17 April 2012

Bencana di Indonesia Tuhan, Mbah Merapi, dan Nietzsche


Salam teman-teman, dalam getar gempa hari ini, saya kutipkan resensi yang dulu pernah terbit di PUSTAKALOKA Kompas atas buku TEOLOGI BENCANA suntingan Zakaria Ngelow. Cakupan buku ini cukup luas, karena melibatkan komunitas ekumenis dan lintas-agama. Sekadar berbagi keprihatinan dan harapan.. salam, martin

--- Pustakaloka-KOMPAS Sabtu, 16 Desember 2006/
Bencana di Indonesia Tuhan, Mbah Merapi, dan Nietzsche

Judul Buku: Teologi Bencana, Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial
Penyunting: Zakaria J Ngelow
Penerbit: Oase-Intim, Makassar, 2006
Tebal: 370 halaman
resensi oleh: Martin Lukito Sinaga
Adakah kata-kata yang tepat yang dapat menjelaskan rentetan bencana yang menimpa Nusantara kita ini? Dan, adakah penjelasan tersebut dapat meringankan beban orang-orang yang menanggung bencana tadi sehingga dengan itu hidup dapat terus dilanjutkan dan ratapan tidak sampai menyesakkan kita ke dalam pusaran duka yang menetap?
Buku ini mencoba menjawab berbagai persoalan di atas dan rupanya berhamburan pulalah jawaban atas soal bencana ini. Hal ini menjadi isyarat bahwa kita tak terlalu mampu mencerna bencana yang terjadi di tengah hidup kita sekalipun iman dikerahkan dan nalar direntangkan.
Buku ini memang bunga rampai renungan atas bencana, dan ia memakai jalan dari bawah: maksudnya bukan pertama-tama bencana dicerna dengan membaca teks filosofis Leibniz mengenai Teodice, tetapi renungan dimulai dengan meminta orang-orang yang melihat dan mengalami bencana itu sendiri yang menggoreskan perspektifnya.
Salah satu percobaan yang diajukan ialah dengan merekam ke dalam kanvas perjalanan pelukis Bali, Ni Ketut Ayu Sri Wardani, ke Aceh, pascatsunami. Hasil perenungannya ialah gambar di kover depan buku ini yang ia beri judul "Jadilah Kehendak-Mu"; potongan dari doa Yesus.
Tampak di situ air bah yang menabrak seseorang yang sedang bersimpuh berdoa, terbungkuk. Seluruh gambar dilukis dengan garis kasar berwarna putih, biru, abu-abu; dan di situ terguratlah kuasa yang menghilangkan segala kepastian—orang itu menunduk lantas melihat tangannya yang kosong, cermin nasib manusia. Namun, kedua tangannya tidak tertutup, tetapi terbuka berharap pada kekuatan baru, berharap pada kehidupan.
Karena judul lukisan tadi adalah potongan doa Yesus, momen lain dari tragedi Yesus—yaitu penyaliban—tampak membayang di sini. Di salib, Yesus menjerit putus asa, "Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku." Dan tak ada jawaban, malah maut menunggu di ujung jalannya.
Yang menarik, karena jeritan itu adalah gema dari Mazmur 22, maka jeritan itu adalah sebentuk doa. Bercermin dari kanvas Ni Ketut dan dari momen penyaliban Yesus, maka dalam momen bencana manusia rupanya ditinggalkan, walau dalam doa. Namun, doa, bagaimanapun, selalu membuka kemungkinan-kemungkinan baru di hadapannya.
Dalam buku ini, religiositas lokal tampaknya mirip dengan kanvas perenungan Ni Ketut dalam cara dan teologi menghadapi bencana, "Mbah Merapi menakutkan, tetapi juga penuh cinta terhadap penduduk desa" (hal 254). Di sini dapat dikatakan juga bahwa Tuhan ambigu adanya, Ia dahsyat sekaligus memesona, mematikan sekaligus menghidupkan.
Orang-orang di Jawa, saat bencana menimpa—demikian analisis Gerrit Singgih seorang penulis buku ini—menghadapi bencana dengan menghayati kembali cerita-cerita nenek moyang mereka. Cerita itu adalah mengenai takdir yang akan mereka alami, tetapi justru dengan cerita sedemikian mereka bisa menghadapi (atau malah: melampaui) takdir yang kini menimpa hidup mereka.
Memang, takdir yang satu menderitakan, tetapi takdir yang lain menyembuhkan! (hal 261). Manusia rupanya ditinggalkan dalam rentetan takdir dan berkat, doa air mata dan doa sorak-sorai bergantian menjawab pertanyaan-pertanyaan di seputar bencana.
Kitab suci kontroversial
Karena para penulis buku ini adalah para teolog, tentu Kitab Suci pun diacu, Tuhan pun dicari. Dan tampaknya, Tuhan tidak berbicara dalam satu perspektif yang konsisten. Kalau dicatat pada kisah Penciptaan Alam Semesta (dalam Alkitab bab Kejadian 1), Tuhan menguasai dan membatasi yang "chaos" dengan menggesernya, lalu memberi tempat bagi kehidupan yang baik (hal 117).
Arah ciptaan ialah menuju damai sejahtera. Namun, sang "chaos" tadi tetap dapat secara liar menyergap ciptaan yang baik ini; dari pinggir-pinggir dunia ia menusuk, dan hal tadi menunjukkan bahwa Allah tidak berdaulat sepenuhnya atas kenyataan yang ada. Damai sejahtera ciptaan di mana Allah berdaulat sepenuhnya masih sebentuk harapan!
Dalam pada itu, situasi absen harus diterima (dan ini yang menohok hati saat melihat reruntuhan World Trade Center di New York tahun 2005; gedung dan lanskap arsitektur yang bakal mereka bangun di situ diberi tema "absen"). Dalam kisah Alkitab, kisah Ayub adalah saksi akan Tuhan yang absen, tetapi akan manusia yang berani beriman!
Terhadap bencana yang menimpa dirinya—Ayub adalah seorang yang dicatat dalam Kitab Suci sebagai yang paling saleh dan tak berdosa—ia mengambil kesimpulan yang mengagetkan, "dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga akan akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan" (Ayub 1:21).
Ayub mengungkapkan sebentuk resignasi sebab Tuhan ia bolehkan berbuat apa yang dipandang-Nya baik. Dan, ini setelah Ayub mengalami bencana yang melenyapkan semua anaknya dan segala miliknya dalam satu malam, dan terhadap itu ia pun masih berargumen melawan dirinya, "masakan manusia benar di hadapan Allah?" (Ayub 9:1).
Ayub terus menegaskan imannya, dan itu saja yang ia bisa lakukan, sementara dari Allah belum keluar penjelasan apa pun mengenai petaka yang melanda diri Ayub. Di tengah itu semua, Ayub pun tidak menuntut bukti dan penjelasan; dan teman-temannya yang mencoba mengaitkan bencana itu semua dengan dosa-dosa Ayub terpojok bisu sebab memang tidak ada setitik pun dosa Ayub. Yang ada, selain iman Ayub yang tak terpadamkan, juga harapannya, "harapan untuk semua orang yang hilang" (hal 179).
Jelaslah, tidak ada lagi kata mengenai hukuman Tuhan di sini. Dari kisah Ayub kita tiba pada kesimpulan bahwa bencana yang menimpa bukan pentas tempat hukuman ilahi dijalankan. Bencana malah menjadi pentas iman yang tak terpadamkan, sekalipun kebisuan ilahi tak tertembus.
Dengan demikian, yang perlu—demikian catat Yewangoe (Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia pun harus merenung!), hal 249—"agar kita memperoleh ruang yang lebih lapang untuk hidup dalam dunia yang memang selalu bermasalah". Ini mirip dengan pendapat teolog besar Katolik, Karl Rahner, yang mengatakan, "Kita mesti belajar untuk menerima hal tidak terpahamkannya penderitaan sebagai bagian dari tidak terpahamkannya Allah sendiri" (hal 235).
Seperti Nietzsche
Seorang putra Aceh, Teuku Kemal Fasya, yang kehilangan keluarga dekatnya pada malam tsunami 26 Desember 2004 itu, ikut mengguratkan teologinya tentang bencana. Dan teologinya muncul perlahan, lahir dari puing-puing yang ia bereskan di Aceh. Ada nada optimisme saat ia sendiri ikut meringankan penderitaan orang-orang di kampung halamannya. Ia menemukan kemanusiaannya saat menolong sesamanya.
Walau, di hadapan itu semua, saat merenung, ia memanggil nama Nietzsche, sambil bertanya, "Apakah Tuhan itu ada? Jika ya, bagaimana Tuhan mengambil wujudnya dalam eksistensi kemanusiaan kita?" Nietzsche memang mengambil kesimpulan bahwa Tuhan telah mati. Namun, putra Aceh ini menarik makna yang lain dari Nietzsche.
Bagi Teuku Fasya, takdir adalah saya, dan dengan demikian saya harus menemukan makna atas bencana ini semua. Manusia harus menanggung dan menatap hidup di dunia ini dengan apa adanya. Fasya pun teringat ayat-ayat Al Quran Surat At-Tiin (hal 83), "Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya (sempurna)".
Jadi, sang manusia "Sempurna" tadi harus menebus deritanya sendiri. Dan, hanya orang yang tak mampu mengatasi dirinya sendirilah yang akan dikoyak-koyak penyesalan tak berdaya. Teuku Fasya dalam tulisannya ini agak ragu untuk sepenuhnya menjadi Nietzsche, makanya ia pun mengutip penyair Lebanon, Mahmoud Darwish, penulis novel Memory of Forgetfullness. Di tengah bencana perang, Darwish bertutur, "di musim gugur, kesunyian berbicara". Ia tidak manja, bahkan di situlah ia bertemu dengan moment of truth, yang harus dibicarakan kepada sesama.
Merenungkan itu semua, Teuku Fasya mengakhiri pergulatannya dengan mengutip Al Quran (QS Al Insyirah), "Sesungguhnya sesudah derita itu ada kemudahan. Maka, apabila kamu telah selesai (segala urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmu hendaknya semua harapan".
Jelaslah, tak ada satu kata sepakat mengenai bencana yang menimpa manusia. Rupanya yang nyata ialah manusia mengerahkan segala cerita dan perspektif untuk menanggung itu semua. Dan dalam buku ini bunga rampai ratapan dan goresan pikiran dicatat dengan sungguh baik.
Ratapan dan goresan tadi dicoba dikaitkan dengan Tuhan, dan berbagai komentar pun bermunculan. Yang mengejutkan kita bahwa komentar (baca: teologi) itu plural dan tidak bisa tegas, apalagi konklusif, menjawab pertanyaan manusia mengenai derita dan bencana. Terkait dengan hal tersebut, buku ini memberi tahu kita bahwa teologi adalah percakapan yang belum berakhir mengenai subyeknya sendiri, yaitu Theos (Tuhan).
Tampak juga di sini bahwa ketika Tuhan dipercakapkan di hadapan bencana, ternyata manusia bisa tertolong. Setidaknya untuk tetap berdoa, untuk menerima, untuk menanggung, dan untuk berharap.
Martin Lukito Sinaga Pendeta di Gereja Kristen Protestan Simalungun Simalungun dan Kini Bekerja pada Lembaga Oikoumene di Geneva, Swiss

Tidak ada komentar: