Bagian dari Presentasi pada Pembukaan sidang Sinode GKST, 12 November 2008
... judul alinea ini mengingatkan pada kisah Alkitab, visi nabi Yehezkiel (ps 37), tulang-tulang berserakan yang dihidupkan Roh Tuhan. Bagi anda yang mempunyai minat sastra, ungkapan“tulang-tulang berserakan” akan mengingatkan pada puisi terkenal Khairil Anwar, “Krawang - Bekasi” (1947). Salah satu baitnya demikian:
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
[Selengkapnya lihat dalam http://chairil-anwar.blogspot.com/]
Para korban tragedi Poso dan bencana alam Morowali mungkin tersisa “tulang-tulang berserakan.” Tulang-tulang dari para korban yang mati sia-sia. Benarkah mereka mati sia-sia? Pada hemat saya, makna penting yang melekat pada kematian mereka – apa pun agamanya, baik yang Kristen maupun yang Islam, atau yang lain – adalah pencerahan kepada kita semua untuk tidak mengulangi peristiwa yang mendatangkan kematian seperti itu. Kematian mereka memberi pelajaran kepada kita bahwa bukan kematian melainkan kehidupan, bukan permusuhan melainkan perdamaian, bukan kebencian melainkan kasih yang seharusnya berlangsung dalam kehidupan bersama umat manusia. Sebab itu bukan para tokoh jantan-satria yang perkasa melawan musuh yang diagungkan dan memberi inspirasi bagi kehidupan, melainkan para korban yang tak berdaya itu. Cara pandang ini sesuai dengan teologi salib: Yesus yang mati di kayu salib, sebagai korban penebusan, yang memberi umat manusia pembenaran dan pendamaian. Dia bangkit, tepatnya, Yesus dibangkitan Allah, sebagai tanda bahwa Allah memihak Dia yang berkorban dan/atau dikorbankanitu. Kemenangannya bukan di dalam kemampuan-Nya bangkit, melainkan kesediaan-Nya mati, kesediaan berkorban. Allah sendiri memberi makna pada korban. Tetapi ini bukan mengagungkan dan melanggengkan korban sehingga menjadi ideologi yang membiarkan penindasan, sebagaimana diingatkan oleh Rene Girard, seorang pemikir asal Perancis, menyangkut kekerasan dan korban sebagai kambing hitam:
Bertentangan (dengan agama-agama purba), penyataan Alkitabiah membela korban – Habel dan Yusuf dalam kitab Kejadian, Hamba yang Menderita dalam Yesaya, Pemazmur yang teraniaya, Ayub dan Yesus – dan memperlihatkan mekanisme kambing hitam sebagai yang bertentangan dengan kehendak Allah. Dalam Alkitab Allah memihak korban yang tak bersalah, dan di dalam Yesus, Allah muncul sebagai korban itu sendiri. Girard menyatakan bahwa penyataan Alkitabiah ini perlahan-lahan menembus kesadaran manusia. Salah satu akibat jangka panjang berita Injil yang nampak pada tahun-tahun terakhir, menurut Girard, adalah makin meningkatnya kepedulian pada para korban dan cara-cara tanpa kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
[5Leo D. Lefebure, “Beyond scapegoating: a conversation with Rene Girard and Ewert Cousins.” (Interview) The Christian Century | Date: 4/8/1998 | http://www.encyclopedia.com/doc/1G1-20515619.html]
Adanya orang-orang yang jadi korban dalam konflik (seharusnya) menjadi tanda bahwa kita terlibat bersalah karena dengan satu dan lain cara telah terlibat dalam konflik dengan kekerasan yang menyebakan mereka jadi korban. Dengan kata lain, setiap kali ada korban kekerasan di dalam masyarakat, kita disadarkan bahwa kekerasan adalah dosa, dan bahwa permusuhan adalah pelanggaran terhadap kehendak Allah. Kita dapat memahami maraknya pengembangan teori dan aktivitas conflict resolution dan peace education belakangan ini sebagai bagian dari dampak kesadaran itu.
[Zakaria Ngelow]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar