Aguswati Hildebrandt Rambe, Keterjalinan dalam Keterpisahan. Mengupaya Teologi Interkultural dari Kekayaan Simbol Ritus Kematian dan Kedukaan di Sumba dan Mamasa (Oase Intim, 2014)
Pergumulan yang diangkat di dalam buku ini pada awalnya lahir dari ruang kelas mata kuliah "Teologi Interkultural", ketika penulis mengajar di STT INTIM pada tahun 1999 - 2005. Kekayaan informasi tentang budaya-budaya dan agama-agama lokal yang diangkat oleh para mahasiswa/i, demikian halnya sejumlah studi kasus yang sangat menarik dan menantang berhubungan dengan perjumpaan iman Kristen dan agama-agama lokal, secara khusus tentang ritus - ritus kematian dan kedukaan, telah membuka mata penulis bukan hanya tentang kekayaan bahasa simbol agama-agama lokal melalui ritus, namun juga penulis disadarkan tentang kompleksitas yang dihadapi oleh gereja - gereja serta urgensi memberi jawaban teologis atas sejumlah pertanyaan yang lahir dari perjumpaan tersebut.
Pergumulan yang diangkat di dalam buku ini pada awalnya lahir dari ruang kelas mata kuliah "Teologi Interkultural", ketika penulis mengajar di STT INTIM pada tahun 1999 - 2005. Kekayaan informasi tentang budaya-budaya dan agama-agama lokal yang diangkat oleh para mahasiswa/i, demikian halnya sejumlah studi kasus yang sangat menarik dan menantang berhubungan dengan perjumpaan iman Kristen dan agama-agama lokal, secara khusus tentang ritus - ritus kematian dan kedukaan, telah membuka mata penulis bukan hanya tentang kekayaan bahasa simbol agama-agama lokal melalui ritus, namun juga penulis disadarkan tentang kompleksitas yang dihadapi oleh gereja - gereja serta urgensi memberi jawaban teologis atas sejumlah pertanyaan yang lahir dari perjumpaan tersebut.
Kesadaran yang lahir dari
ruang kelas ini membuahkan keinginan dan motivasi untuk mengenal lebih jauh
konteks berteologi di Indonesia, secara khusus di Indonesia bagian Timur,
dengan cara melakukan perjalanan ke daerah-daerah seperti Mamasa (Nosu, Pana)
dan Sumba Timur. Di dalam perjalanan ini, penulis menemukan secara ril
kompleksitas persoalan yang berkepanjangan, yang dihadapi gereja dan umatnya
Sikap dan paradigma gereja
dalam menghadapi persoalan pelik relasi agama-agama lokal dan iman Kristen
(baca: ajaran gereja) adalah dengan menggunakan pola atau sikap memilah
(selektif dualistik), mana elemen yang sesuai iman kristen dan mana yang
bertentangan. Pola berpikir seperti ini telah lama menyejarah sebagai sikap
utama gereja dan cenderung menjadi sikap satu-satunya dalam menghadapi rumitnya
persoalan perjumpaan iman Kristen dan agama-agama lokal. Dalam proses studi ini ditemukan bahwa sikap
dan paradigma ini justru menjadi perangkap bagi gereja dan umatnya yang secara
tidak sadar diarahkan untuk masuk ke kedalaman pusaran persoalan yang semakin
rumit, sehingga gereja dan umatnya tidak dapat keluar dari rumitnya persoalan
yang berkepanjangan. Salah satu akibat logis dari "sikap memilah" ini
adalah ketegangan dan dilema identitas. Umat diperhadapkan dengan pilihan sulit
berhubungan dengan identitas dirinya: entah setia pada leluhur atau setia pada
iman Kristen. Alhasil, umat Kristen dituntun untuk beriman secara ganda yang
terpilah dan justru di dalam situasi - situasi tertentu seperti menghadapi
kematian dan kedukaan, umat terdesak untuk menentukan pilihan yang
membebaninya.
Salah satu simpul dari studi
ini menunjukkan bahwa paradigma selektif dualistik ini telah gagal menolong
gereja dan umat dalam sejarah perjumpaannya dengan agama-agama lokal. Berangkat
dari "kegagalan sejarah" tersebut, karya ini mencoba untuk menawarkan
sikap dan paradigma yang konstruktif, yakni dengan tidak lagi bertanya: mana
saja elemen budaya atau agama-agama lokal yang terartikulasi di dalam
ritus-ritus kematian dan kedukaan, yang sesuai dengan iman Kristen dan mana
saja yang bertentangan. Melainkan karya ini merumuskan pertanyaan konstruktif
yang sederhana, yakni: Manfaat apa yang didapatkan oleh gereja dan umat Kristen
di dalam perjumpaannya dengan agama-agama lokal. Atau bagaimana gereja melihat
perjumpaan ini sebagai momen pembelajaran dan pengayaan bentuk-bentuk
artikulasi pelayanan dan kehadirannya.
Berangkat dari pertanyaan
konstruktif tersebut di atas, maka tulisan ini menyingkap (entdecken) sebagai bagian
dari proses berteologi bahwa bahasa simbol yang kaya yang terungkap melalui
ritus - ritus kematian dan kedukaan masyarakat tradisional di Sumba dan Mamasa,
tengah mengartikulasi sejumlah informasi penting tentang kebutuhan, pergumulan,
kegelisahan, ketakutan umat yang tengah menghadapi dahsyatnya kuasa maut dan
kematian. Di pihak lain, kekayaan bahasa simbol tersebut menjadi penanda bahwa
ritus adalah mekanisme yang digunakan agama-agama lokal untuk menolong warganya
menghadapi persoalan eksistensial seperti kematian. Pengalaman menghadapi dan
mengalami dekatnya keterpisahan yang kekal oleh karena kematian terkadang tak
dapat terbahasakan oleh ungkapan verbal, karena di sana bahasa verbal menjadi
miskin. Oleh sebab itu, simbol menjadi alat bantu membahasakan dunia yang tak
terbahasakan oleh ungkapan atau bahasa verbal.
Salah satu jawaban atas
pertayaan konstruktif di atas tadi, sebagai manfaat yang tersingkap dari proses
mendengar dan membaca bahasa simbol dalam ritus kematian adalah pemahaman akan
kebutuhan dan kerinduan serta kegelisahan umat yang tengah menghadapi kematian
dan berada di masa-masa duka. Berangkat dari hasil bacaan simbol-simbol ini,
gereja tertolong untuk merancang dan merumuskan jawaban-jawaban teologis,
demikian halnya merancang praksis pelayanan pendampingan yang membebaskan dan
berpihak serta sesuai dengan kebutuhan umat. Dengan begitu, pedekatan
konstruktif ini digunakan untuk keluar dari kondisi dilematis gereja yang
berkepanjangan dan membebaskan umat dari sikap dilematis dan keterpaksaan untuk
memilih antara kesetiaan kepada leluhur atau kesetiaan pada imannya.
Kedua wilayah studi ini
(Mamasa dan Sumba) dimaksudkan sebagai "contoh kasus" semata dari
realitas yang kompleks berhubungan dengan relasi agama Kristen dan agama -agama
lokal di tempat - tempat lain di Indonesia. Dipahami pula dengan sungguh akan
keterbatasan penulis sebagai orang yang bukan berasal dari kedua daerah ini,
secara khusus berkaitan dengan bahasa daerah yang digunakan pada pemaparan
ritus.
Diharapkan bahwa karya ini
menjadi "provokasi" bagi pembacanya untuk terus menerus melahirkan
dan merumuskan pertanyaan - pertayaan baru di dalam berteologi sebagai sebuah
proses yang dinamis dan aktual.
Semoga terprovokasi!
Makassar, 8 Februari 2014
Aguswati Hildebrandt Rambe
Aguswati Hildebrandt Rambe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar