In memoriam Prof. Dr. Pieter Holtrop (31 Januari 1943 – 3 Agustus
2012)
Tadi
sore saya terima email duka dari Pak Drewes di Negeri Belanda: beberapa hari
lalu Pak Holtrop meninggal dunia. Berikut beberapa catatan pribadi mengenang
almarhum.
Pada
tahun 1975 terjadi suatu masalah di STT INTIM, yang menyebabkan dosen yang
ditetapkan menjadi pembimbing skripsi saya, Dr. J.A.B. Jongeneel, dipindahkan
ke Tomohon. Saya tidak bisa meneruskan rencana skrispsi sarjana muda mengenai
gagasan-gagasan adanya Allah dalam sejarah filsafat. Akhirnya saya menulis
skripsi sarjana muda di bidang Sejarah Gereja mengenai seorang tokoh reformator
radikal di Jerman pada zaman Reformasi, Thomas Muntzer (1489 – 1525), di bawah
bimbingan Pak Pilon (Drs. P.K. Pilon). Dalam wisuda Sarjana Muda Theologia
(SMTh) saya lulus dengan baik dan menjadi salah seorang dari enam mahasiswa
(bersama Sewaya Hali, Leonard Masalamate, Sarofanotona Harita, I Made Subiakta,
Alius Rampalodji) yang bisa melanjutkan ke program Sarjana Theologia.
Pada
tahun 1976 saya dipanggil Rektor STT INTIM waktu itu, Pak Kobong. Saya
“dilamar” untuk dipersiapkan menjadi dosen di bidang Sejarah Gereja, oleh
seorang dosen yang akan datang dari Negeri Belanda. Demikianlah tiba di
Indonesia pada tahun 1977 Dr. Pieter Nanne Holtrop dan keluarga (Ibu Arnoldien
Holtrop-van Berge dengan dua anak perempuan, Froukje dan Maria). Pak Holtrop
seorang ahli sejarah gereja yang menulis disertasi mengenai tokoh kelompok
Pietisme Jerman di Belanda pada abad ke-18. Karena saya dipersiapkan sebagai
dosen, maka di bawah bimbingannya dalam program studi Sarjana Theologia saya
harus mengerjakan tugas-tugas mata kuliah dan untuk persiapan skripsi yang
cukup berat. Saya harus menyelesaikan book
reports dan papers di bidang
Biblika Perjanjian Baru, Sistematika, dan dasar-dasar Sejarah Gereja, sejarah
Pekabaran Injil dan Sejarah Gerakan Ekumene. Dalam studi itu Pak Holtrop
menekankan pentingnya “mengenal sebatang pohon dari akar sampai pucuknya, dan
juga mengenal hutan di mana pohon itu tumbuh”. Saya menulis skripsi mengenai
aspek tata gereja dalam pembentukan Gereja India Selatan, yang secara unik
menggabungkan tradisi episkopal Anglikan dengan tradisi presbiterian. Sesuai
kurikulum masa itu, saya perlu menulis skripsi mayor dalam bidang sejarah
gereja, dan skripsi minor dalam bidang agama-agama. Pak Olaf Schumann
membimbing saya menulis sekularisasi dalam pandangan agama-agama dunia. Ujian
berlangsung pada 18 November 1978 dengan hasil yang sangat baik, dan pada awal
tahun berikutnya saya mulai bekerja di STT INTIM sebagai asisten dosen.
Salah
satu upaya Pak Holtrop di bidang sejarah gereja adalah membangun Institut
Sejarah Gereja Indonesia Timur (ISGIT) di STT INTIM, dengan mengumpulkan dan
mengatur arsip gereja-gereja, dan buku-buku yang terkait. Rekan saya, seorang
Kristen Bugis dari Soppeng, Sdr. Sewaya Hali, menulis skripsinya mengenai
pengarsipan itu. ISGIT sempat menerbitkan dua buku tulisan Pak Holtrop yang
dikerjakan dari arsip itu, yakni buku sejarah dasa warsa pertama STT INTIM berjudul
Dari Malino ke Makassar, dan sejarah
Majelis Keristen, lembaga ekumenis gereja-gereja di Indonesia bagian Timur,
yang menjadi bentara pembentukan DGI (sekarang PGI).
Ketika
saya menempuh studi untuk Master of Theology di bidang sejarah gereja dalam program
SEAGST di awal tahun 1980-an, Pak Holtrop memperkenalkan dua aspek penting
dalam studi sejarah (gereja), yakni oral
history melalui para pelaku sejarah gereja pada penelitian lapangan di
Gereja Toraja Mamasa (GTM), dan penelitian arsip di Balitbang DGI (waktu itu
disimpan di sebuah gedung di Cilandak, Jakarta Selatan). Dan salah satu pengalaman
berat adalah ujian yang disebut “take home paper” yang harus dilulusi untuk
masuk proses penulisan tesis. Biasanya ujian ini berupa suatu topik ditentukan
untuk ditulis sebagai paper 20-an halaman, yang dikerjakan selama satu minggu.
Pak Holtrop menugaskan saya memberi catatan kritis atas buku yang belum saya
baca sebelumnya, Hendrik Kraemer, From
Mission Field to Independent Churches. Waktunya hanya 24 jam (di zaman para
mahasiswa masih memakai mesin ketik manual!)
Setelah
masa perbantuannya di Makassar selama dua periode selesai pada tahun 1982, Pak
Holtrop dan keluarga pulang ke Belanda, menjadi pendeta di Amsterdam. Kemudian
diangkat menjadi mahaguru misiologi di THU Kampen (1987). Antara tahun
2005-2009 menjadi dosen tamu di Stockhom (Swedia). Ketika saya melakukan
penelitian di Negeri Belanda, beliau diminta menjadi co-advisor. Saya tinggal
di Oegstgeest, dekat Leiden, dan setiap kali saya mengunjunginya di rumahnya di
Amsterdam melaporkan kemajuan studi saya. Ibu Arnoldien menyediakan masakan
Belanda yang khas. Kedua putri mereka, Froukje dan Maria, waktu itu sudah
beranjak dewasa. Setelah saya pulang, selain komunikasi via email, saya masih
sesekali bertemu Pak Holtrop, juga setelah dia pindah ke Den Haag dan menikah
dengan Gunilla Gunner, seorang dosen teologi Swedia dan rekannya sebagai
pengurus WARC (World Alliance of Reformed Churches).
Setiap
kali kami bertemu ada berbagai isu teologi yang kami diskusikan. Terakhir saya
bertemu Pak Holtrop pada bulan Juni tahun 2011 di rumah Pak Jilles de Klerk di
Wassenaar, dekat Den Haag. Sudah beberapa lama sakit, namun tetap bersemangat
seperti biasa, bahkan datang dengan naik sepeda. Beliau membawakan saya buku
yang ditulis kawan-kawannya di Kampen sebagai penghormatan, Mission Revisited: Between Mission History
and Intercultural Theology (2011, diedit oleh Prof. Volker Küster). Di masa
pensiunnya almarhum masih bekerja serius menulis biografi tokoh ekumenis
ternama asal Belanda, W.A. Visser’t Hooft (1900-1985). Kemungkinan tugas ini
belum sempat almarhum selesaikan.
Selamat
jalan Pak Holtrop.
Pondok Remaja, Cipayung, 6 Agustus 2012
Info dari isteri alamarhum (Dr. Gunilla Gunner):
Pieter
has spent the last half year in Sweden and got his treatment here. The cancer
was unstoppable and none of the medicines he got helped, maybe it gave him some
more time. But even though he was ill and needed a lot of support he managed to
live his days filled with the work he liked so much. He was working, together
with some colleagues on a book with articles on St Petersburg. He was almost
finished with his work when he suddenly got a lot of pain a week ago and was
brought to the hospital in Arvika where we have a house. He loved this place a
lot and he is going to be buried on a small church yard at the lake not far
from our house. We will have a funeral on Thursday, 9th of August and a
memorial service will be held in the Klosterkeerk in the Hauge 30 of August at
14.00.
Pieters
daughters are here and other family members will come on Thursday, both from
The Netherlands and Sweden. Pieter was a great man and we loved him so much. We
miss him and life will never be the same without him.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar