Lian Padele
(Bagian ke-4 dari Etika Pembangunan)
Tulisan dalam bagian ini, bersumber dari tulisan Lester Edwin J. Ruiz, “ Struggles for Peace: Transformatif Cultural Practices and the Discourses of Dissent . Pada bagian awal tulisannya, Lester mengungkapkan komunitas negara Internasional yang disorong oleh pencapaian visi apokaliptik telah mempengaruhi semua negara-negara di dunia. Pencapaian visi global, pada akhirnya telah mengesah cara-cara kekerasan pun dengan memakai bahan-bahan nuklear sebagai alat monopoli demi menyatukan semua negara-negara di dunia. Biarpun seolah-olah negara-negara tak dapat dipisahkan dengan wilayah teritorial, bagaimanapun tidak dapat disangkal bahwa kerangka berpikir politik telah memperlihatkan bahwa negara adalah realitas politik yang sangat dominant dan yang mempengaruhi bangunan dari imaginasi suatu komunitas (imagined community). Lebih dari pada itu, Lesly meyakinkan pembaca untuk mengakui bahwa
“negara adalah lokus utama semua aktivitas politik, semua negara telah tertangkap dalam suatu proses ekonomi, teknologi, sosial, kultural dan transformasi politik yang kemungkinan terlihat bertumbuh dalam keaslian lokal tetapi sesungguhnya mempunyai trajektori yang global. Yang lebih penting lagi pluralitas baik subjek maupun posisi-posisi subjek telah menjamin transformasi politik termasuk kemajuan dan revolusionari politik. Dalam rumusan yang lebih akurat subjek dengan posisi mereka masing-masing telah berjuang bagi identitas atau menciptakan suatu aturan komunitas alternative yang baru” .
Dengan begitu Lesly hendak menegaskan bahwa teritori yang telah menjadi realitas khas dimana negara itu berada, tidak bisa dipisahkan dengan proses ekonomi, teknologi, sosial, kultural dan transformasi politik yang mempunyai trajektori yang global. Demikian juga dengan realitas subjek dan posisi-posisi subjek yang beragam merupakan suatu pengaruh dari transformasi politik dan revolusionari yang terjadi secara politik.
Untuk menjelaskan konstruksi transformasi praktek-praktek kultural, Lester menguraikan tahap-tahapan proyek yang dikerjakannya: pertama, Ia mulai menguraikan tentang cara-cara bagi transformasi dunia sebelum Perang Dingin, yang disebut berakhirnya kekuasan rasionalisme. Uraian ini memperlihatkan bangunan kekuasaan yang dominant dan saling berbenturan untuk memperebutkan wilayah penggambaran dari akhir sejarah. Kecenderungan ketiadaan partisipasi dari komunitas-komunitas yang terpinggirkan dan yang tersisihkan terhadap perencanaan akhir dunia ini, justu telah membuka tumbangnya kekuasaan yang mengandalkan rasionalisme dan sekaligus munculnya keberagaman-keberagaman yang dipercakapkan oleh organisasi civil society yang beragam, oleh subjek-subjek dan posisi mereka yang beragam. Kecenderungan ini merupakan tahap kedua sekaligus menjadi tempat duduk bangunan baru bagi transformasi masyarakat menuju bayangan yang diidealkan, masyarakat yang adil dan demokrasi. dari uraian inilah akan menjadi jelas bangunan perjuangan bagi keadilan, sebagaimana judul dari tulisan Lester ini.
Tahap Pertama: Berakhirnya Kekuasaan Rasionalisme
Tentang cara pendekatan politik bagi transformasi dunia, itu telah tersedia cukup beragam, namun Lester Edwin menunjuk pekerjaan dari Ernesto Laclau, yang menyatakan bahwa “politik adalah kategori ontologism”. Mengapa? Sebab politik adalah subversi dan dislokasi sosial”. Dari titik inilah Lesly membuat sambungan untuk menjelaskan keadaan politik sebagai discourses of dissent. Pernyataan ini begitu penting, sebab sangat penting untuk meletakan pengidentifikasian setiap perjuangan politik dari kontestasi politik manapun dan sebagai konteks yang sangat tepat untuk menekankan apa yang disebutnya sebagai “transformative cultural practice”. Dalam konsep ini ada dua hal yang berbeda, suatu pemikiran yang dihubungkan sebagai logika konvensional atau trajektori-trajektori:
1). Bagaimana aspirasi dan pendekatan yang disebut globali dapat berkembang dan menuangkan kembali dalam terang kesejarahan, politis dan transformasi-transformasi interlektual?
2). Bagaimana aspirasi dan pendekatan yang bersifat lokalist dapat berkembang dan memasukannya kembali di dalam penglihatan secara historis, politis dan transformasi intelektual global?
Kedua, persoalan ini sesungguhnya mempertanyakan tentang “lingkaran timbalbalik” yang saling meresapi antara kerangka kerja global ke identitas lokal dan bagaimana identitas lokal menamakan karakter global yang diresapinya. Jadi persoalan discourses of dissent adalah bagaimana resapan-resapan global dibahasakan oleh identitas lokal dan bagaimana pendekatan dan aspirasi lokal memperkaya tingkat kesejarahan politik dan transformasi intelektual global.
Konsep ini juga berarti memuat pengertian yang memberikan suatu rangsangan bagi setiap konstitusi yang beragam dalam tradisi-tradisi politik, seperti aliran mainstream, progresif atau kiri, meminta mereka mengosongkan kekuataan mereka untuk mempertajam identitas dan tujuan akhir manusia. Ide mengenai seperti apakah akhir sejarah manusia itu? Para ahli menggambarkannya secara berbeda-beda, dan beberapa contoh disebutkan oleh Lesly. Misalnya: Fukuyama melihat masa depan akan kehancuran sosialisme dan kemegahan kapitalisme Barat. Lain lagi dengan ahli-ahli filsafat Barat, misalnya Martin Heidegger dan Jacque Derrida yang telah menginterpretasikan, sekaligus dapat dianggap sebagai suatu sikap mereka, tentang bagaimana narasi utama filsafat telah menjadi suatu gambaran akhir manusia. Secara metodologi, sarjana-sarjana seperti Hans George Gadamer atau Jurgen Habermas mempertanyakan bagaimana manusia membuat suatu sejarah sebagai salah satu narasi yang besar (Grand Naration) telah tiba pada akhir atau mempertanyakan studi praktek manusia macam apakah yang akan menempati berakhirnya positifism?. Dari Michael Foucault sampai Coenel West dan Gayatri Spivak, mempertanyakan “who comes after the subject?” Mereka telah menginvestigasi politik kontemporer, sebagai yang diletakan oleh Laclau :
“bahwa puncak dekade intelektual sekarang ini telah didominasi oleh pertumbuhan dan kesadaran keterbatasan. Pertama, keterbatasan reasons dari epistemologi dan filsafat ilmu pada post analisis filsafat, pragmatisme, fenomenologi dan post structuralisme. Kedua, keterbatasan atau lebih memperlihatkan erosi nilai dan ide-ide transformasi radikal yang telah memberikan pengertian kepada pengalaman politik generasi suksesif. Akhirnya, keterbatasan yang muncuk berdasarkan krisis pemahaman-pemahaman “cultural vanguard” yang ditandai oleh perbedaan moment-moment modernitas”.
Dari contoh-contoh yang diungkapkan oleh Lester Edwin di atas, ia sesungguhnya hendak mengatakan bahwa bidang-bidang keilmuan, pun termasuk didalamnya metodologi, yang pernah menyatakan dirinya sebagai yang memimpikan dan menjanjikan sesuatu yang paling akurat dalam penggambaran akan seperti apa akhir suatu sejarah dunia, pada akhirnya memperlihatkan keterbatasan-keterbatasan, yakni ketidakterbuktian akan ramalan-ramalan yang mereka prediksikan.
Menurut Lester, keterbatasan-keterbatasan manusia terhadap ramalan-ramalan yang diuraikan oleh beberapa ahli itu, hanya dilakukan oleh peramal-peramal ilmiah yang tidak membuka ruang emansipasi yang terbuka dalam perbincangan publik. Emansipasi perbincangan tentang tema-tema akan akhir sejarah manusia akan memunculkan dissent dan transgression, yang oleh Lester dilihat sebagai suatu kritik radikal terhadap bentuk-bentuk dominasi perbincangan yang berbeda-beda itu sekaligus akan membuka kesempatan proyek-proyek pembebasan yang menjadi acuan dari formulasi-formulasi dan akan menjadi pengendali sejarah sebagaimana yang sedang terjadi sekarang ini. Dengan begitu kekuasaan diktator rasionalis akan segera berakhir dan akan digantikan oleh proyek-proyek pembebasan dengan ciri keberagaman pendapat-pendapat sebagai konsekuensi dari terbukanya partisipasi bagi setiap pemikiran-pemikiran subjek yang berbeda-beda.
Tahap Kedua: Konstruksi Baru Sejarah Manusia
Bagaimana membangun suatu konstruksi transformasi kultural praktis sebagaimana yang dikatakan oleh Michael Ryan “radically contigent arena of imagination, strategy and creactif manoever”? Yang dimaksudkan oleh pernyataan ini, bukan suatu arah politik baru tetapi transformasi praktek-praktek kultural, yakni discourse of dissent (pembicaraan-pembicaraan tentang perbedaan pendapat). Lester hendak mengatakan bahwa pluralitas pendapat-pendapat yang menjadi warisan yang diturunkan paska positivisme tidak harus ditolak tetapi diterima sebagai suatu kenyataan yang dihadapi sekarang ini. Yang terpenting dari kenyataan ini, yakni bagaimana merekonstruksi perbedaan-perbedaan yang sudah tersedia. Untuk membangun atau mendamaikan perbedaan-perbedaan itu, Lesly menempuh beberapa alur pertimbangan sebagaimana yang dilakukukan berikut ini:
Peran dan Pengertian Disscent
Lester mengutip Julian Cristiva, filsuf feminist Perancis yang menulis tentang “ a New Tipe of Intelectual: The Dissident” yang menjelaskan bahwa perbedaan-perbedaan pemikiran sekarang ini tidak mungkin dapat dihindari tanpa melakukan apa yang disebutnya pengasingan (exile) dari negeri, bahasa, sex dan identitas yang sudah melekat begitu lama dalam diri subjek. Demikian potongan kalimat yang dikutip oleh Lester Edwin dari Julia Christeva. Jantung dari dissent, ada dua yakni, exile dan cites of contestation, yang mengakui keterbatasan-keterbatasan dan yang melampaui keterbatasan-keterbatasan sebagaimana rumusan pemikiran yang dipinjam oleh Lester dari dua penulis lainnya: R.B.J. Walker dan Richard K. Ashley.
“Untuk mencari peran dan makna keterbatasan, tidak dicari dari sumber-sumber pengertian dan aturan-aturan yang sudah ada, juga tidak dicari dengan menghubungkan analisis yang saling berbenturan dan tidak berhubungan satu dengan yang lain serta analisis yang dianggap sangat teliti tentang pekerjaan kekuasan di jaman kehidupan global modern yang dicirikan ketiadaan figure asing ( seperti man, God, Nation, state, paradigm atau program penelitian) yang menjanjikan sesuatu yang akan diberikan oleh kekuasaan; perjuang mendapatkan kebebasan juga bukan berasal dari semangat agama untuk mengadakan tempat self-evident being dimana keyakinan yang innocent akan ditemukan kembali”
Namun transformasi kultural praktis harus dipahami melalui gerakan-gerakan sejarah. Pertama-tama mencari bukti-bukti, apakah perbincangan kelompok progresif dan kiri sebagai suatu realitas atau apakah yang telah dicapai sesudah Perang Dingin? Pertanyaan yang lain, mengapa disebutkan gerakan-gerakan Progresif dan Kiri? Pertanyaan-pertanyaan klarifikasi ini penting sebab inilah peletak bagi tempat perbedaan-perbedaan pendapat, perbedaan kontestasi dan perbedaan-perbedaan lainnya. Inilah inti artikel Lester yang menjelaskan secara kritis sites to the articulation of transformative cultural practices.
Sejak tahun 1990, paska berakhirnya perang dingin ada suatu kesepakatan untuk membaharui pemikiran-pemikiran kiri dan untuk mengkoreksi konsep-konsep, untuk mengatasi semua birokratisisme dan semua hambatan yang mencegah pencapain tujuan masyarakat demokrasi dan masyarakat yang autentik. Kemudian berlanjut lagi dengan adanya kesepakatan yang lebih kongkrit pada pertemuan Juni 1991, dimana kesepakatan itu menguraikan dirinya sendiri sebagai “yang jujur, terbuka, demokratis, pluralist dan unitary serta meliputi spektrum-spektum yang luas dari suatu kekuasaan”. Kemudian dilanjutkan dengan kesepakatan bahwa “beberapa dari konstetasi telah mengidentikan dirinya sebagai yang nasionalist, demokratik dan popular dan yang lain memutuskan sebagai sosialist. Semua kontestasi transformative struktural dan masyarakat yang berbeda-beda, memerlukan pemenuhan aspirasi-aspirasi keadilan, demokrasi dan independensi nasional.” Dengan pernyataan ini, Lester hendak menunjukan tempat untuk merekatkan tranformasi kultural praktis, bahwa perbedaan-perbedaan identitas bukanlah suatu ‘dinding’ yang membatasi secara ketat kotak-kotak identitas itu. Namun meskipun identitas berbeda-beda tetapi semuanya mempunyai muara yang satu, yakni bayangan akan terwujudnya suatu masyarakat ideal, yakni masyarakat yang demokrasi dan adil.
Kerangka kerja dari aliran Kiri yang menantang paradigma sektarianisme dan yang paling konvensional dari perspektif kiri, menaruh kritik-kritik terhadap kenyataan yang dihadapi, yang mengakui akan adanya perbedaan-perbedaan identitas politik sebagai suatu kenyataan. Meski berbeda-beda namun memiliki tujuan-tujuan atau harapan-harapan yang akan dicapai bagi masyarakat yang lebih adil dan demokrasi. Berangkat dari kenyataan ini, diharapkan adanya projek-projek revolusioner yang dibentangkan di atas konteks politik dan pluralisme sosial, kerakyatan dan kompetisi elektorat. Gerakan-gerakan revolusionari ini harus bergerak dari idiologi ke politik yang berakar dari realitas bangsa yang khas. Kekuasan harus dibangun, gerakan sosial baru harus diberi semangat sekaligus menjadikannya sebagai yang diminati oleh semua orang. Bagian rekonstruksi dasar yang telah diuraikan pada bagian ini merupakan catatan-catatan penting dari Wiliam Robinson yang dijadikan sebagai dasar bagi kritik konstruksi kultural praktis oleh Lester.
Yang tidak disebutkan oleh Robinson sebagai yang menjadi kekurangan yang dilihat oleh Lester, yakni Robinson tidak menyinggung rekonstruksi kultural praktis yang dihubungkan dengan feminisme, ekologi serta dimensi-dimensi yang tidak statis dari gerakan-gerakan baru termasuk dimensi baru dari gerakan ini, yakni transformasi yang kritis. Apa yang tidak disebutkan ini sesungguhnya merupakan faktor-faktor yang justru membuat perbedaan-perbedaan itu menjadi sangat berarti dari pendahulu-pendahulu mereka. Apapun yang didefinisikan tentang diri setiap kontestasi, pada prinsipnya mereka memiliki suatu gambaran yang sama tentang akhir sejarah manusia sebagai yang demokratis dan yang lebih adil. Lester juga menunjuk aliran-aliran baru yang semakin menonjol dan mempengaruhi serta pengendali jalannya sejarah dunia yakni gerakan-gerakan feminisme, ekologi serta gerakan-gerakan transformasi baru yang lebih kritis. Semuanya itu telah memberikan suatu perbedaan-perbedaan perbincangan yang menambah signifikansi dari apa yang telah diletakan sebelumnya. Inilah peran disccent yang diletakan sebagai dasar untuk menjelaskan peran yang disumbangkan oleh keberagaman dan perbedaan-perbedaan dari setiap perbincangan oleh setiap kontestasi pun gerakan-gerakan transformasi sosial kritis yang lebih kemudian.
Rekonstruksi Transformasi Praktek-Praktek Kultural a la Lester Edwin.
Berdasarkan catatan-catatan itu, ada hal-hal penting yang menjadi fokus utama bagi transformasi praktek-praktek kultural a la Lester. Bangunan transformasi praktek-praktek kultural yang dimaksudkan oleh Lester, pada dasarnya adalah suatu upaya untuk memberikan isi baru atau makna baru terhadap kenyataan keberagaman identitas politik aliran Kiri serta gerakan-gerakan sosial baru bagi transformasi yang kritis sebagai suatu kenyataan yang tidak mungkin diabaikan untuk membangun sejarah baru yang diharapkan menjadi tujuan akhir manusia di planet bumi yang sama ini. Tujuan yang sama itu tidak hanya dibicararakan oleh kelompok dominant tertentu tetapi semua pihak termasuk komunitas yang diabaikan, disisihkan dan yang tidak dihargai harus diberi tempat dan diakui sebagai subjek. Untuk mencapai tujuan akhir dunia ini, yakni masyarakat yang adil dan demokrasi, maka Lester memberikan pemaknaan baru terhadap beberapa hal yang menjadi realitas dunia sekarang ini:
1. Tentang the Social Totality.
Lester menunjuk Worl Order Models Projekt (WOMP) yang secara khusus memberikan kosentrasi terhadap kekhasan dan perdamaian worl order studies untuk membangun transformasi praktek-praktek kultural. Upaya itu harus menyikapi pertanyaaan tentang the social totality. The socil totality tidak dapat direduksi pada bangunan identitas dan praktek-praktek politik yang statist, empirist dan positivist. Menurut Lester pernyataan ini sangat signifikan dengan proyek ‘peace and world order perspective”.
Yang dimaksud dengan “perspective” memuat tiga unsur: pertama, teori sejarah perjuangan yang mengakui komunitas yang miskin, yang tertekan, yang termarginalkan sebagai sumber kritik bagi transformasi tetapi tidak mengurangi perjuangan gagasan perjuangan kelas dari Marxist. Kedua, pengertian pluralistik dari agensi politik yang dicontohkan dari gerakan-gerakan sosial kritis dan masyarakat global sekaligus oleh aktor-aktor yang berorientasi pada keadaan statis termasuk keadaan statis dari aspek-apek perubahan sosial politik yang hendak dikerjakan. Ketiga, suatu nilai yang dipahami secara implisit sebagai praktek politik dan identitas. Ini merupakan karakter kehidupan di planet ini sama seperti kenyataan yang tidak setara dan yang asimetris. Yang menarik dan sangat penting dari perspektif yang dimaksudkan ini, yakni istilah critical yang berasal dari teori perjuangan atau arti teori perjuangan dimana teori itu dimaksudkan untuk membangun perdamaian dan world order studies perspective atau kerangka kerja (framework). Kerangka itu dikarakterkan oleh antagonisme dan keterpisahan dari politik baru dan radikal pada jaman sekarang ini.
Apakah yang harus dilakukan di atas pengertian perspektif transformasi kritis ini? Yang diusulkan oleh Lester, harus dilakukan bukanlah konsensus disekitar teori perjuangan atau menjelaskan suatu pluralitas subjek-subjek dan strategi transisi untuk sampai pada projek WOMP. Tetapi yang paling penting yakni bagaimana meletakan teori perjuangan ini di dalam konstitusi yang adil dan kerangka kerja yang akan dikembangkan dalam konteks itu. Bagaimana menghubungkan dan memposisikan kakarter antagonisme dan keterpisahan-keterpisahan persendian “tubuh” politik dalam suatu kerangka politik yang baru dan radikal. Apa yang dimaksud dengan peace dan world order studies framework? Ada banyak sekali harapan-harapan ideal yang dijanjikan oleh studi-studi perdamaian dan world order studies tetapi politik global lebih memperhitungkan tentang bagaimana mengorganisasi the social totality.
Menurut Lester, studi-studi tentang perspektif tidak mungkin lagi dilakukan tanpa berhubungan dengan proyek modernitas yang mengasumsikan suatu kohenrensi dan rasionalitas akhir di dalam sejarah. Artinya, pencapaian pemerintahan global yang menyaratkan bukan hanya memahami aturan-aturan pemerintahan tetapi juga harus memodelkan aturan atau institusionalisasi pemerintahan. Beberapa pemimpin dunia yang memiliki keinginan kuat untuk mengatur pemerintahan global, di antara deretan nama terdapat antara lain, Lenist, Wilsonian, Gandhian. Tetapi persoalan yang tidak pernah digarap bahwa program-program mereka diperebutkan oleh subjek-subjek dan posisi-posisi subjek yang sangat beragam, yang telah menjadi karakter totalitas sosial jaman ini. Antagonisme merupakan penanda dari keterbatasan segala objektivitas, termasuk yang mencegah konstitusi dari sebutan objektif. Lester mencurigai idea pemerintahan global yang cenderung memanfaatkan konsep identitas dari Hegelian . Ini membuktikan bahwa seharusnya ruang perbedaan-perbedaan dibuka dan mesti diakui sebagai yang menyumbangkan suatu tujuan rasional sejarah dunia yang lebih bermakna.
Antagonisme secara teoritis, bukan suatu bangunan tetapi suatu praktek yang dihubungkan oleh beragam subjek-subjek dan posisi-posisi subjek yang berbeda-beda. Antagonisme adalah bagian yang inherent dalam subjek dan posisi-posisi subjek yang beragam itu dan antagonisme menyangkut bukan hanya resistensi dan solidaritas tetapi juga pemerintahan dan penguasa yang beragam. Jadi yang paling penting dari artikel Laclau sebagaimana yang menjadi acuan Lester yakni, subjek-subjek dan praktek politik, sangatlah penting dalam penteorian bagi upaya-upaya transformasi. Transformasi itu menyangkut baik kerangka kerja dan juga bangunan-bangunan transformasi praktek-praktek kultural. Perbedaan-perbedaan memiliki kekuatan bagi transformasi yang menunjuk pada trajektori-trajektori atau strategi perdamaian dan kerangka kerja bagi perdamaian dunia.
2. Pemaknaan Pluralitas
Ada dua pemaknaan bagi pluralitas. Pertama, pluralitas mengisyaratkan pusat rekaman kekuasaan yang beragam dan terutama menantang pemusatan terhadap logika didalam banyak proyek modernisasi. Artinya, pluralisme menantang logika institusional yang hegemonik. Kedua, pluralitas menunjuk bangunan-bangunan yang berbeda-beda oleh setiap komunitas dan identitas, bentuk-bentuk pengetahuan alternative serta strategi-strtegi politis. Ini bukanlah suatu proyek yang mudah sebab itu berarti berhadapan dengan suatu akhir yang mengakui akan keterbatasan kita.
Pengajuan akan keterbatasan yang kita miliki melalui proyek pengakuan pluralitas subjek, ketidakterhubungan satu dengan yang lain yang efeknya tidak dapat dianggap remeh. Determinasi dan subjek-subjek harus diletakan dalam kerangka transformasi termasuk keterbatasan-keterbatasan logika yang harus diakui. Bahwa sesuatu yang tidak dikonsepkan, yang tidak diimaginasikan dalam proyek-proyek transformasi yakni dimensi mistery of God, kemungkinan akan dapat memberikan sumbangan besar bagi transformasi praktek-praktek kultural yang secara fundamental baru dan lebih baik.
3. Mite Baru tentang Subjek
Yang dimaksudkan oleh Lester dengan Myth of Subjek yakni kewarga-negaraan global. Dibutuhkan suatu dimensi ciptaan makna baru terhadap myth of Subject. Subjek bukan hanya yang melakukan tranformasi tetapi lebih daripada itu being a subject entail, suatu tuntutan tanggungjawab yang besar yang dilekatkan sebagai warganegara global. Macam apakah adanya tanggungjawab warganegara global yang dituntut kepada setiap subjek? Lester Edwin mengambil pemikiran Saul Mendlovist yang telah menghubungkan beragam pendapat-pendapat dari: ide Richard Falk tentang Zitizen-pilgrim, atau ide R.B.J. Walker, tentang gerakan-gerakan sosial kritis. Menurut mereka, subjek memiliki kuasa penuh dan dapat membangkitkan minat untuk mempertimbangkan bukan hanya mite baru dari subjek tetapi bentuk baru dari identitas dan praktek kulturalnya.
Menurut ulasan Lester, Saul Mendlovits telah mengasumsikan bahwa kesejarahan manusia itu berporos dari perkawinan identitas teritorial pada “nation-state”. Kesadaran penggabungan ini harus diperhitungkan ketika diperhadapkan dengan munculnya peradaban dan pemerintahan global yang sekaligus memunculkan pemaknaan mite identitas manusia sebagai wargannegara global. Jadi pemaknaan subjek, sebagai warga negara global terjadi ketika munculnya negara-bangsa yang telah mencampurkan identitas-identitas teritorial yang berbeda-beda. Inilah yang disebut dengan sejarah manusia.
Yang menarik dari uraian Saul Mendlovits bagi Lester, yakni praktek kultur didalam kerangka civil society global, institusionalisme demokrasi dan minat manusia global. Minat manusia global yang dimaksudkan adalah “seperangkat praktek normative yang menghubungkan perjuangan anggota masyarakat dan sejarah subjek-subjek yang diekspresikan sebagai perhatian bagi keadilan”. Minat yang dimaksudkan itu berfungsi sebagai penyambung semua keterpisahan-keterpisahan atau keberagaman-keberagaman identitas dengan seluruh muatan isi yang diangkutnya. Uraian Saul ini kemudian diberi makna baru oleh Lester Edwin J. Ruiz sendiri, dengan titik berangkatnya adalah mite warga negara global. Mite Subjek itu sudah ada hanya menunggu pengakuan pemunculan historisitasnya saja. Yang dimaksud dengan mite sebagaimana yang dikutip oleh Lesler Edwin dari pemikiran Laclau, bahwa suatu ruang representasi yang dilahirkan tidak berhubungan dengan struktural objektivitas yang dominant. Tetapi mite yang baru lahir dari suatu struktur yang dimunculkan oleh kesadaran sebagai warga negara global yang dihubungkan oleh tanggungjawab global setiap subjek untuk memperjuangkan keadilan.
Konteks Munculnya Etika Baru.
Penjelasan di atas memberikan suatu keterangan tentang pergeseran dari pertanyaan siapakah subjek ke pertanyaan apakah yang menjadi tanggungjawab subjek sama seperti ketika menggarisbawahi pembuat-pembuat mite yang terdiri dari sejarah dan kelangsungan konstruksi identitas manusia, minat dan praktek. Identitas yaitu warga negara global, yang memiliki minat sebagai yang memberikan dorongan untuk mengekspresikan perjuangan-perjuangan bagi keadilan dan sekaligus berfungsi sebagai perekat sendi-sendi dari keberagaman yang ada serta praktek-praktek, yakni suatu tuntutan tanggungjawab yang melekat dalam identitas sebagai warga negara global. Apa yang diuraikan oleh Lester merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh WOMP.
Dibutuhkan suatu horizon untuk membangun pengertian mite eksternal. Horizon yang dimaksudkan adalah keterbatasan absolute dari setiap wilayah pengertian-pengertian dan keterbatasan itulah yang justru menjadi tempat munculnya objek-objek yang lain. Imajinasi seperti ini muncul dari pengahancuran struktur-struktur pengertian yang dianggap sudah stabil. Dari penghancuran ini muncul suatu imaginasi baru untuk memahami secara baru eksistensi antagonisme dan ketidaksinambungan sebagaimana yang disebutkan di atas. Dan imaginasi yang memunculkan suatu masyarakat baru itu adalah konteks untuk mengartikulasi kerangka normative, yakni dasar pertumbuhan dari apa yang disebut etika. Dalam konteks ini, Lester Edwin menghubungkan dengan projek “peace and world order studies” dan membuka partisipasi dengan mite dan imaginasi-imaginasi yang dimaksudkan. Namun demikian suatu tantangan bagi konstruksi imaginasi dan horizon keterbatasan ketika diperhadapkan dengan kesulitan untuk menghisap atau mengintegrasikan antagonisme yang ada.
Horizon ataupun imaginasi baru tak mungkin dilepaskan dengan dimensi personal, politik dan historis dari suatu komunitas dan identitas yang mengikutinya. Ketiadaan tempat bagi kelompok-kelompok sosial tertentu adalah tempat yang mungkin bagi munculnya imaginasi baru. Jadi diperlihatkanlah oleh Lester, suatu konteks baru era paska Perang Dingin dan artikulasi kemajuan politik baru. Inilah cara Lester untuk menghubungkan imaginasi radikal dan horizon dengan pemerintahan global atau peradaban global atau perdamaian dan world order studies.”
26 Februari 2011
16 Februari 2011
Memperkuat Persekutuan, Merawat Kemajemukan, dan Memelihara Lingkungan
Sambutan mewakili MPH PGI
pada Pembukaan Sidang MPL PGIW Sulselbara,
Balla Tamalanrea, Makassar, 14 Februari 2011
Ibu-ibu, Bapak-bapak, Sdr-sdri hadirin -- tamu, peserta dan panitia Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara, yang semua sama saya hormati: salam sejahtera dalam kasih Tuhan Yesus Kristus.
Dalam rapat Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, tanggal 8 Februari di Tobelo -- sesaat setelah penutupan Sidang MPL PGI -- saya ditunjuk mewakili MPH PGI memenuhi undangan dan menyampaikan sambutan pada Sidang Majelis Pekerja Lengkap PGIW Sulselbara saat ini. Biasanya Ketua Umum yang menghadiri undangan gereja-gereja seperti ini, namun karena jadwalnya yang sangat padat Pdt. Dr. Andreas Yewangoe tidak bisa hadir. Sebagai anggota MPH PGI terdekat, dan juga dalam fungsi sebagai supervisor gereja-gereja se-Sulawesi, saya diminta mewakili.
Pertama-tama atas nama MPH PGI saya sampaikan salam dan selamat bersidang.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan tiga pokok komitmen MPH PGI, yang dituangkan dalam subtema Sidang MPL PGI di Tobelo, tgl 4-8 Februari lalu: Memperkuat Persekutuan, Merawat Kemajemukan, dan Memelihara Lingkungan. Semoga persidangan ini juga memberi perhatian sehingga menjadi keprihatinan bersama, yang selanjutnya menjadi acuan dalam program kerja gereja-gereja pada semua lingkup, dari sinode sampai jemaat.
Dapat saya informasikan bahwa pada awal bulan Maret akan berlangsung di Makassar suatu pertemuan – FGD, Focus Discussion Group – dengan Gereja Toraja Klasis Makassar sebagai host, di mana pimpinan gereja-gereja dan lembaga-lembaga pendidikan teologi di wilayah Indonesia bagian Timur diundang untuk membahas masalah-masalah pokok di wilayah ini untuk selanjutnya menjadi agenda penelitian suatu Kelompok Kerja Penelitian Litkom PGI.
Pokok komitmen pertama, Memperkuat Persekutuan. Komitmen ini timbul dari kenyataan banyaknya konflik di kalangan gereja-gereja anggota PGI, pada semua lingkup dari jemaat sampai sinode, baik di dalam satu gereja, maupun antar gereja. Para pimpinan gereja dalam lingkungan PGIW Sulselbara tentu mempunyai data mengenai hal ini, khususnya menyangkut gereja masing-masing. Dalam konteks itu, Memperkuat Persekutuan bukan sekadar slogan, melainkan seruan kenabian yang tegas menegur kecenderungan-kecenderungan pEMentingan diri atau kelompok yang mengabaikan hakekat kesatuan gereja sebagai satu Tubuh Kristus, sebagaimana disampaikan dalam khotbah tadi. Dalam konflik dan perpecahan gereja para pimpinan gereja yang terlibat mempunyai banyak alasan untuk membenarkan diri. Konflik sesuatu yang normal terjadi, juga di dalam gereja, namun gereja seharusnya memberi contoh bagaimana menyelesaikan konflik secara damai dan menjauhkan roh pemecah-belah.
Pokok komitmen kedua, Merawat Kemajemukan. Komitmen ini terkait dengan kenyataan konflik dalam masyarakat, khususnya yang bernuansa agama. Berbagai kesulitan dihadapi sejumlah gereja di berbagai tempat, khususnya di sekitar Jakarta, Bogor, Bandung dan di tempat-tempat lain. Ada yang dilarang membangun tempat ibadah, ada yang dilarang beribadah, dsb. Yang terakhir pembakaran sejumlah gereja dan fasilitas gereja di Temanggung, Jawa Tengah. Tetapi MPH PGI tidak hanya prihatin terhadap masalah-masalah yang menimpa gereja atau umat Kristen. Perlakuan tidak adil terhadap berbagai kelompok agama, seperti Ahmadiyah, juga memprihatinkan MPH PGI. Apalagi kekerasan yang menelan korban-korban jiwa yang baru-baru ini terjadi bagi komunitas Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Pokok keprihatinan di sini adalah meluasnya intoleransi dan kekerasan bernuansa agama dalam masyarakat, dan pembiaran oleh aparat keamanan, bahkan ada indikasi keterlibatan aparat keamanan melakukan kekerasan. Keprihatinan MPH PGI terhadap pembiaran ini terungkap dalam poin pertama daftar sembilan “kebohongan baru” pemerintah yang dikemukakan para tokoh agama bulan lalu, yang juga diikuti secara intensif oleh Ketua Umum MPH PGI. [Pin Stop Pembohongan! yang saya pakai ini terkait dengan hal itu.] Dan dalam sidang MPL PGI di Tobelo muncul perdebatan apakah gereja boleh atau tidak boleh mengutuk para pelaku tindak kekerasan dan yang membiarkan kekerasan itu terus terjadi. Terhadap berbagai kenyataan kekerasan dan intoleransi agama itu kita tidak dapat hanya prihatin atau menyatakan kecaman, melainkan harus terus berusaha mengembangkan hubungan-hubungan damai, dan bahkan mengatasi akar-akar kemiskinan, ketidakadilan, dan berbagai masalah sosial-ekonomi dan politik yang menjadi lahan subur perkembangan kekerasan dan intoleransi agama. Dalam hal ini setiap jemaat dihimbau untuk tidak hanya sibuk beribadah dan membangun rumah ibadah, melainkan juga untuk lebih serius memberi perhatian pada pelayanan sosial di dalam dan di luar persekutuan Kristen, sebagaimana Tuhan Yesus sendiri sibuk melayani orang-orang yang memerlukan pertolongan.
Tadi paduan suara menyanyikan Anging Mammiri’. Saya tidak tahu apakah anda memahami teks lagu yang indah ini, yang adalah sebuah protes sosial kepada tu sarroa takkaluppa – mereka yang sering lalai, lupa atau abai; namangu’rangi tu tenaya pa’risi’na – supaya sadar mereka yang tidak ada susahnya, mereka yang senang, yang mapan; supaya mereka ingat orang-orang susah dan menderita di sekitarnya …
Komitmen ketiga MPH PGI adalah Memelihara Lingkungan. Beberapa bencana alam beruntun pada tahun lalu – banjir di Wasior, Papua; tsunami di Mentawai, Sumatera Barat; dan erupsi gunung Merapi (Jawa Tengah) -- menimbulkan keprihatinan terhadap bencana alam, yang sedikit banyak terkait dengan pemeliharaan lingkungan. Saya tidak melihat bencana alam tsunami Mentawai dan erupsi Merapi terkait langsung dengan pemeliharaan lingkungan, tetapi jumlah korban akan lebih kecil jika manusia sadar dan menjaga diri dari ancaman kekuatan alam. Dalam kaitan itu “teologi bencana” sedang diprogramkan untuk menjadi pegangan pelayan dan warga gereja menghadapi bencana alam.
Banjir Wasior, sebagaimana banjir di mana-mana, jelas terkait dengan kelalaian manusia: dari sekadar membiarkan sampah menyumbat selokan, sampai penggundulan hutan, serta alih fungsi lahan dari lahan pertanian produktif menjadi perumahan. Kota Makassar makin sering banjir di berbagai tempat karena konversi lahan telah mengubah kota ini menjadi kota ruko, sementara selokan menjadi tempat sampah ...
Akibat ulah manusia, bukan hanya banjir, juga perubahan iklim yang tak menentu oleh pemanasan global (efek rumah kaca), di samping pencemaran udara, air dan tanah, yang mengakibatkan gangguan serius bagi kehidupan. Banyak spesis tumbuhan dan hewan musnah, yang merupakan indikasi makin melemahnya daya dukung alam bagi kehidupan, pada hal semesta alam diciptakan menjadi suatu sistem terpadu mendukung kehidupan. Krisis lingkungan adalah masalah bersama umat manusia. Keprihatinan – yang selanjutnya menjadi komitmen -- untuk memelihara lingkungan menjadi persoalan bersama umat manusia, tanpa batas-batas negara, bangsa, suku, atau agama. Dan komitmen ini tidak mudah karena secara perorangan diperlukan disiplin berlingkungan: baik dalam berurusan dengan sampah maupun pencemaran. Masyarakat perkotaan mencemari udara dengan asap kendaraan bermotor – yang dewasa ini makin banyak dan memacetkan kota -- sementara masyarakat petani di pedesaan mencemari air dan tanah dengan berbagai racun yang diperkenalkan kepada petani untuk mengurus tanamannya. Demikian juga di laut, para nelayan sering merusak terumbu karang, membom ikan, dan melakukan perusakan lainnya, yang berdampak pada mengurangnya biota laut dan menyebabkan ikan makin jarang. Pada skala yang lebih besar dunia industri, seperti perkebunan sawit, kakao dan perusahaan pengelola hutan, serta perusahaan tambang – dengan izin dari pemerintah -- merusak hutan dan lingkungan secara besar-besaran. Kerusakan lingkungan dewasa ini di seluruh dunia sudah sampai pada apa yang disebut ecocide, pemusnahan lingkungan.
Hadirin yang saya hormati.
Saya akan mengakhiri sambutan ini dengan secara singkat meminta perhatian pimpinan gereja-gereja pada dua aspek pembinaan sumber daya manusia di dalam gereja. Yang pertama, pemuda gereja. [Terima kasih kepada dua paduan suara pemuda yang tadi menyanyikan lagu rohani black American moderen dengan baik sekali.] Dalam Sidang MPL PGI di Tobelo terungkap bahwa pengkaderan di kalangan pemuda gereja macet. Pelayanan gereja-gereja terhadap pemuda pada lingkup jemaat sampai sinode tidak berlangsung secara sadar dan terencana, dan membiarkan saja persekutuan pemuda berjalan sendiri. Ini juga nampak dalam pelayanan mahasiswa di kampus-kampus, yang kini umumnya berada di luar jangkauan gereja-gereja kita.
Yang kedua, mutu para pendeta. Kawan-kawan pendeta, saya harus mengatakan hal ini. Dalam pekerjaan pokok saya di kalangan gereja-gereja selama beberapa tahun terakhir, saya menemukan kenyataan betapa rendah mutu pengetahuan dasar teologi kebanyakan pendeta, dan gejala melemahnya spiritualitas pelayanan mereka. Banyak pendeta muda yang studi lanjut, mereka memperoleh gelar tetapi substansi pengetahuannya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Banyak faktor penyebabnya. Kebanyakan pendeta mengeluhkan beban pelayanan yang demikian padat sehingga tidak punya waktu untuk menambah pengetahuan. Banyak pula yang tidak punya uang buntuk membeli buku, apalagi membeli komputer untuk mengakses bahan-bahan belajar dari internet. Kita hidup di abad ke-21, dengan kecanggihan teknologi, tetapi juga dengan kompleksitas tantangan pelayanan – seperti ketiga komitmen MPH PGI di atas -- yang membutuhkan kepemimpinan dan pelayan jemaat jemaat yang handal. Gereja-gereja harus secara serius memberi perhatian pada pengembangan mutu pengetahuan dan spiritualitas para pemimpin gereja. Barangkali pembenahan lembaga pendidikan teologi termasuk dalam agenda urgen ini.
Terima kasih.
Zakaria J. Ngelow
Anggota MPH PGI 2009-2014
pada Pembukaan Sidang MPL PGIW Sulselbara,
Balla Tamalanrea, Makassar, 14 Februari 2011
Ibu-ibu, Bapak-bapak, Sdr-sdri hadirin -- tamu, peserta dan panitia Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara, yang semua sama saya hormati: salam sejahtera dalam kasih Tuhan Yesus Kristus.
Dalam rapat Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, tanggal 8 Februari di Tobelo -- sesaat setelah penutupan Sidang MPL PGI -- saya ditunjuk mewakili MPH PGI memenuhi undangan dan menyampaikan sambutan pada Sidang Majelis Pekerja Lengkap PGIW Sulselbara saat ini. Biasanya Ketua Umum yang menghadiri undangan gereja-gereja seperti ini, namun karena jadwalnya yang sangat padat Pdt. Dr. Andreas Yewangoe tidak bisa hadir. Sebagai anggota MPH PGI terdekat, dan juga dalam fungsi sebagai supervisor gereja-gereja se-Sulawesi, saya diminta mewakili.
Pertama-tama atas nama MPH PGI saya sampaikan salam dan selamat bersidang.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan tiga pokok komitmen MPH PGI, yang dituangkan dalam subtema Sidang MPL PGI di Tobelo, tgl 4-8 Februari lalu: Memperkuat Persekutuan, Merawat Kemajemukan, dan Memelihara Lingkungan. Semoga persidangan ini juga memberi perhatian sehingga menjadi keprihatinan bersama, yang selanjutnya menjadi acuan dalam program kerja gereja-gereja pada semua lingkup, dari sinode sampai jemaat.
Dapat saya informasikan bahwa pada awal bulan Maret akan berlangsung di Makassar suatu pertemuan – FGD, Focus Discussion Group – dengan Gereja Toraja Klasis Makassar sebagai host, di mana pimpinan gereja-gereja dan lembaga-lembaga pendidikan teologi di wilayah Indonesia bagian Timur diundang untuk membahas masalah-masalah pokok di wilayah ini untuk selanjutnya menjadi agenda penelitian suatu Kelompok Kerja Penelitian Litkom PGI.
Pokok komitmen pertama, Memperkuat Persekutuan. Komitmen ini timbul dari kenyataan banyaknya konflik di kalangan gereja-gereja anggota PGI, pada semua lingkup dari jemaat sampai sinode, baik di dalam satu gereja, maupun antar gereja. Para pimpinan gereja dalam lingkungan PGIW Sulselbara tentu mempunyai data mengenai hal ini, khususnya menyangkut gereja masing-masing. Dalam konteks itu, Memperkuat Persekutuan bukan sekadar slogan, melainkan seruan kenabian yang tegas menegur kecenderungan-kecenderungan pEMentingan diri atau kelompok yang mengabaikan hakekat kesatuan gereja sebagai satu Tubuh Kristus, sebagaimana disampaikan dalam khotbah tadi. Dalam konflik dan perpecahan gereja para pimpinan gereja yang terlibat mempunyai banyak alasan untuk membenarkan diri. Konflik sesuatu yang normal terjadi, juga di dalam gereja, namun gereja seharusnya memberi contoh bagaimana menyelesaikan konflik secara damai dan menjauhkan roh pemecah-belah.
Pokok komitmen kedua, Merawat Kemajemukan. Komitmen ini terkait dengan kenyataan konflik dalam masyarakat, khususnya yang bernuansa agama. Berbagai kesulitan dihadapi sejumlah gereja di berbagai tempat, khususnya di sekitar Jakarta, Bogor, Bandung dan di tempat-tempat lain. Ada yang dilarang membangun tempat ibadah, ada yang dilarang beribadah, dsb. Yang terakhir pembakaran sejumlah gereja dan fasilitas gereja di Temanggung, Jawa Tengah. Tetapi MPH PGI tidak hanya prihatin terhadap masalah-masalah yang menimpa gereja atau umat Kristen. Perlakuan tidak adil terhadap berbagai kelompok agama, seperti Ahmadiyah, juga memprihatinkan MPH PGI. Apalagi kekerasan yang menelan korban-korban jiwa yang baru-baru ini terjadi bagi komunitas Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Pokok keprihatinan di sini adalah meluasnya intoleransi dan kekerasan bernuansa agama dalam masyarakat, dan pembiaran oleh aparat keamanan, bahkan ada indikasi keterlibatan aparat keamanan melakukan kekerasan. Keprihatinan MPH PGI terhadap pembiaran ini terungkap dalam poin pertama daftar sembilan “kebohongan baru” pemerintah yang dikemukakan para tokoh agama bulan lalu, yang juga diikuti secara intensif oleh Ketua Umum MPH PGI. [Pin Stop Pembohongan! yang saya pakai ini terkait dengan hal itu.] Dan dalam sidang MPL PGI di Tobelo muncul perdebatan apakah gereja boleh atau tidak boleh mengutuk para pelaku tindak kekerasan dan yang membiarkan kekerasan itu terus terjadi. Terhadap berbagai kenyataan kekerasan dan intoleransi agama itu kita tidak dapat hanya prihatin atau menyatakan kecaman, melainkan harus terus berusaha mengembangkan hubungan-hubungan damai, dan bahkan mengatasi akar-akar kemiskinan, ketidakadilan, dan berbagai masalah sosial-ekonomi dan politik yang menjadi lahan subur perkembangan kekerasan dan intoleransi agama. Dalam hal ini setiap jemaat dihimbau untuk tidak hanya sibuk beribadah dan membangun rumah ibadah, melainkan juga untuk lebih serius memberi perhatian pada pelayanan sosial di dalam dan di luar persekutuan Kristen, sebagaimana Tuhan Yesus sendiri sibuk melayani orang-orang yang memerlukan pertolongan.
Tadi paduan suara menyanyikan Anging Mammiri’. Saya tidak tahu apakah anda memahami teks lagu yang indah ini, yang adalah sebuah protes sosial kepada tu sarroa takkaluppa – mereka yang sering lalai, lupa atau abai; namangu’rangi tu tenaya pa’risi’na – supaya sadar mereka yang tidak ada susahnya, mereka yang senang, yang mapan; supaya mereka ingat orang-orang susah dan menderita di sekitarnya …
Komitmen ketiga MPH PGI adalah Memelihara Lingkungan. Beberapa bencana alam beruntun pada tahun lalu – banjir di Wasior, Papua; tsunami di Mentawai, Sumatera Barat; dan erupsi gunung Merapi (Jawa Tengah) -- menimbulkan keprihatinan terhadap bencana alam, yang sedikit banyak terkait dengan pemeliharaan lingkungan. Saya tidak melihat bencana alam tsunami Mentawai dan erupsi Merapi terkait langsung dengan pemeliharaan lingkungan, tetapi jumlah korban akan lebih kecil jika manusia sadar dan menjaga diri dari ancaman kekuatan alam. Dalam kaitan itu “teologi bencana” sedang diprogramkan untuk menjadi pegangan pelayan dan warga gereja menghadapi bencana alam.
Banjir Wasior, sebagaimana banjir di mana-mana, jelas terkait dengan kelalaian manusia: dari sekadar membiarkan sampah menyumbat selokan, sampai penggundulan hutan, serta alih fungsi lahan dari lahan pertanian produktif menjadi perumahan. Kota Makassar makin sering banjir di berbagai tempat karena konversi lahan telah mengubah kota ini menjadi kota ruko, sementara selokan menjadi tempat sampah ...
Akibat ulah manusia, bukan hanya banjir, juga perubahan iklim yang tak menentu oleh pemanasan global (efek rumah kaca), di samping pencemaran udara, air dan tanah, yang mengakibatkan gangguan serius bagi kehidupan. Banyak spesis tumbuhan dan hewan musnah, yang merupakan indikasi makin melemahnya daya dukung alam bagi kehidupan, pada hal semesta alam diciptakan menjadi suatu sistem terpadu mendukung kehidupan. Krisis lingkungan adalah masalah bersama umat manusia. Keprihatinan – yang selanjutnya menjadi komitmen -- untuk memelihara lingkungan menjadi persoalan bersama umat manusia, tanpa batas-batas negara, bangsa, suku, atau agama. Dan komitmen ini tidak mudah karena secara perorangan diperlukan disiplin berlingkungan: baik dalam berurusan dengan sampah maupun pencemaran. Masyarakat perkotaan mencemari udara dengan asap kendaraan bermotor – yang dewasa ini makin banyak dan memacetkan kota -- sementara masyarakat petani di pedesaan mencemari air dan tanah dengan berbagai racun yang diperkenalkan kepada petani untuk mengurus tanamannya. Demikian juga di laut, para nelayan sering merusak terumbu karang, membom ikan, dan melakukan perusakan lainnya, yang berdampak pada mengurangnya biota laut dan menyebabkan ikan makin jarang. Pada skala yang lebih besar dunia industri, seperti perkebunan sawit, kakao dan perusahaan pengelola hutan, serta perusahaan tambang – dengan izin dari pemerintah -- merusak hutan dan lingkungan secara besar-besaran. Kerusakan lingkungan dewasa ini di seluruh dunia sudah sampai pada apa yang disebut ecocide, pemusnahan lingkungan.
Hadirin yang saya hormati.
Saya akan mengakhiri sambutan ini dengan secara singkat meminta perhatian pimpinan gereja-gereja pada dua aspek pembinaan sumber daya manusia di dalam gereja. Yang pertama, pemuda gereja. [Terima kasih kepada dua paduan suara pemuda yang tadi menyanyikan lagu rohani black American moderen dengan baik sekali.] Dalam Sidang MPL PGI di Tobelo terungkap bahwa pengkaderan di kalangan pemuda gereja macet. Pelayanan gereja-gereja terhadap pemuda pada lingkup jemaat sampai sinode tidak berlangsung secara sadar dan terencana, dan membiarkan saja persekutuan pemuda berjalan sendiri. Ini juga nampak dalam pelayanan mahasiswa di kampus-kampus, yang kini umumnya berada di luar jangkauan gereja-gereja kita.
Yang kedua, mutu para pendeta. Kawan-kawan pendeta, saya harus mengatakan hal ini. Dalam pekerjaan pokok saya di kalangan gereja-gereja selama beberapa tahun terakhir, saya menemukan kenyataan betapa rendah mutu pengetahuan dasar teologi kebanyakan pendeta, dan gejala melemahnya spiritualitas pelayanan mereka. Banyak pendeta muda yang studi lanjut, mereka memperoleh gelar tetapi substansi pengetahuannya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Banyak faktor penyebabnya. Kebanyakan pendeta mengeluhkan beban pelayanan yang demikian padat sehingga tidak punya waktu untuk menambah pengetahuan. Banyak pula yang tidak punya uang buntuk membeli buku, apalagi membeli komputer untuk mengakses bahan-bahan belajar dari internet. Kita hidup di abad ke-21, dengan kecanggihan teknologi, tetapi juga dengan kompleksitas tantangan pelayanan – seperti ketiga komitmen MPH PGI di atas -- yang membutuhkan kepemimpinan dan pelayan jemaat jemaat yang handal. Gereja-gereja harus secara serius memberi perhatian pada pengembangan mutu pengetahuan dan spiritualitas para pemimpin gereja. Barangkali pembenahan lembaga pendidikan teologi termasuk dalam agenda urgen ini.
Terima kasih.
Zakaria J. Ngelow
Anggota MPH PGI 2009-2014
Langganan:
Postingan (Atom)