Oleh Asyer Tandapai
Catatan perjalanan 6-9
April 2017 ke daerah Towuti dalam rangka memenuhi permintaan Panitia
Pentahbisan Gedung Gereja Persekutuan Oikumene Umat Kristiani (POUK) Jemaat
Wawondula bekerjasama dengan Yayasan Oase Intim Makassar untuk penelitian
sejarah jemaat. Membaca sepintas judul catatan perjalanan di atas terkesan
keluar dari agenda perbincangan utama. Tetapi sejak tiba di Wawondula
sepertinya tidak henti-hentinya orang-orang berbincang tentang merica dari
berbagai sudut pandang. Ini membuat saya semakin bergairah mendapatkan
informasi seluas mungkin tanaman fenomenal ini.
Cerita mengenai merica
semakin terpuaskan dari Pdt. Yeheskiel Nari Toding. Juga menginap di rumah
keluarga dan mendengar langsung dari petani sukses. Pdt. Yeheskiel bertugas
sebagai pelayan 2001-2009 di Jemaat POUK dan sekarang memilih menjadi petani
merica. Terima kasih Pak Yeheskiel yang berbagi informasi mengenai tanaman
fenomenal tersebut, dan sepertinya relevan menempatkan cerita tersebut sebagai
bagian dari konteks panggilan menggereja.
Landscape daerah
Towuti merupakan kawasan konsesi pertambangan nikel yang dikelola oleh PT Vale.
Sebelumnya seluruh kawasan seputaran Danau Matano dan Danau Towuti di Nuha,
Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan daerah konsensi pertambangan
PT International Nikel Company (INCO) yang kemudian hak pengolahannya beralih
ke PT Vale. Dan sekitar 80 kilometer ke arah Timur dari kawasan pertambangan PT
Vale, juga baru saja dimulai eksplorasi pertambangan nikel oleh PT Bintang 88
yang berlokasi di Kabupaten Morowali Bungku, daerah pemekaran Kabupaten Poso
pada tahun 2000an. Konon perusahaan raksasa pengolahan biji nikel yang terbesar
di Asia Tenggara itu sahamnya dimiliki sejumlah pensiunan petinggi pengamanan
negara yang berdomisili di Jakarta.
Masyarakat yang hidup
di perkampungan seputaran Danau Towuti hanyalah petani tradisonail secara turun
temurun kondisi perekonominnya lemah. Petani miskin yang tidak memiliki
keterampilan sehingga kalah bersaing mendapatkan pekerjaan di perusahaan
raksasa. Sejak tahun 1970an ketika perusahaan beraktifitas, praktis mereka
hanya menjadi penonton atas geliat pertambangan yang mengeksploitasi tanah
kehidupan mereka. Ada saja di antara orang muda dari keluarga petani tersebut
yang diterima di perusahaan, tetapi karena pendidikan dan keterampilan yang
rendah sehingga capaian posisi mereka hanya pada level buruh kasar sejak masuk
sampai pensiun.
Sekitar 6 tahun
terakhir, petani miskin yang menghuni kampung-kampung di sekitaran Danau Towuti
mengalami perubahan drastis. Seakan berada di dunia peri yang dalam sekejap
dapat menghadirkan realitas baru, wajah kemiskinan masyarakat tani berubah
menjadi suasana kehidupan yang berkelimpahan. Perubahan tersebut akibat tanaman
merica (lada). Harga merica terendah rp. 85.000/kilogram dan harga tertinggi
yang pernah terjadi rp.160.000/kilogram menjadi arus balik peningkatan
kesejahteraan petani.
Mencium
Pedisnya Aroma Merica
Posisi saya atas cerita keberhasilan kehidupan petani
merica yang disampaikan Pdt. Yeheskiel Nari Toding hanyalah menarasikannya
kemudian membagikannya pada pembaca untuk mengikuti cerita sukses petani
merica. Pertama,
merica telah merubah harga diri seorang petani. Jika sebelumnya orang malu
mengakui profesinya sebagai petani, maka merica membuat kebanggaan sebagai
petani. Karena itu masyarakat berlomba-lomba membuka kebun, bahkan merambah
hutan lindung untuk berkebun merica. Mencari kerja di PT Vale bukan lagi
pilihan utama. Kedua,
perkebunan merica membuka lapangan kerja baru yang secara langsung mengurangi
aksi-aksi pencurian (kriminalitas) di perusahaan, misalnya modus pemulung besi tua di perusahaan PT Vale atau
pada perusahaan sub-kontraktor yang terkesan melibatkan orang dalam.
