21 Juli 2019

Teologi Bulan


Tepat 50 tahun lalu, 20 Juli 1969, manusia mendarat pertama kalinya di bulan. Dan program NASA, badan antariksa AS, tidak berhenti di bulan. Bagaimana para teolog Kristen dan gereja menanggapi penaklukan langit ini? Tujuan utama pendaratan di bulan pada awalnya adalah tujuan politik. Amerika sangat perlu mengembangkan keunggulan teknologi dan militer setelah merasa malu atas keberhasilan perjalanan ruang angkasa Rusia yang menakjubkan dengan Sputnik yang lewat di antariksa di atas kepala mereka pada tahun 1957 dan 1958. Tetapi bagi seluruh dunia pendaratan ini mendorong kepercayaan diri yang luar biasa terhadap kemampuan manusia.

Di balik program moonshot (program pendaratan manusia di bulan) AS ada perkembangan ilmu pengetahuan dan tekknologi yang luar biasa. Sebenarnya belum ada satu komputer pun pada saat itu yang memiliki kekuatan komputasi seperti smartphone yang terbelakang saat ini pun — sekali pun komputer yang ada berupa mesin raksasa seukuran beberapa kulkas. Kemampuan NASA dan MIT dalam waktu yang sangat singkat, membuat langkah besar dengan menciptakan komputer yang cukup kecil untuk dimuat dan dapat dioperasikan dalam pesawat antariksa— praktis merupakan keajaiban untuk masa itu.

Teolog Protestan

Pada tahun 1958 Christianity Today mengajukan pertanyaan, “Moonshot: Its Meaning?” (Penerbangan ke Bulan: Maknanya Apa?) kepada 25 teolog Protestan ternama, dengan esai pembuka oleh A.W. Tozer, “A Christian Look at the Space Age.” Rangkumannya ditulis oleh Douglas Estes dalam “Moonshot: What Barth, Tillich, and Tozer Thought of the Space Age.”

Reinhold Niebuhr (1892 - 1971), teolog Amerika ternama, penggagas Christian realism, bingung dengan program antariksa: setelah menyaksikan kejahatan Holocaust yang mengerikan, kebangkitan komunisme ateis, dan kebencian dan ketidakadilan yang merasuk begitu banyak orang pada abad ke-20, Niebuhr tidak dapat membayangkan bahwa teknologi yang canggih dapat juga menjadi kekuatan untuk kebaikan dunia, bukan hanya untuk kejahatan. Maka ketika senjata nuklir tampaknya siap untuk menghancurkan dunia, penerbangan antariksa memberi harapan kepada dunia dengan pengembangan kerjasama antar-negara —dimulai pada tahun 1975 dengan pembentukan Badan Antariksa Eropa dan kemudian dengan kerja sama AS-Rusia dan belasan negara maju lainnya membangun Stasiun Luar Angkasa Internasional.

Paul Tillich (1886 - 1965), filsuf dan teolog eksistensial yang terkenal, menyarankan bahwa mungkin sementara tidak ada efek religius langsung pada eksplorasi antariksa, tetapi ada beberapa hal positif bagi umat manusia yang patut disambut oleh umat Kristiani. Penjelajahan ruang angkasa dapat mengatasi keterpencilan bumi kita dan menghasilkan visi baru tentang kebesaran alam semesta di mana bumi dan umat manusia, ruang dan waktu, hanya merupakan bagiannya. Itu akan seperti penemuan Kepulauan Canary (Agustus 1492) oleh Christopher Columbus (1451 - 1506), yang merupakan awal penemuan orang Eropa terhadap bagian dunia yang lebih luas lagi.

Gordon H. Clark (1902 - 1985), filsuf Calvinis dan pendiri Scripturalism, berpendapat bahwa pendaratan di bulan adalah penugasan Ilahi; sayangnya bukannya orang-orang beriman yang aktif dalam program itu. Kebanyakan kalangan Injili tidak mendukung program antariksa AS.

Carl F. H. Henry (1913 - 2003), teolog Injili Amerika terkemuka dan editor/pendiri Christianity Today, memperingatkan bahwa pendaratan di bulan tidak lebih dari bukti kesombongan umat manusia, mengikuti semangat Lucifer, yang congkak meninggikan diri melawan Tuhan Allah.

F. F. Bruce (1910 - 1990), seorang ahli Biblika dan teologi praktika terkemuka asal Inggris, menyatakan bahwa sementara penjelajahan manusia dapat memiliki motif pementingan diri sendiri, namun semakin banyak yang ditemukan manusia tentang alam semesta ciptaan Allah, semakin banyak alasan yang mereka untuk mengagumi kebijaksanaan dan kekuatan-Nya.

Karl Barth (1886 - 1968), yang sering dipuji sebagai teolog terhebat di zaman modern, menjelaskan bahwa dari ketinggian langit sampai ke kedalaman lautan, di mana pun orang berada, di situ juga Tuhan ada (band. Mazmur 139: 7-10). Jadi pergilah ke bulan! Tuhan pun akan ada di sana.

Dalam esainya A.W. Tozer (1897 - 1963, pendeta dan penulis Injili, mengeritik bahwa orang Kristen boleh prihatin atas kejahatan dan kebencian, ketidakadilan dan penderitaan di dalam dunia. Tetapi jika orang Kristen menyerah dan panik di hadapan perkembangan ilmu pengetahuan tentang benda-benda langit, maka akan mengungkapkan betapa tidak memadainya pengertiannya tentang Allah dan betapa lemah pemahamannya akan makna kebangkitan Kristus dan kenaikan-Nya ke tangan kanan Yang Mulia di surga. "

Gereja Katolik

Pastor Yesuit Adam D. Hincks (lahir 1983) dari Canada mendalami astronomi (ilmu falak) dan aktif mengobservasi ruang angkasa. Sebagai astrophysicist and cosmologist yang juga mendalami teologi, Pastor Hincks menegaskan tidak ada pertentangan antara sains dan teologi. Capaian iptek seperti penerbangan di antariksa membuka cakrawala iman. Di angkasa luar manusia makin sadar betapa besarnya semesta alam dan manusia hanyalah sebutir debu.

Dari angkasa luar terjadi “overview effect,” orang memandang betapa luas alam semesta dan betapa kecil manusia. Ini mengingatkan pada Alkitab, Mazmur 8: 4-5, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Seorang astronaut bersaksi bahwa terbang di ruang angkasa melihat realitas Bumi, seakan sendirian di jagat raya. "Pengalaman itu mengubah hidup saya dan sikap saya terhadap kehidupan itu sendiri.” Pastor Hincks mengemukakan adanya tradisi di Abad Pertengahan yang melihat alam sebagai semacam wahyu; ada kitab alam di samping Kitab Suci.

Pendaratan di bulan juga mengubah cara Gereja melihat sains. Sepuluh tahun setelah pendaratan di bulan, salah satu hal pertama yang dilakukan Paus Yohanes Paulus II adalah menghidupkan kembali Akademi Ilmu Pengetahuan Kepausan (the Pontifical Academy of Sciences). Pada tahun 1992, atas saran Akademi ini, Gereja Katolik secara resmi meminta maaf karena membungkam Galileo Galilei (1564 - 1642) pada tahun 1633 di bawah ancaman penyiksaan, kemudian menjadikannya tahanan rumah selama sisa hidupnya. Pada tahun 1996, Paus Yohanes Paulus II dengan tegas mengakui fakta evolusi dalam perkembangan spesies manusia. Dalam hal ini evolusi dilihat gereja sebagai proses penciptaan Allah.

Dari segi budaya, pendaratan di bulan meningkatkan tempat teknologi dalam kehidupan manusia. Orang makin kuat berharap pada kemajuan teknologi. Tetapi Paus Francis memberi catatan kritis terhadap teknologi dan dampaknya bagi kehidupan manusia modern. Paus tidak menentang sains. Dalam ensikliknya Laudato Si’ (2015) Paus Francis mendukung pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi telah mengatasi kejahatan yang tak terhitung jumlahnya yang membahayakan dan membatasi manusia, namun kekuatan yang berasal dari teknologi dapat digunakan oleh mereka yang memiliki pengetahuan dan sumber daya ekonomi untuk mendominasi umat manusia dan seluruh dunia. Paus Francis tidak berpikir bahwa produk teknologi itu netral, melainkan menciptakan kerangka kerja yang akhirnya mengkondisikan gaya hidup dan membentuk kemungkinan sosial di sepanjang alur yang didiktekan oleh kepentingan kelompok kuat tertentu.
Jadi, pendaratan di bulan dan penaklukan ruang angkasa menandai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia. Kemajuan iptek ini harus terus diletakkan dalam bingkai moral-etik keagamaan: pada satu fihak demi kemuliaan Allah, dan pada fihak lain demi kesejahteraan seluruh umat manusia.

Beberapa acuan:
Ross Andersen What Will the Moon Landing Mean to the Future?” online at https://www.theatlantic.com/science/archive/2019/07/moon-landing-50-years-later/593803/
Douglas Estes dalam “Moonshot: What Barth, Tillich, and Tozer Thought of the Space Age,” [online athttps://www.christianitytoday.com/ct/2019/july-web-only/barth-tillich-tozer-space-age-moon-landing-anniversary.html]
Michael Swan, “Faith in the Stars: Moon Landing Changed How Church Sees Science” online athttps://bccatholic.ca/news/canada/faith-in-the-stars-moon-landing-changed-how-church-sees-science
“The Rebbe on the Lunar Landing and Human Prowess” online athttps://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/4439442/jewish/The-Rebbe-on-the-Lunar-Landing-and-Human-Prowess.htm

Makassar, 20 Juli 2019
Zakaria J. Ngelow




03 Juli 2019

Identitas Etnis Orang Seko (dan Hubungannya dengan Orang Toraja)


Zakaria J. Ngelow – berasal dari Seko dan bangga sebagai orang Seko

Ethnic identity is defined as a sense of belonging based on one's ancestry, cultural heritage, values, traditions, rituals, and often language and religion. Identitas suku didefinisikan sebagai rasa memiliki berdasarkan pada kesamaan leluhur, warisan budaya, nilai-nilai, tradisi, ritual, dan seringkali bahasa dan agama seseorang. [International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (Second Edition), 2015]


Ciri-ciri
Beberapa waktu lalu dalam WAG Seko Diaspora sempat ramai diperdebatkan tentang identitas kesukuan orang Seko. Apakah orang Seko salah satu suku di antara suku-suku yang ada di pulau Sulawesi? Apakah orang Seko termasuk suku Toraja? Pertanyaan-pertanyaan dapat dijawab secara subyektif dengan ya atau tidak, tergantung pada pendapat setiap orang, tentu dengan argumentasinya. Dalam tulisan singkat ini identitas kesukuan orang Seko akan ditinjau dengan lebih obyektif, dengan terlebih dahulu memahami apa itu suku, dalam hal ini apa ciri-ciri pokok suatu kelompok masyarakat yang disebut suku. Para ahli sosiologi dan antropologi dan psikologi mengajukan pandangan yang berbeda-beda mengenai hakekat suku. Namun mereka umumnya sepakat pada beberapa ciri pokoknya: kesamaan ciri fisik (sering dianggap keturunan dari satu nenek moyang yang sama); kesamaan bahasa yang digunakan; kesamaan kebudayaan (kesamaan dalam hal sejarah, bahasa, adat istiadat dan tradisi); dan adanya wilayah tradisionalnya. Penting juga mencatat bahwa para ahli umumnya sependapat bahwa identitas suku bersifat bentukan sosial, bukan biologis. Artinya, suatu suku tidak secara alami lahir dan ada dalam masyarakat, melainkan terbentuk oleh berbagai faktor sejarah, seperti sosial, ekonomi, budaya, ekonomi, politik, dan agama.

Tanah Seko
Orang Seko berasal dari daerah Seko, daerah yang terletak di jantung pulau Sulawesi, di dataran tinggi (1.200 – 1.800 m dpl), di perbatasan tiga provinsi, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Ada wacana pemerintah membangun jalan raya menghubungkan ketiga propinsi ini melalui Seko. Gunung tertinggi adalah gunung Kambuno (2.950 mdpl). Dari Seko mengalir sungai Betue dan sungai Uro ke arah Barat, menyatu dengan sungai Karama di Kab. Mamuju dan bermuara di Selat Makassar. Setelah sebelumnya digabung dengan daerah Rongkong dalam Kecamatan Limbong, Kab. Luwu (sebelum dimekarkan) sejak tahun 2005 berdiri sendiri sebagai Kecamatan Seko di Kabupaten Luwu Utara. Jumlah penduduknya sekitar 13 ribu orang di 12 desa. Diperkirakan terdapat juga belasan ribu orang Seko di luar Seko, akibat pengungsian dan perantauan. Selain agama Kristen, terdapat juga orang Seko beragama Islam. Hasil-hasil pertaniannya adalah beras, kopi dan kakao. Transportasi darat ke Seko masih sangat sulit. Transportasi udara dilayani penerbangan perintis dari Masamba ke Eno, pusat kecamatan Seko.

Asal-usul
Salah satu cara masyarakat tradisional mengidentifikasi dirinya adalah dengan mitos atau legenda asal-usul yang diriwayatkan dari generasi ke generasi. Disebutkan bahwa moyang orang Seko adalah Tomessalu. Mungkin ini sebutan yang menunjukkan bahwa leluhur itu datang menyusur sungai (dalam hal ini sungai Karama) lalu terus ke sungai Betue. Legenda lain menyebutkan tentang seorang bernama Bulu Pala’ dengan lima orang putera, Tapadang, Tabalang, Tahoneang, Tayane, yang masing-masing mendirikan kampung-kampung Padang (Hono), Amballong, Pohoneang dan Hoyane. Anak kelima menjadi pandai besi, yang keturunannya menjadi pandai besi di kampung-kampung saudara-saudaranya. Kisah lima bersaudara ini terkait dengan leluhur orang Seko Padang dan orang Seko (Tengah) yang bahasanya serumpun dengan bahasa orang Panasuan, yang tinggal di sebelah Barat Seko, di kaki gunung Sandapang, Kec. Kalumpang, Kab. Mamuju. Seko pada masa lalu penghasil lempeng-lempeng besi yang diolah dari batu besi, yang ditambang di Seko (al. di Sae dekat kampung Amballong dan di Pebatuan, antara kampung Beroppa dan Kariango). Lempeng-lempeng besi itu diangkut dengan kuda ke sungai Karama lalu dengan perahu ke pelabuhan Sendana di muara, dan selanjutnya dipasarkan ke seluruh Nusantara untuk berbagai kebutuhan.

To Lemo
Selain kedua rumpun orang Seko Padang dan Seko Tengah, ada juga orang Seko Lemo, yang bahasanya merupakan dialek bahasa Toraja. Asal-usulnya adalah perpindahan sekelompok penduduk dari daerah Rongkong, ke Seko dan kawin-mawin dengan orang Seko Tengah atau Seko Padang serta dengan orang Karama (tetangga sebelah Barat Seko di daerah Kalumpang, Kab. Mamuju). Orang Rongkong sendiri dikisahkan berasal dari suatu daerah bernama Lemo Tua (di daerah Kecamatan Walenrang, Kab. Luwu, sekarang).
Bahasa Toraja
Bahasa Toraja berpengaruh luas di kalangan orang Seko oleh pendidikan dan penginjilan. Sekolah-sekolah yang dimulai di Seko pada awal tahun 1920-an oleh Indische Kerk (Gwereja Protestan di Hindia Belanda) memakai bahasa Toraja sebagai bahasa pengantar dan bahasa buku-buku pelajaran. Baru kemudian bahasa Melayu/Indonesia diajarkan di sekolah-sekolah. Agama Kristen diperkenalkan kepada orang Seko dengan memakai bahasa Toraja, termasuk terjemahan Alkitab dan nyanyian-nyanyian gerejawi, khotbah dan liturginya. Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Seko baru pada awal tahun 2000-an. Terjemahan bahasa Seko Padang surat-surat Perjanjian Baru 1 Tesalonika, 1 Timotius dan Titus diterbitkan pada tahun 2006, dikerjakan oleh suatu tim penerjemah di bawah pimpinan Tom Laskowske, seorang ahli bahasa yang mendalami bahasa Seko. 

Perjumpaan
Dari segi sejarahnya, selain latar belakang orang Seko Lemo dari Rongkong/Lemo Tua, perkenalan dengan orang Toraja (Rantepao/Makale) berlangsung melalui kedatangan orang Toraja membeli kerbau di Seko, yang umumnya dibarter dengan budak. Ada pula perjumpaan orang Seko dengan suku-suku tetangga di hutan ketika pergi berburu. Konon nama Seko (berarti sahabat, teman) adalah sebutan dari fihak tetangga kepada orang Seko melalui perjumpaan itu. Dalam salah satu dongeng Toraja, dikisahkan tentang Salogang, seorang pemburu dari Seko, yang kawin dengan Lambe’ Susu di Sesean, melahirkan puteri cantik Lando Rundun, yang kemudian dipersunting seorang pangeran Bone. Yang lebih historis bukan hubungan dengan orang Toraja melainkan dengan orang Badak dan orang Kulawi. Kedua suku tetangga jauh di sebelah utara Seko ini terlibat peperangan dengan orang Seko, karena mereka datang menyerang Seko.

Gereja Toraja
Sudah disebut di atas hubungan orang Toraja dengan orang Seko dalam sejarah agama Kristen. Ds. H. J. van Weerden (1899 - 1948), pekabar Injil Gereformeerde Zendingsbond (GZB), suatu badan zending dari Belanda, memimpin resort Rongkong-Seko sejak 1928. Pada tahun 1947 Gereja Toraja dibentuk meliputi semua resort, termasuk Resort Rongkong-Seko. Baru kemudian sejumlah jemaat di Seko pindah bergabung dengan GPIL ketika sebagian jemaat Gereja Toraja di Luwu mendirikan gereja Luwu itu pada tahun 1965.

Pengungsi Seko
Penting untuk mencatat bahwa hubungan yang lebih akrab dan penuh persaudaraan dengan orang Toraja berlangsung pada tahun 1950-an ketika orang Seko mengungsi dari kekuasaan gerombolan DI/TII. Kelompok-kelompok pengungsi dari Seko Lemo dan Seko Tengah, yang mengungsi ke daerah Karama dan Karataun (sekarang Kec. Kalumpang, Kab. Mamuju) sebagiannya terus ke Toraja dan hidup tersebar di banyak kampung, lalu akhirnya sekelompok cukup besar menetap di Limbong Padang, daerah Rindingallo (Pangala’). Sebagian dari mereka pindah ke daerah Seriti (Palopo Selatan) pada awal tahun 1960-an, sebagian kembali ke Seko setelah Seko aman (sesudah 1965), dan sebagian tetap tinggal di Toraja, sampai sekarang. Sejak masa pengungsian itu banyak anak-anak Seko yang melanjutkan pendidikannya di Toraja. Dan banyak pula yang menikah dengan orang Toraja. Masyarakat Seko Padang mengungsi ke utara, ke daerah Kulawi,  dalam beberapa rombongan pelarian. Mereka kemudian dikumpulkan di Omu, sekitar 40 KM di sebelah selatan kota Palu, pada tahun 1956. Puluhan pemuda Seko direkrut menjadi tentara di Palu oleh seorang perwira TNI, asal Toraja, Komandan Kompi yang waktu itu berpangkat Letnan Satu, Frans Karangan (beliau purnawirawan dengan pangkat Brigadir Jenderal). Dan pada tahun 1963, ketika orang Seko yang sudah kembali ke Seko diserang gerombolan DI/TII (setelah membunuh 30-an pemuka masyarakat Seko), sekelompok tentara asal Toraja pergi ke Seko turut membantu pengamanan. Singkatnya, di masa pengungsian persaudaraan yang erat dengan orang Toraja dialami orang Seko.

Orang Luwu
Dalam sejarah politik, daerah Seko merupakan wilayah dari kadatuan Luwu, sebagaimana juga Tana Toraja. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda wilayah Tana Toraja menjadi onderafdeeling (=distrik) Makale dalam afdeeling (=kabupaten) Luwu. Wilayah Seko masuk dalam onderafdeeling Masamba. Jadi wilayah Seko tidak pernah masuk dalam kesatuan dengan Toraja, kecuali sebagai salah satu resort pekabaran Injil. Secara sosial politik kerajaan Luwu pernah berjaya, namun tidak ada orang Luwu. Menurut seorang ahli budaya Luwu, ungkapan “orang Luwu” (=wija To Luwu) bukan menunjuk pada satu suku, melainkan belasan suku yang ada di wilayah yang pernah berada di bawah pemerintahan kerajaan Luwu. Di sebuah daftar tercatat antaranya “To Ugi (Bugis), To Ware, To Ala, To Raja, To Rongkong, To Pamona, To Limolang, To Seko, To Wotu, To Padoe, To Bajo, To Mengkoka”. Di masa lalu ada fenomena “orang Luwu” yang beragama Islam mengaku orang Bugis dan yang beragama Kristen mengaku sebagai orang Toraja.

Budaya
Dari segi kebudayaan, bahkan orang Seko Lemo, yang jelas merupakan subsuku Toraja, tidak berkebudayaan Toraja, misalnya tidak ada tongkonan (sistim rumpun keluarga berdasar rumah leluhur), tidak ada tradisi “pesta” orang mati, serta bentuk-bentuk seni budaya yang lazim di kalangan orang Toraja, seperti seni tari ma’gellu’, seni ukir atau ma’badong (tarian dan nyanyian di acara duka). Ada pun nilai-nilai budaya, sebagaimana masyarakat Sulawesi (Selatan-Barat-Tengah dan Tenggara) pada umumnya, orang Seko terutama menjunjung kejujuran, keuletan dan kesetiakawanan, serta keberanian. Upacara yang penting dalam kehidupan orang Seko dahulu kala adalah pesta panen. [Lihat tulisan J. Kruyt, “Ma’bua dan Moronno di Seko” dalam Masyarakat Seko pada Masa DI/TII.] Beberapa kelompok masyarakat asli di daerah Sulawesi Barat, seperti orang Kalumpang di lembah sungai Karama menolak disebut orang Toraja. Tetapi sesuai namanya, orang Toraja Mamasa adalah orang Toraja, antara lain berdasarkan mitos asal-usul, bahwa moyang mereka bernama Pongka Padang berasal dari Toraja.

Toraja Raya
Di atas telah dikemukakan bahwa identitas suku tidak lahir secara alami melainkan dibentuk oleh dinamika sosial dalam sejarah. Kedua pekabar Injil di daerah Sulawesi bagian Tengah pada akhir abad ke-19, A.C. Kruyt (teolog, antropolog) dan N. Adriani (filolog), menyebut seluruh masyarakat di pedalaman Sulawesi bagian Tengah -- al. Bada, Kaili, Kalumpang, Kulawi, Mori, Mamasa, Pamona, Rampi, Rongkong, Toraja (Rantepao-Makale), Seko -- sebagai suku Toraja, yang mereka bagi atas Toraja Utara (Toraja Koro), Toraja Timur (Toraja Bare’e) dan Toraja Selatan (Toraja Sa’dan). Penyebutan itu terkait dengan suatu impian membangun kesatuan masyarakat Kristen di kalangan suku-suku di wilayah itu, yang pada akhir abad ke-19 umumnya masih beragama suku (dianggap orang kafir). Tetapi kemudian gagasan “Toraja Raya” (Grooter Toradja) itu tidak berkembang, baik secara sosial-politik maupun gerejawi, sekalipun agama Kristen diterima secara umum oleh masyarakat-masyarakat yang disebut Toraja oleh Kruyt dan Adriani. Orang Poso (Pamona, Mori dll) tidak bisa “ditorajakan”, demikian juga orang Kulawi dan Kaili.

Empat Suku?
Ada pernyataan bahwa di Sulawesi Selatan (dan Barat) hanya ada empat suku: Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Ini juga suatu konstruksi sosial yang terkait dengan kepentingan politik dan keagamaan. Dan orang harus tetap sadar bahwa generalisasi itu tidak serta merta menghilangkan identitas sosial kelompok-kelompok yang sekalipun kecil tetapi tidak dapat dilebur ke dalam suku-suku besar itu. Sensus Penduduk tahun 2010 menemukan 1.331 suku Indonesia, termasuk sub-subsuku. Suku-suku utama berjumlah 633 suku, dan terbanyak di Indonesia bagian Timur. Sensus juga menemukan 1.158 bahasa daerah, di antaranya bahasa Seko.

Persatuan Seko
Uraian di atas mencoba mengemukakan secara singkat bahwa orang Seko mempunyai sejarah, bahasa, wilayah dan budaya yang berbeda dengan suku-suku lain, termasuk dengan orang Toraja. Secara subyektif, terpulang kepada orang Seko, yang tinggal di Seko maupun di rantau, untuk secara pribadi memilih menegaskan identitasnya sebagai orang Seko atau mengaku sebagai orang Toraja. Atau ikut pilihan orang Seko peranakan Toraja sebagai "orang Seko suku Toraja". Secara obyektif jelas bahwa orang Seko suatu identitas sosial-etnis tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat lainnya, termasuk berbeda dengan orang Toraja. Dan dalam hubungan itu perlu dipertimbangkan bahwa yang penting dewasa ini adalah memperkuat kesatuan dan persatuan masyarakat Seko sebagai satu kelompok masyarakat tersendiri, sekali pun tetap terbuka dalam interaksi positif dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, khususnya dengan orang Toraja. Dalam hal ini sifat multikultural masyarakat Indonesia dikedepankan, yakni persatuan dibangun di atas kepelbagaian, Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan tidak menghilangkan kepelbagaian. Maka identitas sebagai orang Seko harus dijunjung bersama dengan penuh komitmen dan dalam getar kebanggaan, seperti ketika menyanyikan Hymne Tanah Seko: “Tanah itu kucintalah selama hidup”. Komitmen dan kebanggaan sebagai orang Seko akan berdampak positif bagi kemajuan masyarakat Seko, di Seko dan di rantau. Maka kepada semua orang Seko di mana pun, janganlah malu mengaku sebagai orang Seko, dan besarkanlah Seko melalui sikap terpuji, prestasi dan karya bhaktimu.

Beberapa Rujukan:
Ø  Semua rujukan dari internet diakses pada akhir Juni 2019.
4 Ciri Ciri Suku Bangsa dan Penjelasannya”, online di https://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/ciri-ciri-suku-bangsa
Chapter 11 Race and Ethnicity”, online di https://opentextbc.ca/introductiontosociology/chapter/chapter11-race-and-ethnicity/
Daftar bahasa di Indonesia menurut BPS 2010”, online di https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_bahasa_di_Indonesia_menurut_BPS_2010
Ethnic group”, online di https://en.wikipedia.org/wiki/Ethnic_grouphttps://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja
Mengulik Data Suku di Indonesia”, online di https://www.bps.go.id/news/2015/11/18/127/mengulik-data-suku-di-indonesia.html
Suku Toraja”, online di https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja
Suku-Suku Sulawesi”, online di https://arkeologiriset.wordpress.com/2017/11/09/suku-suku-sulawesi/
Toraja Bukan Anak Suku Luwu”, online di https://www.karebatoraja.com/toraja-bukan-anak-suku-luwu/
Understanding Racial and Ethnic Differences in Health in Late Life: A Research Agenda”, online di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK24684/
Tutut Chusniyah dan Ardiningtiyas Pitaloka, Pengaruh Identitas Nasional, Etnis dan Agama terhadap Multikulturalisme dalam menghadapi Globalisasi di Indonesia” online di http://fppsi.um.ac.id/?p=851
Zakaria J. Ngelow dan Martha Kumala Pandonge (eds.), Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII (1951-1965). Makassar: Yayasan Ina Seko, 2008.

Makassar, 1 Juli 2019

20 Mei 2017

Semak Duri Jadi Raja

Hakim-Hakim 9:8-15
Pdt. Retno Ratih Handayani (Anggota MPH PGI)

Saya ingat ketika masih kecil di desa, tinggal di pastori dengan halaman yang luas. Warga jemaat hanya beberapa keluarga. Tetapi sering pada malam bulan purnama Ibu saya menyambut warga desa berkumpul di halaman gereja untuk mendengar dongeng-dongeng dari Ibu saya. Mereka bukan Kristen tetapi senang berkumpul di malam purnama di halaman pastori gereja. Orang-orang suka mendengar dongeng-dongeng yang dikisahkan karena mengandung banyak pesan dan nilai-nilai moral.

Pembacaan dari Hak 9:8-15 berisi suatu dongeng (fabel) mengenai pohon-pohon yang akan mengangkat raja. Latar belakang dari fable ini adalah krisis politik yang melanda Israel. Ada dua persoalan yang sedang dihadapi bangsa Israel, (1) Tantangan dari luar, di mana orang Kanaan berusaha balas dendam dan mau merebut kembali wilayah yang diduduki bangsa Israel, menjadi bagian kekuasaannya kembali; (2) adanya persaingan antara kelompok/golongan terkait dengan perebutan kekuasaan untuk menjadi raja.

Di antara orang yang ingin menjadi raja atas Israel tampillah Abimelekh, anak Gideon. Hanya saja Abimelekh ini seorang yang haus kekuasaan! Segala cara dia lakukan: menghasut, mengindtimidasi. Memang dulu itu belum ada medsos seperti sekaran, seandainya sudah ada tentu dia juga akan menggunakan medsos untuk menyebar fitnah dan hoax. Dia dengan darah dingin menyingkirkan orang-orang yang dianggap menjadi saingan, termasuk 70 orang saudaranya.
Satu-satunya orang yang lolos adalah Yotam, anak Gideon yang bungsu, yang melarikan diri ke Gerizim. Di tempat itulah dia berpidato menyampaikan fabel, tentang pohon-pohon mencari raja. Ada banyak pohon yang akan diusung sebagai kandidat raja:

·        Ada pohon zaitun yang terkenal dengan minyaknya untuk keperluan peribadahan di Bait Allah. Tetapi zaitun tidak mau menjadi raja. Dia tidak mau terlibat dalam urusan duniawi. dia merasa tempatnya di bait Allah.
·        Ada pohon ara, pohon buah yang menghasilkan buah yang manis dan pantas untuk makanan raja-raja. Pohon ini juga tidak mau menjadi raja, dia tidak mau meninggalkan manisannya.
·        Pohon anggur yang air buahnya terkenal enak diminum. Saya yakin ibu/bapak juga menyukainya.

Sayang sekali rupanya pohon-pohon yang baik itu tidak mau jadi raja. Mereka lebih nyaman dengan dunianya sendiri. Maka sampailah pohon-pohon pencari raja itu pada semak berduri, dan memintanya menjadi raja. Tetapi semak duri berkata:

Jika kamu sungguh-sungguh mau mengurapi aku menjadi raja atas kamu, datanglah berlindung di bawah naunganku; tetapi jika tidak, biarlah api keluar dari semak duri dan memakan habis pohon-pohon aras yang di gunung Libanon (Hak 9:15).

Inilah ungkapan kesediaan semak duri. Hanya persoalannya adalah bagaimana mungkin berlindung di bawah semak duri? Tidak mungkin semak duri melindungi, yang dia lakukan justru melukai! Kita ingat dalam Kej 3:17,18 setelah kejatuhan manusia, semak duri akan tumbuh sebagai kutuk. Ketika Yesus disalibkan juga diberi mahkota duri.

Kita bisa bayangkan semak duri itu sejenis perdu yang tidak mudah dikendalikan; begitu dibiarkan cepat merambat dan berkembang, susah untuk dikendalikan. Menerjang apa pun yang menghalangi, pantang diganggu. Prinsip hidupnya adalah: aku hidup yang lain mati.
Berada di dekatnya dapat tertusuk durinya. Bahkan pohon aras yang terkenal indah, tinggi dan kokoh, tidak akan tahan terhadap semak duri. Jadi sangat membahayakan sekali jika semak duri jadi raja.
Pertanyaannya adalah mengapa pohon-pohon memilih semak duri.

1)  Menurut saya karena kurang waspada, tidak melihat jauh ke depan tentang akibat yang akan ditimbulkan jika semak duri jadi raja. Di samping itu, pohon-pohon itu kurang waspada karena tidak memperhatikan karakter dasar dari semak berduri. Karakter dasarnya adalah melukai dan mendominasi.

2)  Sebenarnya banyak kandidat yang baik, sayang sekali mereka yang baik diam atau tidak mau terlibat. Istilah lain adalah adanya the silent mayority. Bukankah dalam realita, kejahatan merajalela bukan karena tidak ada orang baik, tetapi karena orang yang baik selama ini diam, tidak peduli, asyik dengan dunianya sendiri. Sementara yang akhir-akhir ini terjadi berbeda: yang baik justru ditebas! 

Di tengah situasi bangsa ketika friksi antar kelompok/golongan semakin tajam bahkan ujar kemarahan dan kebencian menjadi konsumsi sehari-hari, kita PGI dipanggil untuk menjadi inspirator dalam menggerakkan banyak kebaikan mulai dalam diri kita maupun yang Ada di sekitar kita. Sudah saatnya the silent majority bersuara karena kejahatan yang merajalela ini hanya mungkin dikalahkan oleh kebaikan. Dalam tradisi Jawa ada ungkapan: “Sura diro jayaningrat, lebur dening pangastuti”. Segala sifat keras angkara murka, hanya bisa dikalahkan oleh kebaikan.


Renungan Ibadah Pembukaan Rapat MPH PGI, Grha Oikoumene, Jakarta, 18 Mei 2017. 

Pdt Retno Ratih Handayani Suryaning, M,Th, MA melayani sebagai pendeta jemaat Gereja Kristen Jawa di Solo. Oase menyampaikan terima kasih kepada Pdt Retno atas persetujuan memuat naskah renungannya di laman ini. Tuhan berkati. 

10 April 2017

Pedasnya Bumbu Merica (Lada) Towuti


Oleh Asyer Tandapai


Catatan perjalanan 6-9 April 2017 ke daerah Towuti dalam rangka memenuhi permintaan Panitia Pentahbisan Gedung Gereja Persekutuan Oikumene Umat Kristiani (POUK) Jemaat Wawondula bekerjasama dengan Yayasan Oase Intim Makassar untuk penelitian sejarah jemaat. Membaca sepintas judul catatan perjalanan di atas terkesan keluar dari agenda perbincangan utama. Tetapi sejak tiba di Wawondula sepertinya tidak henti-hentinya orang-orang berbincang tentang merica dari berbagai sudut pandang. Ini membuat saya semakin bergairah mendapatkan informasi seluas mungkin tanaman fenomenal ini.
Cerita mengenai merica semakin terpuaskan dari Pdt. Yeheskiel Nari Toding. Juga menginap di rumah keluarga dan mendengar langsung dari petani sukses. Pdt. Yeheskiel bertugas sebagai pelayan 2001-2009 di Jemaat POUK dan sekarang memilih menjadi petani merica. Terima kasih Pak Yeheskiel yang berbagi informasi mengenai tanaman fenomenal tersebut, dan sepertinya relevan menempatkan cerita tersebut sebagai bagian dari konteks panggilan menggereja.
Landscape daerah Towuti merupakan kawasan konsesi pertambangan nikel yang dikelola oleh PT Vale. Sebelumnya seluruh kawasan seputaran Danau Matano dan Danau Towuti di Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan daerah konsensi pertambangan PT International Nikel Company (INCO) yang kemudian hak pengolahannya beralih ke PT Vale. Dan sekitar 80 kilometer ke arah Timur dari kawasan pertambangan PT Vale, juga baru saja dimulai eksplorasi pertambangan nikel oleh PT Bintang 88 yang berlokasi di Kabupaten Morowali Bungku, daerah pemekaran Kabupaten Poso pada tahun 2000an. Konon perusahaan raksasa pengolahan biji nikel yang terbesar di Asia Tenggara itu sahamnya dimiliki sejumlah pensiunan petinggi pengamanan negara yang  berdomisili di Jakarta.
Masyarakat yang hidup di perkampungan seputaran Danau Towuti hanyalah petani tradisonail secara turun temurun kondisi perekonominnya lemah. Petani miskin yang tidak memiliki keterampilan sehingga kalah bersaing mendapatkan pekerjaan di perusahaan raksasa. Sejak tahun 1970an ketika perusahaan beraktifitas, praktis mereka hanya menjadi penonton atas geliat pertambangan yang mengeksploitasi tanah kehidupan mereka. Ada saja di antara orang muda dari keluarga petani tersebut yang diterima di perusahaan, tetapi karena pendidikan dan keterampilan yang rendah sehingga capaian posisi mereka hanya pada level buruh kasar sejak masuk sampai pensiun.
Sekitar 6 tahun terakhir, petani miskin yang menghuni kampung-kampung di sekitaran Danau Towuti mengalami perubahan drastis. Seakan berada di dunia peri yang dalam sekejap dapat menghadirkan realitas baru, wajah kemiskinan masyarakat tani berubah menjadi suasana kehidupan yang berkelimpahan. Perubahan tersebut akibat tanaman merica (lada). Harga merica terendah rp. 85.000/kilogram dan harga tertinggi yang pernah terjadi rp.160.000/kilogram menjadi arus balik peningkatan kesejahteraan petani.
Mencium Pedisnya Aroma Merica
Posisi saya atas cerita keberhasilan kehidupan petani merica yang disampaikan Pdt. Yeheskiel Nari Toding hanyalah menarasikannya kemudian membagikannya pada pembaca untuk mengikuti cerita sukses petani merica. Pertama, merica telah merubah harga diri seorang petani. Jika sebelumnya orang malu mengakui profesinya sebagai petani, maka merica membuat kebanggaan sebagai petani. Karena itu masyarakat berlomba-lomba membuka kebun, bahkan merambah hutan lindung untuk berkebun merica. Mencari kerja di PT Vale bukan lagi pilihan utama. Kedua, perkebunan merica membuka lapangan kerja baru yang secara langsung mengurangi aksi-aksi pencurian (kriminalitas) di perusahaan, misalnya modus pemulung besi tua di perusahaan PT Vale atau pada perusahaan sub-kontraktor yang terkesan melibatkan orang dalam.
Sisi lain yang juga penting menjadi perhatian laporan perjalanan ini yaitu mencium pedisnya aroma merica. Pertama, dampak dari kisah keberhasilan petani merica mengundang gelombang pendatang baru baik sebagai pemilik modal untuk membeli dan membuka lahan perkebunan maupun sebagai buruh tani. Sedang berlangsung ledakan migrasi, mungkin dalam jumlah ratusan ribu penduduk sedang bertarung nasib ke wilayah ini dan nyaris keberadaan mereka tidak terkontrol oleh pemerintah daerah. Secara komunitas etnik, dalam jumlah besar, etnik Toraja, Mamasa, Rongkong, Masamba, Bugis dari Siwa, penduduk dari Kendari, dan ratusan penduduk Timor asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Umumnya para pendatang berasal dari daerah yang pernah mengalami konflik sosial dan di daerah Towuti mereka hidup berkelompok menurut identitas etniknya. Pada tahap awal ini umumnya masih bekerja sebagai buruh tani pada majikan-majikan, yang umumnya etnis Bugis pemilik kebun ratusan hektar. Buruh tani yang paling disukai oleh para majikan adalah asal NTT karena pertimbangan: upah murah, tahan bekerja di panas matahari, dan tahan menderita.
Kedua, konflik agraria antara PT Vale sebagai pemilik konsesi atas seluruh kawasan pertambangan yang masyarakat dijadikan sebagai kebun merica. Sekitar dua tiga kali pertemuan antara perusahaan dengan petani yang difasilitasi oleh pemerintah. Ada komitmen yang disepakati kedua belah pihak, antara lain petani tidak boleh lagi membuka lahan baru di kawasan konsesi pertambangan. Tetapi kenyataannya masyarakat terus menerus membuka dan merambah hutan untuk perkebunan. Sedikit agak mencemaskan adalah posisi pemerintah yang tidak mengawal kesepakatan tersebut. Potensi konflik juga pada level petani. Penjualan dan pembelian tanah, sekalipun milik konsesi perusahaan pertambangan, yag terjadi massif dapat berdampak pada sengketa klaim dari masyarakat lokal. demikian sengketa penetapan batas tanah kebun karena praktek dan tumpang tindihnya penjualan tanah.
Ketiga, ekspansi perambahan hutan tidak lagi terkontrol yang nyaris menjangkau kawasan konsensi pertambangan nikel milik PT Bintang 88 di Bahudopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Dampak langsung adalah kerusakan lingkungan yang kelihatan kondisinya lebih memprihatinkan bila dibandingkan dampak kerusakan yang disebabkan perkebunan sawit. Kondisi ini sedikit mengkuatirkan karena konflik agraria melibatkan pemilik modal raksasa level nasional dan internasional yang merasa investasi mereka terganggu. Pengrusakan lingkungan yang selama ini dilakukan oleh perusahaan tambang semakin diperparah oleh ekspansi petani merica. Kondisi ini tidak menutup kemungkinan bahwa pemilik modal raksasa dapat memakai tangan penguasa dengan legitimasi agama untuk mengamankan kepentingan mereka. Faktor pemantiknya dapat saja melalui kelompok-kelompok buruh tani yang hidup berdasarkan identitas etnik dan agama yang bekerja pada majikan-majikan atau persaingan antarpreman yang bertindak mengamankan majikan mereka.
Pedisnya Bumbu Merica Terasa di Hati
Merica menyisahkan cerita lain tentang bumbu di sekitar kehidupan para petani. Umumnya para majikan (punggawa) memiliki puluhan, ratusan, bahkan ada majikan memiliki 250 buruh tani (sawi). Enam tahun yang lalu umumnya kehidupan para majikan, istri maupun suami, adalah pekerja kebun yang mengandalkan sepuluh jari. Karena itu kulit mereka terbakar matahari, tangan mereka kotor kehitam-hitaman, telapak kaki pecah-pecah karena keras dan panasnya tanah dan bebatuan yang terinjak kaki telanjang, kuku mereka hitam karena endapan tanah, rambut kusam tidak tersentuh sisir, stamina para suami dan istri yang terkuras bekerja keras di kebun sehingga kadang melupakan keharmonisan sebagai pasangan suami-istri.
Hari ini kehidupan berbalik 180 derajat. Terpakir di pekarangan rumah mobil-mobil bermerek, seperti: Mazda, Landcruiser, Hilux, Pajero Sport yang keseharian fungsinya dipakai untuk mengangkat pupuk, buruh dan hasil kebun. Mobil-mobil bermerek harga ratusan juta hanya dipakai untuk aktifitas bekebun. Tingkah laku para majikan laki-aki juga berubah. Fasilitas dan uang sehingga mereka dengan mudah menggoda perempuan untuk menjadi teman dekat, peluang besar pada buruh tani perempuan. Sebaliknya, ibu-ibu tidak ketinggalan dengan perawatan tubuh agar berperawakan cantik. Pemutih kulit, perawatan rambut, perawatan gigi, kuku. Bahkan ada yang mendatangkan khusus tenaga kecantikan dari kota Makassar. Tujuan utama perawatan tubuh para istri agar suami mereka tidak berpaling pada perempuan, terutama pesona buruh tani perempuan yang memiliki kecantikan alamiah. Pada akhir-akhir ini, cukup fenomenal ceritra bumbu penyedap mengenai relasi majikan (punggawa) dan buruh tani (sawi) di kebun-kebun merica.
Bumbu penyedap lain disekitar kehidupan para petani merica adalah meningkatnya pencurian merica. Tindakan kriminalitas seperti terorganisir dan cenderung nekat. Mereka dapat merampok puluhan karung merica yang siap jual. Kondisi ini sepertinya melibatkan jaringan mafia yang beroperasi malam hari mulai level pelaku lapangan yang mungkin pada siang hari bekerja buru tani (keterlibatan orang dalam), jasa angkutan motor danau dan mobil pengangkut, kemudian penada. Sepertinya pola pemulung besi tua yang melibatkan orang dalam di perusahaan berpindah ke lahan perkebunan merica.
Pedisnya Aroma Bumbu Merica Tetangga
Persekutuan Oikumene Umat Kristiani (POUK) Jemaat Wawondula terbangun sekitar tahun 1976, dan adalah persekutuan umat dari latar belakang organisasi gereja yang beragam. Keberadaan POUK ini terkait kehadiran perusahaan PT INCO yang bergerak di sektor eksplorasi pertambangan nikel. Jauh sebelum keberadaan POUK di wilayah Malili-Nuha yang menjadi kawasan konsesi pertambangan, sejak tahun 1914 dimulai usaha Pekabaran Injil dan pembangunan sekolah-sekolah dasar oleh lembaga pelayanan gereja yang berkedudukan di Poso. Usaha pelayanan ini menghasilkan sejumlah persekutuan jemaat, yang secara organisasi menjadi bagian dari pelayanan Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). Periode 1950-1965 terjadi kondisi mengenaskan kehidupan jemaat yang juga bagian dari keprihatinan seluruh masyarakat saat wilayah ini menjadi salah satu basis perjuangan Darul Islam – Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Kemudian arus balik kehidupan mulai membaik sejak dimulai usaha eksplorasi pertambangan Nikel 1967 yang berlangsung hingga sekarang.
Kembali pada cerita petani merica yang relevan dijadikan sebagai konteks panggilan menggereja yang terkait beberapa keprihatinan. Pertama, seperti telah lazimnya bahwa posisi warga gereja senantiasa terlambat berpartisipasi; juuga untuk berkebun merica. Saat sekelompok masyarakat mengalami perubahan derastis dengan segala fasilitas modern, warga gereja masih pada level petani tradisonal yang sekadar bertani untuk bertahan hidup.  Kedua, gelombang ratusan bahkan ribuan buruh tani, khususnya keberadaan warga NTT yang nota bene adalah warga gereja, yang bekerja pada pemilik-pemilik kebun nyaris tidak mendapat perhatian pelayanan dari gereja. Keberadaan POUK, ibarat perawatan kecantikan, masih pada tahap menikmati keindahan dirinya. Sepertinya ini agenda POUK untuk menjadikannya sebagai persekutuan yang misioner. Dua hal di atas yang mendorong saya mengapresiasi peran kawan Pendeta Yeheskiel Nari Toding yang aktif mendorong warga gereja untuk berkebun merica sekaligus ia menjadi petani. Pengalamannya yang pernah menjadi Pelayan jemaat di POUK, dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Luwu Timur, serta kini menjadi petani dapat diliat dalam dua gerakan kepedulian. Pengalamannya sebagai orang yang pernah bekerja sama dengan pemerintah sehingga memudahkan bagi berkomuikasi dan menjadi pengantara program kebijakan pemerintah daerah bagi petani dan pada level akar rumput terlibat langsung mengajak warga gereja bersama-sama bertani. Ketiga, tantangan panggilan menggereja menghadapi gelombang pendatang buruh tani yang kelihatannya bagian terbesar adalah warga gereja. Antara lain: buruh tani dari provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Mamasa, Tana Toraja, Rongkong, sebagian dari Morowali (Beteleme). Mereka berasal dari daerah yang pernah memiliki pengalaman konflik kekerasan dan kemungkinan datang dengan perasaan trauma, hidup berkelompok menurut identitas primordial etnik dan agama. Persoalan kursial bahwa dari perspektif relasi kuasa, modal dan agama warga gereja dalam posisi rentan dimanfaatkan masuk dalam pusaran konflik agraria.
Teriring Salam bersama pesona bumbu merica.

