Zakaria J. Ngelow
Pada abad ke 16 sejumlah bangsawan dan
rakyat Bugis dan Makassar menerima agama Kristen yang disebarkan kalangan
Katolik Portugis di kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar. Namun tidak berkembang
dan lenyap karena beberapa alasan. Ada usaha-usaha serius pada abad ke-19 melalui
B. F. Matthes, namun ahli bahasa dari Lembaga Alkitab Belanda ini lebih berjasa
mempetkenalkan dan melestarikan warisan budaya Bugis daripada membawa orang
Bugis kepada Kristus. Baru pada tahun 1930-an dan awal 1940-an beberapa
bangsawan Bugis di daerah Barru dan Soppeng tertarik pada Injil terkait dengan
ramalan-ramalan mesianis Petta Barang, seorang tokoh religius setempat. Mereka
bersama kelaurga dan banyak pengikutnya dibaptis. Gereja terbentuk namun
tantangan penghambatan sejak zaman Jepang sampai revolusi kemerdekaan dan
khususnya pada masa gangguan gerombolan DI/TII tahun 1950-an membuat banyak
orang Kristen murtad. Beberapa terbunuh sebagai martir Kristus.
Dewasa ini orang Kristen Bugis asal
Soppeng terpisah-pisah menjadi anggota beberpa denominasi gereja yang berbeda,
namun di Makassar mereka membentuk Kerukunan Keluarga Kristen Soppeng di
makassar (K3SM). Dalam suatu diskusi yang menghadirkan para sesepuh
Kristen Soppeng mengemuka kebutuhan untuk menulis suatu buku sejarah
Kekristenan di kalangan orang Bugis Soppeng, yang secara khusus memperlihatkan
bagaimana mereka menerima Injil dan bagaimana mereka survive menghadapi
gempuran penghambatan.
Selain itu beberapa agenda dapat diusulkan
untuk menjadi perhatian para pemuka Kristen Bugis, khususnya wadah seperti K3SM
untuk memberi kontribusi sekaligus bagi gereja dan bagi, masyarakat Bugis -- yang
tentu juga berlaku bagi komunitas Kristen Bugis lainnya, seperti dari Makassar
dan dari Selayar:
1. Umat Kristen asal Bugis perlu
mengembangkan kekristenan yang sekaligus afirmatif dan kritis terhadap budaya
Bugis. Orang Bugis Kristen tetap hidup sebagai orang Bugis, namun berusaha
menyoroti tradisi dan nilai-nilai budaya Bugis dalam terang Injil Kristus.
Prinsip "siri' na pesse", misalnya, disambut positif namun dengan
kritis menolak aspek-aspek budaya kekerasan di dalamnya dengan mengembangkan
pola-pola budaya resolusi konflik secara damai.
2. Umat Kristen asal Bugis perlu menghidupkan
nilai-nilai ideal normatif budaya Bugis yang ditengarai dewasa ini terus
digerus budaya kapitalistik-materialistik, yang al. terwujud dalam apa yang
disebut "budaya pojiale", budaya menyombongkan diri. Budaya luhur
seperti etos kerja tinggi yang diajarkan melalui ungkapan "tellabu' essoe
ri tengngana bitarae" (jangan/tak terbenam matahari di tengah langit) dan
aja’ muakkamporo’ (jangan ibarat telur dierami tak menetas). Atau yang populer melalui semboyan pelaut,
"pura ba'bara' somppekku, pura tangkisi' gulikku, ulebbirengi tellenge na
toalie" (telah kupasang layarku, kuarahkan kemudiku, lebih baik tenggelam
daripada pulang).
3. Umat Kristen asal Bugis harus menebus
sejarah konflik internal masa lalu dengan terus mengembangkan persaudaraan
Kristen Bugis lintas denominasi, sehingga umat Kristen asal Bugis dalam
berbagai gereja yang berbeda-beda saling mengasihi dan bersama-sama menjalankan
panggilan pelayanan dan kesaksian gereja di tengah-tengah masyarakat, khususnya
masyarakat Bugis. Pada gilirannya persaudaraan dapat diperluas secara lintas
iman dengan semua orang Bugis, bahkan semua orang, sesuai perintah Krisus untuk
mengasihi semua orang. Ini sesuai dengan falsafah “hukum kasih Bugis”
dalam apa yang disebut "mattulu
tellue": malilu sipakainge, mali siparappe, rebba sipatokkong (tali
berjalin tiga: khilaf saling mengingatkan, terdampar saling mendaratkan, rebah
saling menegakkan).
4. Sebagai komunitas di rantau,
pentinglah umat Kristen asal Bugis mengembangkan kecintaan, pengetahuan dan
kebanggaan serta pengabdian bagi masyarakat dan tanah Bugis. Banyak orang Bugis
di rantau yang tidak lagi mengenal (sehingga tidak mencintai dan membanggakan)
budayanya, baik sejarah, bahasa maupun adat istiadat dan semua tradisi lainnya,
dengan penekanan pada makna dan nilai-nilai luhur.
Duami kuala sappo unganna panasae na belo-belona kanukue.
Makassar 19
Oktober 2013