologi negara telah selesai dengan adanya Tap MPR-RI Nomor II/1978 tentang P-4 itu. Gereja berpendapat bahwa tantangan terhadap ideologi Pancasila tidak lagi perlu dipolemikkan secara polaris antara mereka yang menghendaki Islam sebagai dasar NKRI dan mereka yang meng-hendaki Pancasila sebagai dasar negara. Konsultasi justru berpendapat bahwa tantangan yang paling nyata bagi ideologi Pancasila justru datang dari orang-orang yang mempertanyakan relevansi ideologi-ideologi politik sebagai konsekuensi dari pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Terhadap tantangan baru itulah Konsultasi menyerukan agar Gereja-gereja di Indonesia mengusahakan relevansi ideologi Pancasila sebagai ideologi pemersatu masyarakat Indonesia itu di dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangun-an nasional. Konsultasi menegaskan hal itu:
Mengenai masalah ideologi dalam ikatan Bangsa kita di tahun-tahun delapanpuluhan ada lebih dari satu pendapat. Ada yang berpen-dapat melihat, bahwa dalam perkembangan sejarah Bangsa Indonesia tidak akan ada lagi golongan-golongan yang berusaha menawar-kan alternatif baik bagi Pancasila. Pada pihak lain ada juga yang berpendapat bahwa usaha-usaha menawarkan alternatif lain bagi Panca-sila akan tetap terasa di tahun-tahun delapan puluhan dan bahkan meningkat sesuai dengan kesempatan yang ada. Terlepas dari percaturan politik, perkembangan hidup modern itu sendiri, di bawah pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern, selalu akan mempertanyakan relevansi dari setiap ideologi. Hal itu terjadi di mana-mana. Untuk Indonesia sangat dibutuhkan dasar-dasar ideologi bagi kehidupan bersama. Dengan demikian Pancasila juga selalu diuji relevansinya oleh perkembangan hidup masyarakatnya sendiri dan proses Pembangunan kita. Itu adalah wajar. Yang penting bagi kita sekarang adalah bagaimana menjadikan Pancasila, yang adalah ideologi pemersatu Bangsa kita kini benar-benar relevan dalam segala usaha Pembangunan kita. Dengan perkataan lain: yang penting bagi kita sekarang adalah pengamalan semua sila secara seimbang dalam perencanaan dan pelaksanaan Pembangunan kita.11
Optimisme Gereja-gereja di Indonesia itu kemudian diinterupsi oleh SKB MenteriAgama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.12 S.A.E. Nababan dalam kapasitasnya sebagai Sekum DGI menyebut hal itu sebagai hal yang sangat bertentangan dengan semangat P-4 itu sendiri.13 Gereja-gereja di Indonesia baru kembali merasa lega ketika GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) tahun 1983 menggarisbawahi agar Pancasila dijadikan sebagai Asas Tunggal bagi Semua Kekuatan Politik.14 Di sini Gereja-gereja kembali menyatakan sikap positif terhadap kekuasaan Orde Baru yang semakin hegemonis itu. Puncak dari sikap akomodatif Gereja-gereja terhadap Pancasila sebagai ideologi negara yang mengatur keseluruhan bidang kehidupan masyarakat Indonesia ialah penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada Sidang Raya X DGI di Ambon tahun 1984 dengan mencantumkan dalam Tata Dasar PGI.15
Berdasarkan catatan historis tentang sikap Gereja terhadap ideologi Pancasila selama hegemonis Orde Baru sebagaimana diuraian di atas ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap penerimaan Gereja terhadap ideologi Pancasila mencerminkan semakin mengkristalnya koalisi golongan nasionalis (yang mempertahankan Pancasila sebagai dasar NKRI) dengan umat Kristen Indonesia dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dalam hubungan ini, kami berpendapat bahwa menonjolkan semangat nasionalisme umat Kristen Indonesia dalam bentuk pergerakan kemerdekaan Indonesia, baik dalam arti politis sebagaimana ditekankan oleh Simatupang maupun arti kultural sebagaimana ditekankan oleh Eka, adalah langkah strategi kontra-produktif dalam meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Sebab, dengan menekankan Pancasila sebagai jalan tengah sedemikian rupa, berarti juga (sesuai dengan kesimpulan kami: penerimaan umat Kristen terhadap Pancasila adalah mencerminkan semakin mengkristalnya koalisi golongan nasionalis dengan umat Kristen) umat Kristen selalu berhadap-hadapan dengan umat Islam sebagai musuh secara ideologis. Umat Islam dengan “cita-cita ideologis sendiri” dan umat Kristen dengan “cita-cita ideologis sendiri” berada dalam koalisi dengan golongan nasionalis. Apalagi penerapan politik Asas Tunggal yang diikuti dengan modus pembersihan lingkungan16 yang menyertai beberapa peristiwa seperti kasus Tanjung Priok (1985) dan Lampung (1989) itu ditengarai sebagai upaya Orde Baru mendepolitisasi aspirasi politik umat Islam.17
Dengan demikian, kami dapat mengatakan di sini bahwa sikap akomodatif Gereja-gereja di Indonesia terhadap Pancasila dan politik Asas Tunggal Orde Baru sebagaimana diuraikan di atas ini lebih mencerminkan sebuah strategi dari posisi tawar-menawar (the strategy of bargaining position) Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia dengan Orde Baru berhadap-hadapan dengan golongan Islam rezimis atau ideologis dan ketakutan yang berlebih-an terhadap bahaya komunisme di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh perang ideologis antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.18 Hal inilah yang menyebabkan Gereja-gereja di Indonesia selama Orde Baru tidak mengkritik politik diskriminatif SARA Orde Baru. Kita, misalnya, tidak membaca apa-apa tentang sikap politis Gereja terhadap peristiwa Petrus (Penembakan Misterius, 1984)19, Tanjung Priok (1985), dan Lampung (1989) yang kesemuanya berlangsung seiring dengan penerapan politik Asas Tunggal. Penilaian kami ini memberi kesan berlebihan. Sebab, sebagaimana dinyatakan dalam berbagai kesempatan oleh para pemimpin Gereja dan umat Kristen di Indonesia, penerimaan Pancasila sebagai dasar Negara dan kehidupan bermasyarakat adalah karena komitmen kebangsaan Gereja dan umat Kristen di Indonesia terhadap identitas Indonesia pasca-kemerdekaan politis 1945. Tetapi, jika kita membaca sikap sosial Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia sebagaimana dihimpun oleh Weinata Sairin dalam kumpulan dokumen terpilih DGI/PGI seputar masalah-masalah sosial20, terutama hak-hak kewarganegaraan, penilaian kami itu kiranya tidaklah berlebihan. Dalam dokumen-dokumen itu, sangat jelas diperlihatkan sebagian besar sikap sosial politis Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia lebih mencerminkan pembelaan kepentingan mereka sendiri. Gereja-gereja di Indone-sia tidak memberi suara apa pun atas peristiwa Tan-jung Priok, Lampung, dan Penembakan Misterius.21
Oleh karena itu, menurut kami, penilaian E.G. Singgih sangat tepat bahwa selama ini dalam menghadapi golongan Islam ideologis atau rezimis, sikap sosial Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia lebih mengedepankan pertimbangan-pertimbangan politis ketimbang pertimbangan-pertimbangan teologis.22
Dokumen-dokumen teologis DGI/PGI selama Orde Baru lebih memberi kesan kuat bahwa seolah-olah persahabatan umat Kristen yang sejati dengan umat Islam, termasuk dengan mereka yang menghendaki Indonesia dengan dasar Islam (Syariat Islam), hanya dapat terbangun apabila kita sama-sama menerima Pancasila sebagai dasar NKRI. Di tengah-tengah makin maraknya aspirasi Islam rezimis atau ideologis akhir-akhir ini yang ditopang oleh euforia Reformasi pasca-keruntuhan formal kekuasaan hegemonis Orde Baru, sebaiknya Gereja-gereja di Indonesia tidak harus mengulangi strategi kontra-produktif itu sebagaimana masih sering kita dengar akhir-akhir ini. Sudah terlalu sering Pancasila menjadi alat kekuasaan hegemonis tertentu untuk menindas golongan yang lain. Seperti diperlihatkan di atas, umat Islam ideologislah yang paling sering menjadi korbannya, sebab mereka mempunyai cita-cita kebangsaan sendiri. Kami mempunyai keyakinan teologis bahwa persahabatan sejati umat Islam dan Kristen di Indonesia pada masa depan sangatlah tergantung pada seberapa konkret karya pendamaian Allah di dalam Yesus Kristus dialami oleh saudara-saudara kita yang muslim dalam sebuah format teologi sosial pluralis-liberatif/transformatif-rekonsiliatif Kristen yang tidak lagi mengacu kepada Pancasila dalam semangat kebangsaan Indonesia yang bersifat integralistis-hegemonis. Oleh sebab itu, prospek meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia pada masa depan tidak lagi terletak pada menerima atau tidak menerima Pancasila sebagai dasar kehidupan bersama, tetapi pada bagaimana menggali semangat teologis liberatif-pluralis-rekonsiliatif dari kedua agama Semitis tersebut.

4. Menjadi Tanda Kehadiran Kerajaan Allah yang Hegemonis
Sekalipun dengan bersikap hati-hati untuk mengidentikkan Kerajaan Allah dengan perjuangan manusia untuk mengusahakan kemajuan bagi kesejahteraan, namun Gereja-gereja di Indonesia juga memahami bahwa Kerajaan Allah menyangkut perdamaian, kasih, keadilan, dan perikemanusiaan. Karena itu, Gereja-gereja di Indonesia juga meyakini bahwa Kerajaan Allah itu mempunyai dimensi sosial, ekonomi, politik, dan budaya dan pemeliharaan hidup. Itulah sebabnya Gereja-gereja di Indonesia—sejak Konsultasi Teologi tahun 1970 dan Sidang Raya DGI VII tahun 1971—tidak hanya mengartikan Kerajaan Allah itu semata-mata sebagai pemerintahan Allah yang bersifat eskatologis saja.23 Bagi Gereja-gereja di Indonesia, Kerajaan Allah yang kepenuhannya baru akan dinyatakan pada masa depan itu telah mulai menerobos masuk ke dalam sejarah bangsa-bangsa yang tanda-tanda Kehadiran-Nya mulai dialami oleh umat manusia melalui kehadiran Gereja di dalam masyarakat dan bangsa di mana Gereja melaksanakan fungsinya sebagai apostolat Allah. Gereja adalah tanda antisipatif akan pemerintahan Allah secara definitif pada masa eskaton. KGM-III menjelaskan pemahaman diri Gereja-gereja di Indonesia:
Pada dirinya, gereja harus menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia ini. Secara konkret itu berarti bahwa gereja menyatakan “kesulungannya” (kepelopor-annya) dengan sedapat mungkin mempenga-ruhi sejarah dunia ke arah langit dan bumi baru dan ikut serta menciptakan struktur kehidupan yang lebih damai, sejahtera dan adil.24
Berdasarkan kesadaran eklesiologis inilah Gereja-gereja di Indonesia mendukung sepenuhnya rencana-rencana pembangunan ideologis rezim Orde Baru. Gereja-gereja di Indonesia menyatakan kesulungan atau kepeloporan mereka itu dengan berpartisipasi dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Mereka percaya bahwa dengan berpartisipasi dalam pembangunan ideologis sebagai manifestasi kesadaran eklesiologis tadi, Gereja-gereja dapat ikut mengatasi penderitaan masyarakat dan bangsa Indonesia yang disebabkan oleh kemiskinan, kebodohan, dan berbagai bentuk ketidakadilan sebagai manifestasi dari dosa itu sendiri. KGM-IV (1984), dengan latar belakang pelaksanaannya seperti disinggung di atas, menjelaskan keyakinan teologis sosial Gereja-gereja di Indonesia berdasarkan kesadaran eklesiologis yang baru saja dikutip:
Sekarang ini, Allah menempatkan gereja-gereja di dalam proses sejarah Bangsa dan Negara Pancasila yang telah melaksanakan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila. Dengan demikian gereja-gereja terpanggil untuk “menterjemahkan” syalom dan kelimpahan yang dianugerahkan Allah kepada dunia, dengan terus menerus berusaha menyatakan tanda-tanda syalom dan kelimpahan itu sehingga menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.25
Kita masih bisa memperpanjang daftar keyakinan teologi sosial Gereja-gereja di Indonesia yang dikorelasikan dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila itu. Tetapi, hal itu kami akhiri saja sampai di sini. Yang jelas bahwa siapa pun yang memeriksa keyakinan teologi sosial Gereja-gereja di Indonesia, baik sebagaimana diartikulasikan dalam KGM-KGM dan Konsultasi Teologi maupun Keputusan-Keputusan Sidang Raya DGI/PGI, akan segera melihat korelasi itu.26 Kami berpendapat bahwa kesadaran teologi sosial yang sangat kuat berkolerasi dengan pembangunan ideologis Orde Baru itu tidak dapat dilepaskan dari keyakinan Simatupang yang begitu kuat tentang model pembangunan di Indonesia, yaitu model pembangunan sebagai pengamalan Pancasila. Simatupang begitu optimis dengan pembangunan ideologis: pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Ia berpendapat bahwa sekalipun Kerajaan Allah tidaklah identik dengan ideologi Pancasila namun Pancasila dengan kelima silanya tidak pula dengan sendirinya bertentangan dengan iman Kristen, karena itu dapat diterima seca-ra teologis Kristiani juga. 27 Ini adalah sebuah retorika saja. Sebab, apa yang diharapkan oleh Simatupang dan menjadi nyata dalam kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia sebagaimana diuraikan tadi sebenarnya dapat juga dikatakan oleh seorang teolog yang kesadaran teologisnya begitu dikendali-kan oleh ideologi kapitalisme dan perasaan fobiatik tentang bahaya Islam rezimis dan komunisme.
Seharusnya Gereja-gereja Protestan di Indonesia yang memiliki tradisi teologis - seperti nyata dalam tulisan-tulisan Siimatupang cs itu - yang sangat menekankan tradisi teologi monoteistis Yahudi-Kristen yang diwarisi dari kewaspadaan teologis khas Protestantis yang menolak untuk mengidentifikasi Kerajaan Allah dengan segala bentuk perjuangan manusiawi dapat membuat Gereja menjadi sebuah tanda Kehadiran Kerajaan Allah yang mendekonstruksi kekuasaan hegemonis Orde Baru dengan pembangunan ideologisnya. Tetapi, mengapa Simatupang dan dokumen-dokumen teologis sosial DGI/PGI begitu optimis dengan model pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila? Bukankah model pembangunan ekonomi Indonesia sebagai pengamalan Pancasila selama rezim Orde Baru itu tidak kalah eksploitatif dan menindas rakyat Indonesia dibandingkan dengan pembangunan ekonomi kapitalisme dan komunisme?
Kita dapat mengatakan di sini bahwa kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas adalah sebuh reproduksi kesadaran teologi sosial yang fobiatik terhadap Islam rezimis dan komunisme. Reproduksi kesadaran teologis sosial ini hanya akan memperkokoh hegemoni Orde Baru yang berlindung di belakang wacana pem-bangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Dalam arti ini pula, kami berani mengatakan di sini bahwa kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia untuk menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di dalam masyarakat Indonesia lebih mencerminkan kekuasaan hegemonis Orde Baru. Kerajaan Allah sebagaimana diwartakan oleh Yesus kehilangan makna dan relevansinya. Yang menonjol di sini adalah gagasan tentang Kerajaan Allah khas monoteisme-monarkhial yang bersifat politis-ideologis dalam tradisi Raja-raja Israel yang tidak didekonstruksi hanya karena alasan-alasan fobiatik terhadap Islam rezimis dan komunisme itu.28
Kita perlu mendekonstruksi bangunan struktur epistemologi teologi sosial ini yang membentuk kesadaran eklesiologis palsu di kalangan Gereja-gereja Protestan di Indonesia selama kekuasaan hegemonis Orde Baru itu. Menurut hemat kami, masalah dengan teologi sosial yang mempengaruhi kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia itu bukanlah terletak hanya pada tema teologis Kerajaan Allah yang khas monoteistis Yahudi-Kristen itu sendiri. Sebab, demikian Juergen Moltmann mencatat, kemunculan teologi politik di Eropa yang kemudian banyak mempengaruhi teologi-teologi pembebasan sekarang ini (termasuk teologi feminis sendiri) sesungguhnya mengakar dalam tradisi teologi monoteistis Yahudi-Kristen itu sendiri. Hanya saja, demikian lanjut Moltmann, kita perlu ingat bahwa kemunculan teologi politik di Eropa itu tidaklah meneruskan gagasan Kerajaan Allah yang bersifat politis-ideologis sebagaimana ditekankan oleh tradisi Raja-raja Israel. Sebab, kemunculan teologi politik Eropa adalah sebuah bentuk kritik terhadap tradisi teologis monoteitis-politis-ideologis untuk melanggengkan sebuah kekuasaan yang bersifat hegemonis.29

5. Kesadaran Oikumenis dalam Politik Ketahanan Nasional
Salah satu pergumulan teologi sosial yang penting diperhatikan di sini ialah bagaimana Gereja-gereja di Indonesia memahami keesaan mereka sejak berdiri-nya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) tanggal 25 Mei 1950. Tentu saja kami tidak ingin mengulangi apa yang sudah ditulis oleh para ahli sejarah Gereja di Indonesia tentang hal ini.30 Dalam uraian ini, kami hanya ingin memperlihatkan bahwa kesadaran oikumenis di kalangan Gereja-gereja di Indonesia itu dihayati dalam hubungannya dengan kehadiran Gereja-gereja di Indonesia di dalam sebuah komitmen politik Orde Baru untuk mempertahankan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.31
Pada tahun 1973, T.B. Simatupang di hadapan Sidang BPL-DGI menyampaikan sebuah ceramah berjudul “Keesaan Gereja dan Kesatuan Bangsa”.32 Dalam ceramah itu, Simatupang menggarisbawahi bahwa pertumbuhan ke arah keesaan dalam Kristus, yang merupakan sebuah keharusan teologis sebagaimana dikehendaki oleh Kristus sendiri dalam doa-Nya (Yoh. 17:21), bukanlah semata-mata demi kepentingan Gereja-gereja itu sendiri. Memang keesaan untuk mempersatukan gereja-gereja suku dan denominasi teologi itu adalah hal yang penting. Namun, itu bukanlah tujuan satu-satunya, juga bukan tujuan pada dirinya sendiri. Keesaan gereja adalah alat kesaksian agar dunia percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan yang membebaskan dan mempersatukan semua umat manusia yang terpecah-pecah ke dalam kotak-kotak pemisah etnis, budaya, sosial, dan politik ke dalam suatu persekutu-an baru umat manusia di mana perdamaian, keadilan, dan persaudaraan diwujudkan.33
Simatupang menghubungkan hal keesaan gereja itu dengan pembinaan kesatuan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Memang keesaan gereja dan kesatuan bangsa tidaklah sama. Jika dalam kesatuan bangsa ada unsur kekuasaan, dalam keesaan gereja tidak ada unsur kekuasaan itu, apalagi kekuasaan yang terpusat tidaklah dikenal dalam keesaan gereja. Dalam keesaan gereja, unsur satu-satunya yang mempersatukan adalah seberapa setia gereja-gereja dan warganya kepada panggilan pembebasan dan persatuan dari Tuhan sebagai kepala Gereja.34 Unsur hakiki dari keesaan gereja inilah yang dapat menjadi alat kesaksian gereja-gereja di Indonesia kepada masyarakat dan bangsa Indonesia yang sedang dalam proses pertumbuhan untuk menyempurnakan dan mengisi kesatuannya. Keesaan gereja-gereja di Indonesia akan memberi sebuah model bagi bangsa Indonesia bahwa kesatuan bangsa hanyalah dapat diwujudkan dengan mewujudkan kemanusiaan, keadilan, dan persaudaraan bagi semua orang yang hidup dalam lingkungan kesatuan itu.35
Simatupang kembali mengulangi gagasan itu dalam ceramahnya pada Sidang Raya VIII tahun 1976 di Salatiga di bawah tema “Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan” dan sub tema “Panggilan Kita untuk Pembebasan dan Persatuan dalam Gereja, Masyarakat dan Dunia”.36 Pemikiran-pemikiran Simatupang ini kemudian mengkristal dengan menghubungkan keesaan Gereja-gereja di Indonesia itu dengan pengamalan sila ke-3 Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Kita mencatat, misalnya, pada Sidang Raya IX DGI tahun 1980 di Tomohon, Simatupang menegaskan pandangannya sambil mengacu pada sila ke-3 Pancasila:
Dengan menerapkan sila Persatuan Indonesia dalam pembangunan kita, kita meningkatkan solidaritas nasional di antara semua warga negara, semua golongan dan semua daerah atas dasar hak dan kewajiban yang sama bagi tiap warga negara tanpa memandang asal usul, keturunan dan kedudukan sosial. Seluruh nusantara kita lihat sebagai satu wilayah yang tidak dikotak-kotakkan. Sebagai gereja-gereja kita bertanggungjawab mengenai peningkatan persatuan bangsa. Perwujudan keesaan gereja yang dalam Tuhan telah kita miliki itu, kita tempatkan juga dalam rangka peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa.37
Sejalan dengan apa yang ditekankan oleh Simatupang di atas, Konsultasi Teologi tahun 1982 di Sukabumi, suatu Konsultasi yang dilaksanakan secara khusus untuk mempersiapkan pembentukan Gereja Kristen yang Esa (GKE) di Indonesia dalam Sidang Raya X DGI di Ambon, merekomendasikan agar Gereja-gereja di Indonesia keluar dari ikatan-ikatan primordial kedaerahan dan denominasional untuk menjadi suatu persekutuan bersama dalam sebuah organisasi bersama. Keesaan Gereja yang ditampakkan dalam bentuk organisasi itu akan menjadi buah sulung di tengah-tengah lembaga-lembaga lain sebagai tanda keselamatan Kerajaan Allah dan berkat bagi pembangunan bangsa, terutama sekali dalam membina kehidupan bersama sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.38
Pemikiran teologis sosial di atas haruslah dilihat sebagai sebuah keyakinan dasar di kalangan para pemimpin Gereja-gereja Kristen Protestan di Indonesia bahwa NKRI adalah sebuah kenyataan kenegaraan dan kebangsaan yang sudah final. Ia adalah suatu entitas politik, sosial, dan kultural yang telah selesai dengan pengakuan kedaulatan NKRI oleh pemerintah Belanda tahun 1949. Kesimpulan kita ini dapat dibenarkan apabila kita memperhatikan sikap KGM-IV tahun 1984 di Bali tentang pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dalam hubungan dengan sila ke-3 Pancasila. Dalam laporan itu ditekankan bahwa:
Harapan dan tanggungjawab kita di dalam Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila ialah, agar pengalaman-pengalaman pahit yang ditimbulkan oleh perpecahan di masa silam yang telah kita bayar dengan sangat mahal, tidak terulang lagi. Hal itu berarti bahwa melalui Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila, arti dan makna kesatuan dan persatuan perlu mendapat bentuk dan pemantapan pada tingkat kenyataan, tanpa mengurangi arti dan makna kebhinnekaan. Demikian juga halnya dengan kebhinnekaan harus mendapat hak dan perlindungan tanpa menjadi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan. Melalui dan di dalam proses Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila, kesadaran akan persatuan sebagai kebersamaan dan tanggungjawab bersama hendaknya mendapatkan kondisi dan suasana yang cocok dan memadai agar dapat bertum-buh dan mekar secara wajar dan manusiawi.39
Apa yang ditekankan oleh Simatupang dan para pemimpin Kristen lain sebagaimana nyata dari kesepakatan-kesepakatan bersama yang diuraikan di atas ini adalah suatu hal yang sangat penting. Ia adalah suatu sumbangan yang sangat berharga dalam konteks NKRI sebagai sebuah entitas sosial politik. Yang menjadi masalah di sini ialah apakah dukungan terhadap entitas sosial politik NKRI itu tidak merupakan suatu dukungan terhadap suatu yang totaliter, apalagi dalam konteks dasawarsa 80-an di mana Orde Baru sudah demikian rupa mengidentifikasi dirinya dengan Negara dengan politik asas tunggalnya? Kami dapat mengatakan secara pasti bahwa kesadaran oikumenis itu mempunyai korelasi dengan politik ketahanan nasional Orde Baru yang dimulai pada Repelita III (1978/1979) dan dikenal dengan sebutan wawasan nusantara. Pesan Sidang Raya VIII yang sudah kami sebutkan di atas jelas-jelas memberi indikasi ke arah kesimpulan kami ini dengan menyebutkan relevansi dari tema dan sub-tema yang dipilih itu terhadap usaha-usaha meningkatkan Ketahanan Nasional.40

6. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas ini kita dapat menyimpulkan di sini bahwa citra sosial politik Gereja-gereja di Indonesia selama Orde Baru itu lebih dipengaruhi oleh logika kesadaran epistemo-logis teori sosial dan budaya a la modernisme Weberian dan tafsir kebudayaan Geertzian, yang memiliki kecenderungan kuat mengganggap bahwa “nilai” itu (teologis dan budaya serta ideologi) sebagai “nilai” yang bersifat netral. Struktur bangunan kesadaran epistemologis modernisme a la Weberian dan tafsir budaya Geertzian yang positivistik itu menghasilkan teologi sosial yang tidak mampu mendorong hidup menggereja Gereja-gereja di Indonesia dengan menjadikan Injil Kerajaan Allah sebagai berita liberatif dan transformatif serta membongkar kekuasaan hegemonis Orde Baru. Sebaliknya, teologi sosial itu menjadikan teks-teks teologis liberatif-transformatif seperti Markus 1:15 dan Lukas 4:18-20 menjadi berita yang bersifat netral, kalau bukan kabar angin dari langit yang kehilangan makna dan daya liberatif. Kerajaan Allah yang seharusnya menghambat mengentalnya segala bentuk kekuasaan hegemonik justru telah menjadi berita yang penuh daya transformatif-liberatif itu yang mempercepat menguatnya kekuasaan hegemonis Orde Baru di kehidupan politik, ekonomi dan budaya di Indonesia. Dengan demikian, berita Injil Kerajaan Allah atau Injil Yesus Kristus yang seharusnya dihayati sebagai berita yang mempertanyakan keabsahan rezim Orde Baru dan membongkar kekuasaan hegemonisnya justru telah menjadi berita yang membunuh kesadaran kritis umat dan warga jemaat serta warga masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, mengikuti kebiasaan kaum Marxis, teologi dan Gereja telah sungguh-sungguh menjadi pabrik opium yang setiap kali memproduksi “opium” yang terpaksa dikonsumsi oleh umat dan masyarakat luas untuk menghilangkan rasa sakit secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya mereka untuk sementara waktu.
Kesadaran hidup menggereja yang dibangun berdasar jenis teologi sosial yang dipengaruhi oleh logika epistemologi positvisme Weberian itu semakin diperparah oleh kondisi psikologis sejumlah teolog tentang bahaya Islam rezimis/ideologis dan komunisme. Perasaan fobiatik ini telah menyebabkan Gereja-gereja di Indonesia selama Orde Baru lebih senang membangun kemitraan atau persahabatan yang kental dengan kekuasaan hegemonis Orde Baru atas nama ideologi Pancasila dalam semangat kebangsaan Indonesia a la UUD 1945. Dalam kemitraan dan persahabatan yang kental dengan rezim hegemonis Orde Baru itulah solidaritas Gereja dengan kaum miskin dan lemah di dalam masyarakat hanyalah sebagai apendiks dalam pembangunan ideologis, yang dikenal dengan jargonnya: pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Menurut hemat kami, citra sosial politik Gereja semacam ini perlu diakhiri. Gereja harus membangun citra sosial politiknya dengan mengembangkan kesadaran hidup menggereja yang bersifat liberatif-transformatif. Hanya dengan mengembangkan model hidup menggereja seperti inilah Gereja-gereja di Indonesia dapat benat-benar menjadi Gereja yang menjalankan visi dan misi kemanusiaan yang telah dirintis oleh Yesus Kristus, yaitu dengan jalan menjadi senasib dengan mereka yang dikorbankan oleh kekuasaan hegemonis Romawi dalam kolaborasinya dengan para penguasa lokal di Palestina. Terlepas dari hidup menggereja seperti ini maka Gereja-gereja di Indonesia tidak pantas lagi menyebut diri sebagai komunitas iman para murid Yesus Kristus!!

Catatan Kaki:
1Bdk. S.A.E. Nababan, Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat. Laporan Konperensi Nasional Geredja dan Masjarakat (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1968), hlm. 125 (Bandingkan bidang Politik, hlm. 9 dan Theologia, hlm. 117).
2 Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat, hlm. 9. Bdk. DGI, Karunia Tambah Karunia. 30 Tahun DGI (Jakarta: DGI, 1980), hlm. 27-33.
3Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat, hlm. 125 (bdk. seksi Politik, hlm. 9 dan Teologi, hlm. 118-119).
1Pandangan Latuihamallo ini dapat dibaca dalam dua karangannya, yaitu: (a) P.D. Latuihamallo, Renungan Suci tentang Pembangunan Modern. Diucapkan pada tanggal 27 September 1975, hari ulang tahun ke-41 STT Jakarta (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976); (b) “Missiology and Politcs: Christian Alterness in Indonesia”, dlm. SEAJT, Vol. 10. Number 2-3 (Oktober 1968-Januari 1969), pp. 99-131.
5DGI, Melihat Tanda-tanda Jaman: Pengamalan Pancasila dalam Membangun Masa Depan. Laporan Konperensi Gereja dan Masyarakat (KGM-III), Klender, 15-21 Maret 1976 (Jakarta: BPK, 1976), hlm. 227-228.
6Bdk. Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat (khusus tentang modernisasi) dan Pergumulan Rangkap (khusus tentang Manusia, Pembangunan, dan Modernisasi).
7 Bdk. Melihat Tanda-tanda Jaman: Pengamalan Pan-casila dalam Membangun Masa Depan, hlm. 228.
8Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat, hlm. 119-120.
9Lihat Pergumulan Rangkap: Laporan Konsultasi Theologia tahun 1970, hlm. 30-33.
10Bdk. Berita Oikumene, Agustus 1976, hlm. 23. Itulah sebabnya ketika euforia Reformasi tahun 1998 melahirkan begitu banyak Partai Politik—terutama dengan latar belakang keagamaan—MPH-PGI menyayangkan hal itu sebagai kemunduran demokrasi dan tidak sesuai dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Lihat “Pokok-Pokok Pemikiran Majelis Pekerjaan Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI) tentang Beberapa Masalah Aktual dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi VII DPR-RI, Tanggal 16 Juni 1998”, dlm. Weinata Sairin (Peny.), Pesan-Pesan Kenabian di Pusaran Zaman: Dokumen Terpilih PGI Seputar Reformasi dan Isu Sosial Kemasyarakatan (Jakarta: Sinar Harapan, 2002), hlm. 25-30 (29).
11DGI, Realisme yang Berpengharapan: Gereja-gereja Memasuki Dasawarsa Delapan Puluhan. Laporan Konsultasi Teologi mengenai Partisipasi Gereja-gereja dalam Pembangunan, Tentena, 1-5 April 1979 (Jakarta: DGI, 1981), hlm. 220. Hasil Konsultasi ini kemudian direkomendasikan kepada Sidang Raya DGI IX di Tomohon Tahun 1980. Lihat Gereja-gereja Memasuki Dasawarsa 1980-an. Bahan Persiapan Sidang Raya IX DGI, 19-31 Juli 1980 di Tomohon, hlm. 27. Tampaknya rekomendasi Konsultasi itu diterima dalam Sidang Raya sehingga dalam Keputusan Sidang tentang Garis-Garis Besar Haluan serta Kebijakan Umum Rencana Kerja DGI dalam Bersaksi di Tengah Pergumulan Bangsa isu ideologi negara dianggap telah selesai, dan karena itu perhatian lebih banyak diarahkan pada bagaimana berpartisipasi dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Lihat Datanglah Kerajaan-Mu: Roh Kudus Membaharui Gereja menjadi Saksi dalam Pergumulan Bangsa. Notulen Sidang Raya IX DGI, 19-31 Juli 19980, Manado-Tomohon, Sulawesi Utara (Jakarta: DGI, 1980), hlm. 174-191. Cetak miring adalah penekanan penulis.
12Lihat Tanggapan DGI bersama MAWI berjudul Tanggapan DGI-MAWI atas Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (Jakarta: Sekretariat DGI dan Sekretariat MAWI, 1980).
13Lihat S.A.E. Nababan, “Penyelenggaraan Kebebasan Beragama dan Pemeliharaan Kerukunan Beragama”. Ceramah pada Penataran para pendeta yang diselenggarakan oleh DGI, Juli-Agustus 1979, di lima kota di Indonesia yang berbeda. Ceramah ini kemudian dimuat dalam Berita Oikumene, September 1979, hlm. 15-19.
14Lihat “Pandangan DGI tentang Pancasila sebagai Azas Tunggal bagi Semua Kekuatan Sospol—1983", dlm. Weinata Sairin (Peny.), Pemilu, GBHN dan Visi Sosial Kemasyarakatan: Perspektif Gereja-gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm.307-310. Memang harus dicatat di sini bahwa pencantuman Pancasila sebagai asas satu-satunya dalam Tata Dasar PGI adalah mendahului kesepakatan bersama yang berlangsung di Ancol, Jakarta, 2-3 Desember 1986 yang difasilitasi oleh Bimas Kristen. Juga perlu diingat bahwa PGI menolak sebutan Asas Tunggal sebagaimana diusulkan Eka Darmaputera. Itulah sebabnya PGI keberatan ketika Majalah Tempo menulis sebuah berita berjudul: Asas Tunggal bagi Gereja. Tentang perdebatan dan kesepakatan itu, lihat Berita Oikumene, Desember 1986, hlm. 4-6 dan Berita Oikumene, Januari 1987, hlm. 7-11. Sehubungan dengan sikap menerima dan menyepakati itulah maka pemerintah Orde Baru mengucapkan terima kasih kepada sikap positif Gereja-gereja itu. Lihat Berita Oikumene, Mei 1987, hlm. 4-5.
15Lihat Memasuki Masa Depan Bersama, hlm. 57 (Tata Dasar Bab III, pasal 5).
16Istilah bersih lingkungan adalah sebuah terminologi yang khas dalam politik rezim Orde Baru yang semakin mencuat ke permukaan setelah penerapan politik Asas Tunggal itu. Itulah sebabnya sejak saat itu setiap calon anggota DPR/MPR-RI harus menjalani apa yang disebut dengan litsus (penelitian khusus), apakah mereka terlibat dan/atau termasuk ke dalam salah satu golongan yang diberi label ekstrim kirim (Komunisme/PKI dan Islam Ideologis/Rezimis). Augustin Sibarani melukiskan hal ini secara karikaturis dengan pemeriksaan kuku seperti dilaku-kan oleh seorang guru SD terhadap murid-muridnya yang tidak membersihkan kotoran kukunya. Lihat Augustin Sibarani, Karikatur dan Politik, (Jakarta: Garda Budaya dan IASI, 2001), hlm. 187.
17Karel Steenbrink mencatat bahwa sekalipun umat Islam dan Kristen sama-sama menerima Pancasila untuk melawan Komunisme yang dipandang sebagai yang mengandung faham ateisme dan sekularisme dan telah memberi dampak terhadap teologi Islam tentang agama-agama lain (khusus Islam), tetapi dengan membatasi peran agama hanya pada urusan-urusan liturgis dan ajaran tanpa ada hubungannya dengan urusan publik, telah menimbulkan rasa frustrasi di sebagaian kalangan umat Islam, terutama Islam politik/rezimis, di mana ia menyebut korban Tajung Priok dan Lampung sebagai bagian dari penolakan umat Islam rezimis atas Pancasila sebagai Asas Tunggal. Karel Steenbrink, “Indonesian Politics and A Muslim Theology of Religions: 1965-1990”, dlm. I.C.M.R., Vol. 4, No. 2, Dec. 1993, pp. 222-246.
18Kelahiran rezim Orde Baru sendiri tidak dapat dilepaskan dari kondisi psiko-politik secara ideologis pasca-perang dunia kedua. Bandingkan karangan Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin sebagaimana disebutkan dalam catatan kaki nomor 35 di atas. Bdk. Benedict R. O’G Anderson dan Ruth T. McVey, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal, terj. Galuh HE Akoso, dkk. (Yogyakarta: LKPSM, 2001).
19Henk Schulte Nordholt menyebut bahwa antara tahun 1983-1985, ada sekitar 5.000-10.000 orang penjahat atau yang diperhalus dengan gali (gabungan anak-anak liar) dibunuh. Ia menyebut ada tiga alasan pembunuhan itu: (1) sebagai “shock therapy” untuk mengendalikan apa yang oleh rezim Orde Baru disebut para penjahat sosial; (b) adanya upaya untuk menghancurkan hubungan erat antara penjahat dan pejabat; (c) sebagai penyelesaian antara dua jenderal yang bersaing secara kotor. Menurut Nordholt, rupanya para penjahat itu adalah semacam “penjahat yang dilindungi oleh pejabat negara”. Dalam hal ini, ia memberi kesan bahwa Pemuda Pancasila adalah “bandit-bandit politik Golkar dan Istana”. Lihat Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 20-22.
20Di sini kami ingin merujuk kepada kumpulan dokumen terpilih sebagaimana kami sebutkan dalam catatan kaki nomor 10 dan 14 di atas, yaitu dokumen-dokumen DGI/PGI yang sunting oleh Weinata Sairin.
21Sejauh dapat kami lacak, hanya ada satu pendeta Protestan yang memberi kritik atas tindakan Orde Baru dengan penembakan misterius itu, yaitu Pdt. Broto Semedi Wiryotenoyo. Lihat Broto Semedi Wiryotenoyo, “Gereja, Mengapa Engkau”, dlm. Berita Oikumene, Maret 1984, hlm. 17-18.
22E.G. Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 20.
23Bdk. T.B. Simatupang, “Penugasan Sidang Raya IX DGI di Tomohon (1980)”, dlm. Berita Oikumene, Maret 1981, hlm. 25-28. Juga bandingkan Keputusan SR IX DGI tahun 1980 tentang “Garis-Garis Haluan serta Kebijakan Umum Kerja DGI dalam Bersaksi di Tengah Pergumulan Bangsa”, dlm. Datanglah Kerajaan-Mu, hlm. 175.
24Melihat Tanda-tanda Zaman, hlm. 214-215. Cetak miring adalah penekanan penulis.
25Lihat Harapan dan Keprihatinan Bangsa dan Negara Memasuki Akhir Abad Ke-20, hlm. 75. Konsultasi Teologi Tahun 1982, sambil mengacu kepada teks-teks kritis dari Nabi Amos dan Matius 23, menegaskan bahwa tugas Gereja ialah “menghadirkan keadilan Kerajaan Allah sebagaimana ditekankan oleh Matius 23:23 adalah sejalan dengan cita-cita Negara Pancasila”. Oleh sebab itu, pembangunan yang berkeadilan sosial haruslah dihayati sebagai pengamalan Pancasila itu. Lihat DGI, Memasuki Sejarah Bersama: Membaharui, Membangun dan Mempersatukan Gereja. Laporan Konsultasi Teologi, Sukabumi, 15-19 Januari 1982 (Jakarta: DGI, 1982), hlm. 67-70. Cetak miring adalah penekanan penulis.
26PGI, Visi Baru untuk Era baru dengan Generasi Baru. Laporan Konferensi Nasional Gereja dan Masyarakat V, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 12-18 April 1989 di Caringan, Bogor (Jakarta: Akademi Leimena, 1989) dan Membangun Masyarakat Pancasila yang Bersatu, Adil, Berdaulat dan Beradab. Laporan Konferensi Gereja dan Masyarakat VI, Pesekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 4-8 Agustus 1993 di Caringan, Bogor (Jakarta: Akademi Leimena, 1994).
27Tentang pandangan Simatupang lihat artikel kami berjudul: “ Teologi Politik T.B. Siamatupang: Sebuah Telaah Kritis” yang akan diterbitkan dalam Gema Jurnal Duta Wacana, Edisi No. 59 (2003)
28Bdk. George V. Pixley, Kerajaan Allah: Artinya bagi Kehidupan Politis, Ideologis dan Kemasyarakatan, terj. Aleks Tabe (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 34-49.
29Dalam hal ini, Moltmann menyebut hegemoni Gereja (catatan: Moltmann sendiri tidak menyebut istilah “hegemoni”—ini adalah penyebutan penulis). Lihat Juergen Moltmann, The Trinity and the Kingdom of God: The Doctrine of God (London: SCM Press, 1989), pp. 191-222.
30Lihat Chris Hartono, Gerakan Ekumenis di Indonesia (Yogyakarta: PPIP “Duta Wacana”, 1984).
31Studi Institut Oikumene tahun 1973 tentang Kesatuan Bangsa mencatat bahwa ada hubungan yang erat antara kesadaran ekumenis di kalangan Gereja-gereja di Indonesia dengan kesatuan bangsa. Lihat Kesatuan Bangsa. Hasil Diskusi dalam Konsultasi yang bertema Kesatuan Bangsa. Brosur No. 2 tahun 1973 (Jakarta: IOI, 1973), hlm. 21. Juga lihat Notulen Sidang BPL DGI, 4-10 Oktober 1973 di Malang, dengan tema Keesaan Gereja dan Kesatuan Bangsa, hlm. 57.
32Artikel ini mulanya merupakan ceramah T.B. Simatupang pada Sidang BPL-DGI, 4-10 Oktober 1973 di Malang. Lihat T.B. Simatupang, Kehadiran Kristen dalam Perang, Revolusi dan Pembangunan: Berjuang Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), hlm. 106-115.
33Bdk. Kehadiran Kristen dalam Perang, Revolusi dan Pembangunan: Berjuang Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman, hlm. 108-110. Juga Iman Kristen dan Pancasila, hlm. 111.
34Iman Kristen dan Pancasila, hlm. 111-112.
35Lihat Kehadiran Kristen....hlm. 111 dan Iman Kristen dan Pancasila, hlm.125. . Bdk. John Titaley, “Gereja Kristen Yang Esa: Konteks Tonggak-Tonggak Sejarahnya”, dlm. Berita Oikumene, Mei-Juni/1991 , hlm. 7-10.
36Bdk. T.B. Simatupang, “Panggilan untuk Pembe-basan dan Persatuan dalam Gereja, Masyarakat dan Dunia”, dlm. Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan. Notulen Sidang Raya VIII DGI, Salatiga, 1-12 Juli 1976. Lampiran 13, hlm. 432-454.
37T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila (Jakarta: BPK gunung Mulia, 1985), hlm. 138. Cetak miring adalah penekanan penulis.
38Lihat Memasuki Sejarah Bersama, hlm. 57. Bdk. Yesus Kristus Kehidupan Dunia. Laporan Sidang Raya X DGI 1984, 21-31 Oktober 1984, Karang Panjang, Ambon (Jakarta: DGI/PGI, 1984) dan Memasuki Masa Depan Bersama: Lima Dokumen Keesaan Gereja-gereja di Indonesia. Keputusan Sidang Raya X DGI, 21-31 Oktober 1984, Karang Panjang, Ambon, Maluku (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986).
39Harapan dan Keprihatinan Bangsa dan Gereja Memasuki Akhir Abad Ke-20, hlm. 78. Komitmen Gereja-gereja di Indonesia terhadap NKRI itu secara sangat intensif dibicarakan dalam Sidang Raya IV DGI tahun 1961. Dalam Sidang Raya itu, dengan memilih tema “Yesus Kristus Terang Dunia”, Gereja-gereja secara sangat mendalam membicarakan masalah sosial politik, khususnya masalah disintegrasi bangsa. Lihat Chris Hartono, Gerakan Ekumenis di Indonesia, (Yogyakarta: PPIP “Duta Wacana”, 1984), hlm. 87.
40 Lihat Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan, hlm. 323.

23 Mei 2008

Pendidikan Pemilih KPU

RANCANGAN KEBIJAKAN KPU TENTANG PENDIDIKAN PEMILIH

http://www.kpu.go.id/program/lihat-dalam.php?ID=2&cat=Kegiatan
Kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pendidikan pemilih secara keseluruhan berisi enam hal, yaitu Tujuan dan Fokus Kegiatan, Tema Materi Pendidikan Pemilih, Berbagai kategori kelompok masyarakat pemilih yang menjadi sasaran pendidikan pemilih, Metode dan Media Pendidikan Pemilih, Strategi Pelaksanaan, dan Sumber Anggaran.
TUJUAN DAN FOKUS KEGIATAN

Dua alasan utama mengapa program pendidikan pemilih dilaksanakan oleh KPU? Pertama, Ketetapan MPR tahun 1999 tentang GBHN mengamanatkan perlunya peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang diselenggarakan selambat-lambatnya tahun 2004.Salah satu cara meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum adalah pendidikan pemilih. Kedua, Visi KPU 2002-2005 menggariskan betapa pentingnya kepercayaan masyarakat kepada hasil penyelenggaraan pemilihan umum.
Salah satu dari tiga cara yang dikemukakan dalam Visi KPU untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat adalah partisipasi rakyat yang seluas-luasnya dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Partisipasi rakyat seluas-luasnya dalam penyelenggaraan pemilihan umum hanya mungkin terjadi apabila rakyat menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara, rakyat memahami pentingnya demokrasi perwakilan dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan rakyat menyadari pentingnya pemilihan umum dalam pelaksanaan demokrasi perwakilan dan bagi kehidupannya sebagai warga negara pada umumnya. Pendidikan Pemilih merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tersebut.
Tujuan program pendidikan pemilih adalah (1) rakyat makin menyadari hak dan kewajiban sebagai warga negara, (2) rakyat makin memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan demokrasi perwakilan, (3) rakyat makin memahami berbagai aspek penyelenggaraan pemilihan umum, dan (4) rakyat mampu memberikan suaranya pada pemilihan umum secara tepat sesuai dengan pilihan sendiri.
Pelaksanaan program pendidikan pemilih difokuskan pada dua sasaran, yaitu (1) program pendidikan untuk menumbuhkan kesadaran demokrasi dan pentingnya pemilihan umum, dan (2) program pendidikan untuk menumbuhkan pemahaman tentang tata cara berbagai tahapan proses pelaksanaan pemilihan umum.
TEMA PENDIDIKAN PEMILIH

Materi pendidikan pemilih yang disampaikan kepada masyarakat meliputi dua tema dengan sejumlah subtema sebagai berikut:
A. Demokrasi Perwakilan, yang meliputi subtema:

1. Mengapa lembaga pemerintahan dibentuk?
2. Apa saja lembaga-lembaga pemerintahan yang ada di Indonesia?
3. Menurut Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945?
4. Bagaimana membentuk lembaga-lembaga pemerintahan?
5. Apa sistem pemerintahan Indonesia menurut Perubahan Pertama , Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945?
6. Mengapa dibentuk demokrasi perwakilan di pusat dan daerah?
7. Apa saja yang menjadi tugas dan kewenangan berbagai lembaga perwakilan?
8. Apakah Demokrasi Perwakilan meniadakan hak dan kebebasan warga negara?
9. Apa saja hak dan kewajiban warga negara, dan bagaimana menggunakan hak dan menjalankan kewajiban tersebut?

B. Sistem dan Proses Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang meliputi subtema berikut:

1. Mengapa pemilihan umum diselenggarakan?
2. Apa sajakah yang terkandung dalam suatu Sistem Pemilihan Umum?
3. Sistem pemilihan umum seperti apakah yang diadopsi Indonesia untuk Pemilu 2004?
4. Mengapa pemilihan umum harus LUBER, JURDIL, Akontabel, damai dan beradab?
5. Apa sajakah yang menjadi Hak dan Kewajiban Pemilih?
6. Mengapa KPU bersifat Nasional, Tetap, Mandiri, Independen dan Nonpartisan?
7. Mengapa harus ada kampanye pemilihan umum?
8. Pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih penyelenggara lembaga apa saja?
9. Persyaratan apa sajakah yang harus dipenuhi untuk dapat ditetapkan sebagai Peserta Pemilu?
10. Persyaratan apa sajakah yang harus dipenuhi untuk dapat ditetapkan sebagai calon?
11. Apa sajakah yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum menentukan pilihan (memberikan suara) dalam pemilihan umum?
12. Bagaimana mendapatkan informasi tentang Peserta Pemilu (Parpol dan Perseorangan) dan tentang Calon?
13. Isu atau Masalah apa sajakah yang perlu diketahui oleh pemilih dalam pemilihan umum 2004?
14. Kegiatan apa sajakah yang berlangsung selama proses pelaksanaan pemilihan umum?
15. Bagaimana memberikan suara secara tepat (sah) menurut peraturan perundang-undangan?
16. Bagaimana caranya menentukan calon terpilih anggota DPR/DPRD, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden?
17. Ketentuan Pidana macam apa sajakah yang tidak boleh Dilanggar dalam pemilihan umum?
18. Bagaimana caranya menyampaikan pengaduan bila ditemukan adanya pelanggaran peraturan pemilihan umum?
19. Lembaga apakah yang harus merespon pengaduan mengenai pelanggaran peraturan perundang-undangan?

KELOMPOK SASARAN PENDIDIKAN PEMILIH

Untuk menjamin efektivitas pendidikan pemilih, maka pelaksanaan program pendidikan pemilih akan disesuaikan dengan kelompok sasaran pendidikan pemilih. Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pendidikan pemilih dapat dipilah menjadi beberapa kategori:
1. Pemilih Umum
2. Pemilih Baru (Remaja/Pelajar)
3. Pemilih Perempuan
4. Pemilih dengan Kebutuhan Khusus: suku terpencil, penyandang cacat, rumah tahanan, Tunawisma, dsb.
5. Pemilih di Luar Negeri
6. Pengemuka Pendapat (opinion leader), seperti seniman, wartawan, agamawan, tokoh kesenian daerah, dsb
7. Pengurus Partai Politik
8. Calon Anggota Dewan Perwakilan
9. Guru dan akademisi
10. Utusan Partai Politik (Saksi) pada TPS.

METODE PENDIDIKAN PEMILIH

Pendidikan pemilih dilakukan melalui metode verbal dan audio-visual, monolog dan interaktif, pasif dan partisipatif, tatap-muka dan melalui media cetak dan elektronik. Berbagai metode pendidikan pemilih ini dilaksanakan melalui media berikut:
1. Telepon Layanan Informasi 0900
2. Televisi
3. Radio
4. Talkshow Radio dan Televisi
5. Media Cetak (Koran dan majalah) pusat dan daerah
6. Internet/Website
7. Pembuatan Publikasi Buletin, Brosur, Poster, Spanduk, Stiker, dll.
8. Kesenian Daerah (wayang, ketoprak, ludruk, dll.)
9. Publikasi Khusus, yaitu pembuatan publikasi dalam bahasa daerah, dan pembuatan publikasi untuk penyandang cacat
10. Posko Informasi Pemilu dengan tenaga relawan independent (pelajar, mahasiswa, dll.)
11. Media Center (press release, penyediaan informasi, konferensi pers, dll.)
12. Meminta Kesempatan Menyampaikan Informasi pemilu kepada setiap Organisasi Kemasyarakatan yang melaksanakan Kongres/ Muktamar/ Musyawarah Nasional/Rapat Nasional dsbnya.
13. Bekerjasama dengan LSM/Organisasi Kemasyarakatan untuk melaksanakan Pendidikan Pemilih
14. Penyelenggaraan Berbagai Sayembara (Lomba) yang berkaitan dengan Materi Pendidikan Pemilih:
a. Lomba Lagu Pemilu Jurdil dan Damai
b. Lomba Lagu Dangdut Pemilu Tenang
c. Lomba Poster Pemilu Damai
d. Lomba Cerdas Cermat Paham Pemilu
e. Lomba Pidato Kampanye Damai
f. Lomba Videoclip Pemilu Jurdil
g. Lomba Dalang (Wayang) Pemilu Damai
h. Lomba Karya Ilmiah Pemilu Jurdil

STRATEGI PELAKSANAAN PENDIDIKAN PEMILIH

Modul Materi Pendidikan Pemilih akan disusun sendiri oleh KPU, sedangkan penterjemahan materi pendidikan pemilih menjadi “Format Pesan yang Menarik” akan dilakukan oleh KPU dengan atau tanpa kerjasama dengan pihak luar dan sebagian lagi dilakukan oleh pihak luar KPU. Sebagian terbesar materi pendidikan pemilih akan dikomunikasikan kepada kelompok sasaran pemilih oleh pihak luar KPU. Strategi pelaksanaan seperti ini dapat dijabarkan dalam sejumlah langkah berikut:
1. Membentuk Tim Penyusun Modul Materi Pendidikan Pemilih: Anggota Tim untuk Tema Demokrasi Perwakilan dipilih dari kalangan akademisi di luar KPU, sedangkan Anggota Tim untuk Tema Pemilu dipilih dari dalam KPU;
2. Membentuk Dua Tim Kerja Produksi KPU: Tim Kerja Produksi PSA Televisi/Radio, dan Tim Kerja Produksi Cetak Publikasi Khusus;
3. Membangun Infrastruktur Produksi Materi Pendidikan Pemilih: Inhouse production untuk PSA Televisi dan Radio, seperti videocamera dan editing equipments, dan Inhouse production untuk publikasi khusus, seperti design equipments;
4. Menentukan Kelompok Sasaran Pemilih Apa saja yang akan Didekati dengan Menggunakan Metode/Media Pendidikan Pemilih apa saja;
5. Menentukan Materi Pendidikan Pemilih Macam Apa saja yang akan Diproduksi oleh KPU, Macam Apa saja yang akan Diproduksi oleh Agency di luar KPU;
6. Menentukan Materi Pendidikan Pemilih Macam Apa sajakah yang akan Ditangani oleh KPU Daerah;
7. Menentukan Advertising Agency untuk Memproduksi program-program khusus selain yang Ditangani Tim Kerja Produksi KPU;
8. Menentukan Event Organizer untuk Melaksanakan program-program khusus Selain yang Ditangani oleh KPU;
9. Menentukan Materi Pendidikan Pemilih Macam Apa sajakah yang akan Disampaikan kepada kelompok sasaran oleh LSM/Ormas;
10. Menentukan Materi Pendidikan Pemilih Macam Apa sajakah yang akan Disampaikan kepada kelompok sasaran oleh Pengemuka Pendapat.

ANGGARAN

Sebagian anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan program pendidikan pemilih tersebut berasal dari APBN, dan sebagian lagi berasal dari Grant dari negara donor, lembaga multilateral, dan NGO Internasional (UNDP, Partnership for Governance Reform, USAID, Asia Foundation, dsb.).
Penyusun:
Prof. Dr. Ramlan Surbakti, MA
Dr. Imam B. Prasodjo
(Redaktur)

28 April 2008

Nine years on: Where is our democracy?

Franz Magnis-Suseno SJ, Jakarta

http://old.thejakartapost.com/Outlook2008/pol07b.asp

Defying many pessimistic predictions, Indonesia, fourth biggest country and the country with the biggest number of Muslims in the world, is a thriving democracy.

But why is it that the deserved “hurrah!” doesn’t easily cross our lips? Probably because we realize only too well that more than nine year after the fall of the New Order, Indonesia’s democracy still faces big problems. Let me name some of the most obvious ones:

• Political parties are very weak. They have no programs, most are focused on certain people or have a purely ideological identity; they all live only on primordial solidarity.

• Indonesia lacks a culture of democratic dissent; this endangers the stability of political parties and makes stable political alliances difficult.

• The system of elections, especially the so-called electoral threshold, is absolutely irrational.

• After several amendments our constitutional system has become an unhappy mixture between a presidential and a parliamentarian one.

• In contrast to national general elections, regional and local elections are prone to manipulation and ensuing conflicts.

• Most dangerously: Our present democratic system is threatened by corruption of its political class, by what people call “money politics”.

This list also demonstrates something: Namely that, contrary to “popular wisdom” in some Western media, Islam is not the problem. All the mentioned problems have nothing to do with religion. They stem from the still uncertain social, political and economic conditions of Indonesia.

No doubt, there are religious fundamentalists totally opposed to democracy. Such as the writer of an SMS published in this newspaper (Nov. 6, 2007): “Why does the MUI remain silent when our country is now under the satanic system — democracy?”

And there are groups like Hizbuth Tahrir which explicitly reject democracy as something alien and not in correspondence with Islam (HT is said to be winning a growing number of followers among the students of the big secular state universities like University of Indonesia, Bandung Institute of Technology and Gadjah Mada University in Yogyakarta, a distinctly worrying development).

But how representative are these voices? Not only has the overwhelming majority of Indonesian Muslim intellectuals consistently and uninterruptedly supported democracy since independence, but 80 years ago the founding fathers already voiced the opinion that a free Indonesia would have to be democratic and that Indonesians could develop democratic attitudes from their traditional values.

