01 September 2009

Kristen Halmahera abad ke-16

(bagian dari Teks Orasi pada Dies Natalies I Universitas Halmahera)
Tobelo, 1 September 2009 oleh Zakaria J. Ngelow

Dalam orasi ini, saya mengandalkan studi Dr. James Haire (Sifat dan Pergumulan Gereja Halmahera 1941-1979) untuk mengenal latar belakang sejarah konteks sosial-keagamaan di Halmahera. Secara detil beliau menganalisis fakta-fakta sejarah untuk memperlihatkan berbagai faktor yang menentukan sehingga gereja ini ada kini sebagaimana adanya. Rupanya belum ada yang peneliti kelanjutan studi GMIH untuk periode 30 tahun terakhir (1979- sekarang). Sejarah GMIH dalam 30 tahun terakhir tentu saja menampakkan fakta-fakta dinamika yang berbeda, juga dalam hubungan dengan dunia sekitarnya, termasuk dunia agama-agama. Dalam beberapa tahun di awal abad ke-21 ini GMIH mengalami salah satu periode paling kritis dalam sejarahnya, yakni konflik berdarah antar komunitas, yang mungkin dapat dibandingkan dengan krisis umat Allah ketika terjadi penghancuran Yerusalem dan pembuangan umat Allah ke Babilonia pada abad ke-6 sebelum Kristus. Meskipun tidak mencakup periode 30 tahun terakhir, studi Dr. Haire yang meliputi seluruh latar sejarah GMIH ini secara lengkap memperlihatkan kaitan-kaitan antara kehidupan jemaat dengan dunianya, baik dunia politik dan ekonomi, maupun dunia agama-agama dan kebudayaan.

Kekristenan di Halmahera dikenal dalam sejarah sebagi awal mula Kekristenan moderen di Indonesia. Ada keyakinan bahwa Kekristenan Nestorian sudah sampai ke Nusantara pada abad ke-7 (bersamaan dengan munculnya Islam di semenanjung Arabia). Tetapi data sejarah yang jelas adalah pembaptisan Kolano Mamuya dan pengikutnya pada tahun 1534. Demikian pula pembunuhan imam Fransiskan, Simon Vas, tak lama sesudah itu, pada tahun 1536, sebagai martir pertama di Indonesia.

Kedatangan Portugis ke Maluku merupakan bagian dari ekspansi kolonial bangsa-bangsa Barat. Pada tahun 1498 armada laut Portugis di bawah pimpinan Vasco da Gama tiba di Calicut, India, sebagai penemuan jalan laut dari Eropa ke Asia. Dengan penemuan itu mulailah era yang disebut “Era Vasco da Gama”, era dominasi kolonialisme Barat atas Asia dan Afrika, yang baru berakhir pada pertengahan abad ke-20. Selanjutnya, armada Portugis, yang juga membawa para imam Katolik, menaklukkan kesultanan Malaka pada tahun 1511. Tahun 1512 seorang kapten Portugis sudah tiba di Ternate, di mana 10 tahun kemudian sebuah benteng Portugis didirikan untuk kepentingan penguasaan monopoli perdagangan rempah-rempah yang dihasilkan kepulauan Maluku ini.

Kepentingan ekonomi, perluasan wilayah jajahan dan penyebaran agama (Kristen) memunculkan apa yang disebut tujuan 3G kolonialisme Barat, for gold, glory and God, yang terarah pada pencarian kekayaan (emas, gold) dan kejayaan (kemuliaan, glory) bangsanya, serta penyebaran agama Kristen (Injil, gospel). Dengan kata lain, menggabungkan kepentingan ekonomi, kekuasaan dan penyebaran agama Kristen. Sering pula disebutkan sebagai persekongkolan 3M, the merchants (para saudagar), the military (serdadu), dan the missionaries (pekabar Injil).

Sejarah Kekristenan Roma Katolik pada abad ke-16 di Maluku Utara menjadi lembaran hitam sejarah gereja karena setelah sempat berkembang pesat di bawah asuhan para imam Yesuit, umat Kristen dikorbankan dalam petarungan politik memperebutkan monopoli perdagangan rempah-rempah. Penganut agama Kristen kala itu dianggap sebagai pendukung Portugis, sehingga diperangi oleh kesultanan Ternate dalam pembalasan dendam atas terbunuhnya Sultan Hairun di benteng Portugis pada tahun 1570. Kemudian, bukan hanya gereja yang akhirnya ditumpas melainkan seluruh Maluku Utara dikucilkan dari arena perdagangan internasional setelah Belanda memindahkan pusat perdagangan rempah-rempah ke Maluku bagian Selatan, yang berpusat di Ambon. Sejarah memperlihatkan bahwa kemajuan ekonomi, dan pengembangan pendidikan membuat Maluku Selatan (Ambon dan sekitarnya) memiliki sumber daya manusia yang handal, sehingga berperan penting dalam sejarah Indonesia, baik pada zaman kolonial maupun kemudian dalam sejarah Indonesia merdeka.

Sejarah musnahnya Kekristenan Katolik abad ke-16 menjadi pelajaran berharga bagi zending Protestan kemudian hari, untuk tidak mengidentifikasi diri dengan penguasa kolonial. Gereja tidak boleh menumpang atau mencampurkan panggilannya dengan sesuatu kekuatan politik duniawi mana pun. Hubungan gereja dengan politik “berlangsung dari luar”, dalam rangka gereja hadir dan bersaksi dalam segala lapangan kehidupan termasuk politik, ekonomi, kebudayaan, dsb. Sebab itu pemberitaan Injil jelas berdampak ekonomi, karena mengubah cara hidup masyarakat, termasuk etika kerja; jelas berdampak politik karena membangun kekuatan persekutuan yang bahkan melampaui ikatan-ikatan primordial kesukuan atau kedaerahan dan peka terhadap ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan. Juga berdampak budaya karena mengubah cara pandang dan relasi terhadap alam, sesama dan kehidupan serta relasi dengan Yang Ilahi.

Tidak ada komentar: