21 Oktober 2011

Oikonomia

Bahan Baku bagi Pandangan Teologis tentang Ekonomi

John Campbell-Nelson

“Apa kata Alkitab tentang ekonomi?” Kalau dilihat secara harafiah, Alkitab membisu. Kata “ekonomi” tidak muncul sama sekali dalam keseluruhan Alkitab bahasa Indonesia dari Kejadian sampai Wahyu. Namun muatan Alkitab tentang berbagai aspek kehidupan manusia yang masa kini disebut ekonomi justru banyak sekali. Kata “kaya/kekayaan” muncul 168 kali, miskin 156 kali, jual/beli/bayar 177 kali, makanan 186 kali, pakaian 179 kali, harta 138 kali, uang 112 kali, dan emas 295 kali.

Dalam kitab-kitab Musa, kita boleh pelajari peraturan-peraturan perekonomian yang melandasi pembentukan Israel sebagai sebuah bangsa baru, termasuk undang-undang agraria, perburuhan, hutang-piutang dan suku bunga, timbangan, peraturan jual-beli, kebijakan keuangan dan perpajakan, perlindungan lingkungan dan sumber daya alam, kesejahteraan sosial, dan masih banyak lagi. Pada zaman kerajaan, para Nabi memberi perhatian yang besar pada ketimpangan-ketimpangan dan penindasan ekonomis, bahkan sering mereka lebih mengutamakan keadilan ekonomis ketimbang urusan keagamaan.

Yesus sendiri mulai misi pemberitaanNya dengan menyatakan bahwa Ia telah diurapi untuk “menyampaikan kabar baik pada orang-orang miskin” dan dalam ajaran dan pelayananNya Ia mengembangkan sebuah ekonomi alternatif berdasarkan prinsip hidup sederhana dan membagi-bagikan segala harta milik tanpa batas. Ekonomi ini bukan sebuah impian saja, melainkan terwujud dalam pola hidup jemaat pertama di Yerusalem: “segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.” (Kis. 2.45) Kalau meragukan keseriusan gereja mula-mula mengenai tatanan ekonomi komunal ini, tanya saja pada Ananias dan Safira!

Kita tidak perlu heran kalau Alkitab banyak memperhatikan masalah-masalah ekonomis. Ekonomi justru berhubungan dengan salah satu pokok keprihatinan utama dalam tradisi iman kita: kesejahteraan manusia. “Aku datang supaya manusia peroleh hidup dalam segala kelimpahan,” kata Yesus (Yoh. 10.10), dan tentu kelimpahan itu tidak terlepas dari soal makan-minum (termasuk anggur yang enak, kalau kita perhatikan pesta pernikahan di Kana!).

Pada kesempatan ini, kami akan memberi sebuah definisi singkat tentang ekonomi dari segi Alkitabiah, kemudian mengangkat beberapa tema teologis yang terkait, dan berkhir dengan beberapa “perumpamaan” tentang ekonomi masyarakat adat.

Oikonomia

Dalam artian yang paling sederhana, konsep ekonomi merujuk pada segala upaya untuk mengolah sumber daya alam, dengan segala kreatifitas dan talenta yang kita miliki, demi produksi, pertukaran, dan konsumsi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Kata ekonomi berasal dari bahasa Yunani oikos = “rumah” dan nomos = “tatanan”; sehingga oikonomia dapat diartikan sebagai “penataan rumah tangga” atau secara lebih umum, “penatalayanan.” Pada zaman Perjanjian Baru, seorang oikonomos adalah sejenis pelayan yang diberi kepercayaan untuk mengatur rumah tangga atau kebun tuannya. Dalam penafsiran terhadap kitab Kejadian, banyak teolog dari Bapak-Bapak gereja sampai dengan Calvin melihat peranan oikonomos ini sebagai peranan yang pertama-tama diberikan Tuhan Allah kepada manusia dalam penciptaanNya. “Tuhan Allah membuat taman di Eden ...lalu Tuhan Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya; [dan] mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kej. 2.8-9, 15) Dari sudut pandang Kejadian, dapat dikatakan bahwa homo economicus adalah bagian dari kemanusiaan kita yang paling asli.

Berangkat dari gambaran tentang peranan manusia sebagai oikonomos di kebun Allah, maka Rasul Paulus dan beberapa teolog gereja mula-mula mengembangkan artian yang utama dari oikonomia dalam tradisi Kristen: Allah telah menciptakan bumi ini sedemikian rupa sehingga segala kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara baik dan lestari, asal manusia mengolanya secara setia dan bertanggung jawab. Tatanan alam ini dan peranan manusia di dalamnya disebut Oikonomia Allah. Bahwa manusia akan jatuh ke dalam dosa sudah diperhitungkan Allah, sehingga karya keselamatan Yesus juga dilihat sebagai bagian dari Oikonomia yang Agung ini. Dengan demikian, secara sederhana, dapat dikatakan bahwa oikonomia pada asal mula tradisi Kristen berarti rencana Tuhan demi pemeliharaan dan keselamatan seisi bumi ini.

Landasan-landasan Teologis

1. “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya.” (Maz. 24.1) Prinsip ini membawa beberapa konsekwensi:
• Menetapkan hak milik Allah yang tidak boleh dialihkan pada pihak lain (“Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu.” Imamat 25.23). Negarapun tidak berdaulat secara mutlak atas tanah air dalam daerah kekuasaannya.
• Bumi, flora, dan fauna ciptaan Tuhan harus dihormati sesuai kemuliaan pemiliknya.
• Segala kepunyaan manusia adalah pemberian dari Allah, dan harus disyukuri dan diterima dengan kerendahan hati. (Yak. 1.17)
• Hutang-piutang antara manusia direlativisir oleh hutang kita semua kepada Tuhan. “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.” (Mt. 10.8)


2. “Janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mt. 6.32-34) Implikasinya:
• Percayalah kepada kebaikan Allah untuk “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”–jangan mencobai Allah seperti orang Israel di padang gurun (soal manna di Kel. 16) Dalam tradisi ini disebut providentia dei.
• Percayalah juga kepada sesamamu. Ketika Yesus mengutus murid-muridnya, Ia menyuruh mereka tidak membawa bekal apa-apa di perjalanan, supaya mereka harus bergantung pada keramah-tamahan rakyat yang mereka layani. (Mt. 10.9-10) Sampai sekarang para pendeta hidup kurang lebih menurut prinsip ini.
• Kesejahteraan diperoleh sebagai konsekwensi dari kebenaran Kerajaan Allah; sebaliknya, kebenaran tidak perlu dan tidak boleh dikorbankan demi kesejahteraan. Hal ini kalau dipatuhi bisa memberantas KKN.
• “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Mt. 6.24) Yesus dengan tegas menyatakan bahwa upaya untuk mencari kekayaan pribadi bukan hanya menjadi halangan bagi iman, melainkan merupakan sejenis berhala. Mamon adalah semacam personifikasi dari kecenderungan manusia untuk mendewakan harta. Mengabdi kepada Mamon berarti menyangkal atau meragukan kebaikan (providentia) Allah, and lebih dari itu menjadikan manusia sebagai pelaku kejahatan ekonomis. Masalah ini ada di belakang kecaman Yesus terhadap orang kaya: “celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu.” (Lukas 6.24)

3. “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.” (Lukas 6.20) Inilah kabar baik yang Yesus sebutkan pada khotbahnya di Nazaret (Lukas 4.18). Orang miskin diberi perhatian khusus oleh Allah bukan karena mereka lebih baik dari orang lain; kebobrokan moral bukan monopoli orang kaya. Justru orang miskin diistimewakan karena mereka susah dan menderita, dan Allah menaruh belas kasihan pada mereka.
Selain itu, orang miskinlah yang lebih banyak menyambut pemberitaan Yesus dengan gembira dan rela menjadi pengikutnya. Kalau membagi-bagikan harta milik sesuai kebutuhan sesama menjadi persyaratan mengikut Yesus, maka orang yang “berpunya” justru paling merasa berat untuk melepaskan hartanya. Bagi mereka yang tidak punya apa-apa, merekapun tidak merasa kehilangan. Implikasi:
• Sebuah ekonomi yang berkembang dalam kesetiaan pada Yesus akan diukur dari bawah, bukan dari atas. Kebijakan dan praktek ekonomi dapat dikatakan baik kalau membawa kesejahteraan bagi orang miskin; dan tidak baik kalau membuat orang kaya tambah kaya.
• Pemerintah selayaknya memihak pada rakyat berhadapan dengan investor, bukan bersekongkol dengan investor untuk merampas sumber daya alam dari tangan rakyat.

4. Berpuasa yang Kukehendaki,
ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman,
dan melepaskan tali-tali kuk...
supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar
dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah,
dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian
dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!
(Yes. 58.6-11; band. Amos 5.21-24)
Yesaya mengecam puasa dan Amos mengecam perayaan-perayaan dan pesta korban kepada Allah, tapi dua-dua karena alasan yang sama. Ternyata Tuhan lebih mementingkan keadilan ekonomis terhadap orang-orang miskin dan tertindas daripada atribut agama. Implikasi:
Mestinya anggaran diakonia lebih besar dari anggaran untuk pembangunan gedung gereja.

5. “Janganlah mengambil kilangan atau batu kilangan atas sebagai gadai, karena yang demikian itu mengambil nyawa orang sebagai gadai.” (Ul. 24.6) Mungkin aturan ini terdengar agak aneh, tapi di belakangnya ada sesuatu yang penting: batu kilangan dibutuhkan untuk orang Israel menghancurkan gandum untuk masak roti, yang adalah makanan pokok mereka. Untuk konteks kita, mungkin lesung lebih tepat. Tanpa alat ini, orang akan susah makan. Dengan berbagai cara, tatanan ekonomi Israel kuno berupaya untuk menjamin sumber kehidupan yang minimal untuk semua orang, “supaya mereka bisa bertahan hidup di antara kamu.” Ketetapan ini mengandung prinsip bahwa:
• Sarana produksi untuk kebutuhan pokok tidak boleh diambil dengan alasan apapun.
• Daripada membubarkan masyarakat kita sendiri melalui imigrasi ke kota dan pengiriman tenaga kerja asing, lebih baik mengembangkan ekonomi lokal “supaya mereka bisa bertahan hidup di antara kamu.”

6. “Haruslah kauingat, bahwa engkau pun dahulu budak di Mesir dan engkau ditebus Tuhan, Allahmu, dari sana; itulah sebabnya aku memerintahkan engkau melakukan hal ini.” (Ul. 24.18) Peringatan ini muncul berulang kali dalam kitab Ulangan (mungkin ini yang dimaksud dengan “ulangan”). Setiap perintah dan peraturan yang sifatnya melindungi orang yang lemah, orang asing, janda dan yatim piatu disusul dengan peringatan ini, supaya dalam kemakmurannya orang Israel jangan menjadi sombong dan lupa Tuhan–ataupun lupa sesama. Implikasi:
• Keberhasilan ekonomis membawa kewajiban yang mutlak untuk menolong orang yang lebih susah dari kita.
• Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan kita, kita tidak boleh memperbudak orang lain.

7. "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Mt. 20.26-28)
Yesus sedang berbicara tentang kepemimpinan dalam persekutuan para pengikutNya, sehingga mungkin tidak nampak kalau perkataan ini ada makna ekonomis. Namun ada implikasi yang langsung dan prinsipil. Para anthropolog yang meneliti sistem-sistem ekonomi dalam masyarakat tradisional telah mencirikan salah satu bentuk ekonomi tradisional sebagai gift economy (ekonomi pemberian). Sistem ini hampir merupakan kebalikan dari sistem kapitalis. Prinsip kapitalis adalah bahwa para “pemain” ekonomi bersaing untuk memperoleh keuntungan terbesar. Siapa yang paling beruntung dianggap “sukses” dan siapa yang paling rugi dianggap “gagal.” Dalam sebuah gift economy justru terbalik: orang bertanding untuk memberi lebih banyak dari apa yang mereka menerima. Hal ini bukan karena mereka luar biasa baik hati, tapi karena sistem nilai dalam masyarakat seperti ini memberi hormat terbesar pada orang yang paling banyak memberi. Setiap pemberian akan dibalas dengan pemberian yang lain, sehingga terjadi suatu pertukaran (exchange) yang mengikat masyarakat tersebut dalam suatu jaringan kasi dan menerima, kasi dan menerima, dan....terima kasih! Implikasi:
• Dalam terang anthropologis itu, kita bisa membaca perkataan Yesus di atas dengan artian ekonomis: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah dia banyak memberi.” Atau lebih baik kutip langsung dari Yesus sendiri: “Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu.” (Lukas 6.30)

Dari sejumlah kutipan Alkitab yang di atas, tentu kita tidak memperoleh sebuah teori ekonomi. Pada zaman Alkitab memang tidak ada usaha-usaha teoritis seperti yang ditemukan dalam universitas-universitas, lembaga-lembaga pemerintahan, atau perusahaan-perusahaan besar masa kini. Yang kita peroleh adalah sejumlah patokan moral yang memiliki relevansi bagi sistem ekonomi yang manapun, dari ekonomi tradisional masyarakat adat sampai pada konglomerat global. Tidak dapat disangkali bahwa dalam komunitas yang Yesus bangunkan terjadi semacam ekonomi komunal pada skala yang sangat kecil. Saya tidak berani untuk meramalkan jenis ekonomi macam apakah yang Yesus akan kembangkan kalau Ia berhadapan dengan zaman McDonald’s dan Coca Cola. Apakah Ia akan mengatakan, “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada McMamon?”

Kemandirian, Pemberian dan Persekutuan dalam Ekonomi NTT: Perumpamaan-Perumpamaan dari Om Ma’u

Karena saya tidak berkompeten untuk berteori tentang ekonomi, saya akan bercerita saja. Pada poin 7 di atas saya telah menyinggung tentang konsep gift economy yang menurut saya sangat mirip dengan apa yang Yesus kembangkan di antara murid-muridNya. Hal yang sama juga nampak dalam sejumlah nilai ekonomi (walaupun sering dilanggar dalam praktek) yang hidup di antara masyarakat tradisional yang saya kenal di Indonesia Bagian Timur. Mengapa masyarakat tradisional? Bukan karena saya mau menyuruh kita semua supaya menyangkal listrik dan aspal dan kembali ke kampung (boleh juga, tapi itu bukan urusan saya). Alasannya adalah bahwa kalau saya mencari aspek-aspek ekonomi yang mirip dengan apa yang saya pelajari dari Yesus, maka saya tidak melihatnya di Kupang atau di Jakarta atau di Los Angeles. Namun saya melihatnya, walaupun samar-samar, dalam ekonomi pedesaan. Sumber dari semua cerita ini adalah “Om Ma’u”, seorang petani dan tua adat dari Timor Tengah Selatan yang sudah lebih dari 25 tahun menjadi sahabat dan guru saya dalam adat dan kemanusiaan Timor. (Nama yang sebenarnya dirubah supaya dia jangan malu atau sombong.)

• Seorang tamu datang dari Kupang, dan terkesan dengan kesuburan tanah, hutan rimba dan air yang melimpah. Namun dari segi lain dia terganggu dengan keadaan rumah tradisional, pakaian sehari-hari yang masih berupa pakaian adat (selimut daripada celana, misalnya), dan tidak adanya listrik atau televisi. “Sebenarnya kalau anda berupaya, anda bisa cukup makmur,” katanya. Ma’u tersenyum. “Pak, kami kurang apa? Paling-paling kami beli sabun dan baterai di toko. Lain-lain kami hasilkan sendiri: pakaian, makanan, bumbu-bumbu, kopi...Api pun kami bisa bikin sendiri dengan batu api. Siapa mau bergantung pada toko untuk api? Tidak perlu televisi. Lebih baik tuturkan kami pung cerita sendiri daripada duduk bodoh-bodoh nonton orang Jakarta pung cerita.”

• Adiknya Ma’u sudah menjadi pegawai negeri di Kupang. Kalau ada kumpulan keluarga di kampung, orang nikah atau orang mati, maka semua membawa beras, babi, atau paling sedikit ayam. Kecuali si adik PNS, yang tidak membawa apa-apa (walaupun dia sering membawa pulang banyak natura). Mungkin dia rasa malu sedikit, sehingga dia bilang, “Maaf, saya datang dengan tangan kosong. Tapi kami tidak ada tempat untuk pelihara ternak atau berkebun. Maklumlah, kami hanya hidup dari gaji.” Ma’u bersambung, “Memang, saya mengerti. Uang tidak berkeluarga.”

• Pada musim jeruk, seorang papalele datang untuk beli jeruk cina dari kebunnya Ma’u. Setelah tawar harga untuk sejumlah pohon, papalele menunjuk pada dua pohon di depan rumah yang paling sarat dengan buah. Dia menawarkan harga yang cukup tinggi. Tapi Ma’u tidak mau jual. “Setiap tamu yang datang harus lewat dua pohon ini, dan mereka petik dan makan. Kalau saya jual, nanti kalau tamu datang saya mau kasi apa?”

• Rumah bulat sudah perlu diatap kembali. Ma’u pada mulanya mau sewa orang untuk mengerjakannya, tapi kemudian dia berobah pendekatan. “Ini rumah adat, jadi saya harus buat secara adat,” katanya. Dia mengundang semua sanak saudara, kunyadu, dsb. untuk datang. Sekitar 200 orang berkumpul selama tiga hari untuk mengganti atap alang-alang. Dan sepanjang waktu itu, semua makan pesta. Setelah pekerjaannya selesai, Ma’u mulai hitung ongkosnya: dua ekor sapi dan tiga ekor babi, dan beberapa karung beras–sedangkan jagung tak terhitung. Padahal kalau sewa orang untuk pekerjaan itu, harganya tidak lebih dari Rp. 150,000. “Kamu rugi besar!” saya bilang. “Ya,” Ma’u menjawab sambil goyang kepala. “Tapi kalau saya tidak bikin begini, bagaimana kami akan tahu bahwa kami bersaudara?”

• Siang hari terdengar orang berteriak, “Rumah terbakar!” Mengikuti kolom asap, seluruh kampung berkumpul di rumah bulat milik sebuah keluarga yang terhitung lebih miskin di antara orang-orang miskin. Ayahnya adalah keturunan dari seorang budak yang dibeli dari Belu pada zaman Belanda. Ada isteri dan tiga anak, dan seluruh harta milik mereka terbakar habis bersama rumah bulat itu. Tinggal pakaian di badan. Melihat orang berdiri “tanganga,” Ma’u bergerak. Dia tarik naik isterinya punya sarung. “Kamu ada roh dalam di bawa? Neu, baik. Buka itu sarung sudah dan kasi pada keluarga ini.” Ma’u pun membuka baju kaosnya dan berikan pada ayah yang rumahnya terbakar. Kemudian dia balik pada para penonton yang lain: “Pulang cepat! Kamu bawa piring dan sendok. Kamu, kuali. Kamu, bawa jagung dua ikat..... Saya tunggu di sini. Dan besok, kita kembali untuk bangun rumah baru.”

Kami kebetulan ke kampung itu lima hari setelah peristiwa kebakaran, dan keluarga yang malang itu sudah tinggal dalam sebuah pondok yang sederhana, namun penuh dengan segala kebutuhan hidup.



Sebagaimana Yesus biasanya mengakhiri sebuah perumpamaan, “Barangsiapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!"

Dari Oikonomia Allah sampai ke Ekonomi Manusia:Sebuah Catatan Historis

John Campbell-Nelson

Pada tahun 1991, HKUP GMIT menambah dua bidang pelayanan yang “baru” pada tritunggal pelayanan yang terkenal: Koinonia, Marturia, dan Diakonia diperluas dengan Liturgia dan Oikonomia menjadi “panca pelayanan” yang dipakai sampai sekarang. Pada waktu itu, tidak ada yang mempertanyakan liturgia. Kita beribadah kepada Tuhan sejak dahulu kala. Hanya, ada yang merasa ganjil dengan soal oikonomia. Begitu mereka tahu bahwa kata “ekonomi” berasal dari bahasa Yunani oikonomia mereka berkeberatan: “Ekonomi itu soal duniawi. Gereja jangan urus bisnis.” Memang kita tidak mau kalau gereja menjadi semacam perusahaan. Hal ini sudah digumuli ketika kekayaan gereja menjadi salah satu pokok persoalan pada masa Reformasi. Pada abad-abad pertengahan, gereja telah berkembang sampai menjadi lembaga yang paling kaya di Eropa. Para Reformator mengecam korupsi dalam tubuh Kristus kalau gereja menjadi pemilik perkebunan yang luas, penjual jasa rohani, atau malah memungut pajak dan mengelola bank sendiri. Dalam keadaan demikian, terlalu gampang persembahan “demi kemuliaan Tuhan” bergeser pada “kemegaan GerejaNya” dan pada akhirnya menjadi kekayaan para “Hamba Tuhan.” Justru karena bahaya seperti itu, oikonomia perlu dipahami dalam arti yang asli dalam tradisi kita, sebab jauh sebelum oikonomia bergeser pada ekonomi dalam bahasa sehari-hari, ia adalah sebuah konsep teologis yang cukup sentral. Ada baiknya kalau kita mengikuti riwayatnya.Kata oikonomia berasal dari bahasa Yunani: oikos = “rumah” dan nomos = “penataan.” Dengan demikian oikonomia berarti penataan rumah tangga. Dalam bahasa sehari-hari, seorang oikonomos adalah juru kunci, kepala dapur, dan penilik perkebunan pada sebuah rumah besar; sedangkan oikonomia adalah tata aturan dalam sebuah rumah tangga. Berdasarkan arti yang sehari-hari ini, berkembang dalam pemikiran Rasul Paulus sebuah kiasan tentang dunia ini sebagai “rumah tangga Allah” (Ef. 2.19) dan oikonomia sebagai tatanan Allah terhadap ciptaanNya, dan lebih jauh lagi sebagai rencana penyelamatan Allah: “sebagai persiapan [oikonomian] kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.” (Ef. 1.10). Paulus juga menyebut diri sebagai “oikonomos rahasia Tuhan” (Ef. 3.9; I Kor. 4.1; Kol. 1.25).Selanjutnya, dalam pemikiran para Bapak Gerejawi konsep oikonomia sudah menjadi sebuah istilah yang khas teologis yang mencakup: (1) Tatanan internal dari Trinitas, semacam “pembagian tugas” di antara Bapak, Anak, dan Roh Kudus; (2) Konsep providentia, yaitu pemeliharaan Allah dalam pemberian alam semesta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keberlangsungan hidup manusia; (3) Inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus sebagai penggenapan rencana keselamatan. (4) Merangkum semua arti di atas, pada akhirnya disebut “Sang Oikonomia” untuk mencakup keseluruhan Rencana Tuhan dalam penciptaan, keselamatan, dan penggenapan pada akhir zaman.Dari evolusi makna oikonomia sejak Rasul Paulus lewat Krysostomus, Athanasius, Agustinus, bahkan sampai Luther dan Calvin nampak suatu keyakinan bahwa dunia ciptaan Allah dan keseluruhan perkembangan sejarah manusia adalah bagian dari suatu rencana agung yang ditata secara rapih demi kebaikan manusia dan kemuliaan Allah. Bagian manusia dalam rencana ini adalah sebagai oikonomos Allah yang dipercayakan dengan tugas untuk hidup sebagai penata rumah tangga Allah dan penjaga kebun Allah yang setia.Kalau memang demikian, sejak kapan oikonomia bergeser dari arti teologis ini menjadi “ekonomi,” dalam arti kegiatan produksi, pemasaran dan konsumsi barang, jasa, dan uang?Perobahan ini terjadi mulai pada zaman yang disebut “Pencerahan” di Eropa, pada abad ke15-18. Pertama, terjadi sejumlah terobosan dalam bidang ilmu alam, di mana para ilmuan seperti Galileo dan Kopernikus menemukan bahwa bumi ini bulat dan mengelilingi mata hari—ternyata bukan seperti dalam Alkitab, di mana bumi ini dianggap plat seperti sebuah piring dan mata hari mengelilingi bumi. Menyusul keberhasilan dalam ilmu alam, sejumlah pemikir mulai menerapkan metode observasi dan analisis yang serupa pada kehidupan dan kegiatan manusia. Tidak lagi terpaku pada “apa kata Alkitab,” mereka mencari pengetahuan tentang manusia dengan mata dan kepalanya sendiri.Salah satu pemikir yang menerapkan metode observasi-analisis ini pada kegiatan produksi dan perdagangan adalah Adam Smith, dalam bukunya Menelusuri Kekayaan Bangsa-Bangsa (An Inquiry into the Wealth of Nations, 1776). Smith meletakkan dasar bagi teori kapitalisme dan “pasar bebas” yang sempat berdaulat dalam pemikiran dan penetapan kebijakan-kebijakan perdagangan sampai abad ke 20. Pada saat yang sama, dia mempopulerkan sebuah istilah untuk bidang studinya yang melekat sampai sekarang: ekonomi politik (“political economy”). Para pemikir masa kini akan mengatakan bahwa bidang ini disebut ekonomi politik karena ia meneliti hubungan di antara kebijakan politik dan pengelolaan kegiatan ekonomi. Namun, dalam konteks berpikir Adam Smith ada alasan yang lain yang sama penting: Smith menyebut ekonomi politik untuk membedakannya dari istilah yang lebih tua: ekonomi Allah.Smith, seperti kaum “pencerahan” lain, berupaya untuk memahami dunia ini semata-mata dalam kerangka berpikir ratio manusia, tanpa mengandalkan intervensi Allah. Para ekonom selanjutnya meneruskan upaya itu, sampai ekonomi (biasanya tanpa kata sifat “politik” lagi) telah berkembang menjadi ilmu sosial yang paling berpengaruh dalam dunia masa kini. Penasehat ekonomi menjadi tokoh yang sangat berperan dalam pemerintahan, dan biarpun keadaan ekonomi memburuk betapapun, namun sulit mencari seorang ahli ekonomi yang menganggur. Bahkan di Amerika gelar akademis yang paling digemari adalah dalam bidang ekonomi.Lebih dari itu, hampir dapat dikatakan bahwa “Sang Ekonomi” dalam versi kapitalisme global telah menjadi pengganti Tuhan kalau orang mau menjelaskan apa yang paling berkuasa dalam kehidupan manusia masa kini. Mengapa kita susah? “Karena ekonomi memburuk.” Mengapa kita senang? “Karena ekonomi membaik.” Para bank besar dan kantor perusahaan global menjadi “Bait Suci” moderen, dengan bankir dan peramal ekonomis sebagai kaum imam. Salah-benar sebuah kebijakan publik dinilai dari “reaksi pasar.” Dalam pertarungan di antara Allah dan Mamon, kelihatannya seperti Mamon telah menang.Sementara itu, apa nasibnya oikonomia Allah? Dalam gereja, oikonomia, kalau disebut sama sekali, sering dibatasi pada soal keuangan dan harta milik gereja sebagai lembaga. Bahwa hal ini hanya sebagian yang kecil dari amanat Tuhan kepada manusia sebagai oikonomos Allah sepertinya dilupakan dalam upaya untuk mencari gaji bagi para pelayan dan menghimpun dana untuk membangun gedung-gedung yang dapat bersaing dengan para bait suci Mamon. Sampai sejauh gereja terlibat dalam kegiatan ekonomis, ia biasanya mengekor pada ekonomi kapitalis (misalnya melalui pinjaman-pinjaman untuk usaha-usaha kecil), atau ia mendapat bagian merawat para korban ekonomi kapitalis global melalui pelayanan diakonal. Usaha-usaha ini bukan tidak baik. Namun perlu dikatakan bahwa pelayanan gereja dalam bidang oikonomia cukup kerdil kalau dibandingkan dengan kemuliaan dari panggilannya sebagai Oikonomos Allah. Kalau dunia ini adalah kebun Allah, bagaimana kita membagi hasilnya secara adil? Bagaimana kita merawatnya supaya tidak dicemarkan oleh polusi atau dimakan erosi? Kalau kita berdiam bersama dalam rumah tangga Allah, mengapa ada yang makan dua piring dan ada yang mati kelaparan?Kalau kita mau setia pada amanat yang Tuhan berikan, kita harus mulai dengan upaya untuk mengembalikan oikonomia pada agenda teologia; para teolog harus belajar ilmu ekonomi seperti dulu kita belajar untuk berdialog dengan psikologi, sosiologi, dan antropologi. Dan yang utama, kita harus mengupayakan sebuah visi yang baru tentang Oikonomia Allah, Rencana Tuhan yang agung, yang dapat mengekspos ekonomi kapitalis global sebagai berhala kepada Mamon, dan dapat mengembalikan penataan rumah tangga Allah kepada tuan rumah yang sebenarnya.