After independence it was the modernistic Islamic party Masyumi which was the strongest supporter of Western democracy (opposition to “Western democracy” came then from the Java-based parties, the nationalists, the Nahdlatul Ulama and the communists).

Now Indonesia has a national consensus on democracy such as it never had before. There is, now, not a single politically relevant group opposing democracy. Even the Salafist Prosperous Justice Party (PKS) credibly insists that it embraces our democratic system.

Thus there is no empirical base for seeing in Indonesian Islam a potential threat to democracy. But this does not mean that everything is okay. There are some worrying developments. One is the creeping introduction of sharia ordinances at local and district levels, obviously with considerable grassroots support. By forcing uniform, religiously legitimated behavior on people they foster fanaticism, intolerance and unrest. Not at all good for democracy.

Then there are these attacks by extremist mobs on so-called deviant or sectarian Islamic groups such as Achmadiah or, not long ago, al-Qiyadah. Especially worrying is that the police do not protect their followers from violence. Worrying is also that police can use the fatwa of a religious body as legitimation for taking people into custody. And it is unsettling when a president seems to regard this as a normal thing.

And of course, acts of intolerance against religious minorities go on almost unabated. Threats and attacks on Christian churches go on unremittingly up to this day. Worrying in this connection is a clear correlation between intensity of religious identification and intolerance.

In general, Indonesian people, Muslims and others, are very tolerant. This also shows in the fact that up to now religiously affiliated political parties have never received the majority in democratic elections. And there are certainly many clerics and theologians of all religions that demonstrate tolerance, pluralism and friendliness toward other religious faiths. But they are the minority.

In general, in my observation, the more intensively people publicly display their religious identity, the more they will speak about other religions, or deviant branches of their own religion, in an aggressive and threatening, even hateful way. As if, the more religious people become, the more they become intolerant, anti-pluralistic and violence prone.

These attitudes are sins against the democratic spirit. Violence is always against the democratic spirit and all groups legitimizing the use of violence are inherently anti-democratic. Violence, threats, intimidation also represent a sin against the principle of the rule of law, which is one of the basic principles of democracy.

If the state continues to take a cavalier attitude toward intimidation and violence against minorities, it undermines its own authority and endangers democracy. Democracy can only flourish on the basis of the rule of law, namely a law that is internally legitimate because it respects and safeguards human rights; including freedom of religion and religious worship.

So where will Indonesia go? Will her young democracy be slowly eaten up from the inside by growing intolerance and violence?

There are signs that the big mainstream Muslim organizations in Indonesia are beginning to regard extremism and fundamentalism as a danger. Since last year Pancasila talk is again on the agenda.

The real challenge is whether Indonesia can provide every Indonesian with an economic and human perspective for the future. And this depends on, among other factors, whether Indonesia will rein in its corruption, which has run wild.

But it also depends on whether the Indonesian state has the political will to enforce its own constitution and laws, thus whether Indonesian leaders have the guts to enforce the rule of law.

The prevailing wimpy attitude of the government if confronted by religiously motivated masses that threaten citizens of other religious convictions is undermining both the rule of law and the endeavor to create a general climate of civilized behavior. Not in vain Pancasila proclaims “just and civilized humanism” as its second principle.

Thus the greatest threat to the future of democracy in Indonesia lies in the weak, compromising attitude of the government toward certain types of violence in the country. And this, again, points to the biggest problem of this country: the growing moral corruption of its political class.

The writer, a Jesuit priest, teaches philosophy at Driyarkara School of Philosophy in Jakarta.

16 April 2008

Sumarorong-gtm


Beberapa peserta Pertemuan Pendeta GTM, Sumarorong, awal April 2008

15 April 2008

Tafsir Lokal Politik Kota

Oleh: Abdul Karim, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel

http://www.tribun-timur.com/view.php?id=72982&jenis=Opini
Opini Tribun, Selasa, 15-04-2008



KPU Kota Makassar belum membunyikan lonceng resmi pelaksanaan pilkada wali kota, namun, suasana politik kota kini mengesankan pilkada diselenggarakan minggu ini. Jejeran foto reklame barisan kandidat yang hendak maju sebagai calon defenitif wali kota memperkuat kesan itu. Sejak lama, foto reklame politik itu hadir di segala ruang hidup berkota kita; di depan rumah, di kaca mobil, hingga di ruang-ruang publik.

Di bagian lain, partai politik mulai menjaring kandidat yang akan di usung; formulir disediakan, kandidat pun ramai mengisinya. Karena tak rela keliru menetepkan calonnya, parpol-parpol lalu memanfaatkan jasa institusi survei untuk mengukur mutu pihak yang akan dicalonkannya, terutama tingkat popularitas yang dimiliki sang calon.
Di pihak yang akan disurvei, kemudian mempersiapkan diri termasuk dengan menebar gambar/foto di ruang-ruang kota dengan orientasi pokok, untuk populer -walau sesaat.
Begitulah potret umum pergerakan politik kota kita yang disaksikan langsung setiap hari, atau disimak lewat media massa. Lantas, begitukah seharusnya metode menegakkan demokrasi? Rasanya tidak. Dapatkah potret itu dikategorikan sebagai jalan pembangunan demokrasi lokal Kota Makassar? Pun, tidak rasanya.
Jika begitu, lantas apa sesungguhnya makna dari potret umum pergerakan politik kota kita sebagaimana yang diurai diatas? Di pertanyaan terakhir inilah tulisan ini dikonstruk. Sebab, potret umum pergerakan politik kota kita mengindikasikan berposisi jauh jarak dari substansi demokrasi.

Beberapa Tafsiran
Secara umum, dari pergerakan politik kota kita yang kini ditonjolkan dapat diberi tafsir lokal komprehensif sebagai berikut; Pertama, kecenderungan terjadinya krisis kepercayaan diri pihak-pihak kandidat.
Membaca kecenderungan ini tidak rumit. Pandanglah misalnya bagaimana barisan para kandidat berlomba menghadirkan suasana kampanye (walau momentum kampanye belum tiba) dengan cara menebar gambar/foto dan simbol sejenis di seluruh ruang kota, atau dengan me-rental halaman di media cetak yang berisi aktifitas seremonial.
Semua ini ditunaikan dengan target agar populer -dikenal di mata warga kota. Artinya, selama ini secara sosial politik, para kandidat tidak yakin dirinya populer di mata warga kota. Bahwa sosok mereka asing, tak familiar dinalar warga, merupakan kesadaran internal yang telah bertengger di kepala para kandidat jauh hari dari sekarang.
Analisis relevan yang penting dihadirkan di sini adalah kelihatannya para kandidat hanya bermodal materi semata dan miskin modal sosiokultural. Sementara diskursus tentang demokrasi lokal berkait kuat dengan tingkat modal sosiokultural ini.
Fenomena produksi gambar/foto, simbol sejenisnya dan kenyataan sosok mereka (disadari) asing bagi warga kota memperkuat lemahnya modal sosiokultural itu.
Selain itu, maraknya praktek "politik penaklukan tokoh" juga semakin memperkuat tafsiran terjadinya krisis kepercayaan diri pihak-pihak kandidat. Secara diam-diam mereka disertai pihak pendukungnya berusaha mengantongi dukungan tokoh-tokoh yang secara sosial berpengaruh ke bawah. Cara ini khas dengan gaya politik orde baru. Mutu demokrasi pada aras ini tentu layak dipersoalkan.

Kekurangan Pemimpin
Kedua, terjadinya krisis kader pemimpin di tingkat internal parpol. Sebagian besar parpol di kota kita tidak memiliki stok pemimpin masyarakat. Gejala ini dapat dibaca dari fenomena "rental" jasa lembaga survei oleh parpol untuk mengidentifikasi calon pemimpin kota di luar kader parpol yang nantinya dipromosikan menjadi kandidat wali kota dalam pilkada mendatang. Ini sebuah metode baru dalam proses demokratisasi kita. Selanjutnya, parpol pada akhirnya ibarat "perahu tumpangan" semata bagi penumpang yang ditemukan "sang kondektur" lembaga survei. Tugas dan fungsi dasar parpol sebagai agregator dan representator kepentingan publik oleh sejumlah kader penggeraknya nyata tereduksi.
Ketiga, isu pilkada seolah ruang milik parpol dan pihak kandidat semata. Umumnya, warga ter(di)alienasi dari diskursus pilkada. Di aras ini terasa terjadi monopoli ruang dan reduksi substansi pilkada sekaligus oleh parpol -kandidat untuk penegakan demokrasi lokal.
Dampak buruk proses ini adalah pada akhirnya pengelolaan kekuasaan pascapilkada menunjukkan style tidak demokratis yang ditandai dengan tenggelamnya kepentingan warga/rakyat oleh kepentingan elit politik lokal beserta kelompok pendukungnya.
Situasi demikian, juga sangat dipengaruhi oleh perspektif parpol terhadap masyarakat. Selama ini parpol masih melihat rakyat sebagai "supporter", bukan sebagai "voters" yang sesungguhnya.
Ironisnya lagi, target parpol untuk merebut voters tidak dengan memperjuangkan kepentingan-kepentingan vital mereka, tetapi lebih dengan memanipulasi sentimen primordial seperti etnisitas -agama yang begitu rawan dengan konflik sosial.
Dengan praktek parpol seperti itu, mesin pilkada sulit diharapkan memproduksi pemimpin yang terjaring dari representasi politik dari bawah secara genuine. Olle Tornquist (2004) menyebut fenomena ini sebagai oligarki elitis. Maksudnya, masyarakat umum sebagai konstituen politik sejati diposisikan menjadi sebatas kelompok "massa mengambang" yang tak terlayani layak.
Karena itu, semakin urgen menegaskan pilkada sebagai panggung resmi warga kota kita. Warga berdaulat atas panggung politik itu. Wargalah penentu utama proses dan output pilkada yang diselenggarakan. Maka tak cukup alasan mengalienasi warga dari diskursus pilkada.
Keempat, isu yang dipasarkan pihak yang ingin jadi kandidat wali kota umumnya meneguhkan Makassar sebagai kota pasar, kota modern melalui jargon developmentalisme yang akan diukur dari volume pembangunan fisik.
Sementara persoalan yang memperburuk kelangsungan hidup seluruh warga kota termarginalkan. Misalnya, aspek lingkungan, kemiskinan, kesehatan buruk, dan sejenisnya dianggap mati pasaran walau persoalan-persoalan itu aktual berlangsung.

Begitulah tafsir lokal komprehensif gerak politik kota kita. Ke empat poin tafsiran itu sedikit-banyaknya dapat berfungsi sebagai tongkat publik untuk meraba mutu demokrasi lokal yang akan terbangun pascapilkada wali kota nanti.
Dapat pula keempat tafsiran itu diletakkan sebagai salah satu "prawacana" bagi publik kota sebelum berpartisipasi dalam rutinitas demokrasi pilkada wali kota.

22 Maret 2008

Paskah, Kemenangan Korban

Budi Kleden
KOMPAS Sabtu, 22 Maret 2008 | 00:16 WIB
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.22.00163477&channel=2&mn=158&idx=158



Wolfgang Borchert, sastrawan Jerman (1921-1947), menulis sebuah drama, Draussen vor der Tür.

Dalam karya ini dilukiskan kisah Beckmann, seorang tentara muda yang baru kembali dari front di Rusia. Beberapa saat setelah perang, Beckmann mengunjungi rumah seorang kolonel, mantan atasannya selama bertugas di Rusia. Kolonel itu pernah memerintahkan Beckmann bersama anak buahnya untuk mengadakan patroli. Dalam patroli penuh risiko itu, 11 dari 20 anak buahnya menemui ajal.

Malam itu Beckmann datang untuk mengembalikan tanggung jawab kepada kolonel. Ia berkata, ”Kolonel.... Mereka bertanya tiap malam.... Perempuan, perempuan yang sedih dan penuh duka. Perempuan tua dengan rambut memutih dan tangan yang keras dan pecah-pecah—perempuan muda dengan mata sayu penuh kerinduan. Juga anak-anak…. Kolonel dapat tidur nyenyak? Kalau begitu, tidak apa-apa jika tanggung jawabku atas yang sebelas itu kutambahkan ke bagian Kolonel yang dua ribu itu. Kolonel bisa tidur, kan? Dengan hantu malam yang dua ribu itu?”

Borchert adalah seorang ateis. Dia melukiskan keberlangsungan kisah korban sebagai kehidupan yang dilanjutkan jeritan pencinta para korban. Pengaduan menandakan belum selesainya kisah para korban. Yang menjadi inti pesannya adalah kisah para korban itu tidak dapat diakhiri karena ada orang lain yang akan terus mengingat wajah dan menyebut nama mereka. Para korban tidak mudah dihapus dari ingatan seperti aparat hukum menghapus kesalahan para koruptor.

Kasih yang mengingat

Orang-orang yang dekat dengan para korban masih memelihara kenangan yang hangat. Ada yang terus membawa wajah mereka dalam cermin batinnya dan senantiasa menggemakan nama mereka di tengah kesunyian. Mereka hidup di dalam orang-orang yang memperjuangkan keadilan demi nama mereka.

Sebenarnya, yang dirayakan umat Kristiani pada hari raya Paskah adalah hal yang sama. Sejarah Yesus, korban yang disalibkan, tidak berakhir dengan kematian. Iman Kristen mengatakan, Yesus dibangkitkan. Tuhan membawa sang korban kembali ke kehidupan kendati para penguasa agama dan politik yang berkoalisi serta serdadu yang nuraninya telah digadaikan berusaha menghapus nama dan membuat wajahnya tak lagi dikenal.

Kebangkitan Kristus menyadarkan, para korban mempunyai Allah sebagai pencinta. Sang Pencinta ini tak mudah disogok dengan serba kesalehan yang ditunjukkan untuk menenangkan batin yang sering dihantui karena telah menjatuhkan atau merestui kejatuhan sekian banyak korban.

Yesus mengidentikkan diri dengan korban dan kaum yang tersisih. Maka, dengan menghidupkan kembali Yesus, Tuhan memaklumkan diri sebagai daya kasih yang merangkul dan mengingat semua korban. Dalam sejarah, korban adalah mereka yang hilang tanpa jejak, anak-anak yang kurang mendapat perhatian, para perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual, rakyat yang sering ditipu berbagai keputusan politik. Mereka memiliki seorang pencinta ilahi, pemilik ingatan yang abadi.

Ingatan yang menggugat

Tuhan menghidupkan Yesus yang telah disalibkan sebagai penjahat dan pengkhianat. Maka, Tuhan tidak hanya memulihkan nama baik Yesus, setelah nama itu dicemarkan pengadilan yang mudah diarahkan oleh kepentingan para penguasa politik dan pejabat agama. Kebangkitannya juga berarti menjadikan kisah korban sebuah kisah terbuka.

Yang dianggap telah selesai kini dibuka kembali, yang telah dikuburkan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi diungkap kembali. Kebangkitan mengatakan, persoalan tidak dapat diselesaikan dengan membungkam korban. Pejuang keadilan akan selalu tampil dan membongkar kebusukan, suara keadilan akan tetap didengarkan di tengah upaya pemalsuan sejarah.

Korban yang hidup dan dikenang dalam ingatan adalah korban yang memberi kesaksian akan ketidakadilan yang dialami. Kehidupan korban yang dibangkitkan akan menjadi gugatan bagi pelaku ketidakadilan. Seperti kepada Kain yang melarikan diri seusai membunuh saudaranya, kepada pelaku kejahatan Allah akan melontarkan pertanyaan gugatan tentang korban. Kisah korban yang belum selesai menggoyahkan segala kekuasaan yang menganyam kemapanan dari harapan akan ingatan pendek dari massa. Kenangan akan korban menggugat kemapanan dan bersifat subversif terhadap kekuasaan yang tidak adil.

Kebangkitan Kristus dan hak korban akan menunjukkan batas jangkauan kekuasaan. Kekuasaan, betapapun kuat dan bengis, tak sanggup melaksanakan segala yang dikehendaki. Ketika korban yang dianggap telah diamankan dan dilupakan ternyata datang lagi, saat itu tumpuan kekuasaan mulai goyah. Kekuasaan tak dapat merekayasa datangnya suara korban, dia tak sanggup melarang tuntutan keadilan.

Ada yang tak dapat dilakukan oleh kekuasaan, betapapun rapinya organisasi. Mengakui batas kekuasaan berarti menerima dan mengakui kesalahan yang pernah ditimpakan kepada orang lain. Hanya bersama korban dan dalam kekuatan Paskah yang mematahkan dominasi kekuasaan manusia dapat diwartakan kebangkitan sebagai pesan kehidupan bersama korban. Merayakan kebangkitan dalam nada ini berarti merayakan hak para korban. Mereka tidak bisa dihapus dari sejarah. Kisah mereka belum selesai. Paskah berarti kita harus bersedia mendengar para korban.

Budi Kleden Dosen Teologi STK Ledalero, Flores

19 Maret 2008

Peristiwa Yesus Dalam Politik Indonesia

http://www.pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Renungan&table=isi&id=1107&next=0

Dasar Teoretis

Status quaestionis dari teologi politik ialah, seperti ditulis Dorothee, what is social and political consequens of speaking of God?[1] Pertanyaan fundamental ini adalah khas teologi yang tidak ingin mengambil jarak dari refleksi-refleksinya terhadap persoalan-persoalan politik dalam negara. Refleksi semacam ini bukan tanpa alasan dan salah satu alasan yang paling dasar adalah bahwa keterlibatan dan intervensi Allah terhadap Israel sama-sekali bernuansa politis itu, yakni bahwa keselamatan yang datang dari Allah untuk umatNya terjadi dalam konteks politik. Teologi karena itu, seperti dikatakan JB. Metz, adalah diskursus tentang Allah, dan secara politis berarti suatu memoria passionis di mana penderitaan manusia merupakan kategori fundamentalnya,[2] dengan kata lain teologi poltik menjadi semacam usaha positif untuk memformulasikan pesan eskatologis terhadap kondisi masyarakat dewasa ini,[3] masyarakat politik modern atau postmodern.

Memang, jika dirunut lebih lanjut, keselamatan yang datang dari Allah terhadap Israel itu menjadi nyata dalam peristiwa Yesus. Peristiwa Yesus adalah sebuah peristiwa politis meskipun memang bukan pertama-tama karena peristiwa itu terjadi dalam konteks politik tertentu, melainkan lebih-lebih karena, puncak dari peristiwa itu yakni salib dan kebangkitanNya justru merupakan peristiwa politik, di mana otoritas politik Imperium Romanum telah secara sengaja membiarkan Yesus dihukum mati menurut desakan para demonstran, walaupun setelah melalui penelitian panjang, Yesus didapati tidak bersalah. Salib dengan demikian adalah saksi bisu bagi pemberontakan Yesus terhadap struktur politik yang menindas tetapi kebangkitanNya adalah kemenangan atas kekuasaan totaliter-otoritarian. Bahwa Yesus adalah pemberontak politik[4] ini menjadi jelas dari kenyataan bahwa Ia tidak ditangkap oleh orang-orang yang tidak memiliki pengaruh secara politis melainkan oleh satu pelaton tentara Romawi (kohort) yang ditempatkan di Yerusalem (cf. Jn. 18:3). Benar karena itu ketika Jürgen Moltmann menulis, bahwa salib pada jaman itu merupakan hukuman bagi pemberontak yang menentang keteraturan sosial dan politik Imperium Romanum, dan ini menjadi nyata dalam slogan bahwa pada jaman itu tidak ada politik tanpa agama meskipun bukan kebalikannya, dan itulah sebabnya Yesus dihukum Pilatus sebagai pemberontak politik, sebagai seorang Zealot.[5] Inilah fatalisme politik tradisional Imperium Romanum, yang juga sepantasnya menjadi titik tolak suatu refleksi kristologis dalam pertautannya dengan politik Indonesia modern atau postmodern dewasa ini. Dengan kata lain, kristologi politik ini diderivasikan langsung dari teologi politik dalam pengertian yang lebih partikular, yakni sebagai memoria passionis seperti yang ditegaskan oleh Metz itu. Jadi, memoria passionis akan menjadi parsial sifatnya dan tidak lengkap, jika Yesus sebagai orang yang menderita hingga wafat di salib, tidak memiliki arti politis itu.

Lantas, apakah peristiwa Yesus memiliki arti politis dalam sistem kehidupan bersama di Indonesia? Dengan kata lain, apakah penderitaan manusia di Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah Muslim, partisipatif dalam penderitaan Kristus? Bagaimanakah teologi, khususnya kristologi, melihat partisipasi ini menjadi mungkin secara politis? Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah persoalan yang sudah final tetapi lebih merupakan sebuah usaha (tentatif) awali dalam rangka mencari penadasaran kristologis untuk memberi makna baru terhadap kehidupan politik sebagai memoria passionis dalam konteks kristologis.

Politik dan Penderitaan Manusia

Sebenarnya, antara politik dan penderitaan bukanlah dua dunia yang sama-sekali tidak memiliki korelasi kausalitas tertentu, sebab hanya politik yang dapat menyebabkan manusia menderita. Penderitaan manusia mengandaikan kehidupan politik (meskipun juga, seperti yang ditulis oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan, bahwa sebenarnya penderitaanlah yang menciptakan kehidupan politik manusia tetapi ini soal lain). Penderitaan-penderitaan manusia dalam negara bersifat politis, artinnya terjadi karena kebijakan-kebijakan politik penguasa yang tunduk pada kehendaknya pribadi. Dengan kata lain, berbicara tentang politik dan penderitaan berarti berpikir tentang kehidupan manusia menurut dimensi politisnya, kehidupan manusia dalam negara.

Memang, penderitaan manusia dalam negara telah memunculkan refleksi yang beraneka ragam, dan ini menegaskan di pihak lain bahwa penderitaan manusia dalam dimensi politis bukanlah terutama merupakan akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa melainkan karena ulah segelintir oranglah yang menyebabkan kenyataan itu terjadi tanpa interupsi bahkan hingga hari ini, dan entah sampai kapan itu akan berakhir. Peristiwa Auschwitz yang paling memalukan bagi peradaban dunia modern, terjadi karena kebijakan Nasional Sosialis Jerman dengan pemimpinannya Adolf Hitler. Yang terakhir adalah kerusuhan di Prancis yang memakan waktu lebih dari dua minggu.

Di Indonesia, penderitaan manusia dapat menunjuk pada beberapa peristiwa sejarah yang terpenting. Peristiwa G30S PKI tahun 1965, peristiwa Tanjung Priuk, Operasi Militer di Aceh dan Papua, peristiwa Santa Cruz di Dili, Timor-Timur sebelum kemerdekaan propinsi itu, kejadian yang memalukan bangsa bulam Mei 1998 di Jakarta, penculikan dan penembakan mahasiswa. Demikian juga dengan pelanggaran hak asasi manusia atau HAM oleh penguasa, konflik antarkelompok masyarakat, peledakan bom, ekonomi biaya tinggi, dan masih banyak lagi kejadian lain yang dapat didaftarkan sendiri. Demikianlah menjadi jelas bahwa penderitaan manusia itu trans-nasional, melampaui batas-batas wilayah dan bahkan jaman, yang semuanya terpatri dalam apa yang disebut, serta terjadi karena tekanan atau di bawah kendali, struktur politik, dan dengan demikian peristiwa itu pun menjadi terstruktur.[6]

Meskpiun tepat saja bahwa refleksi teologis politik tidak bermaksud mengakhiri penderitaan manusia, namun ini tidak boleh membenarkan di sisi lain bahwa dengan demikian tidak perlu refleksi teologis tentang penderitaan manusia dalam negara, sebab penderitaan manusia merupakan secara teologis partsipatif dalam penderitaan Kristus di salib yang justru terjadi karena fatalisme politik Imperium Romanum itu. Maka, pantaslah penderitaan manusia di Indonesia menjadi locus theologicus.

Pewartaan Yesus dan Politik Imperium Romanum

Dalam keseluruhan struktur politik, pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah dimaksudkan untuk menghancurkan struktur politik kekuasaan tradisional. Usaha Yesus ini karena, meskipun dalam kerajaan Romawi ada persatuan antara agama dan negara,[7] doktrin ini tidak dari sendirinya menegaskan bahwa kekuasaan kekaisaran Romawi berasal dari Allah. Kekuasaan tradisional Israel memang berasal dari Allah, dan Yesus ingin sekali lagi mewartakan, melawan kekuasaan kekaisaran Romawi, bahwa kekuasaan yang dimiliki Pilatus misalnya, selalu memiliki dimensi transenden, berasal dari atas. Ketidakmampuan Pilatus mengadili tuduhan terhadap Yesus oleh orang-orang Yahudi secara proporsional menurut keadilan yang seharusnya, bukan karena Yesus tidak mampu menjawabi pertanyaan Pilatus tentang kebenaran itu apa (Jn. 18:38i), melainkan lebih-lebih seperti yang dikatakan Yesus, karena kekuasaan Pilatus tidak berasal dari Allah (Jn. 19:11). Secara berbeda, sebab atau bahwa Pilatus adalah sahabat kaisar, maka ketika ia hendak membebaskan Yesus, tetapi orang-orang Yahudi justru mengejek dia sebagai bukan sahabat Kaisar (Jn. 19:12) karena itu ia mesti telah menerima kuasa dari Kaisar Romawi, suatu struktur politik nepotis. Inilah juga fatalisme bagi orang Yahudi karena begitu cepat melupakan bahwa kekuasaan pada kerajaan-kerajaan tradisional sebelum kedatangan Yesus selalu merupakan kekuasaan yang berasal dari Allah mereka, yang oleh Yesus disebut Bapa itu.

Memang, tidak penting atau bahkan sia-sia untuk mencari tahu motivasi di balik penyangkalan itu. Bahwa orang Yahudi lebih setia kepada Kaisar daripada kepada Allah, ini tampak tegas sekali dari keinginan mereka untuk membayar kepada Kaisar pajak dengan secara sinis bertanya mencobai Yesus. Tetapi Yesus justru mengetahui kelicikan hati mereka, maka mewajibkan memberikan kapada Kaisar apa yang menjadi haknya dan menurut gambar dan tulisan yang tertera pada koin itu (Lk. 20:20-6), demikian juga kepada Allah. Akan tetapi, berbeda dari memberi kepada Kaisar karena gambar wajah Kaisar tertera pada mata uang mereka, tidak demikian halnya dengan memberikan kepada Allah apa yang menjadi milik dan hak Allah. Allah adalah pemilik segala sesuatu termasuk sumber kekuasaan politik karena itu walaupun tidak terdapat tanda-tanda lahiriah politis, kewajiban yang sama harus pula diberikan kepada Allah.

Tanda-tanda lahiriah kekuasaan Allah memang tidak tergambar, tetapi harus dimohonkan kepada Allah sendiri “datanglah KerajaanMu? supaya kehendak Allah itu benar-benar terjadi di tengah Israel sebagaimana di surga adanya (Mt. 6:10). Jadi, doa yang diajarkan Yesus ini pertama-tama adalah doa permohonan yang bersifat politis agar Kerajaan Allah menjadi nyata di bumi; kedua, supaya orang-orang yang lapar memperoleh kehidupan yang layak; dan ketiga, agar orang-orang yang melanggar hukum tidak dipenjarakan; seandainya Allah sudah berkuasa sebagai raja di bumi. Motivasi Yesus mengajarkan doa yang bersifat politis ini karena memang, ketika berada di bawah kekuasaan Romawi, orang-orang Yahudi ditindas, dibiarkan menderita. Jika benar bahwa tradisi-tradisi doa Israel dalam kitab Mazmur, Ayub, Ratapan, dan kitab-kitab para nabi mengungkapkan a mysticism of suffering unto God, sehingga bahasa doa-doa itu dalam dirinya sendiri adalah bahasa penderitaan, krisis, karena bahaya yang radikal,[8] tepat di sinilah doa yang diajarkan oleh Yesus itu adalah rumusan doa dalam bahasa penderitaan dan tertindas, doa orang yang menghendaki perubahan kekuasaan politik dan menghendaki kekuasaan Allah, Allah sebagai Raja untuk mewartakan kebenaran.

Salib dan Penderitaan Manusia

Salib Kristus, seperti sudah dikatakan sejak awal, adalah saksi bisu bagi pemberontakan Yesus terhadap struktur politik yang menindas dan menciptakan penderitaan manusia. Pertama-tama dengan demikian Salib adalah locus theologicus di mana di dalamnya penderitaan manusia dijelaskan, tetapi penjelasan ini bukan terutama karena Salib sebagai tebusan atas dosa manusia, sebab dosa tidak diciptakan oleh struktur politik yang menindas; dengan kata lain dosa tidak merupakan akibat langsung dari penindasan dalam negara melainkan adalah akibat dari ketidaksetiaan manusia terhadap perintah Allah. Persis di sinlah kesetiaan Yesus sampai wafat di salib sebagai akibat pemberontakanNya terhadap struktur politik yang menindas adalah kebalikan dari dosa, dengan kata lain adalah tebusan atasnya. Salib Kristus oleh karena itu memiliki pertama-tama dimensi politis dalam keseluruhan peristiwa penebusan manusia dari dosa, atau bahwa tebusan atas dosa manusia secara fundamental bersifat politis.
Bahwa struktur politik yang menindas tidak menciptakan apa yang disebut dosa, melainkan telah menciptakan tebusan atasnya, ini berarti, bagaimana penderitaan manusia dapat dipahami dalam pertautannya dengan Salib Kristus kalau peristiwa historis itu pertama-tama adalah tebusan bagi dosa manusia, ialah bahwa penderitaan manusia yang diciptakan oleh struktur politik yang menindas, partisipatif secara langsung dalam penderitaan Kristus, jadi penderitaan manusia merupakan fenomena derivatif dari penderitaan di Salib. Sebagai satu fenomena derivasi dari penderitaan Kristus, penderitaan manusia karena kekuasaan totaliter-otoritarian dan struktur politk yang menindas akan berakhir dengan kehancuran kekuasaan oteriter itu. Tetapi ini tidak memaksudkan di sisi lain bahwa, kalau demikian, manusia boleh ditindas karena Salib Kristus adalah jaminan atas penderitaan manusia dalam negara. Bagaimanapun Salib dan penderitaan manusia adalah dua peristiwa historis yang berbeda dalam sejarah peradaban politik manusia yang secara politis pula telah meciptakan dependensi penderitaan manusia pada penderitaan Kristus. Ketergantungan penderitaan manusia pada penderitaan Kristus ini dimungkinkan karena, seperti dikatakan Schillebeeckx, kematian Kritus adalah penderitaan melalui dan untuk orang lain sebagai ungkapan tanpa syarat atas validitas melakukan kebaikan serta menentang kejahatan dan penderitaan.[9] Dalam rumusan yang lebih tegas dikatakan bahwa justru karena terdapat dependensi pada penderitaan di Salib inilah, penderitaan manusia partisipatif dalam penderitaan Kristus, atau bahwa tanpa ada ketergantungan tidak mungkin terjadi partisipasi dari penderitaan yang lebih rendah di dalam penderitaan yang sangat hebat. Ini artinya, meskipun banyak orang juga disalibkan, tetapi penderitaan mereka tidak menjadi jaminan penderitaan manusia karena mereka disalibkan sebagai penjahat; bahwa sulit memahami penderitaan manusia jika Kristus tidak menderita di salib sebagai orang merdeka.

Kebangkitan Yesus dan Kehancuran Kekuasaan Totaliter
Kebangkitan Yesus mengandaikan peristiwa Salib, dan bahwa kematian di salib terjadi karena pemberontakan Yesus terhadap struktur politik yang menindas. Dari sini menjadilah jelas bahwa, kebangkitanNya adalah kemenangan atas kekuasaan totaliter-otoritarian, kemenangan atas struktur politik yang tidak adil.

Dalam banyak negara modern, kehancuran kekuasaan imperialisme, penguasa yang tidak adil dan menindas, kekuasaan yang totaliter-otoritarian, pertama-tama adalah karena peristiwa Salib Yesus. Alasan ini hendak menegaskan bahwa Salib Yesus adalah peristiwa partikular dalam keseluruhan sejarah kekuasaan politik totaliter-otoritarian dan karenanya melampaui segala jaman. Apa yang menjadi sangat khas pada Salib Yesus ialah memberi warna teologis pada peristiwa yang sebenarnya memiliki dimensi sekularistik politis semata; dengan kata lain mengangkat pada taraf kesadaran ilahi kekuasaan sekular, bahwa Pilatus misalnya tidak memiliki kekuasaan apa pun atas diriNya jika kekuasaan itu tidak berasal dari Allah, BapaNya (Jn. 19:11), ini juga berarti, Pilatus pun tidak memiliki kuasa atas rakyat jelata karena preferensi spiritual politik Yesus ternyata jatuh kepada kaum pinggiran yang memiliki kuasa periferial.
Sebagai orang pertama yang menentang penindasan, membebaskan perbudakan, bahkan tidak menyebut manusia hamba, melainkan saudara (Jn. 15:15), dalam struktur politik di mana usaha membebasakan manusia dari model kekuasaan itu belum menjadi praksis perjuangan entah personal atau pun komunal, pemberontakan Yesus terhadap model kekuasaan yang tidak adil itu mengatasi segala pemberontakan sejenis, karena nama Yesus mengatasi segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di bawah bumi (Fil. 2:9), yakni mengatasi segala nama yang juga berjuang melawan kekuasaan totaliter-otoritarian baik dalam jaman klasik, modern, maupun postmodern.

Dari sini menjadi jelas juga bahwa iman kepada Yesus yang bangkit dari kematian seperti yang diwartakan oleh para rasul itu, bukan terutama karena Yesus telah mengalahkan dosa dan maut, sebab selain karena dosa tidak diciptakan oleh struktur kekuasaan politik, juga karena credo semacam itu mereduksi kematian Yesus akibat pemberontakanNya terhadap kekuasaan politik yang menindas kepada semata bahwa Ia adalah penebus dosa manusia. Option for the poor sebagai konsep spiritual politik sebagaimana disampaikan ketika mengajar orang banyak dari atas bukit (Mt. 5:1-12), tidak hanya diajarkan sebagai satu konsep terbuka tanpa praksis, melainkan diwartakan dalam rangka mencapai suatu puncak kehidupan politik di mana Allah adalah Rajanya, dan Yesus sendiri adalah anak tunggal yang akan mewarisi takhta Daud, menjadi raja atas kaum keturunan Yakub dan mewarisi Kerajaan itu tanpa interupsi dan bahwa KerajaanNya tidak akan berkesudahan (Lk. 1:32-3). Kiranya menjadi jelas bahwa oleh karena Daud adalah raja Israel dalam artian politis, tahkta Daud yang diwariskan kepada Yesus dengan demikian pertama-tama memiliki nuansa politis itu, dan untuk itulah preferensi fundamental option for the poor adalah disposisi politik Yesus. Maka, bahwa Yesus adalah penebus dosa manusia, ini tidak niscaya bahwa Ia harus mati di salib oleh fatalisme kekuasaan Imperium Romanum sebab kekuasaan maut, yaitu dosa, dan kekuasaan politik, adalah dua model kekuasaan yang berbeda dalam prinsip operasinya dan sama-sekali bahwa yang satu tidak mengandaikan yang lain. Dosa secara prinsipil menyangkal masa depan eskatologis manusia karena kejatuhan ke dalam dosa menghindari manusia dari persatuan dengan Allah tetapi kekuasaan totaliter-otoritarian justru menghindari manusia dari mengaktualkan dirinya secara sempurna selama masa hidupnya sebagai pribadi yang memiliki martabat ilahi. Itu sebabnya peristiwa Yesus pertama-tama adalah peristiwa historis politik yang bermaksud membebaskan manusia dari kungkungan kekuasaan dosa tetapi bukan peristiwa historis yang bermaksud membebaskan dosa manusia melalui kekuasaan politik. Sebab, jika politik adalah sarana penebusan dosa manusia, atau jalan melalui mana manusia diangkat dari kematian kepada kehidupan, itu berarti dosa pertama-tama adalah akibat dari kekuasaan politik dan bukan akibat ketidaksetiaan manusia kepada kehendak Allah. Padahal, dosa itu tidak demikian, dosa adalah akibat tindakan manusia yang melawan cinta kasih Allah dan bahwa penebusannya terjadi secara politis. Maka, Kristologi pertama-tama harus bersifat politis.

Makna Peristiwa Yesus Dalam Politik Indonesia

Jika penderitaan di salib melampaui seluruh penderitaan manusia karena kekuasaan totaliter-otoritarian atau bahwa penderitaan manusia dalam negara partisipatif dalam Salib Kristus, dan bahwa kebangkitanNya adalah kemenangan atas segala struktur politik yang menindas, apakah makna peristiwa Yesus, khususnya Salib dan kebangkitanNya tadi, terhadap politik Indonesia secara lebih partikular dengan kekhususan mayoritas yang justru menyangkal kematianNya?
Sejak semula, sudah dapat diduga, bahwa persekongkolan untuk menangkap Yesus dan plot untuk membunuh Dia datang dari orang-orang Yahudi (Mt. 26:3-4) dan usaha itu dilakukan melalui sebuah operasi militer besar-besaran (Jn. 18:12) terhadap Yesus dan kedua belas rasulNya yang sebenarnya bisa dikalahkan dengan sangat gampang. Jika Yesus adalah Raja orang-orang Yahudi seperti yang dikehendaki Allah sendiri untuk memberi kesaksian tentang kebanaran (Jn. 18:36-7), ini artinya, plot penangkapan dan untuk membunuh Yesus secara politis sebenarnya merupakan sebuah kudeta politik yang berakhir dengan kematian Yesus di salib. Bahwa Yesus diutus Allah sebagai Raja orang Yahudi untuk mewartakan dan memberi kesaksian tentang kebanaran, ada pengandaian bahwa raja-raja orang Yahudi sebelumnya hingga Kaisar Romawi dari kekuasaan Imperium Romanum memberi kesaksian tentang kepalsuan, maka persis di sinilah kekuasaan politik menjadi manipulatif, menindas, korup, serta serakah. Sekali lagi pada tahap ini, manusia menghadapi dilema yang lain lagi yang berbeda dari dosa, tidak ingin kekuasaan politik mewartakan kebenaran dan ini datang dari para penguasa dan imam-imam kepala (Mt. 26:3). Apabila dosa adalah tindakan melawan perintah dan cinta kasih Allah, dan bahwa cinta kasih Allah adalah kebenaran yang dalam dirinya sendiri per se notum, kekuasaan totaliter-otoritarian karena itu ialah kekuasaan yang tidak memberi kesaksian tentang kebenaran, dan bahwa struktur politik yang demikian itu haruslah digusur. Hingga di sini jelaslah bahwa Salib Kristus adalah, memakai bahasa teknologis adalah buldoser untuk menggusur model kekuasaan yang tidak adil itu, yang menciptakan penderitaan pada manusia.

Dalam konteks politik Indonesia, penderitaan sudah sejak lama menjadi bagian dari hidup politis manusia Indonesia, penderitaan mana diciptakan oleh struktur politik yang mengkooptasi konsep negara Hegelian dan memberikan semua fungsi kepada negara, yakni sejak ketika kekuasaan dikendalikan oleh dua order, Orde Baru dan Orde Lama. Kooptasi negara Hegelian ini mempertegas di sisi lain bahwa tidak ada demokrasi dalam politik Indonesia lama, model kekuasaan ketika itu adalah kekuasaan totaliter-otoritarian. Slogan Demokrasi Terpimpin dari Soekarno tua seolah menegaskan bahwa kekuasaan adalah properti yang menjadi hak milik pribadi sampai-sampai kekuasaan perlu diwariskan turun-temurun, dan kehancurannya[10] justru merupakan ejekan atas ketidakmampuan penguasa itu memimpin; demikian pula dengan Demokrasi Pancasila dari Soeharto muda yang menekankan dogma pembangunan ekonomi ketimbang pembangunan politik[11] tidak dapat juga membendung tuntutan atas perubahan struktur politik agar lebih demokratis, sehingga kekuasaannya hancur bersama ketidakmampuan penguasa karena usia yang semakin uzur.

Kehancuran demi kehancuran kekuasan yang tidak demokratis dari kekuasaan Orde Lama kemudian berganti dengan keberakhiran Orde Baru, telah menciptakan cerita tersendiri dalam kerangka penderitaan bahwa politik Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga Soeharto tumbang, hanya menghasilkan kepedihan sekaligus penderitaan bagi manusia Indonesia. Pernyataan ini tidak bermaksud menyangkal di sisi lain bahwa tidak ada kemajuan berarti yang dicapai oleh kedua order itu, tetapi berpretensi menegaskan persis apa yang tersembunyi di balik makna keteraturan dalam kata order berdasarkan fenomena penderitaan yang mendominasi karakter politisnya, yakni bahwa di dalam struktur politik yang well ordered and guided itu sebenarnya tersirat makna keteraturan yang membahayakan karena kepemimpinan yang korup. Maka, berbicara tentang kedua keteraturan itu berarti memikirkan politik Indonesia berhadapan dengan bahaya penderitaan, dan jika penderitaan itu pada dirinya sendiri adalah cerita yang patut dikenang, cerita-serita seperti inilah yang dalam bahasa teologi Metz disebut, stories in the face of danger, dangerous stories.[12]

Stories in the face of danger atau dangerous stories itu dengan demikian adalah suatu kategori fundamental kristologis, di mana penderitaan-penderitaan manusia akibat struktur politik yang tidak adil itu dijelaskan dalam kerangka penderitaan Kristus, Salib. Maka, makna peristiwa Yesus Kristus dalam konteks penderitaan manusia akibat struktur politik yang tidak adil dapat dirumuskan demikian: Pertama, penderitaan manusia partisipatif dalam penderitaan Kristus. Dalam artian partisipasi, penderitan manusia merupakan antisipasi terhadap kedatangan Kristus yang kedua, parousia, di mana Kristus adalah Raja segala-galanya dan untuk segala-galanya. Penderitaan Yesus akibat struktur kekuasan politik totaliter-otoritarian telah menempatkan model kekuasaan itu sebagai model kekuasaan yang terbaik bagi sejarah tata hidup bersama politis yang mengangungkan penderitaan manusia sebagaimana terjadi dengan peristiwa holocaust di Auschwitz, di mana bangsa yang dulu telah membunuh dan menyalibkan Raja mereka, dibantai secara besar-besaran dan keji sebagai korban bakaran. Akan tetapi, kebangkitan Kristus justru menghancurkan kekuasaan totaliter-otoritarian maupun idealisme Nasional Sosialis Jerman yang mengagungkan model kekuasaan semacam itu, oleh karena peristiwa Yesus ini adalah peristiwa historis yang melampaui sejarah dan waktu tertentu, jadi pemahaman ini bukanlah suatu regresus yang mengarah kepada peristiwa Yesus. Teologi, khusunya kristologi setelah Auschwitz sebenarnya merupakan antisipasi kebangkitan manusia pada akhir jaman, khususnya manusia beriman yang menderita akibat tekanan politik dan ideologi tertentu, sebuah kristologi pengharapan.

