http://www.iwandarmansjah.web.id/miscellaneous.php?id=288
Dibawakan di Forum Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (di-edit, 16 Juli 2007)
Sidang Paripurna, Gedung Graha Widya Bhakti, Puspitek, Serpong 17-18 Maret 2007
Introduksi
Fokus pembahasan saya ialah memberi wawasan baru untuk menciptakan pemerintahan yang baik melalui strategic planning, yang telah saya pelajari di FKUI sejak tahun 1997. Dengan dalih pengalaman pribadi ini saya membuat judul: ‘Creating Good Governance’. Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana sistem Strategic Planning untuk Government dan Nonprofit Organization dapat mereformasi suatu pemerintahan yang sedang diterpa berbagai kesulitan, misalnya dalam pendidikan atau kesehatan.
Berbagai acara talkshow televisi juga akhir-akhir ini membahas tentang banyak masalah governance yang berakhir dengan pertanyaan ‘bagaimana melaksanakannya’. Pak Soegeng Sarjadi di Q Channel setiap kali bertanya ‘How to do it?’ Mereka mengupas masalah sepertinya dengan ‘Why?, What?, Who?, When? ……. dan How? (to do it). Rupanya para panelis belum sadar (atau sudah?) bahwa ada sistem (kendaraan) yang dapat mengantar mereka ke bagaimana melakukannya dengan langkah pasti, yaitu melalui ‘Strategic Planning dengan loop-model’. Model ini berasal dari Amerika Serikat, terkenal di dunia, tapi sayang
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Toeti Herati yang telah menangkap bola ide ini sewaktu kami kebetulan harus menunggu di airport karena keterlambatan pesawat ke Yogya selama 3 jam lebih, sehingga saya dapat mendongeng mengenai strategic planning dan GPRA.
Good Governance
Pengertian ‘Good Governance’ telah menjadi kata kunci selama kira2 10 tahun terakhir. Namun, suatu istilah asing dapat menimbulkan masalah pengertian semantik bila kita hendak berbicara dalam arti padanan itu dalam bahasa
Good Governance merupakan suatu outcome yang terdiri dari norma, suatu hasil akhir dari suatu proses. Di Indonesia proses ini biasanya diserahkan kepada pemimpinnya; bila itu departemen maka Menterilah yang menjadi komandan. Pengarahan lisan dari Presiden atau Wakil Presiden sering ada, namun prosedur-prosedur
Governance merupakan konsep dan berarti: proses pengambilan keputusan dan juga proses bagaimana keputusan itu ditentukan, diambil dan diimplementasikan. Ia juga mempunyai struktur formal dan informal untuk pelaksanaannya.
Pemerintah formal merupakan pelaku yang sering dominan di Pemerintahan Pusat. Ia, seperti juga di tingkat Daerah, dibantu oleh pelaku-pelaku lain, terutama oleh pelobi, partai politik, donor internasional, perusahaan multi-nasional, angkatan bersenjata, kelompok agama, NGO, dsb. Mereka sering bisa ikut dalam pengambilan keputusan atau sedikitnya mempengaruhinya. Institut informal, seperti institut riset, pemilik tanah besar, juga bisa berperan mempengaruhi governance. Sering kelompok kriminal atau Mafia juga bisa menyusup mempengaruhi pemerintahan.
Menurut dokumen ESCAP(9), Good Governance mempunyai 8 karakteristik utama: ia bersifat partisipatif, rule of law, keterbukaan, responsif, berorientasi konsensus, kesetaraan dan membela yang lemah, efektif dan efisien, dan akuntabilitas. Akuntabilitas merupakan fokus yang sentral; juga selalu disertai oleh keterbukaan (transparancy) dan menerapkan undang-undang (rule of law).
Bila Good Governance merupakan norma yang ingin dicapai, maka strategic planning agak berbeda dalam pendekatannya. Benar strategic planning juga mendeskripsi ciri-cirinya, tetapi tujuan utamanya ialah mengimplementasikan visi/misi dalam suatu sistem yang akuntabel dan lebih terukur. Jadi, unsur-unsur Good Governance bisa menemukan partner yang sejati dalam sistem strategic planning, bukan berlawanan. Semua niat dan subyek pembahasan di QTV, misalnya, dapat menemukan partnership dengan sistem Strategic Planning.
Strategic Planning
Pada suatu hari sekitar bulan Mei 1997, dalam Komisi Guru Besar di FKUI Professor Sudraji Sumapraja telah mempresentasikan tentang strategic planning. Ia membahas suatu sistem bagaimana suatu universitas bisa memfokus pada misi dan gol yang diinginkan dalam waktu tertentu melalui strategic planning. Beliau mengusulkan supaya kami melakukan hal yang sama di fakultas kedokteran. Setelah saya mendengar uraian yang inovatif dan sangat menarik itu, saya yakin bahwa strategic planning dapat mengubah suatu institut yang sedang ‘sakit’. Saya adalah orang pertama yang ‘loncat’ memberi jawaban, dan bertanya ‘Apa anda serius mau melakukan itu dan bukan mau memulai sesuatu yang nanti akan gagal seperti begitu banyak upaya yang biasa kita lakukan?’ ‘Bila tawaran ini benar hendak melakukan reformasi seluruh fakultas dengan sungguh-sungguh maka saya akan menjadi orang pertama yang akan membantu anda’. Sejak itu saya bersama -dan bersatu- dengan beliau menjadi pendorong inisiatif ini, sehingga di tahun 1999 kita menyiapkan tulisan yang berjudul Creating the Future of The Faculty of Medicine University of Indonesia – Strategic Plan 2000 – 2010(6). Setelah saya pensiun di tahun 2001, Professor Sudraji dan Kawan -Kawan meneruskannya.
Di samping itu saya tidak berhenti memikirkan nasib negara kita, mengapa harus terpuruk? Sambil mempelajari kepustakaan yang berkaitan dengan strategic planning saya menemukan satu undang-undang di Amerika Serikat yang mendasari dilakukannya strategic planning oleh semua unsur pemerintahan, yaitu semua departemen dan institut pemerintahan, serta universitas secara bersamaan. Amerika yang sudah mempunyai derajat tinggi keterbukaan dan akuntabilitas masih mengalami mis-management dan korupsi selama bertahun-tahun. Mereka telah mencoba memperbaikinya selama 30 tahun dengan berbagai upaya, tapi tidak pernah berhasil. Laporan Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) (2) menunjukkan bahwa kegagalan itu disebabkan karena peraturan itu selalu dibuat sebagai Instruksi Presiden, sehingga tidak mempunyai gaung yang semestinya. Walaupun undang-undang sudah disiapkan lama, tidak ada satu presiden-pun (sejak Presiden Reagan) yang mau menandatanganinya. Di tahun 1993 Presiden Clinton baru menandatangani bersama kongres The Government Performance and Results Act (GPRA 1993) (1), yang merupakan suatu jenis accountability act.
Undang-undang ini dikaitkan dengan strategic planning yaitu: semua departemen dan institut pemerintah harus membuat Strategic Plan sebelum bisa menerima budget. GPRA tidak memuat sangsi seperti masuk penjara, tapi membuat suatu tindakan ‘give and take’ atau ‘carrot and stick’. Banyak birokrasi pemerintahan dipermudah, di antaranya penerimaan pegawai dipermudah dan budget menjadi lebih longgar. Keuangan harus dipertanggungjawabkan menurut output dan outcome Action Plan – yang biasa kita sebut ‘proyek’. Rencana harus dimasukkan dan dinilai oleh instansi lain, yaitu Office of Management and Budget. Bila disetujui barulah budget dapat diterima. Tenggang waktu untuk pelaksanaan baru dimulai tahun 1997, jadi 4 tahun setelah diundangkan. Satu ciri lain ialah bahwa pelaksanaan dan laporan (performance and report) harus dibuat dengan cara standard, sehingga bisa dibuat dalam suatu template. Ini berarti bahwa pekerjaan komputer akan membantu proses, dan walaupun pada tahun pertama sulit, di tahun-tahun berikutnya administrasi negara akan lebih cepat terselesaikan. Ini mempunyai makna yang sangat penting untuk mencapai kecepatan dalam alam globalisasi.
Seperti dapat diterka, strategic planning berasal dari angkatan bersenjata, diterapkan dalam bisnis dan kemudian menyeberang ke organisasi non-profit dan pemerintahan. Bila bisnis berkembang pesat dan tidak diimbangi dengan inisiatif pemerintahan, maka situasi dalam alam globalisasi akan ketinggalan jauh. Situasi itu kita alami sekarang di
Beberapa hari setelah munculnya artikel saya di Kompas(7) saya diundang oleh Departemen Keuangan (8 Des 2004) untuk menghadiri suatu pertemuan untuk kolumnis di seberang Lapangan Banteng,
Itulah cerita pendek mengenai bagaimana suatu sistem perlu dipilih dengan cermat sebelum menerapkannya. Juga mengawinkan dua sistem, seperti mengkombinasi sistem Amerika dengan sistem Eropah dan Inggris, seperti dilakukan oleh pendidikan menjadikan pelaksanaan menjadi kusut.
Masalah Pokok
Yakin atas kemampuan Strategic Planning menyebabkan saya menulis di Kompas sebuah artikel berjudul ‘Menciptakan Indonesia Akuntabel di Tahun 2015’(7) yang sudah lama saya pikirkan, tapi mengendalikan diri karena menilai belum waktunya untuk Indonesia menjadi akuntabel sebelum demokrasi sudah maju. Sekarang saya kira semua sudah lebih matang dan suasana politik lebih kondusif untuk (mulai) menerima akuntabilitas. Simak saja semua talkshow di televisi sudah menyinggungnya, dan banyak pembahasan telah mengusulkan untuk mencari kendaraan (sistem) untuk diberlakukan di
Tanpa membuka cerita panjang tentang kejadian menyolok yang menimpa negara kita bertubi-tubi mulai 1997, khususnya tahun 2006 dan permulaan tahun 2007 setiap hari terdapat berita utama di media tulis dan gambar. Kecuali gempa bumi yang disebabkan oleh pergeseran lempeng kerak bola dunia yang berbenturan, maka hampir semua masalah buruk, termasuk kecelakaan,dan korupsi dapat dituding letak dalam buruknya manajemen. Kompas (22 Jan 2007) menulis: ‘Manajemen Risiko KA Amburadul - Faktor Keselamatan Dikorbankan’; hal ini merupakan kata-kata kunci strategis untuk mencarikan jalan keluar pembenahan negara yang telah sakit kronis selama merdeka. Mis-management yang menyeluruh merupakan salah kaprah serius suatu governance sehinga merupakan strategic error Pemerintah yang memerlukan perbaikan. Bukan dengan analisa berulang2 dan mencari kesalahan, tapi dengan cara menciptakan suatu sistem yang dapat memberi jalan dan pegangan untuk good governance.
Hingga sekarang kita baru coba memperbaiki beberapa sub-sistem dari manajemen yang strategis, misalnya: supremasi hukum dan masalah korupsi, transparansi, fungsi melayani, membangun arti konsensus, kesetaraan, meninggikan tanggung jawab, partisipasi publik, memfokus wawasan dengan visi dan misi institut, dsb. Banyak perbaikan telah terjadi, namun banyak pula yang salah arah, misalnya visi, misi suatu institut pemerintahan. Visi merupakan ‘mimpi’ (cita-cita luhur) yang harus bisa tercapai (attainable), sehingga mengatakan Visi Departemen Kesehatan ialah ‘Indonesia Sehat di Tahun 2010’ merupakan slogan dan bukan visi yang baik, karena tidak realistik. Kita bisa melihat kasat mata bahwa hal itu tidak mungkin bisa tercapai, apalagi tidak terdapat strategic planning(3) serta action plan, perencanaan dan alokasi biaya dari DepKes
maupun negara. Bila akan dirunut pada proses strategic plan, maka kita tidak bisa menyambung misi ini dengan outcome yang tangible maupun yang intangible.
Akuntabilitas merupakan fokus strategic planning yang utama(2). Akuntabilitas juga tidak bisa dilakukan bila tidak disertai keterbukaan dan undang-undang yang baik
Dalam hemat saya, semua masalah ini dapat dikemas lebih efisien dalam sistem seperti strategic planning yang lengkap versi GPRA atau sejenisnya. Undang-undang seperti ini perlu dibuat untuk dapat memberlakukan ‘perintah’ membuat proses strategic planning di tiap departemen dan institut pemerintah. ‘Komando’ seperti ini sering dianggap orang sebagai tidak sesuai dengan demokrasi dan kebebasan, biar semua melakukan sendiri apa yang (mereka) anggap baik. Rasanya, ini merupakan argumen yang tidak bijak, karena sebenarnya disini letak kepemimpinan atau leadership dari seorang Presiden yang mempunyai ‘vision’ (farsightedness). Karena dalam formulasi dan pelaksanaannya semua orang harus ikut melakukannya demi mencapai negara yang maju.
Akuntabilitas dalam Undang-Undang
Prinsip dasar pengelolaan keuangan negara ialah keterbukaan dan pemeriksaan keuangan harus dilakukan badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Prinsip dasar lain ialah bahwa pemeriksaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban keuangan perlu di badan yang terpisah dan tidak dibawah satu kekuasaan. Namun, ketiga kekuasaan itu perlu saling bicara. Negara kita belum mempunyai suatu undang-undang Akuntabilitas yang holistik dan teruji di negara lain. Yang ada ialah:
• UU Republik Indonesia Nomor17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
• UU Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
• UU Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
• Instruksi Presiden Republik Indonesia , Nomor 7 Tahun 1999 tentang: Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Presiden Republik Indonesia
Bersama dengan upaya perbaikan sub-sistem (lihat atas), undang2 dan Instruksi Presiden di atas belum menghasilkan perbaikan yang berarti dalam good governance. Kiranya semua pihak mengakui hal tsb. Sebaliknya pihak swasta maju lebih pesat karena menerapkan sistem manajemen yang modern dan teruji keampuhan sistemnya di dunia. Bila kemajuan ini tidak diimbangi oleh kemajuan government performance, maka semua proses kemajuan negara akan terhambat. Di dalam bidang obat kita kenal pernyataan: ‘The industry is as good or as bad as the regulators’. Industri yang sehat harus tumbuh pertama untuk kebaikan klien (~ pasien) dan stakeholder maupun industri-nya sendiri, dan ini memerlukan balans yg baik melalui peraturan. Bila kita inginkan industri lebih terbuka, hal ini harus disertai keterbukaan governance secara resiprokal.
Keterbukaan menimbulkan rasa percaya lebih besar dan seterusnya memupuk trust, yang sangat dibutuhkan negara kita dewasa ini untuk menarik investasi luar negeri. Sebagai lampiran, anda akan menemukan karangan pendek The New York Times (10) beberapa hari yang lalu yang ditulis seorang penting di Amerika Serikat yang mengisahkan kehilangan trust terhadap stock market di negaranya karena terjadi insider trading. Banyak cerita seperti ini terdapat juga di
Yang menikmati globalisasi hanya sebagian kecil masyarakat, namun open market akan menghadapkan kita kepada saingan yang kejam. Sebagai negara yang tertinggal kita akan makin tertinggal. Karena itu sistem manajemen
Suatu undang2 akuntabilitas seperti diundangkan Amerika Serikat dan disebut Government Performance and Result Act (1993) merupakan contoh nyata yang berhasil mengubah negara menjadi lebih akuntabel melalui proses Strategic Planning yang dilakukan untuk semua institut pemerintahnya. Strategic Plan dapat didownload dari semua Departemen dan Institut Pemerintah dari ‘semua’ pemerintahan sejak lebih dari 15 tahun terakhir. Hal ini diikuti seluruh dunia maju dan dalam semua bahasa. Sayangnya jarang ditemukan strategic plan institut non-bisnis atau pemerintah yang hidup dan terurus rapi melalui search engine di Indonesia dalam model yang akuntabel.
Suatu Instruksi Presiden(3) telah diterbitkan oleh Presiden Habibie di tahun 1999 yang dikenal dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia , Nomor 7 Tahun 1999 tentang: Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang dikenal dengan ‘RENSTRA’. Rupanya Instruksi Presiden ini didasarkan pada GPRA, namun tidak identik. Beberapa departemen seperti Departemen Pendidikan, telah membuat Renstra beserta Juklaknya, namun menurut saya tidak mengikuti proses strategig planning yang lengkap. Instruksi Presiden ini barangkali dapat diperbaiki sehingga menjadi lebih sempurna dan kuat kedudukannya sebagai undang-undang.
Juga Model Strategic Planning perlu dibuat dengan menggunakan subsistem yang lebih baru seperti Balanced Scorecard (
Melaksanakan undang-undang akuntabilitas dengan strategic planning bukan hal mudah. Namun tanpa rencana menyeluruh ini kiranya kita tidak mempunyai pegangan hidup, juga untuk generasi seterusnya. Visi dan misi kita juga perlu ditetapkan dengan gol yang dapat dicapai dalam jangka panjang dan terbagi dalam jangka 5 tahun dan tahunan. Mungkin akuntabilitas baru dapat dicapai –andaikan- dalam 15 tahun, namun bila kita tidak mulai merencanakan sekarang dengan lebih nyata, sulit akan diharapkan kemajuan bangsa. Kita mau maju, namun negara lain sudah dan akan lebih maju, sehingga perlu mengejarnya. Sementara itu, sekarang, proses GPRA di Amerika Serikat sudah melejit dan terus memperbaiki akuntabilitas dalam membuat outcome measures yang sangat detail dalam penerapan strategic planning di segala bidang. Globalisasi juga menghendaki keterbukaan dan akuntabilitas yang besar dalam segala faset kehidupan kita.
Kata Kunci: GPRA 1993, strategic planning, accountability, transparancy, good governance, nonprofit organization
Penulis tidak mempunyai konflik kepentingan pribadi.
***
Kepustakaan
1. The Government Performance and Results Act of 1993 (Seluruh kalimat atau GPRA 1993 dapat disearch di Google)
2. Implementation of the Government Performance and Results Act of 1993. Prepared by Walter Groszyk, Office of Management and Budget for a November 1995 meeting convened by the OECD. Downloaded 21/6/2003 at: http://govinfo.library.unt.edu/npr/library/omb/gpra.html
3. Instruksi Presiden Republik
4. GPRA and Performance Management. Downloaded 21/3/2003 at: http://www.john-mercer.com/
5. Denise L W and Linda M D. A Handbook for Strategic Planning. TQLO Publications No 94-02. Published for the Department of Navy by: Department of the Navy Total Quality Leadership Office,
6. Creating The Future of The Faculty of Medicine University of Indonesia – Strategic Plan 2000 – 2010 (Internal document: by Komisi C, FKUI. Ketua: Professor Sudraji Sumapraja)
7. Darmansjah I, Menciptakan Indonesia Akuntabel di Tahun 2015. Kompas: Opini, 22 November 2004
8. Kaplan RS and Norton DP, The Strategy-Focused Organization (
9. Anonim, What is Good Governance? United Nations Economic and Social Commission for
10. Anonim, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia (Laporan Tahunan 2004) (72 hal.)
11. Anonim, Building Partnership for Progress. Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD). Downloaded 20/6/2003 at: http://www.oecd.org/EN/document/0..EN-document-0-nodirectorat
12. Stein B, The Hard Rain That’s Falling on Capitalism. The
13. Rose Verspaandonk, Good Governance in
Tidak ada komentar:
Posting Komentar