Zakaria J. Ngelow – berasal dari Seko dan
bangga sebagai orang Seko
Ethnic identity is defined as a
sense of belonging based on one's ancestry, cultural heritage, values,
traditions, rituals, and often language and religion. Identitas suku didefinisikan sebagai
rasa memiliki berdasarkan pada kesamaan leluhur, warisan budaya, nilai-nilai,
tradisi, ritual, dan seringkali bahasa dan agama seseorang. [International
Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (Second Edition), 2015]
Ciri-ciri
Beberapa waktu lalu dalam WAG Seko Diaspora
sempat ramai diperdebatkan tentang identitas kesukuan orang Seko. Apakah
orang Seko salah satu
suku di antara suku-suku yang ada di pulau Sulawesi? Apakah
orang Seko termasuk suku Toraja? Pertanyaan-pertanyaan dapat dijawab secara subyektif dengan ya
atau tidak, tergantung pada pendapat setiap orang, tentu dengan argumentasinya. Dalam tulisan singkat ini identitas kesukuan
orang Seko akan ditinjau
dengan lebih obyektif, dengan terlebih dahulu memahami apa itu suku, dalam hal
ini apa ciri-ciri pokok suatu kelompok masyarakat yang disebut suku. Para ahli sosiologi
dan antropologi dan psikologi mengajukan
pandangan yang berbeda-beda mengenai hakekat suku. Namun mereka umumnya sepakat pada beberapa
ciri pokoknya: kesamaan
ciri fisik (sering dianggap keturunan dari satu nenek moyang yang sama);
kesamaan bahasa yang digunakan; kesamaan kebudayaan (kesamaan dalam hal
sejarah, bahasa, adat istiadat dan tradisi); dan adanya wilayah tradisionalnya. Penting juga mencatat bahwa para ahli
umumnya sependapat bahwa identitas suku bersifat bentukan sosial, bukan biologis.
Artinya, suatu suku tidak secara alami lahir dan ada dalam masyarakat, melainkan
terbentuk oleh berbagai faktor sejarah, seperti sosial, ekonomi, budaya, ekonomi, politik, dan agama.
Tanah Seko
Orang Seko berasal dari daerah Seko, daerah
yang terletak di jantung pulau Sulawesi, di dataran tinggi (1.200 – 1.800 m
dpl), di perbatasan tiga provinsi, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan
Sulawesi Tengah. Ada wacana pemerintah membangun jalan raya menghubungkan
ketiga propinsi ini melalui Seko. Gunung tertinggi adalah gunung Kambuno (2.950
mdpl). Dari Seko mengalir sungai Betue dan sungai Uro ke arah Barat, menyatu
dengan sungai Karama di Kab. Mamuju dan bermuara di Selat Makassar. Setelah
sebelumnya digabung dengan daerah Rongkong dalam Kecamatan Limbong, Kab. Luwu
(sebelum dimekarkan) sejak tahun 2005 berdiri sendiri sebagai Kecamatan Seko di
Kabupaten Luwu Utara. Jumlah penduduknya sekitar 13 ribu orang di 12 desa. Diperkirakan
terdapat juga belasan ribu orang Seko di luar Seko, akibat pengungsian dan
perantauan. Selain agama Kristen, terdapat juga orang Seko beragama Islam. Hasil-hasil
pertaniannya adalah beras, kopi dan kakao. Transportasi darat ke Seko masih
sangat sulit. Transportasi udara dilayani penerbangan perintis dari Masamba ke
Eno, pusat kecamatan Seko.
Asal-usul
Salah satu cara masyarakat
tradisional mengidentifikasi dirinya adalah dengan mitos atau legenda asal-usul yang diriwayatkan dari generasi ke
generasi. Disebutkan bahwa moyang orang Seko adalah Tomessalu. Mungkin
ini sebutan yang menunjukkan bahwa leluhur itu datang menyusur sungai (dalam
hal ini sungai Karama) lalu
terus ke sungai Betue. Legenda lain menyebutkan tentang seorang bernama Bulu Pala’
dengan lima orang putera,
Tapadang, Tabalang, Tahoneang, Tayane, yang masing-masing mendirikan
kampung-kampung Padang (Hono), Amballong, Pohoneang dan Hoyane. Anak kelima
menjadi pandai besi, yang keturunannya menjadi pandai besi di kampung-kampung
saudara-saudaranya. Kisah lima bersaudara ini terkait dengan leluhur orang Seko Padang dan orang Seko (Tengah) yang bahasanya serumpun dengan bahasa
orang Panasuan, yang tinggal di sebelah
Barat Seko, di kaki gunung Sandapang, Kec. Kalumpang, Kab. Mamuju. Seko pada masa lalu penghasil
lempeng-lempeng besi yang diolah dari batu besi, yang ditambang di Seko (al. di
Sae dekat kampung
Amballong dan di Pebatuan, antara kampung Beroppa dan Kariango). Lempeng-lempeng besi itu
diangkut dengan kuda ke sungai Karama lalu dengan perahu ke pelabuhan Sendana
di muara, dan selanjutnya dipasarkan ke seluruh Nusantara untuk berbagai kebutuhan.
To Lemo
Selain kedua rumpun orang Seko Padang dan Seko Tengah, ada juga orang Seko
Lemo, yang bahasanya merupakan dialek bahasa Toraja. Asal-usulnya adalah
perpindahan sekelompok penduduk dari daerah Rongkong, ke Seko dan kawin-mawin
dengan orang Seko Tengah atau Seko Padang serta dengan orang Karama (tetangga sebelah Barat Seko di daerah
Kalumpang, Kab. Mamuju). Orang Rongkong sendiri dikisahkan berasal dari suatu
daerah bernama Lemo Tua (di daerah Kecamatan Walenrang, Kab. Luwu, sekarang).
Bahasa Toraja
Bahasa Toraja berpengaruh luas di
kalangan orang Seko oleh pendidikan dan penginjilan. Sekolah-sekolah yang
dimulai di Seko pada awal tahun 1920-an oleh Indische Kerk (Gwereja Protestan di Hindia Belanda) memakai
bahasa Toraja sebagai bahasa pengantar dan bahasa buku-buku pelajaran. Baru kemudian bahasa Melayu/Indonesia diajarkan
di sekolah-sekolah. Agama Kristen diperkenalkan kepada orang Seko dengan
memakai bahasa Toraja, termasuk terjemahan Alkitab dan nyanyian-nyanyian
gerejawi, khotbah dan
liturginya. Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Seko baru pada awal
tahun 2000-an. Terjemahan bahasa Seko Padang
surat-surat Perjanjian Baru 1
Tesalonika, 1 Timotius dan Titus diterbitkan pada tahun 2006, dikerjakan oleh suatu tim penerjemah di bawah
pimpinan Tom Laskowske, seorang ahli bahasa yang mendalami bahasa Seko.
Perjumpaan
Dari segi sejarahnya, selain
latar belakang orang Seko Lemo dari Rongkong/Lemo Tua, perkenalan dengan orang
Toraja (Rantepao/Makale) berlangsung melalui kedatangan orang Toraja membeli
kerbau di Seko, yang umumnya dibarter dengan budak. Ada pula perjumpaan orang
Seko dengan suku-suku tetangga di hutan ketika pergi berburu. Konon nama Seko
(berarti sahabat, teman) adalah sebutan dari fihak tetangga kepada orang Seko
melalui perjumpaan itu.
Dalam salah satu dongeng Toraja, dikisahkan tentang Salogang, seorang pemburu
dari Seko, yang kawin dengan Lambe’ Susu di Sesean, melahirkan puteri cantik
Lando Rundun, yang kemudian dipersunting seorang pangeran Bone. Yang lebih historis bukan hubungan
dengan orang Toraja melainkan dengan orang Badak dan orang Kulawi. Kedua suku
tetangga jauh di sebelah utara Seko ini terlibat peperangan dengan orang Seko,
karena mereka datang menyerang Seko.
Gereja Toraja
Sudah disebut di atas hubungan orang Toraja dengan orang Seko dalam sejarah
agama Kristen. Ds. H. J. van
Weerden (1899 - 1948),
pekabar Injil Gereformeerde
Zendingsbond (GZB),
suatu badan zending dari Belanda, memimpin resort Rongkong-Seko sejak 1928. Pada tahun 1947 Gereja Toraja dibentuk meliputi semua resort, termasuk
Resort Rongkong-Seko. Baru kemudian sejumlah jemaat di Seko pindah bergabung dengan GPIL
ketika sebagian jemaat Gereja
Toraja di Luwu mendirikan gereja Luwu itu pada tahun 1965.
Pengungsi Seko
Penting untuk mencatat bahwa hubungan yang
lebih akrab dan penuh persaudaraan dengan orang Toraja berlangsung pada tahun
1950-an ketika orang Seko mengungsi dari kekuasaan gerombolan DI/TII.
Kelompok-kelompok pengungsi dari Seko Lemo dan Seko Tengah, yang mengungsi ke
daerah Karama dan Karataun (sekarang Kec. Kalumpang, Kab. Mamuju) sebagiannya
terus ke Toraja dan hidup tersebar di banyak kampung, lalu akhirnya sekelompok
cukup besar menetap di Limbong Padang, daerah Rindingallo (Pangala’). Sebagian
dari mereka pindah ke daerah Seriti (Palopo Selatan) pada awal tahun 1960-an,
sebagian kembali ke Seko setelah Seko aman (sesudah 1965), dan sebagian tetap
tinggal di Toraja, sampai sekarang. Sejak masa pengungsian itu banyak anak-anak
Seko yang melanjutkan pendidikannya di Toraja. Dan banyak pula yang menikah
dengan orang Toraja. Masyarakat Seko Padang mengungsi ke utara, ke daerah
Kulawi, dalam beberapa rombongan
pelarian. Mereka kemudian dikumpulkan di Omu, sekitar 40 KM di sebelah selatan
kota Palu, pada tahun 1956. Puluhan pemuda Seko direkrut menjadi tentara di
Palu oleh seorang perwira TNI, asal Toraja, Komandan Kompi yang waktu itu
berpangkat Letnan Satu, Frans Karangan (beliau purnawirawan dengan pangkat
Brigadir Jenderal). Dan pada tahun 1963, ketika orang Seko yang sudah kembali
ke Seko diserang gerombolan DI/TII (setelah membunuh 30-an pemuka masyarakat
Seko), sekelompok tentara asal Toraja pergi ke Seko turut membantu pengamanan. Singkatnya,
di masa pengungsian persaudaraan yang erat dengan orang Toraja dialami orang
Seko.
Orang Luwu
Dalam sejarah politik, daerah Seko merupakan wilayah dari kadatuan
Luwu, sebagaimana juga Tana Toraja. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda
wilayah Tana Toraja menjadi onderafdeeling (=distrik) Makale dalam afdeeling
(=kabupaten) Luwu. Wilayah Seko masuk dalam onderafdeeling Masamba. Jadi
wilayah Seko tidak pernah masuk
dalam kesatuan dengan Toraja, kecuali sebagai salah satu resort pekabaran Injil. Secara sosial politik kerajaan Luwu pernah
berjaya, namun tidak
ada orang Luwu. Menurut
seorang ahli budaya Luwu, ungkapan “orang Luwu” (=wija To Luwu) bukan menunjuk pada
satu suku, melainkan belasan
suku yang ada di wilayah
yang pernah berada di bawah pemerintahan
kerajaan Luwu. Di
sebuah daftar tercatat antaranya “To Ugi (Bugis), To Ware, To Ala, To Raja, To
Rongkong, To Pamona, To Limolang, To Seko, To Wotu, To Padoe, To Bajo, To
Mengkoka”. Di masa lalu
ada fenomena “orang Luwu” yang beragama Islam mengaku orang Bugis dan
yang beragama Kristen mengaku sebagai orang Toraja.
Budaya
Dari segi kebudayaan, bahkan
orang Seko Lemo, yang jelas merupakan subsuku Toraja, tidak berkebudayaan
Toraja, misalnya tidak ada tongkonan (sistim rumpun keluarga berdasar
rumah leluhur), tidak ada tradisi “pesta” orang mati, serta bentuk-bentuk seni
budaya yang lazim di kalangan orang Toraja, seperti seni tari ma’gellu’, seni ukir
atau ma’badong (tarian dan nyanyian di acara duka).
Ada pun nilai-nilai budaya, sebagaimana masyarakat Sulawesi (Selatan-Barat-Tengah dan Tenggara) pada umumnya, orang Seko
terutama menjunjung kejujuran, keuletan dan kesetiakawanan, serta keberanian. Upacara yang penting dalam kehidupan
orang Seko dahulu kala adalah pesta panen. [Lihat tulisan J. Kruyt, “Ma’bua dan Moronno di Seko” dalam Masyarakat
Seko pada Masa
DI/TII.] Beberapa
kelompok masyarakat asli di daerah Sulawesi Barat, seperti orang Kalumpang di
lembah sungai Karama menolak disebut orang Toraja. Tetapi sesuai namanya, orang
Toraja Mamasa adalah orang Toraja, antara lain berdasarkan mitos asal-usul,
bahwa moyang mereka bernama Pongka Padang berasal dari Toraja.
Toraja Raya
Di atas telah dikemukakan bahwa
identitas suku tidak lahir secara alami melainkan dibentuk oleh dinamika sosial
dalam sejarah. Kedua pekabar Injil di daerah Sulawesi bagian Tengah pada akhir
abad ke-19, A.C. Kruyt (teolog, antropolog) dan N. Adriani (filolog), menyebut
seluruh masyarakat di pedalaman Sulawesi bagian Tengah -- al. Bada, Kaili,
Kalumpang, Kulawi, Mori, Mamasa, Pamona, Rampi, Rongkong, Toraja
(Rantepao-Makale), Seko -- sebagai suku Toraja, yang mereka bagi atas Toraja
Utara (Toraja Koro), Toraja Timur (Toraja Bare’e) dan Toraja Selatan (Toraja
Sa’dan). Penyebutan itu terkait dengan suatu impian membangun kesatuan
masyarakat Kristen di kalangan suku-suku di wilayah itu, yang pada akhir abad
ke-19 umumnya masih beragama suku (dianggap orang kafir). Tetapi kemudian
gagasan “Toraja Raya” (Grooter Toradja) itu tidak berkembang, baik
secara sosial-politik maupun gerejawi, sekalipun agama Kristen diterima secara
umum oleh masyarakat-masyarakat yang disebut Toraja oleh Kruyt dan Adriani.
Orang Poso (Pamona, Mori dll) tidak bisa “ditorajakan”, demikian juga orang
Kulawi dan Kaili.
Empat Suku?
Ada pernyataan bahwa di Sulawesi
Selatan (dan Barat) hanya ada empat suku: Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.
Ini juga suatu konstruksi sosial yang terkait dengan kepentingan politik dan
keagamaan. Dan orang harus tetap sadar bahwa generalisasi itu tidak serta merta
menghilangkan identitas sosial
kelompok-kelompok yang sekalipun kecil tetapi tidak dapat dilebur ke
dalam suku-suku besar itu. Sensus Penduduk tahun 2010 menemukan 1.331 suku
Indonesia, termasuk sub-subsuku. Suku-suku utama berjumlah 633 suku, dan
terbanyak di Indonesia bagian Timur. Sensus juga menemukan 1.158 bahasa daerah,
di antaranya bahasa Seko.
Persatuan Seko
Uraian di atas mencoba
mengemukakan secara singkat bahwa orang Seko mempunyai sejarah, bahasa, wilayah
dan budaya yang berbeda dengan suku-suku lain, termasuk dengan orang Toraja. Secara subyektif, terpulang
kepada orang Seko, yang tinggal di Seko maupun di rantau, untuk secara pribadi memilih
menegaskan identitasnya sebagai orang
Seko atau mengaku sebagai orang Toraja. Atau ikut pilihan orang Seko
peranakan Toraja sebagai "orang Seko suku Toraja". Secara obyektif jelas bahwa orang Seko suatu
identitas sosial-etnis tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat lainnya,
termasuk berbeda dengan orang Toraja. Dan dalam hubungan itu perlu dipertimbangkan
bahwa yang penting dewasa ini adalah memperkuat kesatuan dan persatuan
masyarakat Seko sebagai satu kelompok masyarakat tersendiri, sekali pun tetap terbuka
dalam interaksi positif dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, khususnya dengan
orang Toraja. Dalam hal ini sifat multikultural masyarakat Indonesia
dikedepankan, yakni persatuan dibangun di atas kepelbagaian, Bhinneka Tunggal
Ika. Persatuan tidak menghilangkan kepelbagaian. Maka identitas sebagai orang
Seko harus dijunjung bersama dengan penuh komitmen dan dalam getar kebanggaan,
seperti ketika menyanyikan Hymne Tanah Seko: “Tanah itu kucintalah selama
hidup”. Komitmen dan kebanggaan sebagai orang Seko akan berdampak positif bagi
kemajuan masyarakat Seko, di Seko dan di rantau. Maka kepada semua orang
Seko di mana pun,
janganlah malu mengaku sebagai orang Seko, dan besarkanlah Seko melalui sikap
terpuji, prestasi dan karya bhaktimu.
Beberapa Rujukan:
Ø Semua rujukan dari internet diakses
pada akhir Juni 2019.
“4 Ciri Ciri Suku Bangsa dan Penjelasannya”, online di https://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/ciri-ciri-suku-bangsa
“Chapter 11 Race and Ethnicity”, online di https://opentextbc.ca/introductiontosociology/chapter/chapter11-race-and-ethnicity/
“Daftar bahasa di Indonesia menurut BPS 2010”, online di https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_bahasa_di_Indonesia_menurut_BPS_2010
“Ethnic group”,
online di https://en.wikipedia.org/wiki/Ethnic_grouphttps://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja
“Mengulik Data Suku di Indonesia”, online di https://www.bps.go.id/news/2015/11/18/127/mengulik-data-suku-di-indonesia.html
“Suku Toraja”,
online di https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja
“Suku-Suku Sulawesi”, online di https://arkeologiriset.wordpress.com/2017/11/09/suku-suku-sulawesi/
“Toraja Bukan Anak Suku Luwu”, online di https://www.karebatoraja.com/toraja-bukan-anak-suku-luwu/
“Understanding Racial and Ethnic Differences in Health in Late
Life: A Research Agenda”,
online di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK24684/
Tutut Chusniyah dan Ardiningtiyas
Pitaloka, “Pengaruh Identitas
Nasional, Etnis dan Agama terhadap Multikulturalisme dalam menghadapi
Globalisasi di Indonesia”
online di http://fppsi.um.ac.id/?p=851
Zakaria J. Ngelow dan Martha Kumala Pandonge (eds.), Masyarakat Seko
Pada Masa DI/TII (1951-1965). Makassar: Yayasan Ina Seko, 2008.
Makassar, 1 Juli 2019
1 komentar:
Ulasan yang sangat bagus dan jujur hanya saja selain kesamaan bahasa perlu juga dilihat dari warisan budaya misalnya apakah disitu ada kepercayaan seperti Aluk To Dolo, Apakah ada pemakaman pemakaman di liang batu ? Saya kira kalau itu ada maka sudah hampir pasti orang Seko adalah Orang Toraja
Posting Komentar