30 September 2009

Pergumulan Rangkap


SUARA PEMBARUAN DAILY

http://www.suarapembaruan.com/News/2009/09/30/index.html
Pergumulan Rangkap

Catatan Pra-Sidang Raya XV PGI

Trisno S Sutanto

Hampir empat dekade lalu, di Sukabumi, berlangsung suatu konsultasi teologis dalam lingkup Dewan Gereja-gereja di Indonesia -DGI (kini Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia-PGI) yang kemudian melahirkan dokumen sangat mahsyur, berjudul Pergumulan Rangkap.

Membaca kembali dokumen itu dan menempatkannya dalam konteks pergulatan gereja-gereja di Tanah Air, setidaknya gereja-gereja yang termasuk dalam lingkup PGI, membuat orang pantas bertanya: sampai sejauh manakah perubahan mendasar pada kehadiran dan misi gereja dalam empat dasawarsa terakhir? Ataukah, sesungguhnya, PGI dan bahkan protestantisme, secara keseluruhan mengalami kemandekan, berada di pinggiran, dan hanya menjadi penonton pasif perubahan masyarakat?

Sulit mencari jawaban pasti atas pertanyaan itu. Tetapi, pengalaman empat dasawarsa terakhir memperlihatkan bahwa dokumen teologis Pergumulan Rangkap (selanjutnya: PR) pantas disebut sebagai salah satu tonggak penentu arah yang penting, dan karenanya perlu dibaca ulang. Esai ini mau mengusulkan pembacaan ulang, yang menurut saya, kian mendesak dilakukan, ketika PGI akan menggelar Sidang Raya XV di Mamasa, November mendatang. Mungkin, dengan itu, kita dapat memberikan makna lebih mendalam pada pengakuan iman sang pemazmur, bahwa "Tuhan itu baik kepada semua" (Mzm 145:9).

Warisan Pietis

Teks PR punya makna sangat penting jika diletakkan pada konteks sosio-historis dan teologis yang melatarinya. Pada satu sisi, ia mau menegaskan kebutuhan bagi gereja-gereja melakukan mawas diri secara jujur dan mendalam terhadap warisan teologisnya. Pada sisi lain, ia sekaligus memberikan arah bagi upaya untuk mencari bentuk teologi yang lebih gayut bagi misi gereja dalam dunia yang sudah berubah.

Pergumulan Rangkap berangkat dari kesadaran bahwa warisan teologi pietis yang ditinggalkan para misionaris Barat, yang menekankan pada kesalehan individu dan keselamatan jiwa, sudah tidak gayut dalam konteks saat itu. Percepatan modernisasi, yang membawa arus industrialisasi, urbanisasi, dan sekularisasi, secara fundamental telah mengubah cara berpikir dan cara hidup masyarakat. Sementara itu, warisan teologi pietis Barat yang dihidupi gereja-gereja justru lebih berorientasi pada segi rohaniah semata, yang membuat gereja-gereja tidak mampu memainkan peran dalam perubahan masyarakat.

Situasi krisis itu tampak jelas pada tiga ranah problematis yang jadi sorotan PR: relasi gereja dengan adat, budaya, dan agama suku; relasi gereja dengan pemerintah atau kekuasaan negara; dan, akhirnya, relasi gereja dengan agama-agama dan kepercayaan lain. Pada setiap ranah itu dirasa kebuntuan yang membuat misi gereja cenderung memperkuat prasangka, dirasa asing dan tidak mampu melakukan transformasi kritis (terhadap adat dan kebudayaan sekitar), serta tunduk pada langgam kekuasaan negara, sehingga tidak mampu berperan profetis.

Dokumen PR menyerukan kebutuhan untuk melakukan pemikiran ulang teologi secara mendasar, dengan menggumuli apa yang disebut sebagai pergumulan rangkap, yakni "pada satu pihak pergumulan gereja dengan Tuhannya dalam arti menghayati kebenaran dan anugerah Allah dalam Yesus Kristus, dan di pihak lain sekaligus merupakan pergumulan dengan kebudayaan dan masyarakat, di tengah-tengah mana gereja itu hidup." Seruan inilah yang membuat PR terasa masih gayut, jauh setelah konteks awal yang melatarinya. Karena apa yang menjadi keprihatinan utama PR sebenarnya menyentuh pergulatan dasar setiap tradisi keagamaan yang otentik. Di tengah masyarakat yang berubah cepat, jika agama masih mau gayut, maka selalu dibutuhkan rethinking teologis persoalan-persoalan zamannya. Tanpa itu, agama dapat menjadi sekadar artefak peninggalan sejarah yang sudah selayaknya dimuseumkan saja!

Pergumulan Rangkap memberikan arah yang jelas dan tegas bagi rethinking itu. Agama (apalagi gereja) harus berani keluar dari benteng-benteng ke(ny)amanan dirinya, dan ikut masuk "meresapi", memakai istilah PR, perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Karena agama (apalagi gereja) bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sekadar alat, atau jalan, bagi karya Allah demi ciptaan-Nya. Kesalahan fundamental yang sering terjadi adalah ketika agama memandang diri bukan lagi sebagai alat, tetapi sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Pada titik itu, maka kehadiran agama dan kepercayaan lain justru dinilai sebagai saingan, atau bahkan musuh, bukan "mitra kerja" bagi rencana keselamatan Allah.

Teologi Inklusif

Ringkasnya, PR mengajak gereja-gereja mengembangkan suatu teologi inklusif yang transformatif. Dalam lingkup kekristenan, PR mengajak agar gereja-gereja mengembangkan relasi yang, pada satu pihak, positif terhadap nilai-nilai, adat istiadat, kepercayaan, agama lain, termasuk pemerintah; tetapi, pada pihak lain, selalu menjaga jarak dan bersikap kritis.

Jarak dan sikap kritis ini dibutuhkan agar berita keselamatan dalam Injil tidak lagi terkungkung, malah dijinakkan, oleh struktur-struktur kekuasaan, masyarakat (termasuk di dalamnya struktur gerejawi!), ataupun warisan adat-istiadat yang sudah membeku. Tetapi, pada saat bersamaan, juga dibutuhkan sikap positif yang, dengan sungguh-sungguh, mau terbuka dan berdialog dengan warisan budaya dan kepercayaan lain. Terlalu lama gereja-gereja, dan saya kira juga agama-agama, hidup dalam ghetto masing-masing yang hanya akan memelihara prasangka dan sikap saling mencurigai.

Pergumulan Rangkap mengajak kita untuk keluar dari jebakan ghetto itu, dan bersama-sama mencandra-dinamika rencana keselamatan Allah. Bukan lagi pada tataran kesalehan dan keselamatan individual, melainkan pada upaya bersama untuk "menciptakan struktur-struktur yang lebih memungkinkan terlaksananya keadilan dan kebenaran". Itulah tugas dan tantangan pokok yang diwariskan PR bagi kita.

Menurut saya, tantangan itu masih gayut untuk dibicarakan lagi dalam persidangan PGI, November mendatang. Karena hanya dengan cara itu, tema yang dipilih PGI, yakni pengakuan iman sang pemazmur bahwa "Tuhan itu baik kepada semua" akan punya makna. Semoga!

Penulis adalah mahasiswa STF "Driyarkara", bekerja di MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama), Jakarta

Last modified: 29/9/09


29 September 2009

Catatan kunjungan ke Mamasa


Lokasi pelaksanaan suatu program Oase --yang direncanakan berlangsung di Polewali (4 jam dengan mobil dari Makassar)-- dipindahkan ke kota Mamasa. Saya tanyakan bagaimana kondisi jalan. Beberapa kawan mengatakan sudah bagus, jarak 90 KM yang dahulu ditempuh 7 - 8 jam kini hanya 3 jam kata mereka. Jadi kami berangkat jam 8 malam dari Polewali dengan mobil sewa Kijang kapsul yang cukup gesit di jalan yang masih banyak yang harus dengan “gigi 2". Beberapa bagian ternyata belum diperbaiki. Untunglah kemarau panjang sehingga kami tidak terhalang jalan berlumpur ... Kami tiba jam 12 malam di kota Mamasa yang sangat dingin (di bawah 20C).

Kami berkesempatan mempercakapkan dan “meninjau” persiapan Gereja Toraja Mamasa menyelenggarakan Sidang Raya PGI bulan November mendatang. Sebuah gedung aula sedang diselesaikan. Menurut ketua panitia pembangunan gedung itu, Ir. John Bataragoa, selain panggung, ruangan aula berukuran 22 x 34 M dapat menampung sekitar 1.500 peserta (dengan menyebut 3 orang per meter). Lantai mulai dipasangi ubin, tetapi plafon akan darurat saja karena perlu minimal 2 bulan memasang yang permanen. Kamar kecil di bagian belakang dan bagian depan gedung sedang dikerjakan juga. Lapangan di samping aula baru akan di-beton/paving untuk dipasangi tenda sebagai tempat makan peserta. Menurut Pak Bataragoa, keseluruhannya dihitung sudah rampung 75%.

Bagaimana dengan akomodasi? Beberapa hotel kecil rupanya disiapkan untuk tamu-tamu khusus. Peserta persidangan akan ditampung di rumah-rumah warga, yang kabarnya sudah didata sekitar 300 - 600 rumah. Konsumsi akan diurus oleh tim PKK Kabupaten.

Jalan raya jelas tidak dapat mulus dalam 2 bulan ke depan, namun diharapkan pengerasan di beberapa bagian yang bakal berlumpur kalau diguyur hujan, terutama sekitar Balabatu dan beberapa kilo meter memasuki kota Mamasa.

Hal lain yang juga penting adalah pergumulan internal Gereja Toraja Mamasa menyangkut “lemahnya hubungan antar jemaat dan dengan pimpinan sinodal”. Apakah GTM memanfaatkan peristiwa menjadi tuan rumah Sidang Raya PGI untuk konsolidasi “kesatuan dan persatuan” GTM? Pdt. P. Buntuborrong, Ketua II Badan Pekerja Sinode, menjawab positif. Tetapi beberapa rekan pendeta GTM memberi informasi yang lain. Ada sinyalemen bahwa panitia pelaksana tidak begitu gencar menggalang partisipasi jemaat-jemaat karena lebih bersandar pada dukungan pemerintah dan para pengusaha ...


Bagaimana persiapan Pertemuan Raya Perempuan di Nosu? Informasinya singkat saja: gedung aula (ukuran 22 x 44 meter) tidak akan siap benar, jadi akan memakai tenda saja (?) Jalan raya lebih buruk daripada ke Mamasa (dan semoga tidak hujan, walaupun bulan November adalah musimnya ...) Dukungan digalang di kalangan warga masyarakat Nosu di rantau. Tentu panitia sudah memberitahu calon peserta mengenai perlengkapan yang perlu dipersiapkan. Pakaian hangat (Nosu salah satu tempat terdingin di daerah ini, rata-rata di bawah 20 C), sepatu untuk jalan kaki (kalau mobil tidak bisa sampai ke tempat tujuan), dan karena itu lebih baik bawa ransel daripada koper. Dan jangan lupa tisu untuk toilet, karena airnya sedingin air es ...

22 September 2009

Calvinisme di Toraja


500 tahun Yohanes Calvin
Pada 22-23 September 2009 Gereja Toraja melalui Institut Teologi Gereja Toraja merayakan 500 tahun Yohanes Calvin (10 Juli 1509-2009)di Hotel Misiliana Rantepao. Perayaan ini dihadiri sekitar 70 pendeta. Beberapa aspek dari kehidupan dan pemikiran Calvin serta teologi Calvinisme dibahas bersama beberapa fasilitator, al. Dr Lazarus Poerwanto.

01 September 2009

Kristen Halmahera abad ke-16

(bagian dari Teks Orasi pada Dies Natalies I Universitas Halmahera)
Tobelo, 1 September 2009 oleh Zakaria J. Ngelow

Dalam orasi ini, saya mengandalkan studi Dr. James Haire (Sifat dan Pergumulan Gereja Halmahera 1941-1979) untuk mengenal latar belakang sejarah konteks sosial-keagamaan di Halmahera. Secara detil beliau menganalisis fakta-fakta sejarah untuk memperlihatkan berbagai faktor yang menentukan sehingga gereja ini ada kini sebagaimana adanya. Rupanya belum ada yang peneliti kelanjutan studi GMIH untuk periode 30 tahun terakhir (1979- sekarang). Sejarah GMIH dalam 30 tahun terakhir tentu saja menampakkan fakta-fakta dinamika yang berbeda, juga dalam hubungan dengan dunia sekitarnya, termasuk dunia agama-agama. Dalam beberapa tahun di awal abad ke-21 ini GMIH mengalami salah satu periode paling kritis dalam sejarahnya, yakni konflik berdarah antar komunitas, yang mungkin dapat dibandingkan dengan krisis umat Allah ketika terjadi penghancuran Yerusalem dan pembuangan umat Allah ke Babilonia pada abad ke-6 sebelum Kristus. Meskipun tidak mencakup periode 30 tahun terakhir, studi Dr. Haire yang meliputi seluruh latar sejarah GMIH ini secara lengkap memperlihatkan kaitan-kaitan antara kehidupan jemaat dengan dunianya, baik dunia politik dan ekonomi, maupun dunia agama-agama dan kebudayaan.

Kekristenan di Halmahera dikenal dalam sejarah sebagi awal mula Kekristenan moderen di Indonesia. Ada keyakinan bahwa Kekristenan Nestorian sudah sampai ke Nusantara pada abad ke-7 (bersamaan dengan munculnya Islam di semenanjung Arabia). Tetapi data sejarah yang jelas adalah pembaptisan Kolano Mamuya dan pengikutnya pada tahun 1534. Demikian pula pembunuhan imam Fransiskan, Simon Vas, tak lama sesudah itu, pada tahun 1536, sebagai martir pertama di Indonesia.

Kedatangan Portugis ke Maluku merupakan bagian dari ekspansi kolonial bangsa-bangsa Barat. Pada tahun 1498 armada laut Portugis di bawah pimpinan Vasco da Gama tiba di Calicut, India, sebagai penemuan jalan laut dari Eropa ke Asia. Dengan penemuan itu mulailah era yang disebut “Era Vasco da Gama”, era dominasi kolonialisme Barat atas Asia dan Afrika, yang baru berakhir pada pertengahan abad ke-20. Selanjutnya, armada Portugis, yang juga membawa para imam Katolik, menaklukkan kesultanan Malaka pada tahun 1511. Tahun 1512 seorang kapten Portugis sudah tiba di Ternate, di mana 10 tahun kemudian sebuah benteng Portugis didirikan untuk kepentingan penguasaan monopoli perdagangan rempah-rempah yang dihasilkan kepulauan Maluku ini.

Kepentingan ekonomi, perluasan wilayah jajahan dan penyebaran agama (Kristen) memunculkan apa yang disebut tujuan 3G kolonialisme Barat, for gold, glory and God, yang terarah pada pencarian kekayaan (emas, gold) dan kejayaan (kemuliaan, glory) bangsanya, serta penyebaran agama Kristen (Injil, gospel). Dengan kata lain, menggabungkan kepentingan ekonomi, kekuasaan dan penyebaran agama Kristen. Sering pula disebutkan sebagai persekongkolan 3M, the merchants (para saudagar), the military (serdadu), dan the missionaries (pekabar Injil).

Sejarah Kekristenan Roma Katolik pada abad ke-16 di Maluku Utara menjadi lembaran hitam sejarah gereja karena setelah sempat berkembang pesat di bawah asuhan para imam Yesuit, umat Kristen dikorbankan dalam petarungan politik memperebutkan monopoli perdagangan rempah-rempah. Penganut agama Kristen kala itu dianggap sebagai pendukung Portugis, sehingga diperangi oleh kesultanan Ternate dalam pembalasan dendam atas terbunuhnya Sultan Hairun di benteng Portugis pada tahun 1570. Kemudian, bukan hanya gereja yang akhirnya ditumpas melainkan seluruh Maluku Utara dikucilkan dari arena perdagangan internasional setelah Belanda memindahkan pusat perdagangan rempah-rempah ke Maluku bagian Selatan, yang berpusat di Ambon. Sejarah memperlihatkan bahwa kemajuan ekonomi, dan pengembangan pendidikan membuat Maluku Selatan (Ambon dan sekitarnya) memiliki sumber daya manusia yang handal, sehingga berperan penting dalam sejarah Indonesia, baik pada zaman kolonial maupun kemudian dalam sejarah Indonesia merdeka.

Sejarah musnahnya Kekristenan Katolik abad ke-16 menjadi pelajaran berharga bagi zending Protestan kemudian hari, untuk tidak mengidentifikasi diri dengan penguasa kolonial. Gereja tidak boleh menumpang atau mencampurkan panggilannya dengan sesuatu kekuatan politik duniawi mana pun. Hubungan gereja dengan politik “berlangsung dari luar”, dalam rangka gereja hadir dan bersaksi dalam segala lapangan kehidupan termasuk politik, ekonomi, kebudayaan, dsb. Sebab itu pemberitaan Injil jelas berdampak ekonomi, karena mengubah cara hidup masyarakat, termasuk etika kerja; jelas berdampak politik karena membangun kekuatan persekutuan yang bahkan melampaui ikatan-ikatan primordial kesukuan atau kedaerahan dan peka terhadap ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan. Juga berdampak budaya karena mengubah cara pandang dan relasi terhadap alam, sesama dan kehidupan serta relasi dengan Yang Ilahi.