27 Desember 2007

Menolak Pilkada Ulang Sulsel

Rabu, 26 Desember 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/26/opini/4100239.htm

Menolak Pilkada Ulang Sulsel


Denny Indrayana

Mahkamah Agung kembali menunjukkan kinerja yang aneh bin ajaib. Tiga hakim agungnya keblinger dalam memutuskan sengketa hasil pemilihan kepala daerah di Sulawesi Selatan. Meski perlu dicatat, dua hakim agung memberikan pendapat yang berbeda.

Putusan MA memerintahkan KPUD Sulsel mengulang pilkada di empat kabupaten, yakni Gowa, Bantaeng, Bone, dan Tana Toraja. Putusan demikian jelas harus ditolak, dan dilakukan upaya hukum luar biasa: peninjauan kembali (PK) di MA.

Hilangkan kewenangan MA

Putusan tersebut bukan saja melampaui kewenangan MA, tetapi lebih jauh justru menghilangkan kewenangan eksklusif MA dalam memutuskan sengketa hasil pilkada. Pasal 106 Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) secara jelas memberikan kewenangan kepada MA untuk menjadi forum previlegiatum, peradilan tingkat pertama dan terakhir. Artinya, hukum memberikan kewenangan terhormat kepada MA untuk menentukan suara terbanyak pemenang pilkada, dalam hal terjadi sengketa.

MA dalam sengketa pilkada adalah wasit terakhir penentu pemenang. Dengan memerintahkan pilkada ulang, MA tidak hanya melepaskan kewenangan wasit eksklusif tersebut, bahkan memperpanjang proses pilkada, yang sejatinya harus dibuat cepat dan singkat dengan peradilan satu tingkat pertama dan terakhir. Lebih jauh, bukan hanya prinsip sengketa pemilu yang cepat dan singkat yang dinafikan MA, tetapi juga perpanjangan potensi konflik antarpemilih serta pemborosan biaya pilkada.

Apalagi pilkada ulang pada aras kabupaten jelas-jelas tidak mempunyai dasar menurut UU Pemda. Yang diakui hanyalah penghitungan ulang, itu pun hanya pada tempat pemungutan suara (TPS) yang dianggap bermasalah, tidak di semua kabupaten. Terminologi "pilkada ulang" yang digunakan putusan MA pun nyata-nyata menunjukkan lemahnya pemahaman ketiga hakim agung atas konsep pilkada. Karena pilkada ulang berarti seluruh proses pilkada—bahkan penetapan calon kepala daerah—juga harus diulang, sesuatu yang sewajibnya bukan maksud putusan MA tersebut.

PK sebagai solusi terbaik

Nasi sudah menjadi bubur, putusan MA yang amat keliru sudah dikeluarkan. Saya berpendapat ada tiga upaya hukum yang tersedia: melakukan pilkada ulang, sesuai putusan MA; mengajukan sengketa kewenangan antarlembaga negara antara MA dan KPUD Sulsel di hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi (MK); dan melakukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali di MA.

Sebenarnya, tidak ada upaya hukum yang benar-benar tepat karena sejatinya putusan MA seharusnya final and binding. Tetapi karena MA sendiri memerintahkan pilkada ulang, berarti prinsip peradilan tingkat pertama dan terakhir itu telah dilanggar oleh MA sendiri, dengan tidak secara tegas menentukan pemenang pilkada. Pertanyaan sederhananya: bukankah jika pilkada ulang dilaksanakan, tetap ada potensi pihak yang tidak puas akan mengajukan keberatan lagi ke MA? Lalu kapan selesainya proses pilkada jika logika keblinger pilkada ulang dipatuhi?

Lebih jauh, alternatif pilkada ulang juga harus ditolak karena akan membuka kotak pandora pilkada ulang di mayoritas pelaksanaan pilkada. Jika pilkada ulang di Sulsel dipatuhi, maka ke depan, setiap ada sengketa pilkada, saya yakin pihak yang berkeberatan akan meminta pilkada ulang ke MA. Akibatnya, proses pilkada akan terjebak pada proses tanpa akhir. Karena itu, kotak pandora pilkada ulang yang telah dibuka lewat putusan MA tentang Pilkada Sulsel harus segera ditutup kembali.

Alternatif kedua, dengan mengajukan sengketa kewenangan antara MA dan KPUD Sulsel di MK, bukan pula pilihan yang tepat. Salah satunya karena berdasarkan UU MK dan Peraturan MK, MA tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan di MK. MA hanya bisa bersengketa dalam hal yang tidak berkait dengan persoalan yustisial. Maknanya, putusan MA tentang Pilkada Sulsel—yang jelas berkait dengan proses peradilan—seharusnya tidak boleh dijadikan obyek sengketa di hadapan MK.

Saya menolak putusan MA dibawa ke MK untuk diuji karena akan meletakkan posisi MA menjadi di bawah MK, suatu desain yang keliru dalam memaknai relasi antara MA dan MK yang seharusnya berbagi peran antara court of justice dan court of law, tanpa salah satu lebih superior dibandingkan yang lain.

Alternatif ketiga, dengan mengajukan upaya hukum luar biasa PK, adalah alternatif yang paling less evil, paling kecil mudaratnya. Satu-satunya konsep yang berpotensi terlanggar adalah teori putusan MA yang seharusnya final dan mengikat. Namun, sebagaimana diuraikan di atas, justru dengan memerintahkan pilkada ulang, MA telah menabrak prinsip putusannya menjadi penentu terakhir pemenang pilkada.

Karena itu, upaya PK harus dimaknai sebagai langkah penyelamatan untuk mengembalikan kewenangan eksklusif MA sebagai wasit terakhir yang menentukan pemenang pilkada, dalam hal terjadi sengketa hasil. Apalagi, tentang pengajuan PK dalam sengketa pilkada telah ada yurisprudensinya, yaitu dalam pemeriksaan Pilkada Depok. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang bersifat final, diajukan upaya PK dan diterima oleh MA.

KPUD Sulsel harus segera mengajukan PK, dan MA sewajibnya segera mengeluarkan putusan yang final dan mengikat, dengan menentukan pemenang Pilkada Sulsel. Gubernur Sulsel definitif harus segera ditetapkan.

MA berkesempatan dan mempunyai kewajiban konstitusional untuk mengeluarkan putusan peninjauan kembali yang meminimalkan potensi konflik dan mempercepat berjalannya roda pemerintahan menuju kesejahteraan rakyat Sulsel. Segera ajukan peninjauan kembali, tolak pilkada ulang di Sulsel.

Denny Indrayana Staf Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Yogyakarta

---------

Rabu, 26 Desember 2007

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/26/opini/4100252.htm


Kemelut Penyelesaian Sengketa Pilkada


Mohammad Fajrul Falaakh

Putusan Mahkamah Agung (19/12/2007) agar pemilihan gubernur diulang di empat kabupaten di Sulawesi Selatan mementahkan penghitungan dan proses pemberian suara di berbagai TPS di empat kabupaten. Keseluruhan proses politik dan suara rakyat setempat mengalami delegitimasi.

Putusan MA gagal membedakan tiga hal: kegagalan penyelenggaraan pilkada, kesalahan prosedur penghitungan suara karena kondisi tertentu, dan sengketa atas penetapan hasil penghitungan pilkada.

Kegagalan pilkada sebetulnya didasarkan pada asumsi kedaruratan seperti kerusuhan dan bencana yang memusnahkan hasil pemilihan maupun karena penyimpangan proses pemberian suara di TPS (Pasal 104 UU Pemda 2004). Penyimpangan proses pemberian suara mencakup pembukaan kotak suara yang tidak sesuai tata cara, surat suara tidak sah karena diberi tanda tertentu oleh petugas, penggunaan hak pilih lebih dari sekali, petugas merusak surat suara, lebih dari seorang pemilih tak terdaftar yang dapat memberikan suara.

Mengenai kesalahan prosedur penghitungan suara, Pasal 103 UU Pemda menentukan sebagai berikut: penghitungan di TPS secara tertutup, di tempat yang kurang cahaya penerangannya, para saksi tidak secara jelas dapat menyaksikan penghitungan, suara dihitung di tempat lain, inkonsistensi dalam menentukan surat suara yang sah dan tidak sah.

Penetapan hasil pilkada

Wewenang MA terbatas pada sengketa atas penetapan penghitungan akhir pilkada oleh penyelenggara pilkada yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon (Pasal 106 UU Pemda). Keberatan atas penetapan itu mengasumsikan selisih hitungan, yang dapat terjadi sejak tingkat KPPS, PPS, PPK, KPU kabupaten/kota dan terakumulasi di KPU provinsi. Dalam kasus Pilkada Sulsel, selisih itu sekitar 0,76 persen. Banyak atau sedikit, selisih hitungan memengaruhi kemenangan atau kekalahan politik.

