Sambutan atas buku
Keterjalinan dalam Keterpisahan: Mengupaya Teologi Interkultural dari Kekayaan Simbol Ritus Kematian dan Kedukaan di Sumba dan Mamasa. (2014, 412 hlm). Disertasi teologi lintas budaya
Pdt. Dr. Aguswati Hildebrandt Rambe
Pdt. Dr. Aguswati Hildebrandt Rambe
Dalam usaha memahami budaya Yahudi masa Yesus, yang
menguburkan orang mati di dalam lubang batu – dan bahkan adanya penemuan
ossuaries (peti-peti jenazah) -- saya pernah memeriksa budaya penguburan
beberapa budaya etnis di Indonesia. Orang Batak membuat sacrophagus (peti mati
dari batu), demikian juga orang Minahasa yang “mendudukkan” orang matinya di
dalam waruga. Orang Toraja menguburkan mayat di dalam gua atau di dalam kuburan
yang dipahat di bukit batu. Orang Sumba memotong batu besar dan menariknya ke pekuburan
untuk penutup kuburan.
Aguswaty Hildebrandt Rambe, penulis buku ini membahas lebih
dalam mengenai tradisi penguburan di kalangan orag Sumba dan orang Toraja
Mamasa. Buku Keterjalinan dan Keterpisahan ini adalah sebuah karya teologi
kontekstual di bidang lintas budaya, yang secara khusus membahas budaya
kematian pada dua suku di Indonesia, Sumba dan Mamasa. Buku ini ditulis kembali
untuk pembaca Indonesia dari naskah aslinya, suatu disertasi berbahasa Jerman.
Penerbitan ini menyambung penerbitan beberapa buku Oase
sebelumnya, Teologi Bencana (2006), Jalinan Sejuta Ilalang (2012) dan Teologi
Politik (2013). Sumbangan penting pokok buku ini bagi pengembangan teologi
kontekstual di Indonesia dengan sendirinya jelas. Sejarah pekabaran Injil di
Indonesia di kalangan suku-suku berlangsung tanpa dialog yang sehat dengan
budaya tradisional masyarakat Indonesia. Kalangan zending secara umum menilai
budaya tradisional secara negatif. Di beberapa tempat kalangan zending
membedakan antara unsur-unsur ritus dan adat istiadat, antara yang bersifat
keagamaan dan yang hanya merupakan aturan-aturan atau kebiasaan sosial. Semua
yang ritus dilarang sebagai yang sesat atau kafir, sedangkan adat-istiadat
dipilah antara yang positif sehingga boleh diteruskan dan yang negatif, jadi
harus ditinggalkan. Terlepas dari larangan-larangan itu, orang Kristen dari
berbagai suku tetap berusaha hidup dalam identitas sosial budayanya, sehingga
sering membingungkan gereja. Pendekatan kalangan zending yang membedakan ritus
dan adat dalam budaya tradisional kini mulai dipertanyakan, baik karena
keterjalinan kedua aspek itu dalam budaya tradisional, maupun karena pendekatan
zending tidak memberi penghargaan teologis terhadap budaya (dan agama)
tradisional. Ritus kematian pada beberapa masyarakat tradisional terkait dengan
ancestor worship (penyembahan leluhur) yang berkaitan dengan faham deification
(pengilahian) leluhur, dan dengan reproduksi atau rekonfirmasi status sosial.
Yang pertama menjadi alasan zending menolaknya, dan yang terakhir ini menjadi
alasan upacara kematian tradisional makin marak diselenggarakan, misalnya di
kalangan masyarakat moderen orang Toraja dan Toraja Mamasa.
Studi Bu Ati ini tidak hanya penting bagi kalangan Kristen
kedua suku, Sumba dan Mamasa; suku-suku lainnya yang bermasalah dengan tradisi
budaya bisa memperoleh pedoman pastoral dalam buku ini. Buku ini penting juga
sebagai rintisan dalam bidangnya secara multidisiplin, dan karena itu
bermanfaat bagi banyak kalangan.
Maka kamu akan menimba air dengan kegirangan dari mata air
keselamatan. (Yes 12:3)
(Zakaria J. Ngelow)
Anda ingin memesan buku ini? Klik: www.oaseintim.org/books.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar