|
Delegasi DPD PERUATI Sulsel |
Pengalaman OASE INTIM
Disampaikan pada Semiloka Rekonstruksi Teologi Feminis PERUATI, di Tangmentoe, Rantepao, Toraja Utara, 13 September 2016
Zakaria J. Ngelow
Pengantar: Pengalaman dan Pemikiran
Pengalaman bukan apa yang terjadi
pada seseorang. Pengalaman adalah apa yang seseorang lakukan terhadap apa yang
terjadi padanya. (Aldous Leonard Huxley).
Para pemikir menekankan bahwa pengalaman membentuk pandangan
orang. Experiences shape people thought.
Sebelum beberapa catatan mengenai pengalaman Oase, sedikit catatan mengenai
pengalaman saya sendiri dalam perjalanan pelayanan gereja di dunia akademis,
yang tentu juga mewarnai aktivitas saya di Oase. Studi saya di Makassar pada
tahun 70-an berlangsung di masa peralihan pemikiran teologi yang masih berpusat
di Barat namun sedang menyaksikan kebangkitan teologi yang khas di benua-benua
lain. Berbagai teologia muncul dalam kepustakaan teologia masa itu: teologia
pembebasan di Amerika Latin, black theology, African theology, teologia
feminis, teologia Asia, dsb. Nama-nama para teolog besar asal Eropa dan Amerika
Utara sejak sebelum dan sesudah PD II masih menghiasi halaman buku-buku
teologi. Tetapi nama-nama besar dari “dunia ketiga” – suatu istilah blok
politik global masa itu -- khususnya
dari Asia mulai bermunculan: Choan Seng Song, Kosuke Koyama, Kim Yong Bok,
Aloysius Pieris, Marianne Katoppo, Kwok Pui Lan, dll. Saya masih membaca
teologi Barat, sekalipun ada peralihan dalam bidang kajian saya ke sejarah
Gereja sejak program Sarjana Muda Theologia (1976). Pada tahun 1985, selama tiga minggu saya
mendapat kesempatan menghadiri lokakarya di Kyoto (Jepang), angkatan ke-3 dari
program “Doing Theology with Asian Resources” bertajuk “Doing Theology with
History as People’s Movement”. Pada kesempatan itu saya berusaha sedapatnya
memahami apa dan bagaimana Teologia Asia, dari para fasilitator: Choan Seng
Song, Kosuke Koyama, Kim Yong Bok, Aruna Gnanadason, John England, dll. Saya pikir
ide-ide mereka bukan hanya menarik, tetapi seharusnya menjadi pola berteologi
secara baru untuk konteks Indonesia. Pengalaman ini mengubah haluan teologi
saya ke apa yang kini dapat disebut secara luas sebagai teologi kontekstual.
Tak lama kemudian saya memasuki babak pengalaman kedua,
ketika melakukan studi dan penelitian di negeri Belanda pada tahun 1989-1990
mengenai sejarah Kekristenan Indonesia pada zaman pergerakan nasional. Ada dua hal
terkait. Yang pertama, menggumuli tempat sejarah gereja sebagai bagian dari
ilmu sejarah, khususnya sejarah masyarakat (dan dengan menekankan sejarah dari
bawah: peran warga, bukan hanya para pemimpin). Pertanyaan dasarnya: apa yang
dilakukan gereja (=komunitas Kristen) menghadapi dunia dan tantangan zamannya?
Sebab itu saya memilih meneliti bagaimana orang Kristen berhadapan dengan
pergerakan nasional untuk kemerdekaan Indonesia. Yang kedua, pentingnya
merevisi pemahaman Gereja terhadap agama Islam dan hubungan dengan umat Islam,
dan agama-agama pada umumnya. Ini terutama karena pergaulan dengan Th.
Sumartana (alamarhum), yang sedang merampungkan studi doktornya sambil menggagas pembentukan DIAN-INTERFIDEI
ketika itu. Kalangan zending mewariskan suatu cara pandang tertentu terhadap
agama Islam (dan agama-agama lainnya), yang menjadi salah satu faktor yang
menempatkan orang Kristen dalam hubungan-hubungan konflik, khususnya dengan
Islam. Sumartana menekankan pentingnya melanjutkan peran T.B. Simatupang dengan
penekanan yang baru, yang lebih terbuka dan saling menghargai bahkan kerja
sama. Pengalaman ini membawa saya pada aktivitas di bidang interfaith.
Hidup sebagai kelompok terpelajar di bagian kedua abad ke-20
dan memasuki abad ke-21 mau tak mau perlu mengenal dan mengembangkan keterampilan
memanfaatkan ICT, yang saya jadikan sebagai suatu keniscayaan (bersama
kemampuan membaca materi berbahasa Inggeris) bagi para pemimpin gereja abad
ke-21, dkl. wajib hukumnya bagi para mahasiswa teologi (dalam kelas saya). Pada
intinya, information is power, dan
teknologi (dhi information and
communication technology, ICT) adalah suatu alat maha dahsyat di kalangan
orang kaya, pandai, dan berkuasa untuk menindas dan meng-eksploitasi; sebab itu
di dalam kehidupan Kristen teknologi ini harus dibalik arahnya menjadi sarana
pemberdayaan dan pelayanan. Demikianlah di kampus kami al. mengembangkan beberapa
aplikasi ICT, termasuk pengembangan materi belajar dari sumber-sumber belajar
online (daring) dan sarana pembelajaran. Saya membanggakannya bahwa memasuki
abad ke-21 kami membawa kampus kami ke dalam era teknologi digital.
Mengenal Oase
Di masa yang sama suatu perkembangan lain terjadi di kampus.
Penekanan pada teologi kontekstual, yang mengubah teologi dari urusan studi
teks ke pentingnya studi konteks, antara lain memerlukan orang-orang yang mahir
memahami berbagai kenyataan di lapangan, khususnya para antropolog dan
sosiolog, yang bekerja sama dengan para teolog membimbing mahasiswa di dalam
kelas maupun di lapangan. Beberapa teman muda dari dalam dan luar negeri
bergabung sebagai staf dosen, yang kemudian menjadikan studi lapangan sebagai
bagian penting dari studi teologi. Sejumlah dosen sepakat melembagakan kegiatan
itu sebagai suatu jaringan pada tahun 2005, untuk menjadi sarana pengembangan
teologi kontekstual, yang menghubungkan kenyataan gereja/masyarakat dengan
dunia akademik di kampus. Sebab itu predikat Oase Intim pada mulanya adalah “Jaringan
Teologi Kontekstual bagi Pendidikan dan Praksis Teologi Kristen di Indonesia”. Jaringan
kegiatan ini kemudian dilembagakan menjadi -- Lembaga Pemberdayaan Praksis
Pelayanan dan Kajian Teologi Kontekstual Indonesia Timur -- dan berfungsi
sebagai wadah untuk bergiat secara positif daripada menghabiskan waktu dan
energi berkonflik yang terjadi di kampus waktu itu. Tetapi solusi damai ini direspon
fihak Yayasan dengan pertunjukan kekuasaan, sehingga kelompok kami (8 dari 16
dosen tetap) meninggalkan kampus, dan mengubah Oase menjadi yayasan, sesuai UU.
Nama Yayasan Oase Intim (2006) kami pakai dengan alasan tertentu. Oase karena
kami menawarkan program penyegaran dalam perjalanan di gurun pelayanan gereja;
dan Intim karena kami terhubung dengan sejumlah gereja di Indonesia bagian Timur.
Bentuk-bentuk pelayanan Oase adalah pelatihan, lokakarya, seminar, dan
penerbitan. Dan kami menyitir sebagai ayat inspirasi Yesaya 12:3, Maka kamu akan menimba air dengan kegirangan
dari mata air keselamatan.
Dalam pelaksanaan, pelayanan Oase membantu para pelayan gereja
di lapangan mengembangkan pemikiran-pemikiran kritis konstruktif terkait
kehidupan dan pelayanan gereja. Dalam pembekalan (pembinaan) para pejabat
gereja (diaken, penatua, pendeta) dipakai MSK (Metode Studi Kasus), yang juga
dikenal sebagai Metode Lingkaran Pastoral. Dan karena para peserta adalah para
pejabat gereja yang sudah berpengalaman dalam pelayanan, makan penting juga penekanan
pada metode pembelajaran orang dewasa (andragogi). Jadi fokus kegiatan Oase
adalah capacity building, khususnya
pengembangan wacana dan pembekalan SDM, yang diungkapkan dalam motto “Mengembangkan
Teologi Kontekstual, Membina Pelayanan Lokal”.
Selain itu Oase juga menekankan pendekatan pembelajaran yang
kontekstual, holistik, dan partisipatif.
Kontekstual adalah bertolak dari kebutuhan komunitas dalam konteksnya.
Holistik mencakup aspek-aspek kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan
praksis sosial. Sedangkan partisipatif karena menganggap setiap orang atau
komunitas mepunyai potensi dan pengalaman yang bermanfaat bagi pembelajaran
bersama.
Metode Kontekstual
MSK yang disebut di atas adalah empat langkah dalam
pelayanan gereja/masyarakat:
1. Deskripsi:
Pertanyaan kunci: Apa yang terjadi?
Deskripsi artinya menggambarkan dengan jelas. Pada langkah ini kita melihat,
mendengar, dan menggambarkan kasus itu apa adanya. Di sini semua fakta-fakta
yang harus diketahui untuk memahami dan menanggapi situasi kasus dikemukakan.
Hal-hal yang bersifat penafsiran atau kesimpulan penulis dihindari. Kalau
informasi mengenai kasus sudah cukup jelas dan lengkap baru kita maju ke
langkah yang berikut.
2. Analisa:
Pertanyaan kunci: Mengapa terjadi
begitu? Analisa berarti uraian. Pada langkah ini kita menguraikan kasus untuk
memperdalam pemahaman kita tentang faktor-faktor dan sebab-sebab yang
mempengaruhi kejadian atau situasi yang dihadapi. Bagaimana pandangan,
perasaan, dan motivasi dari pelaku-pelaku dalam kasus ini? Apakah ada pengaruh
dari keadaan-keadaan ekonomis, sosial, atau adat-istiadat yang memainkan peranan?
Di manakah terletaknya masalah atau pokok yang paling penting untuk
diperhatikan oleh gereja atau pelayan?
3. Interpretasi:
Pertanyaan kunci: Apa artinya dari
segi iman Kristen? Interpretasi artinya penafsiran. Dalam langkah ini kita coba
memberikan pendapat kita sendiri tentang kasus sesuai dengan iman dan pemahaman
theologis yang ada pada kita. Kita membuka sebuah dialog di antara
peristiwa-peristiwa dalam kasus dengan tradisi/iman Kristen. Sumber-sumber
pemahaman dari Alkitab, sejarah dan ajaran gereja, penggembalaan, dan etika
Kristen diangkat untuk menerangi kasus dan melandasi pendirian kita. Bagaimana
iman kita dapat menanggapi kasus ini? Dan sebaliknya, bagaimana kasus ini dapat
memperdalam atau memperluas pemahaman kita tentang iman Kristen?
4. Perencanaan Aksi Pastoral
Pertanyaan kunci: Apa yang bisa
dibuat? Berdasarkan tiga langkah sebelumnya, kita merencanakan aksi (tindakan)
yang dapat melayani orang-orang, kelompok-kelompok, lembaga-lembaga, atau
struktur-struktur masyarakat yang terlibat dalam kasus. Tugas perencanaan ini
bukan saja menyangkut dengan tindakan-tindakan yang tertentu tetapi juga
termasuk dasar, patokan, dan tujuan yang hendak dicapai. Dasar-dasar pastoral
ini bertolak dari pemahaman yang dihasilkan oleh analisa kita bersama bimbingam
yang kita peroleh dalam langkah interpretasi. Berdasarkan semuanya itu,
pendekatan pastoral yang bagaimana yang paling baik untuk menjawab permasalahan
dalam kasus ini?
Dalam Metode Lingkaran Pastoral keempat langkah di atas lazimnya
disebut Pengalaman, Analisis, Refleksi dan Respon. [Selengkapnya mengenai MSK
klik di
http://oaseonline.org/msk.html]
Dalam pengalaman pelayanan Oase, langkah pertama
mengidentifikasi pokok(-pokok) permasalahan melalui diskusi atau sharing
pemahaman dan/atau pengalaman dengan para peserta di awal kegiatan. Secara
teoritis, dalam berteologi kami mulai dengan konteks (pengalaman) bukan teks
(Alkitab). Proses selanjutnya analisis dengan memberi perhatian pada berbagai
aspek terkait. Peter Henriot memberi penekanan pada berbagai struktur dalam suatu
analisis sosial: struktur ekonomi, politik, sosial, gender, ekologikal,
kultural, dan religius, dengan memperhatikan secara kritis siapakah yang
diuntungkan dalam struktur-struktur yang ada.
Dalam urutannya, teks baru muncul ketika pengalaman dan
analisisnya direfleksikan untuk menemukan apa keyakinan iman dan/atau prinsip
moral-etik Kristen yang terkait. Misalnya dengan memakai berita Injil Kerajaan
Allah menjadi patokan, di mana keadilan, perdamaian dan kehidupan menjadi
kriteria. Dan dari situ respon berupa tindakan pastoral atau program komunitas
dapat digariskan.
Di Oase berkumpul beberapa orang yang berkomitmen terhadap
teologi kontekstual. Tentu ada perbedaan penekanan, namun kami sama serius
mengembangkan teologi kontekstual. Jika memakai model-model klasik Stephen Bevans
(1992), Oase umumnya mengikuti model praksis (teologi pembebasan), dan model
antropologikal, yang masing-masing berkaitan dengan perubahan sosial dan
kebudayaan. Dan sesuai definisi awal Bevans, teologi kontekstual adalah
berteologi dengan mempertimbangkan Injil dan tradisi Kristen terkait dengan
pengalaman kebudayaan dan perubahan sosial tertentu.
Dalam perumusan yang baru Bevans menempatkan pengalaman masa
lalu (yang terekam dalam Alkitab dan di dalam ajaran Gereja) dalam dialog
kritis dengan pengalaman masa kini dalam suatu konteks tertentu (pengalaman
pribadi dan komunal, kebudayaan “sekuler” atau “Religius”, lokasi sosial dan
peribahan sosial). Dalam suatu ceramah,
Bevans mengutip rumusan baru dalam edisi kedua (2002) buku klasisknya, Models of Contextual Theology:
… contextual theology is a way of
doing theology that takes into account, or we could say puts in a mutually
critical dialogue, two realities. The first of these is the experience of the
past, recorded in Scripture and preserved and defended in the church’s
tradition. The second is the experience of the present or a particular context,
which consists of one or more of at least four elements: personal or communal
experience, “secular” or “religious” culture, social location, and social
change. [Stephen Bevans, "What Has Contextual Theology To Offer To The
Church Of The 21st Century? Mission in Context Lecture Church Mission Society,
Oxford October 15, 2009" online di [http://www.jamesclarke.co/pub/contextual%20theology%2021c%20ch1.pdf]
Dalam hal ini konteks (pengalaman kebudayaan dan perubahan
sosial) sama sucinya dengan teks (Kitab Suci dan ajaran gereja), dalam arti bersama-sama
menjadi sumber wahyu Ilahi: makna teks difahami melalui kenyataan konteks.
Tetapi juga dalam hal ini faktor normatif wahyu Allah dalam Kristus tetap
penting menjadi acuan berteologi, karena kenyataan dan analisisnya
direfleksikan dalam norma-norma Injil Kristus mengenai Kerajaan Allah: misalnya
melalui wacana keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
Perlu juga membedakan teologi kontekstual dengn
kontekstualisasi teologi. Yang pertama otentik dibangun dari dalam konteksnya,
sedangkan kontekstual teologi adalah upaya mengadaptasi suatu teologi yang
dikembangkan di suatu konteks ke dalam konteks yang lain. Teologi feminis dapat
merupakan teologi kontekstual, bisa juga merupakan kontekstualisasi teologi.
Beberapa pengalaman Oase
Beberapa gereja melibatkan kami dalam revisi Tata Gereja.
Pendekatan yang kami lakukan adalah meminta sejumlah orang pilihan dari gereja
tersebut (umumnya pejabat gereja senior dan perlu ada beberapa orang perempuan)
sebagai Tim Kerja. Selanjutnya kami menyelenggarakan suatu lokakarya Revisi Tata
Gereja, dengan mengundang stake holders gereja, untuk mendengarkan apa pandangan
mereka mengenai gereja (eklesiologi), atau harapan mereka terhadap gereja (visi);
dan dalam kaitan itu apa yang perlu dibenahi dalam kehidupan gereja. Umumnya
dalam proses ini berlangsung pencerahan, dari sekedar memahami gereja sebagai
“persekutuan orang percaya kepada Yesus Kristus” menjadi suatu pemahaman
eklesiologi yang lebih komprehensif, dan dari pemahaman mengenai tata gereja
sebagai peraturan organisasi menjadi “teologi dalam bahasa peraturan”.
Karena warga gereja adalah juga warga berbagai komunitas
sosial, maka tak terelakkan terjadi interaksi nilai-nilai dari komunitas yang
berbeda-beda. Di sini penghayatan mengenai gereja akan menentukan bagaimana
gereja berada di tengah-tengah berbagai komunitas lain (komunitas adat,
komunitas bisnis, komunitas PNS, korps militer, dsb). Pendekatan di zaman
zending menekankan gereja sebagai suatu pilihan baru yang tidak boleh tunduk
melainkan bertahan dan berusaha mempengaruhi budaya komunitas yang lain. Dalam
pendekatan kontekstual, bukan terutama gereja sebagai persekutuan yang menjauh
dari kehidupan sosial (= keluar dari kaum), melainkan yang berinteraksi dalam
proses saling pengaruh, terutama dengan menyumbangkan transformasi nilai-nilai
dalam kehidupan bersama. Peran Tata Gereja dalam hal ini adalah memberi acuan
bagi pelayan dan warga gereja untuk menghidupkan dinamika gereja menjalankan
misi dan mewujudkan visinya.
Salah satu yang menantang dalam kaitan ini adalah ketegangan
antara posisi dan fungsi para pejabat gereja. Kekristenan lahir dari haribaan
Yudaisme, yang mengenal para pejabat agama (imam, nabi, rabbi, dsb) sebagai
kelompok khusus dalam masyarakat. Sejarah gereja di Barat (Roma Katolik,
Ortodoks) mengembangkan jabatan gereja menjadi suatu hirarki sakramental,
tetapi para Reformator Protestan menggagas imamat am orang percaya, sebagai
perspektif untuk memahami jabatan gereja. Dan Calvin secara khusus
mengembangkan sistim presbiter, jabatan gereja yang terdiri atas pendeta,
penatua, guru dan kemudian diaken. Sebagai reaksi terhadap jabatan
hirarkis-sakramental Roma Katolik jabatan-jabatan presbiter ini fungsi bagi
pelayanan gereja yang berbeda, bersifat kolegial dan temporer. Namun dalam
masyarakat Indonesia di mana gereja-gereja Protestan bertumbuh umumnya sebagai
gereja suku, tak terelakkan pengaruh struktur sosial budaya suku dalam gereja. Dan
sangat penting juga pengaruh struktur hirarkis Gereja Protestan Hindia Belanda
(Indische Kerk) gereja dalam kebanyakan gereja di Indonesia. Bagaimana
sebaiknya gereja mendialog hal ini? Para pemimpin gereja perlu secara sadar
mengembangkan kepemimpinan kolegial dalam jemaat, dan berusaha memberdayakan
setiap orang dan memberinya peran dalam pengembangan kehidupan bersama, serta
memperkuat pelaksanaan demokrasi dalam gereja (namun tetap sadar akan hakekat
Kristokrasi, bukan demokrasi, dalam gereja).
Pengalaman lain menyangkut pengembangan pemahaman Perjamuan
Kudus. Sharing pengalaman dan pemahaman memperlihatkan variasi pemahaman yang
hidup dalam jemaat, bahkan di kalangan para pendeta. Analisis budaya keagamaan
memperlihatkan kuatnya pemahaman magis-mistik di antara warga jemaat terhadap
Perjamuan Kudus. Ini terkait dengan warisan tradisi Gereja Katolik di kalangan
Kristen Maluku sebelum mereka “dialihkan” menjadi warga Protestan pada zaman
VOC tetap hidup dan nampaknya ikut tersebar bersama para guru asal Maluku yang
membantu badan-badan zending dalam pekabaran Injil. Selain itu, setiap suku
punya tradisi magis-mistiknya, yang dapat disebut pola-pola dasar dalam
religiositas mereka, yang turut membentuk cara mereka memaknai roti dan anggur
dalam Perjamuan Kudus. Perumusan doktrin dapat dilakukan dengan baik menentang
faham-faham yang dianggap keliru, namun bagaimana mengubah penghayatan warga? Ada
dua hal yang perlu dihindari di sini, yaitu rasionalisasi berlebihan terhadap
agama, dan sebaliknya di fihak lain tidak melakukan kompromi yang tidak kritis terhadap
budaya keagamaan. Kita bisa belajar dari “agama Ambon”, yakni perpaduan agama
Kristen dengan tradisi keagamaan lokal Maluku. Gereja menetapkan ajaran dan
pelayanan sesuai yang baku, namun warga menjalani kehidupan beragama sesuai
dengan tradisi yang mereka alami dalam keluarga dan masyarakat. Orang lebih
beragama dengan hatinya (perasaannya), daripada dengan pemikirannya. Sementara
masyarakat moderen yang mengunggulkan pemikiran rasional dapat kehilangan penghayatan
terhadap yang transenden. Tentu secara kritis juga. Menjawab pertanyaan seorang
warga, bolehkah memberi sesajen kepada dewi sungai ketika ada bencana banjir?
Saya menjawabnya dengan mengingat wejangan Rasul Paulus mengenai makanan yang
dipersembahkan kepada berhala (1 Kor 8): Pikirkanlah mana yang lebih tepat,
melarang hal itu sebagai kekafiran, atau mengajak warga melakukannya bersama
dengan memperjelas makna dan mempertegas alamat sesajen, yaitu sebagai tanda
penyerahan diri kepada Allah Bapa, Sang Pencipta semesta dan Pemelihara
kehidupan.
[Pengurus Oase, Aguswati Hildebrandt Rambe, menulis disertasi di bidang teologi lintas
budaya mengenai tradisi kematian orang Mamasa dan orang Sumba. Lihat Aguswati
Hildebrandt Rambe, Keterjalinan dalam
Keterpisahan. Mengupaya Teologi Interkultural dari Kekayaan Simbol Ritus Kematian
dan Kedukaan di Sumba dan di Mamasa. Makassar, Oase Intim, 2014]
Sementara sejumlah gereja berusaha menghidupkan Katekismus
Heidelberg sebagai bahan pengajaran Kristen, Oase mendorong gereja-gereja untuk
melakukan pendidikan Kristen yang kontekstual, dan menyarankan supaya
pendidikan (didache) dipentingkan
sebagai salah satu panggilan gereja, bersama peribadahan (leitourgia) dan penatalayanan (oikonomia)
ditambahkan kepada panggilan gereja yang lazimnya dikenal hanya sebagai
tripanggilan (koinonia, marturia,
diakonia). Katekismus Heidelberg dikembangkan dalam suatu konteks
pengembangan Reformasi Reform (Calvinis) berhadapan dengan berbagai tantangan
gereja masa itu, baik menghadapi Gereja Katolik Roma maupun Reformasi Radikal
dan aliran-aliran Kristen lainnya. Buku ini dapat dipelajari sebagai rujukan,
namun tidak cocok menjadi buku pegangan pengajaran, baik isinya maupun
bentuknya.
Pendidikan Kristen kontekstual memberi perhatian pada para
pembelajar, materi pelajaran dan metode pembelajaran. Khusus jemaat-jemaat
pedalaman, penting mempertimbangkan urbanisasi dini kaum muda, supaya mereka
sudah punya bekal keimanan sebelum merantau. Dan daripada sibuk menghapal anak-anak
Yakub atau murid-murid Yesus, mereka perlu diperkenalkan bagaimana menjadi
orang Kristen dalam dunia moderen, dan apa saja tantangan-tantangan nyata bagi
hidup dan iman mereka: narkoba, trafficking, korupsi, kekerasan, dsb. Dan
daripada sarat dengan doktrin, penekanan moral-etis lebih relevan bagi
kehidupan iman mereka di tengah masyarakat majemuk, termasuk pencerahan
menyangkut politik, keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Di dalam jemaat
perlu dihidupkan diskusi-diskusi tematik membahas berbagai perkembangan,
seperti isu-isu sikap Kristen terhadap hukuman mati, LGBT, dsb.
Di bidang politik, Oase mendampingi beberapa gereja untuk memahami
politik, khususnya yang dijalankan dalam konteks Indonesia, dan membahas isu-isu
di mana gereja perlu menentukan sikap etis dengan tegas. Isu-isu yang muncul
al. money politics terbuka dan terselubung, eksploitasi simbol-simbol agama
(gereja) bagi kepentingan politik, termasuk pembatasan para pejabat gereja
dalam “politik praktis”. [Lihat buku Oase mengenai Teologi Politik: John
Campbell-Nelson dkk (eds), Teologi
Politik. Panggilan Gereja di Bidang Politik Pasca Orde Baru. Makassar, Oase
Intim, 2013]
Di antara pengalaman Oase berteologi dengan para pelayan
gereja di lapangan, masalah perkawinan salah satu yang sering memunculkan pokok
perdebatan. Nampaknya di kalangan gereja-gereja Protestan perkawinan
diperlakukan hampir seperti sakramen dalam Gereja Katolik. Pada satu fihak ini
hal yang baik untuk menghargai perkawinan di tengah melemahnya nilai-nilai
sakral perkawinan dalam dunia moderen. Tetapi ada tiga isu terkait yang masih
perlu terus digumuli. Antara lain dengan memperhatikan bahwa aturan-aturan
perkawinan dalam masyarakat tradisional dan agama-agama masih dalam setting budaya patriarkhi. Beberapa
pintu tertutup perlu diketuk. Pertama, pintu perceraian ketika perkawinan tidak
lagi dialami sebagai ikatan cinta kasih, melainkan kekerasan dan penodaan.
Kedua, pintu pernikahan baru bagi orang yang bercerai hidup. Gereja seharusnya
mengikat dan memberkati perkawinan warganya, juga yang pernah gagal dalam
perkawinan sebelumnya. Ketiga, pintu perkawinan pasangan beda agama. Dan yang
terakhir, sebaliknya menutup rapat pintu bagi perkawinan di bawah umur. Ada suku-suku
tertentu yang terus menjalankan perkawinan remaja. Ada juga yang melakukannya
karena kehamilan dini. Gereja harus lebih serius “menertibkan” warga jemaat
terkait pernikahan di bawah umur ini.
Oase juga menyelenggarakan seminar, lokakarya dan penerbitan
buku, al. Teologi Bencana, Teologi Politik, Teologi Tanah. Selain Focus Group
Discussion (FGD) dekade lalu, kami juga turut memperkenalkan metode World Café
Discussion dalam semiloka untuk mengembangkan pemahaman bersama atas topik yang
dibahas. Kami sengaja memilih topik yang sedang menjadi pergumulan dalam gereja
dan masyarakat secara luas, dengan maksud mendukung perluasan wacana
(pencerahan) di kalangan pemikir-pelayan gereja dan masyarakat Kristen umumnya.
Buku-buku Oase ditulis secara populer untuk dapat dibaca banyak kalangan.
Catatan Penutup
Demikianlah beberapa pengalaman Oase dalam pengembangan
teologi kontekstual. Kiranya jelas bahwa Oase berusaha mendorong para pelayan
gereja di akar rumput untuk melaksanakan tugas-tugas pastoralnya dengan
bersikap positif terhadap kebudayaan, dan kritis terhadap perubahan sosial
(kurang lebih mengikuti model antropologi dan praksis Bevans).
Seperti yang sudah umum kita ketahui, teologi kontekstual
tidak berhenti sebagai wacana. Dalam MSK atau Lingkaran Pastoral teologi
dilanjutkan dengan tindakan. Sebab itu juga Oase mendorong supaya aktivitas
ritual yang menyita banyak waktu dan dana gereja, perlu diletakkan sebagai
refleksi teologis (langkah ke-3), yang perlu dilanjutkan ke tindakan pastoral
atau tindakan pelayanan yang mengubah, membarui atau membebaskan.
Sumbangan Oase bukan terutama dalam merintis arah atau cara
baru dalam (ber)teologia kontekstual, melainkan lebih dalam turut memperluas
kesadaran akan teologi kontekstual dan mengaitkannya dengan isu-isu pelayanan
gereja di akar rumput. Dan tentu kami berusaha untuk relevan dalam hal
mengangkat isu-isu yang dihadapi komunitas setempat. Buku-buku yang diterbitkan
Oase lebih merupakan dokumentasi dalam proses itu. Teologi Tanah (Oase Intim, 2015), misalnya, adalah respon kami
terhadap ketidak adilan sosial dan ekologis akibat land grabbings yang makin marak di Indonesia.
Makassar, 11 September 2016