Sisi lain yang juga penting menjadi perhatian laporan
perjalanan ini yaitu mencium pedisnya aroma merica. Pertama, dampak
dari kisah keberhasilan petani merica mengundang gelombang pendatang baru baik
sebagai pemilik modal untuk membeli dan membuka lahan perkebunan maupun sebagai
buruh tani. Sedang berlangsung ledakan migrasi, mungkin dalam jumlah ratusan
ribu penduduk sedang bertarung nasib ke wilayah ini dan nyaris keberadaan
mereka tidak terkontrol oleh pemerintah daerah. Secara komunitas etnik, dalam
jumlah besar, etnik Toraja, Mamasa, Rongkong, Masamba, Bugis dari Siwa,
penduduk dari Kendari, dan ratusan penduduk Timor asal Nusa Tenggara Timur
(NTT). Umumnya para pendatang berasal dari daerah yang pernah mengalami konflik
sosial dan di daerah Towuti mereka hidup berkelompok menurut identitas
etniknya. Pada tahap awal ini umumnya masih bekerja sebagai buruh tani pada
majikan-majikan, yang umumnya etnis Bugis pemilik kebun ratusan hektar. Buruh
tani yang paling disukai oleh para majikan adalah asal NTT karena pertimbangan:
upah murah, tahan bekerja di panas matahari, dan tahan menderita.
Kedua,
konflik agraria antara PT Vale sebagai pemilik konsesi atas seluruh kawasan
pertambangan yang masyarakat dijadikan sebagai kebun merica. Sekitar dua tiga
kali pertemuan antara perusahaan dengan petani yang difasilitasi oleh
pemerintah. Ada komitmen yang disepakati kedua belah pihak, antara lain petani
tidak boleh lagi membuka lahan baru di kawasan konsesi pertambangan. Tetapi
kenyataannya masyarakat terus menerus membuka dan merambah hutan untuk
perkebunan. Sedikit agak mencemaskan adalah posisi pemerintah yang tidak
mengawal kesepakatan tersebut. Potensi konflik juga pada level petani.
Penjualan dan pembelian tanah, sekalipun milik konsesi perusahaan pertambangan,
yag terjadi massif dapat berdampak pada sengketa klaim dari masyarakat lokal.
demikian sengketa penetapan batas tanah kebun karena praktek dan tumpang
tindihnya penjualan tanah.
Ketiga,
ekspansi perambahan hutan tidak lagi terkontrol yang nyaris menjangkau kawasan
konsensi pertambangan nikel milik PT Bintang 88 di Bahudopi, Kabupaten
Morowali, Sulawesi Tengah. Dampak langsung adalah kerusakan lingkungan yang
kelihatan kondisinya lebih memprihatinkan bila dibandingkan dampak kerusakan
yang disebabkan perkebunan sawit. Kondisi ini sedikit mengkuatirkan karena
konflik agraria melibatkan pemilik modal raksasa level nasional dan
internasional yang merasa investasi mereka terganggu. Pengrusakan lingkungan
yang selama ini dilakukan oleh perusahaan tambang semakin diperparah oleh
ekspansi petani merica. Kondisi ini tidak menutup kemungkinan bahwa pemilik
modal raksasa dapat memakai tangan penguasa dengan legitimasi agama untuk
mengamankan kepentingan mereka. Faktor pemantiknya dapat saja melalui
kelompok-kelompok buruh tani yang hidup berdasarkan identitas etnik dan agama
yang bekerja pada majikan-majikan atau persaingan antarpreman yang bertindak
mengamankan majikan mereka.
Pedisnya
Bumbu Merica Terasa di Hati
Merica menyisahkan
cerita lain tentang bumbu di sekitar kehidupan para petani. Umumnya para
majikan (punggawa) memiliki puluhan, ratusan, bahkan ada majikan memiliki 250
buruh tani (sawi). Enam tahun yang lalu umumnya kehidupan para majikan, istri
maupun suami, adalah pekerja kebun yang mengandalkan sepuluh jari. Karena itu
kulit mereka terbakar matahari, tangan mereka kotor kehitam-hitaman, telapak
kaki pecah-pecah karena keras dan panasnya tanah dan bebatuan yang terinjak
kaki telanjang, kuku mereka hitam karena endapan tanah, rambut kusam tidak
tersentuh sisir, stamina para suami dan istri yang terkuras bekerja keras di
kebun sehingga kadang melupakan keharmonisan sebagai pasangan suami-istri.
Hari ini kehidupan
berbalik 180 derajat. Terpakir di pekarangan rumah mobil-mobil bermerek,
seperti: Mazda, Landcruiser, Hilux, Pajero Sport yang keseharian fungsinya
dipakai untuk mengangkat pupuk, buruh dan hasil kebun. Mobil-mobil bermerek
harga ratusan juta hanya dipakai untuk aktifitas bekebun. Tingkah laku para
majikan laki-aki juga berubah. Fasilitas dan uang sehingga mereka dengan mudah
menggoda perempuan untuk menjadi teman dekat, peluang besar pada buruh tani
perempuan. Sebaliknya, ibu-ibu tidak ketinggalan dengan perawatan tubuh agar
berperawakan cantik. Pemutih kulit, perawatan rambut, perawatan gigi, kuku.
Bahkan ada yang mendatangkan khusus tenaga kecantikan dari kota Makassar.
Tujuan utama perawatan tubuh para istri agar suami mereka tidak berpaling pada
perempuan, terutama pesona buruh tani perempuan yang memiliki kecantikan alamiah.
Pada akhir-akhir ini, cukup fenomenal ceritra bumbu penyedap mengenai relasi
majikan (punggawa) dan buruh tani (sawi) di kebun-kebun merica.
Bumbu penyedap lain disekitar kehidupan para petani
merica adalah meningkatnya pencurian merica. Tindakan kriminalitas seperti
terorganisir dan cenderung nekat. Mereka dapat merampok puluhan karung merica
yang siap jual. Kondisi ini sepertinya melibatkan jaringan mafia yang
beroperasi malam hari mulai level pelaku lapangan yang mungkin pada siang hari
bekerja buru tani (keterlibatan orang dalam), jasa angkutan motor danau dan
mobil pengangkut, kemudian penada. Sepertinya pola pemulung besi tua yang melibatkan orang dalam
di perusahaan berpindah ke lahan perkebunan merica.
Pedisnya
Aroma Bumbu Merica Tetangga
Persekutuan Oikumene
Umat Kristiani (POUK) Jemaat Wawondula terbangun sekitar tahun 1976, dan adalah
persekutuan umat dari latar belakang organisasi gereja yang beragam. Keberadaan
POUK ini terkait kehadiran perusahaan PT INCO yang bergerak di sektor
eksplorasi pertambangan nikel. Jauh sebelum keberadaan POUK di wilayah
Malili-Nuha yang menjadi kawasan konsesi pertambangan, sejak tahun 1914 dimulai
usaha Pekabaran Injil dan pembangunan sekolah-sekolah dasar oleh lembaga
pelayanan gereja yang berkedudukan di Poso. Usaha pelayanan ini menghasilkan
sejumlah persekutuan jemaat, yang secara organisasi menjadi bagian dari
pelayanan Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). Periode 1950-1965 terjadi
kondisi mengenaskan kehidupan jemaat yang juga bagian dari keprihatinan seluruh
masyarakat saat wilayah ini menjadi salah satu basis perjuangan Darul Islam –
Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Kemudian arus balik kehidupan mulai membaik
sejak dimulai usaha eksplorasi pertambangan Nikel 1967 yang berlangsung hingga
sekarang.
Kembali pada cerita petani merica yang relevan dijadikan
sebagai konteks panggilan menggereja yang terkait beberapa keprihatinan. Pertama, seperti
telah lazimnya bahwa posisi warga gereja senantiasa terlambat berpartisipasi;
juuga untuk berkebun merica. Saat sekelompok masyarakat mengalami perubahan
derastis dengan segala fasilitas modern, warga gereja masih pada level petani
tradisonal yang sekadar bertani untuk bertahan hidup. Kedua,
gelombang ratusan bahkan ribuan buruh tani, khususnya keberadaan warga NTT yang
nota bene adalah warga gereja, yang bekerja pada pemilik-pemilik kebun nyaris
tidak mendapat perhatian pelayanan dari gereja. Keberadaan POUK, ibarat
perawatan kecantikan, masih pada tahap menikmati keindahan dirinya. Sepertinya
ini agenda POUK untuk menjadikannya sebagai persekutuan yang misioner. Dua hal
di atas yang mendorong saya mengapresiasi peran kawan Pendeta Yeheskiel Nari
Toding yang aktif mendorong warga gereja untuk berkebun merica sekaligus ia
menjadi petani. Pengalamannya yang pernah menjadi Pelayan jemaat di POUK, dan
mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Luwu Timur, serta kini menjadi
petani dapat diliat dalam dua gerakan kepedulian. Pengalamannya sebagai orang
yang pernah bekerja sama dengan pemerintah sehingga memudahkan bagi berkomuikasi
dan menjadi pengantara program kebijakan pemerintah daerah bagi petani dan pada
level akar rumput terlibat langsung mengajak warga gereja bersama-sama bertani. Ketiga, tantangan
panggilan menggereja menghadapi gelombang pendatang buruh tani yang
kelihatannya bagian terbesar adalah warga gereja. Antara lain: buruh tani dari
provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Mamasa, Tana Toraja, Rongkong, sebagian
dari Morowali (Beteleme). Mereka berasal dari daerah yang pernah memiliki
pengalaman konflik kekerasan dan kemungkinan datang dengan perasaan trauma,
hidup berkelompok menurut identitas primordial etnik dan agama. Persoalan
kursial bahwa dari perspektif relasi kuasa,
modal dan agama warga
gereja dalam posisi rentan dimanfaatkan masuk dalam pusaran konflik agraria.
Teriring Salam bersama
pesona bumbu merica.
Asyer Tandapai,
mahasiswa S-3 Anthropologi UNHAS, pendeta GKST