28 Maret 2011

White Crucifixion


Marc Chagall, White Crucifixion (1938)

Chagall melukis “Penyaliban Putih” untuk menarik perhatian terhadap serangkaian kejadian politik masa itu yang dilakukan oleh partai Nasional Sosialis (Nazi) yang berkuasa di Jerman. Chagall yang sekaligus sebagai seorang Yahudi dan sebagai seniman abstrak adalah sasaran kebijakan sensor kesenian Hitler. Agennya di Jerman, Herwarth Walden, dipaksa menutup galerinya di Berlin (Der Sturm), gagal menerbitkan newsletter-nya yang berpengaruh, dan mengungsi ke Uni Soviet pada tahun 1932.

Chagall painted "White Crucifixion" to draw attention to a recent series of political events perpetrated by the ruling National Socialist party in Germany. Both as a Jew and as an abstract artist,Chagall was a target of Hitler's art censorship policies. His dealer in Germany, Herwarth Walden, was forced to close hisBerlin gallery (Der Sturm), cease publication of its influential newsletter, and flee to the Soviet Union in 1932.

Pada tahun 1937 Nazi melakukan suatu inventarisasi sistematik seni moderen di museum-museum Jerman, membuang sekitar 16.000 karya yang tidak berterima bagi selera mereka untuk dipakai dalam kampanye, dihancurkan, atau dijual di luar negeri. Empat karya Chagall dimasukkan dalam ruangan “Yahudi” pameran ‘Seni Buruk’ di Munich pada akhir tahun 1937, yang mengejek penyimpangan dari standar seni Partai Nazi. Sementara itu, kebijakan-kebijakan anti-Yahudi di Jerman makin meningkat sampai pada tahap yang tak terduga. Mengikuti UU tahun 1935 untuk membatasi hak-hak sipil Yahudi, maka pada tahun 1938 Nazi melakukan sensus dan mendaftarkan semua usaha orang Yahudi sebagai pendahuluan rencana penumpasan etnik (genocide). Pada bulan Juni dan Agustus tahun 1938 kenisah (sinagoge) di Munich dan Nurenberg dihancurkan, dan pada tgl 9 November, yang disebut Malam Kristal, kekejaman-kekejaman anti-Semitik itu mencapai puncaknya.


In 1937, the Nazis undertook a systematic inventory of modern art in German museums, removing some 16,000 works unacceptable to their taste to use in propaganda campaigns, to destroy, or to sell outside the country. Four works by Chagall were among those included in the 'Jewish' room of the infamous 'Degenerate Art' exhibition staged in Munich at the end of 1937, which mocked deviations from Nazi Party art standards. Meanwhile, anti-Jewish policies in Germany escalated to an unthinkable level. Following the September 1935 laws to curtail the civil rights of Jews, the Nazis in 1938 took a Jewish census and registered all Jewish businesses as preliminaries to plans for ethnic genocide. In June and August of that year the synagogues in Munich and Nuremberg were destroyed, and on November 9, the so-called Crystal Night, these anti-semitic atrocities reached a climax.

Sebagai reaksi, Chagall menghasilkan suatu lukisan gugurnya Yesus orang Yahudi sebagai suatu simbol universal bagi penindasan keagamaan. Bukan dengan mahkota duri, melainkan Yesus dalam lukisan Chagall memakai kain penutup kepala dan syal doa Yahudi melingkari pinggangnya. Cahaya suci bulat (halo) di kepalanya digandakan dengan cahaya sekeliling Menorah di dekat kakinya. Sosok kakek moyang dan Rachel nenek moyang Ibrani muncul di langit malam berasap meratapi penganiayaannya. Di sekeliling salibnya, Chagall melukis pemandangan salju yang suram dengan suasana mencekam Jerman moderen. Pada latar belakang bagian kanan seorang serdadu membuka pintu-pintu sebuah tabut Torah yang bernyala-nyala, yang diambil dari sinagoge yang dijarah dan isinya terhambur mengotori latar depannya. Baik bendera di atas sinanoge maupun ban tangan serdadu dihiasi dengan swastika-swastika terbalik. Salah satu sosok yang melarikan diri di latar depan bagian kiri memakai tanda yang bertulisan “Ich bin Jude” (Saya seorang Yahudi). Pada latar belakang bagian atas sebuah perahu penuh pengungsi bersusah payah meninggalkan sebuah kampung yang terbakar, yang dihancurkan sebelum Tentara Rakyat dari Uni Soviet dengan bendera merah tiba membebaskan. Detil terakhir ini adalah suatu angan-angan yang dimotivasi permusuhan pemerintahan Stalin terhadap Hitler sebelum tahun1939.


In reaction, Chagall conceived a painting of the martyrdom of the Jew Jesus as a universal symbol for religious persecution. Instead of a crown of thorns, the Jesus on Chagall's picture wears a head-cloth and a prayershawl around his loins. The round halo around his head is repeated by the round glow around the Menorah at his feet. Mourning his persecution, figures of the Hebrew patriarchs and the matriarch Rachel appear in the smoke-fille nightimt sky. All aroound he cross, Chagall has depicted a bleak snowscape with horrific scenes of modern Germany.In the backgound to the right, a soldier opens the doors of a flaming Torah ark removed from a pillaged synagogue, the contents of which litter the foreground. Both the flag above the synagogue and the soldier's armband originally were decorated with inverted swastikas. One of the fleeing figures in the foreground at the left wears a sign which originally bore the inscription "Ich bin Jude" ('I am a Jew'). In the background above is a ship full of refugees trying ineffectively to flee a burning village, destroyed before the arrival of a liberating People's Army from the Soviet Union carrying red flags; this last detail was wishful thinking, motivated by the antagonism of Stalin's government toward Hitler's before 1939.


“Penyaliban Putih” termasuk dalam pameran karya Chagall di Paris pada awal tahun 1940, yang dimaksudkan meningkatkan kesadaran terhadap peristiwa-peristiwa di Jerman di bawah Hitler dan akibat-akibatnya secara umum bagi umat manusia. Chagall sendiri melarikan diri dari wilayah pendudukan mula-mula ke Marseilles, dan kemudian meninggalkan negerinya selama masa peperangan atas bantuan Museum of Modern Art di New York. Lukisan bersejarah ini dibahas secara detil dalam suatu artikel oleh Ziva Amishai-Maisels, mahaguru Hebrew University di Yerusalem, diterbitkan dalam jurnal Institut Kesenian, “Museum Studies” (vol. 17 no. 2).


Included in an exbition of Chagall's works in Paris in early 1940, the "White Crucifixion" was designed to raise awareness of the events in Hitler's Germany and their implications for mankind in general. Evidently the artist decided to paint over the most explicit historical details after the invasion of France in May 1940 or after the German army's occupation of Paris, begun in June 1940. Chagall himself fled the first occupied zone for Marseilles, and with the help to (sic) the Museum of Modern Art in New York, escaped to his country for the duration of the war. This historic painting is discussed in detail in an article by Ziva Amishai-Maisels, Professor at the Hebrew University of Jerusalem, published in the Art Institute's journal "Museum Studies" (vol. 17, no. 2).



http://www.davidrumsey.com/amica/amico249474-5325.html

Untuk riwayat hidup Marc Chagall (1887-1985), lihat "Marc Chagall" dalam Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Marc_Chagall

[Terjemahan Zakaria Ngelow]

Di mana gerangan Allah (dalam penderitaan manusia)?

Richard Leonard SJ

Kebanyakan uraian mengenai di mana atau bagaimana menemukan Allah dalam penderitaan manusia cenderung bersifat akademik. Saya berpendapat uraian-uraian itu penting, sekalipun ada yang tidak saya setujui argumentasi atau kesimpulan-kesimpulannya. Bahkan saya menemukan bahwa jarak intelektual yang mereka patok tetap berguna dalam memisahkan untuk penelitian dari jauh. Kecintaan saya mencari jawab di bidang ini bertolak dari suatu dasar yang lain. Saya pertama-tama tidak melakukan suatu pembahasan akademik, walaupun saya berharap pikiran-pikiran saya bernalar. Saya mulai tertarik berdasarkan pengalaman, dari pergumulan dengan suatu tragedi keluarga yang memaksa saya menghadapi masalah bagaimana tetap beriman kepada suatu Allah yang pengasih menghadapi penderitaan.

Pada tgl 23 Oktober 1988 saudara perempuan saya, Tracy, mengalami kecelakaan mengerikan: ruas ke-5 tulang belakangnya keseleo, dan ruas ke-6 dan ke-7 retak. Selama 23 tahun sesudah itu dia mengalami quadriplegia, lumpuh total kaki dan tangannya. Tracey saya kenal sebagai seorang yang sangat baik, dan ketika kecelakaan pada usia 28 tahun, dia telah tinggal di Calcutta selama tiga tahun merawat orang-orang termiskin di Wisma orang Sekarat Bunda Teresa. Dia kembali ke Australia dan mendapat pekerjaan dengan para Zuster Hati Suci Bunda Kita (Sisters of Our Lady of Sacred Heart) mengurus suatu pusat kesehatan bagi orang Aborigin di Port Keats. Dekat sanalah kecelakaan mobil itu terjadi. Dalam 24 jam ibu saya mengetahui kecelakaan Tracey, dia berdiri di sebuah ruangan rumah sakit di Darwin bertanya, 'Di manakah gerangan Allah?'

Dalam bulan-bulan berikutnya saya menerima sejumlah surat yang paling mengejutkan dan mengerikan dari sejumlah orang Kristen terbaik yang saya kenal. Beberapa menulis, 'Pastilah Tracey sudah melakukan sesuatu yang sangat melukai Allah sehingga dia harus dihukum di dunia ini.' Mereka sungguh percaya bahwa Allah mengejar kita. Saya temukan sejah tahun 1988 bahwa teologi ini jauh lebih lazim daripada yang saya bayangkan. Saya bertemu dengan orang-orang yang menderita kanker, pasangan yang mandul, dan orangtua yang kehilangan anak - semua bertanya apa yang telah mereka lakukan sehingga mereka menerima kutukan yang mereka pikir Allah berikan kepada mereka. Yang lain menulis, 'penderitaan Tracey adalah mengirim ke sorga bahan-bahan bangunan terbaik untuk kediamannya kalau dia meninggal.' Inilah apa yang biasa disebut 'teologi kue di sorga kalau anda mati'. Saya tidak tahu bahwa di sorga, di mana banyak tempat di rumah Bapa, ada suite kelas-kelas satu, bisnis dan ekonomi.

Ada sejumlah surat dan kartu yang mengatakan, 'Keluarga anda sebenarnya sangat diberkati, karena Allah hanya mengirim salib terbesar bagi mereka yang mampu memikulnya.' Saya selalu menganggap aneh bahwa sejumlah orang yang tidak menerima berkat macam itu dapat melihatnya pada penderitaan orang lain. Namun baiklah kita memikirkan sejenak kalimat ini. Kita sering mendengarnya. Jika benar demikian, maka kita semua harus berlutut pagi, siang, malam dengan satu doa: 'Aku seorang pengecut. Aku seorang pengecut. Aku seorang pengecut, ya Allah. Jangan kira aku kuat.'

Ada beberapa orang yang baik, yang menambahkan dengan berusaha menghiburkan, dan mengemukakan trio jawaban nyang lazim menghadapi kabar buruk: 'Itu semua suatu misteri; menyertakan kutipan Yesaya 55, 'Jalan-Ku bukan jalanmu'; dan 'Hanya di sorga nanti kita akan mengerti rencana Allah.' Ada kebenaran dalam setiap pernyataan ini, namun saya pikir bahwa salah satu poin dalam Inkarnasi adalah justru Allah ingin menyatakan jalan dan pikiran-Nya, ingin dikenal, khususnya dalam saat-saat ketika kita mengalami penderitaan yang hebat. Kita tidak pecaya dan mengasihi suatu oknum yang jauh yang suka misteri dan menghilang ketika kesulitan melanda hidup kita. Inkarnasi secara jelas memperlihatkan kepada kita bahwa Allah bertanggungjawab untuk berperan serta dalam perjalanan hidup manusia dengan segala kompleksitas dan deritanya.

23 tahun kemudian saya berterima kasih kepada para penulis surat yang menyurati saya setelah kecelakaan saudara perempuanku. Mereka menyadarkan saya betapa sering kita mendengar teologi yang mengerikan, yang tidak mendekatkan orang kepada Allah pada saat-saat terburuk dalam kehidupan kita. Teologi macam itu mengasingkan kita; mengasingkan saya sejenak dari percaya kepada Allah yang menghendaki kita melakukan suatu diskusi bernalar mengenai kompleksitas pertanyaan di mana dan bagaimana kehadiran Ilahi cocok dengan dunia kita yang rentan dan manusiawi. Jadi, inilah langkah-langkah saya ke kesadaran spiritual ketika kita tergoda dan digoda untuk mempertanyakan, 'Di manakah gerangan Allah?'

Dalam menawarkan sesuatu menyangkut topik ini kita sama sekali berada dalam wilayah teologi spekulatif. Pemikir-pemikir yang lebih besar dari saya selama berabad-abad telah berkutat dengan peryanyaan ini dan sampai pada kesimpulan yang berbeda-beda. Saya gembira untuk hal itu. Masalahnya ketika saya sungguh memerlukan pendapat-pendapat mereka, ternyata jawaban-jawaban mereka tidak memadai. Saya tidak mempersalahkan mereka. Kebanyakan mereka tidak punya akses pada dukungan studi biblika, teologi, sains dan psikologi kontemporer.

Gereja juga tahu bahwa ia tidak dapat memberi jawaban definitif terhadap pertanyaan ini, karena di seberang sini kematian kita tidak tahu di mana dan bagaimana Allah cocok dengan penderitaan dunia. Maka saya tidak mengklaim lebih besar untuk gagasan-gagasan saya daripada yang mereka telah bantu dalam mempertahankan iman saya kepada Allah yang pengasih ketika saya berjalan di 'lembah airmata' dan dalam 'bayang-bayang maut'.

Allah tidak secara langsung mengirim kepedihan, pendritaan dan wabah. Allah tidak menghukum kita, setidaknya dalam hidup ini. Saya pegang hal ini seyakinnya karena dalam 1Yo 1: 5 kita diberitahu bahwa 'Allah adalah terang, dalam Dia tidak ada kegelapan' sehingga hal-hal mematikan dan menghancurkan tidak dapat ada dalam hakekat dan tindakan Allah. Yang kedua, apapun yang kita lakukan terhadap berbagai citra Allah dalam Perjanjian Lama, dalam Yesus Allah dinyatakan sebagai yang terkait kehidupan bukan kematian, pembangunan bukan penghancuran, pengampunan bukan pembalasan, kesembuhan bukan kesakitan. Ada perbedaan besar antara Allah mengizinkan adanya hal jahat dan Allah melakukan yang jahat terhadap kita. Kita harus meremehkan mereka yang menyebarkan dan mendukung suatu teologi yang menggambarkan Allah sebagai seorang tiran.

Allah tidak membuat kecelakaan untuk mengajar kita sesuatu, meskipun kita dapat belajar dari peristiwa itu. Kita tidak dapat mempersalahkan Allah secara langsung karena menyebabkan penderitaan kita demi kita membaliknya dan memanfaatkannya menjadi kebaikan. Pencarian manusia akan makna adalah suatu naluri yang kuat, namun saya pikir kejernihan rohani terletak dalam melihat bahwa setiap saat setiap hari Allah melakukan apa yang Dia lakukan pada hari Jumat Agung: tidak membiarkan yang jahat, maut dan kehancuran menentukan, melainkan memuliakan manusia dengan suatu kekenyalan luar biasa, dan melalui kuasa anugerah yang ajaib memampukan kita bertahan, juga dalam situasi yang paling buruk, dan membiarkan terang dan kehidupan yang menentukan. Hari Minggu Paskah adalah respon Allah terhadap Jumat Agung: kehidupan dari dalam kematian.

Allah tidak inginkan gempa bumi, banjir, kekeringan atau bencana alam lainnya: dapatkah kita berhenti saja berdoa minta hujan? Jika Allah secara langsung menangani iklim, jelas Dia adalah seorang meteorologis yang tidak becus. Jika orang bertanya, 'mengapa gempa bumi dan tsunami terjadi?' Saya kira paling baik kita menjawab mereka dengan kebenaran sederhana geofisik: 'Sebab lempeng bumi bergerak dan menimbulkan gelombang besar.' Di balik ide meteorologis-di-langit bukanlah Allah dan Bapa Yesus Kristus, melainkan Zeus, dan saya pikir kita harus hati-hati apa yang kita pikir doa syafaat lakukan. Doa tidak mengubah Allah kita yang takberubah (Ja 1), makanya doa meminta kepada Allah yang tak berubah untuk mengubah kita untuk mengubah dunia.

Kehendak Allah lebih dalam gambar besar, bukan yang kecil. Saya sangat yakin pada kehendak Allah. Kehendaknya saya yakin ditemukan pada kanvas yang lebar, bukan pada detilnya. Saya pikir Allah menghendaki saya untuk hidup sesuai kebajikan teologis iman, harap dan kasih (1 Kor 13). Melalui berkat waktu dan tempat, pemberian alam dan rahmat, saya bekerja dengan Allah mewujudkan potensi saya dengan cara yang sebaik mungkin, meskipun jika itu mengandung keharusan mengerjakan apa yang sulit, menuntut dan berkorban. Saya pikir kita harus sangat hati-hati berbicara mengenai kehendak Allah dengan kalimat-kalimat seperti, 'Dengan rahmat Allah saya berangkat.' Bagaimana dengan orang miskin yang tidak beruntung? Apakah Allah tidak pedulikan mereka? Allah tidak memerlukan darah Yesus. Yesus tidak sekedar datang 'untuk mati' melainkan Allah memakai kematian-Nya mengumumkan akhir kematian. Inilah wilayah teologi 'persembahkan pada-Nya' - 'offering it up' theology: cukup baik Yesus menderita; cukup baik bagimu juga.

Sambil mengingat Rasul Paulus dalam surat Roma, Klement dari Aleksandria, Anselmus dari Canterbury, dan kemudian karya Yohanes Calvin mengenai teori penebusan dan teologi pemenuhan, saya tidak dapat langsung menyetujui bahwa Allah kasih yang sempurna mengatur kejatuhan ke dalam dosa, lalu demikian marah kepada kita, sehingga hanya dengan kematian mengerikan Putra-Nya yang sempurna Dia memulihkan hubungan dengan manusia. Ini bukanlah satu-satunya jalan ke dalam misteri Minggu Kudus. Dalam sejarah panjang Kekristenan, pertanyaan yang mengganggu banyak orang percaya nampaknya adalah. 'Mengapa Yesus mati?' Saya pikir ini pertanyaan yang keliru. Yang tepat adalah 'Mengapa Yesus dibunuh?' Pertanyaan ini menempatkan seluruh hari-hari terakhir sengsara dan kematian Yesus dalam suatu sudut pandang yang sama sekali baru. Yesus tidak sekadar dan hanya datang untuk mati. Melainkan Yesus datang untuk hidup. Sebagai suatu akibat dari cara berani dan radikal Dia jalani hidup-Nya, dan kasih yang menyelamatkan yang Dia wujudkan bagi semua umat manusia, Dia mengancam penguasa politik, sosial dan keagamaan masa-Nya sedemikian sehingga mereka menghukum mati Dia. Tetapi Allah menentukan untuk Hari Jumat Agung: Hari Minggu Paskah.

Allah telah menciptakan suatu dunia yang kurang sempurna, kalau tidak maka surga jadinya, di mana ada kenyataan sengsara, wabah dan kepedihan. Beberapa di antaranya kita ciptakan bagi diri sendiri lalu mempersalahkan Allah. Saya tidak ingat lagi berapa banyak orang yang mengatakan kepada saya. 'Saya tidak bisa percaya pada Allah yang membiarkan kelaparan terjadi'. Saya kira Allah yang heran mengapa manusia membiarkan kelaparan terjadi. Allah bertanggungjawab membiarkan dunia berkembang yang didalamnya akibat-akibat kejahatan moral dan fisik dapat menciptakan ketidakadilan. Namun Allah tidak bertanggungjawab karena kita menolak untuk melakukan pilihan berat yang akan membuat dunia kita mengalami perubahan menjadi tempat yang lebih adil dan setara bagi semua orang. Dengan ketegaran ini, tidak mengherankan bahwa kita menemukan kambi ng hitam ilahi untuk menanggung pelanggaran bagi kelemahan kehendak politik dan solidaritas sosial kita.

Allah tidak membinasakan kita. Syukur kepada Allah, sebagai seorang Katolik, setidaknya sejak tahun 1960an, secara resmi kita tidak memahami Kitab Suci secara hurufiah, sehingga kita sampai kita menghampiri teks tentang Allah mengenal 'rambut di kepalamu' dan 'panjang hari-hari hidup kita' (Yer 1:5; Gal 1: 15-16; Ams 16:33; Mat 10:30). Maka kita menjadi sepenuhnya fundamentalis. Ketika saya pergi ke panti jompo, saya sering ditanya, 'Romo, mengapa Allah tidak mengambil Oma?' Lalu saya jawab, 'Sebab Oma masih tetap bernafas.' Sebenarnya saya tidak maksudkan itu. Saya punya perasaan yang lebih pastoral, namun saya jawab saja. Kat kerja 'mengambil' demikian menyingkap apa yang kita pikir terjadi. Mengapa Allah berkeinginan 'mengambil' anak umur dua tahun ke sorga daripada 'membiarkan' anak ini berda dalam dekapan orangtua yang mengasihinya/ Bertentangan dengan ini, saya pikir sama sekali tepat untuk percaya bahwa kehidupan, dari rahim ke panti jompo, tidaklah ditentukan Allah jangka panjangnya, melainkan bahwa tubuh kita akan hidup sampai tidak berfungsi lagi, apa pun alasannya, alami atau kebetulan. Allah bukanlah pemain aktif dalam proses ini, namu sekali lagi, bertanggungjawab membuat kita fana. Lalu ketika tubuh kita mati, jiwa atau roh kita mulai perjalan terakhirnya ke sorga.

Mungkin ada yang berpendapat bahwa teologi yang dibderikan garis besarnya di sini mengajukan Allah sebagai yang asing dan jauh. Saya tidak perlu memikirkan bahwa Allah adalah sebab langsung segala sesuatu dalam hidup saya untuk sengan kuat dan bersemangat yakin pada Allah yang personal. Dan memang saya menyukai kasih dan kehadiran pribadi Allah. Berpendapat bahwa Allah dipisahkan dari detil rumit bagaimana sesuatu berlangsung, tidak menjauhkan Allah dari drama kehidupan, penderitaan dan kematian kita. Allah menunggu dengan sabarsuatu undangan untuk masuk ke dalam hidup kita, pa tingkat mana pun yang kita mau. Kristus menjumpai kita di mana kita berada, memeluk dan memegang erat ketika kita mengalami hal yang berat, dan menolong menemukan jalan maju, bakan dan khususnya, pada hari terakhir ketika kita menemukan jalan pulang ke rumah Bapa.

Rev Dr Richard Leonard is a Jesuit of the Australian Province and author of Where the hell is God? (Paulist Press, 2010).
--------------

Where the hell is God?
http://www.thinkingfaith.org/articles/20110321_1.htm
Terjemahan Zakaria J. Ngelow