Sebetulnya selisih suara yang dapat dibawa ke pengadilan perlu dibatasi persentasenya sehingga penetapan hasil tersebut tidak dipermainkan serta tidak perlu memicu ketegangan politik jika pihak yang kalah menuntut "keadilan kuantitatif". Selisih satu persen dapat mengharuskan penghitungan ulang di pengadilan.

Jadi, penetapan hasil pilkada dapat disengketakan ke pengadilan "dalam hal terdapat selisih penghitungan sebanyak-banyaknya satu persen dan atau memengaruhi terpilihnya pasangan calon" (sesuai sistem pemilihan dan jumlah calon). Pemohon pun harus menunjukkan kekeliruan penghitungan suara oleh KPU dan menyertakan koreksi penghitungan beserta bukti-buktinya, yang dapat diakumulasikan dari tingkat KPPS, PPS, PPK, KPU kabupaten, dan berakhir pada kekeliruan penetapan KPU provinsi.

MA harus menetapkan hasil penghitungan yang benar (putusan bersifat deklarator), yang mengubah hasil akhir pilkada (dalam kasus Sulsel, pemohon harus mampu membuktikan selisih penghitungan di atas 0,76 persen). Dalam hal bukti-bukti dari pemohon tidak mendukung, putusan pengadilan tidak memengaruhi terpilihnya calon yang ada. MA tidak dapat membatalkan hasil penghitungan suara rakyat pada tingkat dan di tempat yang tidak bermasalah.

Penyelesaian sengketa

Wewenang MA atas penetapan hasil penghitungan suara dalam pilkada termasuk sederhana meskipun penggunaan berbagai metode penghitungan suara dalam teori sistem pemilu dapat menjadikannya tidak sederhana. Dalam kesederhanaan itu terdapat dua dimensi mendasar: legitimasi politik dan hukum suara pemilih, dan cara melakukan penghitungan (soal petugas penghitung dan alat bantunya, akurasi dan verifikasi hitungan, serta pengawasan dan manipulasi penghitungan). Permasalahan yang muncul dari kedua dimensi tersebut dapat diselesaikan oleh penguasa, politisi, ahli behavioral politics, ahli statistik.

Ketika pengadilan diminta menyelesaikannya, pada dasarnya hukum diminta memberikan kepastian dan legitimasi secara terbuka dan damai. Kalau politik tidak memberikan kejelasan, mekanisme hukum berpotensi gagal untuk mencapai sasaran dan bahkan dimanipulasi (oleh politik maupun oleh hakim), lebih-lebih tanpa tradisi kuat dalam menangani sengketa pemilu sebelum reformasi (UU No 5/1986 menegaskan, penetapan hasil pemilu bukan merupakan kompetensi pengadilan).

UU Pemda menentukan bahwa putusan MA dalam sengketa hasil pilkada bersifat final dan mengikat serta dapat didelegasikan kepada pengadilan tinggi (PT). Tetapi penjelasan Pasal 106 Ayat (7) mementahkan sifat final tersebut karena putusan PT yang bersifat final adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum (penjelasan ini dapat diuji di Mahkamah Konstitusi).

Sifat final dan mengikat putusan pengadilan merupakan kunci bagi kepastian politik dan hukum hasil pilkada. Tetapi sifat tersebut tidak diterapkan sebagai lex specialis oleh MA. Penetapan hasil pilkada oleh KPU Kota Depok telah digugat ke PT Jawa Barat dan dikoreksi oleh putusan No 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. KPU Depok pun meminta peninjauan kembali dan putusan MA No 01 PK/Pilkada/2005 membatalkan putusan PT Jawa Barat (sekaligus menyalahi Perma No 6/2005; Putusan MA kemudian disengketakan ke MK meskipun permohonan untuk memperkarakan putusan tersebut tidak diterima). Rumusan UU Pemda tidak menghapus ketentu- an hukum acara MA mengenai peninjauan kembali meskipun hasil revisi UU Pemda lebih mutakhir (lex posteror) dibanding hasil revisi UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman pada tahun 2004.

Pengaturan dan praktik penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah masih membuka ketidakpastian hukum maupun destabilisasi politik. Sebuah desain penyelesaian hukum atas sengketa politik seharusnya mengandung kejelasan substantif dan ketegasan prosedural sehingga tidak mudah dibajak di pengadilan.

M Fajrul Falaakh Fakultas Hukum UGM, Anggota Komisi Hukum Nasional

---------

Tidak ada komentar: