23 November 2009

Membangun Masa Depan Dunia

Suatu Perspektif Teologi Feminisme
Suatu Kajian Berdasarkan:

Sumber:Radford Reuther, Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theologi, Boston: Beacon Press, 1983.

Lian Padele

Abstraksi
Reuther memakai bahan-bahan teologi dogmatik serta penghayatan iman yang terdokumentasi di dalam simbol-simbol, hukum-hukum dan etika komunitas Kristen untuk menguji persoalan mengapa male’s experience telah menjadi suatu sistem yang tidak menghormati keadilan gender. Istilah Godess yang telah tergeser dari agama monoteisme sebagai sumber sistem patriarkhis, baik oleh penulis-penulis kitab suci pada saman kejayaan Kerajaan Israel dan dilanjutkan dalam tradisi penulisan perjanjian Baru serta gereja mula-mula kemudian mempengaruhi seluruh sistem penyebaran keilmuan sekuat sistem penyebaran agama Kristen.
Sumber-sumber baik teologi klasik dan filsafat yang cenderung menekankan perspektif ‘Godess’, kurang mendapat tempat sambutan dan mempengaruhi struktur keyakinan beragama sehingga tergeser juga dalam pergaulan struktur kekuasaan perspektif yang dominant. Reuther mengembalikan perspektif ‘Godess’ pada seluruh wilayah kehidupan: teologi, sistem masyarakat, struktur sosial serta dunia ilmu pengetahuan dan bagian-bagian ekspresi kehidupan manusia yang sudah terlanjur masuk dalam perangkap sistem yang tidak adil. Mengembalikan konsep teologi dalam perspektif feminist merupakan akar untuk menjadikan sistem yang ‘dipulihkan’ melampaui sistem patriarkhi. Sistem yang diharapkan ini, bukan sebagai suatu bayangan eskatologis yang sekedar di dominasi oleh perspektif feminis saja, tetapi menjadikan suatu dunia yang harmonis, adil gender dan damai. Keadilan gender merupakan barometer untuk menghargai lingkungan alam sebagai bagian dari sahabat yang harus dipelihara dan bukan sebagai bagian dari objek yang dipakai secara sewenang-wenang. Dari sana perubahan yang diharapkan oleh feminism bukan perubahan individu tetapi perubahan kolektif, sebagai suatu tanda dari kehadiran Allah dalam komunitas dunia.


1. Pendahuluan.


Ada 3 pokok utama yang dijelaskan oleh Reuther dalam buku ini yakni: metodologi feminism, sumber-sumber teologi feminist dan norma-norma feminist. Ketiga pokok ini merupakan suatu alur penguraian yang dipakai oleh Reuther untuk menjelaskan persoalan:
1. Dari manakah akar kesadaran barat yang telah membuka jalan ketidakadilan sex.
2. Mencari jalan untuk meletakan kemanusiaan penuh, dimana perempuan dihargai sebagai person yang memiliki the full humanity of women.
Pokok-pokok persoalan ini dibahas oleh Reuther dengan menunjuk alasan tuntutan dari feminism untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan steriotipe gender pada wilayah God-language. (p.61) Hilangnya Godess dalam wilayah agama monoteisme merupakan akar dominasi sex.

2. Metodologi
Metodologi yang dipakai adalah Lingkaran Hermeneutik (p.12). Lingkaran Hermenutik pertama sekali dikembangkan oleh Han-George Gadamer kemudian dalam perkembangan selanjutnya oleh ilmu-ilmu sosial. Reuther sebagai seorang feminisme juga memakai metode ini untuk menguji ‘pengalaman’ (pengalaman dengan yang Ilahi, pengalaman dengan seseorang, pengalaman komunitas dan dunia) yang telah dibangun atau pun yang telah mendapat sentuhan perubahan. Kriteria yang dipakai untuk menguji pengalaman yang disebutkan di atas adalah pengalaman unik perempuan, women’s experiences, yang secara keseluruhan tidak diperhitungkan dalam membangun refleksi teologi masa lalu (p.13). Pengalaman perempuan sebagai dasar untuk membangun teologi feminist.
Pengalaman yang dimaksudkan adalah pengalaman yang telah membuka pemikiran masa lalu yang tidak memberikan tempat yang setara terhadap perempuan dalam tradisi-tradisi pemikiran teologi termasuk dengan konsep tentang manusia (anthropos). Perempuan hanyalah bagian dari manusia (laki-laki) dan tidak dilihat sebagai subjek, manusia yang utuh. Menggunakan pengalaman perempuan dalam teologi feminist merupakan kekuatan bagi teori kritis untuk menguji teologi tradisional dan tradisi-tradisi gereja. Jadi ada tiga kriteria pengalaman:
1. Pengalaman perempuan berdasarkan pengalaman dalam tradisi laki-laki
2. Pengalaman laki-laki yang telah membentuk tradisi gereja dan komunitas yang mengadopsinya
3. Pengalaman universal, yakni pengalaman penuh laki-laki dan perempuan setara dalam pengertian human. Manusia bukan hanya diisi dan diukur oleh imaginasi laki-laki saja tetapi keduanya, baik laki-laki dan perempuan, sama-sama menjadi subjek dalam menentukan kualitas manusia.
Metodologi yang dipakai oleh Reuther telah menempatkan kekuatannya pada pendekatan kritis teologi feminis yang terletak pada pengalaman perempuan sebagai suatu kriteria yang didasarkan atas asumsi bahwa teologi klasik termasuk tradisi-tradisi yang telah diterima sebagai pengalaman universal hanya diukur dari pengalaman salah satu jenis sex saja, yakni male experience. Reuther menunjukan bagaimana pengalaman pewahyuan yang disebarkan oleh penerima wahyu telah membentuk suatu komunitas yang mempercayainya dan mengatur seluruh relasi-relasi kehidupan secara vertikal pun horizontal menurut ketetapan dalam kitab suci. Dari uraiannya ini, Reuther kemudian menunjukan bagaimana male experiences yang telah membentuk komunitas penerima wahyu itu.
Ketetapan aturan dan tradisi kehidupan suatu komunitas tidak selamanya statis tetapi juga mengalami suatu perubahan, yang disebut oleh Reuther dengan ‘Crises of Tradision’. Masa krisis dalam tradisi agama ditandai dengan diterimanya suatu interpretasi penebusan yang bertetangan dengan pengertian yang telah memberikan suatu makna tertentu dalam komunitas yang mempercayainya. Reuther menunjukan masa krisis tradisi teologi gereja pada masa reformasi abad ke 16 sekaligus hendak mengatakan bahwa gereja juga seharusnya bersiap-siap untuk menerima suatu masa krisis yang sedang berlangsung dengan munculnya berbagai aliran teologi modern antara lain: teologi liberal, teologi feminis sejak pertengahan abad 20.
Theologi feminis menekankan prinsip the full humanity of women, sesuatu yang diabaikan oleh tradisi dan teologi tradisional. Keunikan prinsip feminist, bahwa perempuan sendirilah yang menuntut prinsip kemanusiaan penuh bagi diri mereka sendiri “Women name themselves as subjects of authentic and full humanity” (p. 19). Akibat pengabaian dari prinsip ini dan “the naming of males as norms of authentic humanity” telah menyebabkan perempuan sebagai korban yang dituduhkan sebagai sumber dosa dan termaginalkan didalam kemanusiaan dan yang layak diampuni. Perempuan dianggap sebagai penyebab manusia (laki-laki) berdosa dan perempuan sebagai mahluk setengah manusia (Aristoteles). Menurut Reuther bahwa pemahaman ini bertentangan dengan imago dei/Christ dalan dalam konteks ini gambar Allah telah menjadi instrument dosa daripada instrument kemuliaan dan keilahian.
Theologi feminisme membawa suatu jalan keluar dari keterjeratan teologi sexisme. Perempuan yang berada dalam bahaya kemanusiaan teologi tradisional menawarkan suatu definisi kemanusiaan yang inklusif: baik gender, kelompok sosial dan rasis yang inklusif. Penolakan perempuan terhadap androsentrism (yang melihat laki-laki sebagai norma kemanusiaan) berarti juga penolakan perempuan terhadap semua betuk-bentuk chauvinisme: di mana orang-orang Barat berkulit putih, kekeristenan dan hak-hak klas-klas sosial tertentu sebagai standar norma kemanusiaan. Ini berarti bahwa feminisme seharusnya mengakui semua kepelbagaian kultur dan bentuk-bentuk norma setiap elemen manusia menurut batas-batas penghayatan kultur dan geografis. Ini berarti juga bahwa feminism mengabaikan universalisme suatu norma yang turun dari kelas-kelas sosial, jenis sex yang dominant sebab feminism mengakui partikularisme, yang menghormati kepelbagaian bukan hanya dari segi fisik dan batas-batas geografis tetapi juga kultur dan penghayatan agama serta religinya masing-masing . Ini semua bentuk dari konsekuensi martabat gender yang setara sebagaimana yang diperjuangkan oleh feminisme.

3. Membangun Teologi Feminism
Uraian teologi sistematis yang menggunakan antara lain sumber-sumber sosiologi pengetahuan termasuk simbol-simbol, hukum, doktrin-doktrin teologi telah membuka jalan bagi Reuther untuk mencari jalan bagi upaya peletakan imaginasi feminisme tentang teologi. Pengalaman perempuan dalam dunia pengajaran dan penghayatan teologi gereja masa kini, sebagai warisan teologi masa lalu telah membawa Reuther untuk mencari keduanya, baik akar teologi patriarkhi yang bersumber dari imaginasi laki-laki tentang ilahi dan sekaligus cara baru menghayati yang ilahi berdasarkan imaginasi perempuan.
Reuther, membangun teologi feminis, pertama-tama dengan mencari akar pengalaman perempuan yang termarginalkan dari tradisi gereja dan teologi tradisional yang dibangun berdasarkan kanon kitab suci. Bagaimana melihat dalam suatu perspektif baru, bahwa Allah adalah kesatuan antara God and Goddes. “God becomes whole, uniting male and female side, in the time when the all things become one and God is “all in all” (p. 58). Untuk sampai pada konsep kesatuan perempuan dan laki-laki dalam Allah, Reuther melakukan suatu pencarian pemaknaan dari tradisi-tradisi dan tulisan-tulisan filsuf Philo, yang memaknai konsep “Logos” (Word) sebagai Sophia (Wisdom). Peran-peran yang menunjuk pemikiran yang rekonsiliatif antara manusia dengan Allah, sebagai pencipta bumi. Shekinah (kehadiran) Allah didalam bentuk penyatuan antara kehendak Allah dengan umat Israel adalah suatu bentuk imaginasi famele’s presence. Pengalaman selama pembuangan - exodus Israel di sejajarkan dengan pengabaian bahasa laki-laki terhadap seluruh eksistensi perempuan dalam merumuskan teologi tradisional- adalah bentuk keterasingan manusia dari Allah dan sekaligus jalan bagi penemuan ‘the presence of God’. Mengembalikan Godess menyatu dalam diri Allah berarti menerima konsep-konsep alternarif yang ditawarkan oleh feminisme yang akan memperkaya karya-karya sosial dengan mengupayakan masa depan dunia yang setara, adil dan damai.
Eskatologis feminis bukanlah suatu dunia sesudah mati, (suatu warisan dan konsep patriarkhi) tetapi suatu realitas kehidupan dunia nyata sebagai bentuk dari kehadiran Allah dalam ‘langit dan bumi baru’ dan sebagai suatu wujud jawaban dari Allah atas doa “Datanglah KerjaanMu, jadilah kedendakMu di bumi seperti di dalam surga”.
“Thy Kingdom come, Thy will be done on earth. All shall sit under their own vines and fig trees and none shall be afraid. The lion will lay down with the lamb and the little childwill lead them.” (p.266).

Kehadiran Allah yang diharapkan oleh feminis adalah: keharmonisan, kedamaian dan keadilan sex, yang akan mengungkap suatu relasi dengan cara yang baru di antara manusia laki-laki dan perempuan serta relasi dengan alam.
Gagasan eskatologis feminism bukan sekedar gagasan yang diambil dari konsep liberalisme tentang kesadaran kelas sosial tanpa memasukan perempuan sebagai bagian dari komunitas budak. Juga bukan berdasarkan suatu warisan ekstologi Kristen yang diambil begitu saja dari pemahaman kitab-kitab dan tradisi Ibrani yang digemakan dalam kitab suci. Namun bahan-bahan yang telah tersedia itu dipakai oleh feminisme sebagai instrument untuk melihat secara kritis semua kenyataan dan gagasan yang membentuk kenyataan manusia dan mendapatkan ulang konsep teologi yang dapat menyatakan perubahan dunia dimana manusia laki-laki dan perempuan dihargai secara utuh dan setara sebagaimana penghargaan terhadap alam cipataan ilahi. Alat-alat analisis ini dipakai sebagai sumber untuk mengembangkan dan membangun konsep teologi feminism dari tema-tema teologi yang diwariskan oleh male experience,yang melahirkan struktur masyarakat patriarkhis, yang melanggengkan pengabaian eksistensi subjek perempuan dan alam serta membiarkan ketidakadilan sex . Semua itu dilalui oleh Reuther sebagai jalan untuk membangun dan mencapai masa depan dimana Kerajaan Allah datang dalam wujud “langit dan dunia yang baru”.
Selanjutnya, tulisan ini akan mencoba memberikan lukisan tentang bagaimana pembuktian-pembuktian yang dilakukan oleh Reuther untuk menemukan secara kritis kelemahan-kelemahan teologi tradisional dan modern serta menegaskan perspektif teologi feminism. Kita akan melampaui jenjang-jenjang dalam tulisan berikut ini.


1. Kritik Femimisme terhadap Imaginasi Laki-laki tentang Allah.

(Dalam bagian ini, Reuther menggunakan semua bahan-bahan yang sudah tersedia: baik teologi tradisional, Kitab Suci, kebudayaan bangsa-bangsa kuno dalam Alkitab, pemahaman para Filsuf, analisis Antropologis serta sumber-sumber teori sosial modern. Semua bahan-bahan yang sudah tersedia, menjadi bahan penelitian untuk membangun kembali suatu model imaginasi yang full humanity bukan hanya bagi perempuan tetapi juga dalam membangun imaginasi terhadap ‘the divine’.)

a. Imaginasi laki-laki telah membentuk monoteism dan stuktur masyarakat patriarkhis.
Reuther menunjukan bahwa monoteisme yang telah menjadi norma universal, berakar dari dalam Kekeristenan-Yahudi, kemudian dituangkan dalam kanon Kitab Suci merupakan male imagination. Keadaaan itu dapat dibenarkan dengan melihat proses pengakanonan (p. 14-15) serta konteks masyarakat nomaden (bersumber dari panggilan Abraham), yang kurang memberikan tempat kepada pengalaman perempuan, telah melahirkan imaginasi tentang Allah sebagai “the Sky-Father” (p. 53). Arah sorotan analisis Reuther lebih tertuju pada pengaruh agama nomaden sebagai bukti dari penguraian yang berdasarkan male imagination, sebagaimana yang digambarkan dalam kitab Perjanjian Lama pun bergema dalam Perjanjian Baru. Agama nomaden telah melahirkan konsep agama yang ekslusif dan agresif, serta konsep monoteisme yang telah melahirkan struktur hirarkis masyarakat patriarkhis yang menempatkan peran laki-laki lebih utama dan terpenting dari pada perempuan. Perempuan dimasukan sebagai bagian dari kelas budak. Dari sanalah kemudian Reuther menunjukan bahwa agama monoteisme telah menempatkan kehancuran pasangan God/Goddess sebagaimana yang diakui oleh suku bangsa Kanaan. Baalisme telah dianggap sebagai penyembah berhala. Jelas sekali hirarki patriarkhis yang berakar dalam Alkitab Kristen-Yahudi telah mempengaruhi dokumentasi pemikiran Rasul Paulus sebagaimana yang dituangkan dalam 1 Kor 11:13,17: God- Male- Female. Male monotheism juga telah menjadi sumber pemilahan realita ke dalam dualisme, yang superior terdiri dari spirit, mind sebab ‘logos’ lebih dahulu ada daripada ‘cosmos’. Dari sana subordinasi sex kemudian dapat dimengerti dengan menempatkan posisi martabat perempuan kurang begitu penting dibandingkan dengan martabat laki-laki.
“Thus the hierarchy of God-Male-Female does not merely make women secondary in relation to God, it also give her a negative identity in relation to the divine. Whereas the male is seen essentially as the image of the male transcendent ego or God, women is seen as the image of the lower, material nature.” ( p. 54)

Pengertian ini disejajarkan juga dengan pengertian yang biasanya dipahami di kalangan gereja-gereja di Indonesia, sebagaimana yang diuraikan oleh Gerrit E.G. Singgih bahwa, ‘Adam’ (laki-laki) lebih utama dan terpenting daripada ‘Eva’ sebab Adam lebih dahulu diciptakan. Darisana gereja-gereja lokal di Indonesia banyak yang menganggap remeh bahkan menolak kepemimpinan perempuan dalam gereja.
b. Pencarian Imaginasi feminism dari dalam Konsep Monoteisme.
Reuther memperlihatkan bagaimana upaya untuk menggeser penghayatan agama local (Baalism) suku bangsa Kanaan, pada akhirnya tidak sepenuhnya berhasil. Yahweh dihayati sebagai sumber kesuburan tanah dan dilihat dalam relasinya dengan ‘my Husband” disamping “my Baal” (Hos. 2:2-3, 7-8, 14-15). Dengan kata lain the Goddess tidak tereliminasi dari pemikiran komunitas bangsa Israel bahkan keduanya dipahami sebagai yang memiliki relasi yang baru.
Demikian juga dengan yang terjadi dikalangan kekeristenan. Meskipun mengadopsi konsep “logos” yang dibangun berdasarkan imaginasi laki-laki. Reuther menghubungkan figure the Holy Spirit yang diambil dari tradisi Hebraic dari Sophia dan Hokmah (spirit) yang digambarkan sebagai female. Pembuktian Kitab Suci sebagaimana yang dihubungkan dengan kitap-kitap apokrif (Gospel of the Hebrews, Acts of Thomas, Gospel of Phillips) serta tulisan-tulisan Orthodoks, seperti Clement dari Alexandria dan the Syrac father Aphraates menggunakan imaginasi perempuan untuk menjelaskan Sophia. Dalam tradisi kekeristenan mula-mula tradisi peminggiran imaginasi perempuan dilakukan oleh oleh Kekeristenan Greco-Roman. Meski demikian perkembangan theology Kristen kemudian mengembangkan imaginasi perempuan secara khusus oleh penulis-penulis mistis (p.60) terutama dengan melanjutkan penulis-penulis text Gnostis yang melihat Allah, sebagai Father-Mother dan Anak. (Trinitas).
Apa yang hendak dilakukan oleh feminisme adalah suatu pencarian pemecahan persoalan atas dasar asumsi-asumsi bahwa simbol-simbol kekuasaan ilahi tetap membekas dan karena itu feminisme mencari suatu bahasa yang melampaui dari sekedar ‘feminine side’ of God (p.61). Pencarian itu dilakukan dengan menunjukan kelemahan-kelemahan tema-tema teologi dan konsep-konsep feminisme sosial yang yang masih terjebak dalam penanggungan dan pembenaran pihak pemikiran, harapan dan kenyataan yang dilihat dari perspektif sepihak saja. Ekslusivisme sebagai bagian dari warisan kultur berpikir patriarki ditentang secara konsisten dalam uraian-uraian pemikiran Reuther.
Konsep-konsep teologi feminisme

c. Imaginasi Feminsime tentang Allah
1. Istilah Mother- Father God, membuka imaginasi ibu dan ayah dalam pengertian real dan bukan sekedar suatu bentuk abstrak (Parent). Istilah ini menggambarkan Allah sebagai pencipta eksisten manusia. Namun istila ini memliki sisi negative, yakni yang mendorong model relasi anak terhadap orang tua, kepada Allah. Model relasi yang tidak memberikan kesempatan pertumbuhan terhadap kedewasaan, yang ditandai dengan kemandirian dan tanggungjawab terhadap kehidupan sendiri. Islitah ini hanya menunjukan kontrol terhadap peran-peran sex dalam keluarga yang patriarchal serta spiritualitas yang kekanak-kanakan (p. 69-70). Lebih jauh, Mary Gray menekankan bahwa model pemahaman memasangkan Allah sebagai Ibu dan Bapa, merupakan suatu tradisi yang dikembangkan dari sisi interpretasi androgin yang memandang perempuan sebatas pelengkap dari laki-laki . Jadi konsep kesatuan yang ‘neutral’ di dalam diri Allah tidak juga merupakan konsep yang ditawarkan oleh feminism. Konsekuensi relasi bapa-ibu dalam imaginasi laki-laki merupakan alasan utama penolakan terhadap gagasan ini.
2. Allah sebagai pembebas, yang didasarkan pada God of Exodus, kemudian telah mengabaikan pasangan ilahi God/Godess sebagai sumber dan dasar keberadaan manusia. Menurut Reuther, inilah sumber kekeliruan yang mengidentifikasikan basis penciptaan dengan fondasi sistem sosial patriarkis, sebagai sumber kejahatan dan dosa (70). Pembebasan yang mempertentangankan alam dan spirit, laki-laki dan perempuan serta yang menghilangkan otonomi alam, sebagai fundasi keberaadaan manusia serta yang membelenggu perempuan di luar kebebasan.
Feminisme mengambil istilah God of Exodus dengan mengisinya dalam keadaan baru, yakni keadaan adanya manusia laki-laki dan perempuan yang tidak dipertentangkan satu dengan yang lain seperti mempertentangkan alam dan spirit, transendensi. Hal ini menyaratkan pengangkatan kembali sisi Godess dari keilahian yang telah dibuang dalam bangunan teologi tradisional. Konsep Godess, sebagai dasar keberadaan manusia, yang menjadi pusat untuk mengembalikan keharmonisan antara diri dan tubuh, diri dengan orang lain, diri dan dunia, sebagai wujud eksistensi manusia (p.71) Menyematkan konsep Godess pada konsep pengharapan terhadap Allah sebagai pembebas merupakan suatu cara untuk menghapuskan pertentangan antara alam dan yang transenden, laki-laki dan perempuan. Konsep ini akan mengembalikan rumah yang harmonis bagi keberadaan perempuan sebagai subjek yang otonom terhadap dirinya sendiri. Konsep ini akan memberikan relasi yang setara di antara dua jenis sex sertaantara manusia dan alam.
3. Theologi penciptaan: suatu kritik. Sumber devaluasi perempuan didasarkan pada asumsi kebudayaan bahwa manusia menguasai alam, yang juga bergema dalam Kitab Kejadian. Masusia yang dipahami dalam konsep kultural ini adalah laki-laki yang menguasai alam. Dalam kebudayaan di dunia, alam selalu diidentikan dengan perempuan. Misalnya di Jawa dikenal dengan istilah “ibu pertiwi”. Konsep ini kemudian membentuk formasi psikologis dalam mengatur relasi serta peran dan fungsi sex. Reuther memperlihatkan contoh praktis dalam upacara puberitas bagi laki-laki, sebagai yang mempersiapkan sekaligus mengokohkan sosialisasi peran mereka dalam masyarakat. Struktur dominasi sex, yang bersumber daripada kultur kekuasaan manusia (laki-laki) terhadap alam, berdampak pada kehidupan praktis. (p72-74) Penentuan peran-peran domestik sekaligus menjalankan peran produksi ekonomi serta peran reproduksi. Dengan demikian, Reuther hendak mengatakan bahwa teologi penciptaan telah melanggengkan potensi subodrdinasi dan ketidaksetaraan sex dalam komunitas manusia.
Revolusi ilmiah pada abad ke 17, di mana alam di kuasai oleh manusia sebagai objek keilmuan yang didasarkan pengembangan intelektualitas laki-laki. Teknologi keilmuan yang dikembangkan merupakan bagian dari upaya untuk mengeksploitasi alam. Kesadaran manusia akibat evolusi liberalisme telah melahirkan kesadaran untuk mengontrol semua bidang kehidupan manusia termasuk kontrol terhadap alam. Posisi kerja perempuan dalam teknologi ekonomi industri telah menekan perempuan dan budak pada yang tereksploitasi sebagaimana eksploitasi yang semakin tak terkontrol terhadap alam. Perang idiologis antara kapitalisme dan romantisme apa awal abad 19 tidak dapat membebaskan dari kungkungan paradigma penaklukan atas alam ciptaan ini. Ilmu Pengetahuan dengan seluruh kemajuan dan kerusakan yang diakibatkannya telah mengasingkan manusia dari spirit kesatuannya dengan alam.
4. Teologi ekologi feminisme. Reuther memikirkan kekuatan intelegensia yang telah mengalami pencerahan terhadap bukan melihat alam sebagai sumber kehidupan, dimana alam yang menyediakan kehidupan manusia dan diatas keinginan untuk menghabiskan semua energi bumi tanpa bertanggungjawab. Hal yang paling mendasar bagi Reuther, yakni transformasi kesadaran manusia terhadap alam sebagai dasar kehidupan yang harus dipelihara bagi kelangsungan kehidupan pada generasi manusia selanjutnya (human historical development). Manusia dalam pengertian tradisi kultural harus dibaharui. Perubahan manusia dari tradisi hamusia kultur kepada perubahan pemikiran yang mengakui “ nature’s logic of ecological harmony” (p.91-92). Diperlukan suatu sintesis dimana manusia yang adalah percampuran antara yang alami dan nonalami, alami dan yang transenden, menyatu di dalam diri manusia yang baru. Dari konsep inilah penjelasan tentang perubahan dominasi manusia terhadap alam tidak mungkin dapat dilakukan tanpa sekaligus harus melakukan pemulihan konsep manusia secara utuh. Feminisme kemudian tidak sekedar membaharui teologi penciptaan tetapi menukarnya dengan konsep teologi ekologi.
5. Teologi tentang Manusia. Kritik utama terhadap konsep kekeristenanan tentang manusia yang dilihat secara dualisme, mempertentangkan antara esensi dan kenyataan manusia yang s sesungguhnya. Secara historis, imago dei telah dibawah masuk kedalam jurang kesalanan dan dosa oleh male’s imagination. Secara authentik imago dei berarti kesatuan manusia dengan Allah, bahwa keadaan manusia merupakan suatu kenyataan yang mengekspresikan kehadiran Allah. Feminisme berupaya mengembalikan konsep manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Kristus sebagai imago dei, mengembalikan keadaan manusia yang telah jatuh itu. Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama gambar dan rupa Allah, sebagaimana kristus adalah “imago dei’.(p.99) Kesetaraan laki-laki dan perempuan kemudian mengisi kehidupan gereja, dimana partisipasi perempuan dalam gereja berarti perempuan diundang untuk hidup didalam, mengadopsi model-model kehidupan yang mengampuni dan masuk ke dalam komunitas untuk mempersiapakan kehidupan di dalam bentuk Kerajaan Sorga. Spiritualitas perempuan yang mengampuni akan menjadi sumber kekuatan dan spirit untuk mempersiapkan jalan bagi kenyataan kehidupan sorgawi yang terjelma dalam dunia: “datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di dalam sorga.”
6. Khristologi. Berangkat dari pembuktian konsep kristologi dari sisi pandang laki-laki , Reuther memasukan sisi pandang perempuan terhadap Kristus, yang ‘bukan laki-laki atau perempuan”. Penyempurnaan konsep ini berhubungan dengan pemahaman terhadap pengampunan. Titik masuk menjelaskan kristologi, bukan berdasarkan sejumlah doktrin tetapi berdaarkan berita dan praktek Yesus dari Kitab Injil. Yesus dipandang sebagai yang membaharui visi kenabian yang berbicara atas kepentingan orang-orang tersingkir dan termarginalkan dalam masyarakat (p.135) Yesus memandang dirinya bukan sebagai Raja tetapi sebagai hamba, yang memanggil suatu relasi baru antara manusia dengan Allah. Relasi baru inilah yang membawa manusia dalam persaudaraan yang dinyatakan dalam realitas sosial, simana manusia baru saling melayani dan memberdayakan. Yang paling penting bagi Reuther bahwa pembaharuan visi kenabian Yahwist dan nabi-nabi Yahudi, berarti memberitahukan pemulihan manusia, dimana laki-laki dan perempuan mengalami kemanusiaan yang penuh. Pemulihan bukan hanya dilakukan kepada salah satu daripada perempuan atau laki-laki saja tetapi dianugrahkan kepada keduanya, laki-laki dan perempuan.
7. Eklesiologi sebagai komunitas yang diampuni. Feminsme mengembangkan ekslesiologi yang didasarkan pada interpretasi yang mengabaikan pandangan theology sexism yang dibangun di atas kitab Hosea. Kecenderungan mengaitkan Gereja sebagai “Mother of Christians” yang bersumber dari tradisi Israel sebagai ‘God’s wife’. Relasi kecintaan Allah terhadap gereja secara mistik yang disimbolkan dari nyanyian Kidung Agung berdasarkan pemikiran pernikahan dalam keluarga patriarkhi (p. 141). Gema relasi hirakhis yang dikumandangkan oleh Rasul Paulus (Epesus 5) juga membangun relasi paternalistis dimana suami menjadi symbol Kristus. Baba-bapa gereja kemudian mempertajam konsep relasi Kristus dan Gereja yang sexis dengan menekankan silibate, sebagai symbol virginitas ‘pengantin perempuan’. Transformasi otoritas gereja yang patriarkis dengan tidak memberikan tempat yang leluasa bagi keterlibatan perempuan merupakan ketidakmampuan gereja keluar dari struktur yang menindas dan yang tidak membebaskan manusia yang terperangkap di dalam sistem yang menindas. Konsep Mariologi yang diambil oleh gereja, sesungguhnya hanya merefleksikan “ideology of the patriarchal feminine.”
Interpretasi feminis terhadap nyanyian Maria (Injil Lukas 1:46-55) jelas-jelas merupakan suatu nyanyian kegembiraan perempuan yang mengalami pembebasan dari sistem kehidupan yang memarginalkan dan yang menindas sebagaimana yang terjadi dalam pengalaman-pengalaman kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta kebudayaan. Pengampunan komunitas yang menjelaskan suatu relasi yang baru didalam kehidupan manusia. Kristus memualiakan semua manusia secara sama. Suatu bentuk pembaharuan dan pembebasan dari sistem kehidupan yang menindas dalam kungkungan patriarkhi. Partisipasi perempuan terbuka dalam tubuh gereja. Pembaharuan ini sekaligus menjelaskan suatu bentuk pelayanan gereja yang membaharui dirinya dan dunia disekitarnya, terbebas dari suatu dunia yang mengeksploitasi sex dan alam lingkungannya. Gereja sebagai masyarakat mesianis yang bukan melawan sesame ciptaan tetapi melawan struktur yang dominant (p. 195). Inilah pengertian bahwa pembaharuan oleh Roh Kudus yang dicurahkan baik kepada laki-laki dan perempuan.
8. Visi Masyarakat Feminism. Feminisme tidak membatasi penjelasan dengan ide-ide yang utopis tetapi memaknai perkembangan kehidupan ekonomi sosial sebagai bagian dari visi pembaharuan ‘langit dan bumi yang baru’. Penggeseran perempuan dari wilayah pemilikan ekonomi merupakan bagian yang termasuk dari gagasan equalitas sex. Dalam perspektif manusia baru di dalam pembaharuan yang dilakukan oleh Kristus, Kerajaan Surga direalisasikan pun dalam bidang kehidupan ekonomi. Komunitas eskatologis, yang menekankan masyarakat yang egaliter, adil dan damai, menyentuh perubahan kehidupan sosial ekonomi.
Beragam aliran feminism modern yang menekankan gagasan-gagasan masa depan bagi dunia berdasarkan penekanan-penekanan tertentu. Reuther menyebutkan Feminisme Liberal yang menekankan Hak-hak Asasi Manusia dan Feminsime Radikal yang menekankan otonomi dan hak-hak khusus perempuan terhadap tubuh mereka sendiri. Namun bagi Reuther yang paling penting yakni bagaimana membuat ekonomi sosial liberalisme itu sebagai bagian intrinsik dari pengertian pembaharun spiritualitas. (p. 214) Tak mungkin akan dapat melakukan perubahan jikalau tidak dimulai dari pembaharuan spiritualitas kehidupan. Demikian Reuther menekankan: “Such Christians would claim redemption is a purely spiritual matter and has nothing to do with socioeconomic change”. (p.215). Perubahan tak mungkin dapat dilakukan hanya berdasarkan perubahan individu kecuali dilakukan secara bersama-sama sebagai satu kolektivitas. Dengan demikian perubahan sosial adalah hal yang paling diutamakan sehingga pembaharuan sistem structural yang hirarkhis dan dualism itu akan menjadi target bagi pembaharuan dalam masyarakat.
9. Nilai-nilai yang diperjuangkan oleh feminism.
Visi kesetaraan perempuan yang berdasarkan imaginasi Allah telah diinterpretasikan oleh Reuter berdasarkan kekeristenan di dalam Perjanjian Baru. Persoalan yang dikembangkan oleh Reuther, yakni bagaimana spiritualitas penyelamatan bukan hanya persoalan individu tetapi mempunyai dampak pada kehidupan komunitas yang memihak pada kehidupan yang menciptakan keadilan bagi semua mahluk (p.215). Dari sini Reuther membedakan perjuangan feminism bagi masa depan dunia, bukan sebatas yang dikembangkan oleh teologi liberalisme yang mengharapkan masyarakat yang demokratis dalam konsep sosialisme (p. 215), yang justru tidak disentuh oleh kenyataan akan anugerah keselamatan dalam wilayah ekonomi sosial. Demikian juga dengan perjuangan yang diarahkan oleh Feminisme Radikal, hanya sebatas pada kepentingan separatis (p. 232), yakni perempuan dan bukan kepentingan baik laki-laki maupun perem[puans ebagai suatu komunitas manusia.
Dari sana nilai-nilai yang dikembangkan oleh feminisme:
1. nilai partisipasi demokratis, yang dikembangkan dari nilai kesetaraan bahwa semua individu adalah warga yang setara serta dilihat sebagai dasar yang sama untuk masuk dan menikmati pendidikan dan kesempatan berkarya dalam masyarakat. Inilah nilai dasar yang akan membaharui management jaringan relasi ekonomi dan politik.
2. Kesempatan mengembangkan pendidikan dan pekerjaan yang mengintegrasikan persoalan-persoalan pekerjaan dalam rumah tangga serta mengambil keputusan dalam masyarakat luas terhadap laki-laki dan perempuan.
3. Mengembangkan masyarakat ekologis yang melihat intergrasi alam raya sebagai patner kehidupan seluruh mahluk.
10. Cara membangun masyarakat baru itu. Ada dua hal yang dikembangkan oleh Reuther (p. 233):
1. Komunitas alternative: suatu komunitas kecil yang sudah memmiliki kesadaran dan nilai-nilai yang terintegrasi di dalam sistem kehidupan mereka bersama. Bahwa semua nilai-nilai dari beragam visi aliran-aliran yang eklusif disatukan dalam bentuk cairan yang dapat menyerap dan menjadi sistem yang menghidupkan kesatuan yang harmoni dari komunitas alternative itu
2. Metode yang digunakan sangat beragam. Misalnya chil-care unit yang mengembangkan institusi pendidikan, sistem energi alternative bagi suatu pembangunan, dan beragam bidang garapan yang dikembangkan untuk mencairkan nilai-nilai dapat diaplikasikan bagi suatu sistem masyarakat baru, yang bukan sistem amsyarakat seksis tetapi sistem masyarakat manusia utuh.
Partisipasi manusia untuk melakukan karya Allah bagi pembaharuan dalam dunia merupakan tugas bersama, laki-laki dan perempuan, sebagai manusia baru bagi pemulihan keutuhan kehidupan manuia dengan manusia serta manusia dengan alam lingkungannya.

Literatur
Hans-George Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermenutika, (terj.) Yogyakarta:Pustaka Pelajar:2004
Letty M. Russel, Human Liberation In Feminist Perspective – A Theology, Philadelphia: The Westminster Press, 1974
Mary Grey, Introducing Feminist Images of God, England: Sheffield Academic Press, 2002..
Nawal El Shadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, (terj.) Jogyakarta: Pustaka Plajar, 2001.
Nickie, “Feminism, Social Movement and Polical Order” dalam Charles Malcolm J. Todd and Garry Taylor (ed), Democracy and Participation: Popular Protest and New Social Movement, London: The Merlin Press, 2004, pp 248-267
Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, (terj.) Jakarta: Kanisius, 2005
Peter L. Berger, Brigitte Berger & Hansfried Kellner, Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia, (terj.), Jakarta: Kanisius, 1992.
Rosemarie Putnam Tong, Feminisme Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminisme, (terj.)(Bandung: Jalasutra: 2005.
Seyla Benhabib and Drucilla Cornell (ed.), Feminism as Critique On the Politics of Gender, Minneapolis: University of Menneapolis Press, 1987.

22 November 2009

Piagam Belas Kasih


[English text below]

Suatu seruan mempersatukan dunia ....

Prinsip belas kasih tersemat dalam jiwa semua tradisi agama, etika atau kerohanian, dan menyeru kepada kita untuk selalu memperlakukan orang lain sebagaimana yang kita ingin diperlakukan. Belas kasih memaksa kita bekerja tanpa kenal lelah untuk menghapuskan penderitaan sesama manusia. Dan untuk melepaskan kepentingan kedudukan kita demi kebaikan dan kesejahteraan orang lain, serta untuk menghormati kesucian tak terganggu-gugat setiap orang, memperlakukan setiap orang dengan keadilan, kesamaan dan rasa hormat yang mutlak, tanpa pengecualian.

Adalah juga penting dalam kehidupan masyarakat dan perorangan untuk terus-menerus menahan diri secara konsisten dan empatik dari tindakan menyakiti orang lain. Bertindak dan berkata-kata kasar karena rasa dendam, kesombongan bangsa, atau kepentingan diri, untuk mengurangkan, mengekploitasi atau menyangkal hak asasi siapa pun dan menghasut kebencian melalui fitnah – bahkan terhadap musuh pun– adalah suatu penyangkalan terhadap kemanusiaan bersama. Kami mengaku bahwa kami telah gagal hidup berbelas kasih dan malahan ada juga yang menambah penderitaan sesama manusia atas nama agama.

Oleh itu kami menyeru kepada semua orang, laki-laki dan perempuan, supaya ~ menghidupkan kembali perasaan belas kasih sebagai asas etika dan agama ~ untuk kembali kepada prinsip asali bahwa setiap tafsiran Kitab Suci yang melahirkan kekerasan, kebencian atau penghinaan, adalah tidak sah ~ untuk menjamin kaum muda diberi informasi yang tepat dan menghargai tradisi, agama dan kebudayaan lain ~ untuk mendorong penghargaan yang positif terhadap kepelbagaian budaya dan agama ~ untuk menyemai empati atas penderitaan semua umat manusia – termasuk mereka yang dianggap musuh.

Kita sangat perlu menjadikan belas kasih sebagai suatu kekuatan yang jelas, bercahaya dan dinamik dalam dunia kita yang terpolarisasi. Berakar dalam tekad mendasar untuk mengatasi keakuan, belas kasih dapat meruntuhkan batas-batas politik, dogmatik, ideologis dan keagamaan. Lahir dari ketergantungan kita yang mendalam antara satu dengan yang lain, belas kasih adalah esensil bagi hubungan antara manusia dan untuk menggenapi kemanusiaan. Belas kasih adalah jalan ke pencerahan, dan tak dapat diabaikan dalam menciptakan suatu ekonomi yang adil dan suatu kehidupan global bersama yang damai.


Trans. by Zakaria J. Ngelow

-----------
Charter for Compassion



A call to bring the world together…

The principle of compassion lies at the heart of all religious, ethical and spiritual traditions, calling us always to treat all others as we wish to be treated ourselves. Compassion impels us to work tirelessly to alleviate the suffering of our fellow creatures, to dethrone ourselves from the centre of our world and put another there, and to honour the inviolable sanctity of every single human being, treating everybody, without exception, with absolute justice, equity and respect.

It is also necessary in both public and private life to refrain consistently and empathically from inflicting pain. To act or speak violently out of spite, chauvinism, or self-interest, to impoverish, exploit or deny basic rights to anybody, and to incite hatred by denigrating others—even our enemies—is a denial of our common humanity. We acknowledge that we have failed to live compassionately and that some have even increased the sum of human misery in the name of religion.

We therefore call upon all men and women ~ to restore compassion to the centre of morality and religion ~ to return to the ancient principle that any interpretation of scripture that breeds violence, hatred or disdain is illegitimate ~ to ensure that youth are given accurate and respectful information about other traditions, religions and cultures ~ to encourage a positive appreciation of cultural and religious diversity ~ to cultivate an informed empathy with the suffering of all human beings—even those regarded as enemies.

We urgently need to make compassion a clear, luminous and dynamic force in our polarized world. Rooted in a principled determination to transcend selfishness, compassion can break down political, dogmatic, ideological and religious boundaries. Born of our deep interdependence, compassion is essential to human relationships and to a fulfilled humanity. It is the path to enlightenment, and indispensible to the creation of a just economy and a peaceful global community.

------
Today [12 Nov 2009] marks the official launch of the Charter for Compassion. The Charter is the result of Karen Armstrong’s 2008 TED (Technology, Entertainment, Design) Prize wish. TED is an annual conference which brings together the world’s most fascinating thinkers and doers, who are challenged to give the talk of their lives (in 18 minutes).The TED Prize is awarded annually to three exceptional individuals who each receive $100,000 and the granting of “One Wish to Change the World.” In a world where religion is often seen as a way to divide us, 2008 TED Prize winner Karen Armstrong will remind us today that religion can be a force to unite us. Karen Armstrong’s TED Prize wish to change the world emphasizes that the core beliefs in all religions point squarely to the Golden Rule—do unto others as you would have them do unto you. This idea to deliberately live your life with compassion for others has been embraced by people around the world who, led by Karen, contributed their thoughts on compassion to a document that evolved into the Charter For Compassion. Please participate in the Charter launch today by sharing it with your friends and family and posting the Charter widget on your website or Facebook page. [Amy Novogratz, TED Prize Director]

Catatan dari SR XV PGI Mamasa

Catatan 1: Baru tadi sore (20 Nov jam 15.30) saya tiba di Mamasa. Dari seorang rekan saya dengan informasi mengenai “badai pasir” pada pembukaan SR kemarin. Gubernur, bupati dan sejumlah petinggi pemerintah lokal menunggu helikopter yang membawa petinggi dari pusat yang akan membuka SR di sebuah lapangan beberapa KM di luar kota Mamasa. Peserta dan undangan juga menunggu di sebuah lapangan tanah kering di tengah kota, tempat yang dipilih untuk pembukaan SR. Ternyata heli mendarat di lapangan di tengah kota itu: baling-balingnya menciptakan badai pasir yang menyiram hadirin ... lalu dari tengah badai muncul sang petinggi: Menhub Numberi.

Catatan 2: [Menanggapi seorang rekan yang sedih karena bukan SBY yang membuka Sidang Raya di Mamasa] Minggu lalu para pemuda gereja di PRPG PGI Sumarorong kecewa karena Menpora tidak hadir membuka pertemuan itu. Mengapa PGI dan gereja-gereja masih meneruskan paradigma masa Orde Baru bahwa pertemuan-pertemuan gerejawi perlu restu penguasa? Saya berpendapat itu mentalitas minoritas dengan kecenderungan ingin dekat (atau tunduk) kepada penguasa. Gereja-gereja kita harus belajar bahwa kewibawaannya bukan pada restu penguasa melainkan pada kesetiaannya kepada Tuhan. Lagi pula apa hebatnya direstui penguasa yang demikian korup? Kedekatan kepada penguasa juga sangat nampak dalam penyelenggaraan: bukan GTM melainkan Panitia (yang NB orang pemerintah) yang menonjol, dan yang kabarnya melakukan tugasnya dengan lebih bersandar kepada pundi-pundi kaisar daripada kepada persembahan warga jemaat. Kecenderungan itu juga nampak dalam kehidupan para pejabat dan warga gereja yang makin menjadi sama buruknya dengan dunia ini ...

Petrus, Matius, Markus ...

Zakaria J. Ngelow

Dulu, ketika lingkungan tempat tinggal kami masih memungkinkan, kami memelihara anjing. Pernah turunan herder; hitam dan anggun. Kami beri nama Nero. Lalu seorang teman agak keberatan anjing kok diberi nama sekeren itu, katanya. Saya kutipkan suatu ungkapan sejarah: orang Kristen memberi nama kaisar Romawi kepada anjingnya, tetapi anak-anak mereka diberi nama para rasul Kristus; sebagian mereka mati sebagai martir karena titah atau ulah sang kaisar ...

Catatan ini saya buat ketika nama-nama para rasul itu dipakai dalam bahasa Indonesia menjadi akronim yang tak begitu sepadan: petrus (penembak misterius), matius (mati misterius), markus (makelar kasus) dan entah apa lagi. Petrus dan Matius adalah dua murid Yesus Kristus. Rasul Petrus berperan sebagai murid senior yang pertama dipanggil; berjanji setia tapi menyangkal Yesus; lalu dipulihkan dan diberi tugas mulia yang dalam tradisi Gereja dihubungkan dengan jabatan sebagai pemimpin gereja, wakil Kristus di bumi. Dia menulis 2 surat dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (Surat 1 dan 2 Petrus). Dalam tulisan Lukas, Rasul Petrus menonjol sebagai pemimpin jemaat di Yerusalem. Salah satu pengalaman pelayanannya adalah perjumpaan dengan Kornelius. Perisitiwa ini disertai penglihatan yang mengenai makanan yang haram, suatu perubahan penting dalam cara pandang Yahudinya (lihat Kis 10.34,35). Dalam tradisi gereja diriwayatkan bahwa Petrus mati disalibkan secara terbalik (atas permintaannya) di Roma ketika kaisar Nero menyuruh bakar kota Roma dan mempersalahkan orang Kristen (thn 64M?). Kisahnya terhubung dengan legenda Quo Vadis.

Rasul Matius adalah murid terpelajar yang menulis salah satu Injil, yang al. berisi Khotbah di Bukit (fasal 5 -7); Hukum Kasih (fasal 22: 37-40); dan mandat pemuridan (fasal 28: 19-20). Markus tidak terdaftar dalam 12 murid – namun jelas murid-murid Yesus bukan hanya 12 orang dan bukan hanya laki-laki bukan? – tetapi diyakini menulis Injil yang tertua, Injil Markus. Dia juga seorang rasul: saksi langsung kehidupan, pelayanan, salib dan kebangkitan Kristus.

Kadang-kadang orang mengatakan – mengikuti Shakespeare — apalah sebuah nama. Namun lebih banyak orang berpendapat sebaliknya, karena nama punya maknanya. Nama mengandung harapan, kehormatan dan kebanggaan. Lalu bagaimana? Perlukah memulihkan nama-nama para Rasul Kristus dan dengan cara mana? Saya kira satu hal memang perlu: kepada anda semua yang dibaptis dalam nama Allah Tritunggal dengan nama rasul Kristus buktikan melalui prestasi dan perilaku bahwa nama-nama itu memang pantas dihormati dan dibanggakan. Rasul Petrus menulis (1Pet 2:12): “Kelakuanmu di antara orang yang tidak mengenal Tuhan haruslah sangat baik, sehingga apabila mereka memfitnah kalian sebagai orang jahat, mereka toh harus mengakui perbuatanmu yang baik, sehingga mereka akan memuji Allah pada hari kedatangan-Nya.”