Kedua, penderitaan manusia terarah kepada Salib.[13] Keterarahan penderitaan manusia ke pada Salib tidak menegaskan sekaligus bahwa, oleh karena Kristus telah menderita dan penderitaan itu terarah kepada Salib Kristus, dengan demikian adalah sah jika manusia menderita, jadi seolah-oleh penderitaan itu legal dalam dimensi politisnya. Keterarahan kepada Salib dimaksudkan bahwa penderitaan orang beriman, orang Kristen, memiliki semacam basis ontologis di atas mana bukan saja penderitaan manusia berdiri tetapi berdiri di atas dasar moral yang kokoh, sebab tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatNya (Jn. 15:13). Jika, dan memang demikian, Salib Kristus adalah bukti kasih Allah kepada manusia, sebab Allah adalah kasih (1Jn. 4:8), itu berarti keterarahan penderitaan manusia akibat struktur politik yang tidak adil itu pada dasarnya terarah kepada kasih universal dan tanpa batas. Bahwa dalam penderitaan tampak kasih Allah, ini bukanlah suatu imaginasi teologis, melainkan kenyataan yang diderivasikan dari penderitaan Kristus di salib, suatu bentuk penderitaan yang tidak pernah dirasakan oleh orang lain yang kemudian menjadi dasar moral. Jadi, sebagai dasar ontologis moral, penderitaan Kristus sama-sekali berbeda dengan penderitaan manusia pada umumnya sebab penderitaan manusia tidak memiliki pendasaran dalam apa yang disebut kasih.[14] Maksudnya, bahwa meskipun manusia menderita, akan tetapi karena ia hanya memiliki kasih yang partisipatif dalam kasih Kristus dan kasih manusia itu bukan independen bahkan tidak pernah sampai mengorbankank dirinya sendiri; atau, kalau pun terdapat pengorbanan diri, pengorbanan seperti itu juga mengambil contoh dari model pengorbanan Kristus di salib dan oleh karena itulah kasih manusia itu mengambil bagian dalam Kasih yang lebih besar, yakni kasih seorang yang menyerahkank nyawanya bagi sesamaNya; pengorbanan manusia tidak pernah menjadi basis ontologis moralitas manusia, paling banter kita menyebut dengan istilah yang dipakai oleh Emanuel Levinas, tanggung jawab.

Ketiga, manusia menderita karena Kristus sudah terlebih dahulu menderita. Dalam tataran yang lebih onto-teologis penderitaan manusia dapat dipahami bahwa penderitaan ini dimungkinkan karena Kristus, Tuhan dan Allah umat manusia, telah menderita terlebih dahulu. Tetapi, gagasan “terlebih dahulu?di sini tidak sedang menegaskan bahwa penderitaan yang dialami oleh Ayub tidak tersubodinasi di bawah penderitaan Kristus sebab penderitaan Ayub terjadi jauh sebelum Kristus menderita! Ayub adalah wakil dari umat manusia yang menderita cukup hebat dihadapan Allah dan karena itu pengalaman Ayub yang ditinggalkan oleh Allah, tersubordinasi di bawah penderitaan Kristus. Pertanyaan di manakah Kristus ketika Ayub menderita menemukan dasar jawaban pada kebangkitan Kristus. Artinya, oleh karena penderitaan Kristus terarah kepada kebangkitan dan Ia adalah orang pertama yang, setelah menderita sampai mati bahkan mati di salib, bangkit dari antara orang-orang mati, kebangkitan inilah yang justru menjadi penentu perbedaan antara penderitaan Ayub dan penderitaan Kristus dalam konsep bahwa manusia menderita karena Kristus telah terlebih dahulu menderita. Maka, perbedaan itu terletak pada harapan[15] akan suatu hidup baru setelah menjalani penderitaan; sehingga, meskipun Ayub menderita cukup hebat, namun karena pengalaman penderitaan itu tidak terarah kepada kebangkitan, penderitaan Ayub yang dialami jauh sebelum Kristus itu tersubordinasi di bawah penderitaan Kristus juga, tetapi bukan pertama-tama karena Penderitaan Kristus gradasinya jauh lebih hebat dari penderitaan cukup hebat Ayub, melainkan lebih utama karena penderitaan Kristus membangkitkan orang-orang menderita ke satu hidup baru dalam kemuliaan bersama Allah, dan inilah yang tidak diantisipasi oleh penderitaan Ayub.

Membawa Penderitaan Kristus ke Dalam Negara

Membawa penderitaan Kristus ke dalam negara sama-sekali tidak berpretensi untuk menjadikan teologi politik pada umumnya atau kristologi politik pada khususnya sebagai media untuk menjustifikasi penderitaan manusia dalam negara akibat struktur politk yang menindas, dan karenanya seolah-olah bahwa penderitaan itu legal secara politis. Penderitaan manusia terjadi karena Kristus sendiri pun telah menderita sebagai akibat dari struktur politik yang tidak adil sehingga apa yang dialami manusia dalam negara itu bersifat partisipatif serta terarah ke pada Salib Kristus. Salib dengan demikian adalah bukti kasih Allah yang menyelamatkan serta membebaskan umat manusia dari penderitaan mereka. Dengan demikian secara polits, Salib bukanlah terutama merupakan peristiwa penebusan dosa manusia, sebab dosa tidak diciptakan oleh struktur politik yang menindas dan tidak adil, melainkan justru peristiwa politik yang menindas dan tidak adil itulah yang memungkinkan penebusan dosa terjadi.

Memang kemudian menjadi soal, sebab, jika demikian, kedatangan Yesus bukan pertama-tama untuk menebus dosa manusia. Terhadap keberatan semacam ini tanggapan yang dapat diberikan bahwa Yesus memang datang untuk menebus dosa manusia tetapi Ia tidak harus mati di salib sebagai seorang pemberontak. Dosa dan salib tidak memiliki hubungan kausal apa pun sebab dosa berada pada dimensi moralitas manusia tetapi salib berada pada tataran yuridis politik. Benar bahwa orang yang secara yuridis bersalah karena melanggar prinsip-prinsip moral dasar hidup manusiawi dihukum, tetapi bahwa Yesus bukan orang yang secara moral telah melanggar prinsip-prisnip hidup baik itu, Ia sepantasnya tidak dihukum, apalagi dihukum sampai mati di salib. Itulah sebabnya lebih baik mengatakan bahwa Salib Kristus adalah sebuah peristiwa politik melalui mana dosa manusia ditebus daripada mengatakan bahwa Salib adalah peristiwa penebusan dosa manusia dalam dimensi politik.

Salib sebagai bukti politis penebusan dosa manusia inilah yang, dalam rangka keseluruhan judul paper ini berarti membawa penderitaan Kristus ke dalam negara. Tentu saja bahwa penderitaan Kristus adalah peristiwa partikular untuk mereka yang percaya sehingga tidak menjangkau semua unsur dan golongan dalam masyartakat politik. Akan tetapi, oleh karena penderitaan itu berakhir juga dengan kebangkitan Yesus dari kematian, ini menandakan bahwa penderitaan itu memiliki aspek universal dalam keseluruhan struktur politik yang ada karena Salib adalah saksi bagi pemberontakan Yesus terhadap kekuasaan politik yang menindas dan tidak adil. Jaadi, penderitaan Yesus dalam dirinya sendiri, artinya penderitaan Yesus sebelum kebangkitan, tidak memiliki makna universal dalam dimensi politik sebab penderitaan justru membenarkan bahwa terdapat struktur politik yang tidak adil dan menindas. Kebangkitan Yesuslah yang secara politis membenarkan bahwa struktur kekuasaanpolitik yang tidak adil dan menindas itu harus pula dihancurkan sebab kebangkitan justru menghancurkan kekuasaan totaliter otoritarian.

Demikian pula Dengan kehacuran kekuasaan Imperium Romanum. Demkian pula dengan kejatuhan Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 yang bertepatan dengan Kenaikan Yesus ke Surga menjadi bukti bahwa kebangkitan Yesus menghancurkan kekuasaan totaliter otoritarian dalam keagunganNya
Membawa penderitaan Yesus ke adalam negara dengan demikian berarti memaknai secara baru setiap penderitaan manusia Indonesia; pederitaan orang-orang yang percaya maupun mereka yang menyangkal penderitaan Yesus (kaum muslim), bahwa penderitaan yang mereka alami sebagai akibat dari kooptasi negara Hegelian yang memberikan semua fungsi kepada negara, maupun penderitaan yang diakibatkan oleh sistem demokrasi yang tidak demokratis, terjadi karena Kristus sendiri telah menderita juga karena sistem struktur politik totaliter otoritarian itu. Dengan demikian penderitaan manusia saat ini partisipatif dan terarah ke pada penderitaan Kristus.

Partisipasi dan keterarahan penderitaan manusia ke pada Salib Kristus ini adalah model keterarahan yang dapat menyebabkan kehancuran struktur kekuasaan yang tidak adil, semana-mena, dan menindas. Memoria passionis dengan ini menjadi jelas, yakni mengenang penderitaan manusia dalam negara sebagai yang terjadi setelah, partisipatif, dan terarah kepada penderitaan Kristus tidak saja dalam rangka mengenang penderitaan sesama sebagai warga tetapi mengenang dalam rangka menghancurkan struktur kekuasaan totaliter otoritarian, dan mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Perwujudan Kerajaan Allah dengan demikian bukanlah suatu idealisme utopis semata, melainkan secara politis ialah menghadirkan kebenaran politis yakni keadilan, hak asasi dan martabat manusia, cinta kasih, solidaritas, yang semuanya telah merupakan disposisi fundamental Yesus yang menjadi terang sekali dalam ungkapan option for the poor itu.


DAFTAR PUSTAKA
Brug, Scheve, Kristologi Postmodern (Promanuscripto), STF Driyarkara, Jakarta, 2005.
Hughes, John, The End of Soekarno, Archipelago Press, Singapore, 2002.
Moltmann, Jürgen, God for A Secular Society, (trans. by Margaret Kohl), Fortress Press, Minneapolis, 1999.
Moltmann, Jürgen, “Political Theology of the Cross? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 10-15.
Moltmann, Jürgen, “Meditation on Hope? dlm., A Reader in Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1974, 24-30.
Metz, J. B., A Passion for God, (trans. by J. Matthew Ashley), Paulist Press, New York ?N. J., 1998.
Metz, J. B., “The Privatization of Religion? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 4-9.
Nolan, Albert, Jesus Before Christianity, Paulist Press, Quezon City, 1983.
Pieper, Josef, “Hope and History? dlm., A Reader in Political Theology, SCM Press, London, 1974.
Schillebeeckx, Edward, Jesus in Our Western Culture, (trans. by John Bowden), SCM Press, London, 1987.
Vatikiotis, Michael R. J., Indonesian Politics Under Soeharto, Roudlege, London and New York, 1993, 1998.
Widyatmadja, Josef, “Incarnation as Subversion? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 145-50.
[1] Ketika masih di Manila, saya membaca Dorothee Söle, sebuah buku kecil yang saya tidak miliki sampai saat ini. Tetapi, pertanyaan fundamental itu terus-menerus terpatri dalam pikiran dan menjadi bagian dari refleksi saya pribadi, setidaknya jelas dari judul paper ini. Pertanyaan yang dirumuskan oleh Söle ini sebenarnya sejalan dengan Moltmann ketika dia menawarkan contributions on the public relevance of theology. Lih., Jürgen Moltmann, God for A Secular Society, (trans. by Margaret Kohl), Fortress Press, Minneapolis, 1999, 1.
[2] JB. Metz, A Passion for God, trans. by J. Matthew Ashley, Paulist Press, 1998, 5.
[3] JB. Metz, “The Privatization of Religion? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 4.
[4] Pernyataan ini cukup moderat jika dibandingkan dengan pernyataan yang sama-sekali provokatif oleh Josef Widyatmadja bahwa the whole ministry of Jesus Christ was a subversive action. Lih., Josef Widyatmadja, “Incarnation as Subversion? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 145-50.
[5] Jürgen Moltmann, “Political Theology of the Cross? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, 1978, 10; bdk., Albert Nolan, Jesus Before Christianity, Paulist Press, 1983, 92.
[6] Peristiwa, menururt Alain Badiou, adalah sebuah inovasi atau pembaruan, dan pembaruan ini dimulai dengan sebuah pemisahan dari status quo atau atau situasi tetap, dan karena bersifat tetap dengan denikian menjadi terstruktur. Jadi struktur dalah keadaan tetap. Lih., Scheve Brug, Kristologi Postmodern (Promanuscripto), STF Driyarkara, 2005.
[7] Jürgen Moltmann, “Political Theology of the Cross? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, 1978, 10.

[8] Metz, Op.Cit., 66
[9] Schillebeeckx, Jesus in Our Western Culture, trans. by John Bowden, SCM Press, 1987, 23.
[10] Tentang kehancuran dan kejatuhan Soekarno, lih., John Hughes, The End of Soekarno, Archipelago Press, Singapore, 2002.
[11] Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto, Roudlege, London and New York, 1993, 1998, 93.
[12] Metz, Op. Cit., 48.
[13] Gagasan ini mirip dengan gagasan Metz yeng menekakan suffering unto God daripada suffering in God. Namun, Metz mendasarkan pandangan ini pada gagasan teologis pada umumnya dan bukan kristologis. Metz tidak lagi ingin mendiskusikan tema suffering in God karena sudah terlalu sering dibahas oleh banyak teolog danbahwa dia tidak ingin meneruskan pendekatan serupa. Lih., bdk., Metz, Ibid., 69-71.
[14] Italics, penekanan penulis.
[15] Bdk., Jürgen Moltmann, “Meditation on Hope? dlm., A Reader in political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1974, 24-30; Josef Pieper, “Hope and History? dlm., A Reader in Political Theology, SCM Press, London, 1974, 30-4.

Frans Nay R., CICM
Email: fransnayr@yahoo.com

Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.