Asyer Tandapai, mahasiswa S-3 Anthropologi UNHAS, pendeta GKST


19 September 2016

Berteologi Kontekstual di Indonesia


Delegasi DPD PERUATI Sulsel 


Pengalaman OASE INTIM 
Disampaikan pada Semiloka Rekonstruksi Teologi Feminis PERUATI,  di Tangmentoe, Rantepao, Toraja Utara, 13 September 2016
Zakaria J. Ngelow


Pengantar: Pengalaman dan Pemikiran

Pengalaman bukan apa yang terjadi pada seseorang. Pengalaman adalah apa yang seseorang lakukan terhadap apa yang terjadi padanya. (Aldous Leonard Huxley).

Para pemikir menekankan bahwa pengalaman membentuk pandangan orang. Experiences shape people thought. Sebelum beberapa catatan mengenai pengalaman Oase, sedikit catatan mengenai pengalaman saya sendiri dalam perjalanan pelayanan gereja di dunia akademis, yang tentu juga mewarnai aktivitas saya di Oase. Studi saya di Makassar pada tahun 70-an berlangsung di masa peralihan pemikiran teologi yang masih berpusat di Barat namun sedang menyaksikan kebangkitan teologi yang khas di benua-benua lain. Berbagai teologia muncul dalam kepustakaan teologia masa itu: teologia pembebasan di Amerika Latin, black theology, African theology, teologia feminis, teologia Asia, dsb. Nama-nama para teolog besar asal Eropa dan Amerika Utara sejak sebelum dan sesudah PD II masih menghiasi halaman buku-buku teologi. Tetapi nama-nama besar dari “dunia ketiga” – suatu istilah blok politik global masa itu --  khususnya dari Asia mulai bermunculan: Choan Seng Song, Kosuke Koyama, Kim Yong Bok, Aloysius Pieris, Marianne Katoppo, Kwok Pui Lan, dll. Saya masih membaca teologi Barat, sekalipun ada peralihan dalam bidang kajian saya ke sejarah Gereja sejak program Sarjana Muda Theologia (1976).  Pada tahun 1985, selama tiga minggu saya mendapat kesempatan menghadiri lokakarya di Kyoto (Jepang), angkatan ke-3 dari program “Doing Theology with Asian Resources” bertajuk “Doing Theology with History as People’s Movement”. Pada kesempatan itu saya berusaha sedapatnya memahami apa dan bagaimana Teologia Asia, dari para fasilitator: Choan Seng Song, Kosuke Koyama, Kim Yong Bok, Aruna Gnanadason, John England, dll. Saya pikir ide-ide mereka bukan hanya menarik, tetapi seharusnya menjadi pola berteologi secara baru untuk konteks Indonesia. Pengalaman ini mengubah haluan teologi saya ke apa yang kini dapat disebut secara luas sebagai teologi kontekstual.
Tak lama kemudian saya memasuki babak pengalaman kedua, ketika melakukan studi dan penelitian di negeri Belanda pada tahun 1989-1990 mengenai sejarah Kekristenan Indonesia pada zaman pergerakan nasional. Ada dua hal terkait. Yang pertama, menggumuli tempat sejarah gereja sebagai bagian dari ilmu sejarah, khususnya sejarah masyarakat (dan dengan menekankan sejarah dari bawah: peran warga, bukan hanya para pemimpin). Pertanyaan dasarnya: apa yang dilakukan gereja (=komunitas Kristen) menghadapi dunia dan tantangan zamannya? Sebab itu saya memilih meneliti bagaimana orang Kristen berhadapan dengan pergerakan nasional untuk kemerdekaan Indonesia. Yang kedua, pentingnya merevisi pemahaman Gereja terhadap agama Islam dan hubungan dengan umat Islam, dan agama-agama pada umumnya. Ini terutama karena pergaulan dengan Th. Sumartana (alamarhum), yang sedang merampungkan studi doktornya  sambil menggagas pembentukan DIAN-INTERFIDEI ketika itu. Kalangan zending mewariskan suatu cara pandang tertentu terhadap agama Islam (dan agama-agama lainnya), yang menjadi salah satu faktor yang menempatkan orang Kristen dalam hubungan-hubungan konflik, khususnya dengan Islam. Sumartana menekankan pentingnya melanjutkan peran T.B. Simatupang dengan penekanan yang baru, yang lebih terbuka dan saling menghargai bahkan kerja sama. Pengalaman ini membawa saya pada aktivitas di bidang interfaith.
Hidup sebagai kelompok terpelajar di bagian kedua abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 mau tak mau perlu mengenal dan mengembangkan keterampilan memanfaatkan ICT, yang saya jadikan sebagai suatu keniscayaan (bersama kemampuan membaca materi berbahasa Inggeris) bagi para pemimpin gereja abad ke-21, dkl. wajib hukumnya bagi para mahasiswa teologi (dalam kelas saya). Pada intinya, information is power, dan teknologi (dhi information and communication technology, ICT) adalah suatu alat maha dahsyat di kalangan orang kaya, pandai, dan berkuasa untuk menindas dan meng-eksploitasi; sebab itu di dalam kehidupan Kristen teknologi ini harus dibalik arahnya menjadi sarana pemberdayaan dan pelayanan. Demikianlah di kampus kami al. mengembangkan beberapa aplikasi ICT, termasuk pengembangan materi belajar dari sumber-sumber belajar online (daring) dan sarana pembelajaran. Saya membanggakannya bahwa memasuki abad ke-21 kami membawa kampus kami ke dalam era teknologi digital.

Mengenal Oase

Di masa yang sama suatu perkembangan lain terjadi di kampus. Penekanan pada teologi kontekstual, yang mengubah teologi dari urusan studi teks ke pentingnya studi konteks, antara lain memerlukan orang-orang yang mahir memahami berbagai kenyataan di lapangan, khususnya para antropolog dan sosiolog, yang bekerja sama dengan para teolog membimbing mahasiswa di dalam kelas maupun di lapangan. Beberapa teman muda dari dalam dan luar negeri bergabung sebagai staf dosen, yang kemudian menjadikan studi lapangan sebagai bagian penting dari studi teologi. Sejumlah dosen sepakat melembagakan kegiatan itu sebagai suatu jaringan pada tahun 2005, untuk menjadi sarana pengembangan teologi kontekstual, yang menghubungkan kenyataan gereja/masyarakat dengan dunia akademik di kampus. Sebab itu predikat Oase Intim pada mulanya adalah “Jaringan Teologi Kontekstual bagi Pendidikan dan Praksis Teologi Kristen di Indonesia”. Jaringan kegiatan ini kemudian dilembagakan menjadi -- Lembaga Pemberdayaan Praksis Pelayanan dan Kajian Teologi Kontekstual Indonesia Timur -- dan berfungsi sebagai wadah untuk bergiat secara positif daripada menghabiskan waktu dan energi berkonflik yang terjadi di kampus waktu itu. Tetapi solusi damai ini direspon fihak Yayasan dengan pertunjukan kekuasaan, sehingga kelompok kami (8 dari 16 dosen tetap) meninggalkan kampus, dan mengubah Oase menjadi yayasan, sesuai UU. Nama Yayasan Oase Intim (2006) kami pakai dengan alasan tertentu. Oase karena kami menawarkan program penyegaran dalam perjalanan di gurun pelayanan gereja; dan Intim karena kami terhubung dengan sejumlah gereja di Indonesia bagian Timur. Bentuk-bentuk pelayanan Oase adalah pelatihan, lokakarya, seminar, dan penerbitan. Dan kami menyitir sebagai ayat inspirasi Yesaya 12:3, Maka kamu akan menimba air dengan kegirangan dari mata air keselamatan.
Dalam pelaksanaan, pelayanan Oase membantu para pelayan gereja di lapangan mengembangkan pemikiran-pemikiran kritis konstruktif terkait kehidupan dan pelayanan gereja. Dalam pembekalan (pembinaan) para pejabat gereja (diaken, penatua, pendeta) dipakai MSK (Metode Studi Kasus), yang juga dikenal sebagai Metode Lingkaran Pastoral. Dan karena para peserta adalah para pejabat gereja yang sudah berpengalaman dalam pelayanan, makan penting juga penekanan pada metode pembelajaran orang dewasa (andragogi). Jadi fokus kegiatan Oase adalah capacity building, khususnya pengembangan wacana dan pembekalan SDM, yang diungkapkan dalam motto “Mengembangkan Teologi Kontekstual, Membina Pelayanan Lokal”.
Selain itu Oase juga menekankan pendekatan pembelajaran yang kontekstual, holistik, dan partisipatif.  Kontekstual adalah bertolak dari kebutuhan komunitas dalam konteksnya. Holistik mencakup aspek-aspek kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan praksis sosial. Sedangkan partisipatif karena menganggap setiap orang atau komunitas mepunyai potensi dan pengalaman yang bermanfaat bagi pembelajaran bersama.

Metode Kontekstual

MSK yang disebut di atas adalah empat langkah dalam pelayanan gereja/masyarakat:
1. Deskripsi:
Pertanyaan kunci: Apa yang terjadi? Deskripsi artinya menggambarkan dengan jelas. Pada langkah ini kita melihat, mendengar, dan menggambarkan kasus itu apa adanya. Di sini semua fakta-fakta yang harus diketahui untuk memahami dan menanggapi situasi kasus dikemukakan. Hal-hal yang bersifat penafsiran atau kesimpulan penulis dihindari. Kalau informasi mengenai kasus sudah cukup jelas dan lengkap baru kita maju ke langkah yang berikut.
2. Analisa:
Pertanyaan kunci: Mengapa terjadi begitu? Analisa berarti uraian. Pada langkah ini kita menguraikan kasus untuk memperdalam pemahaman kita tentang faktor-faktor dan sebab-sebab yang mempengaruhi kejadian atau situasi yang dihadapi. Bagaimana pandangan, perasaan, dan motivasi dari pelaku-pelaku dalam kasus ini? Apakah ada pengaruh dari keadaan-keadaan ekonomis, sosial, atau adat-istiadat yang memainkan peranan? Di manakah terletaknya masalah atau pokok yang paling penting untuk diperhatikan oleh gereja atau pelayan?
3. Interpretasi:
Pertanyaan kunci: Apa artinya dari segi iman Kristen? Interpretasi artinya penafsiran. Dalam langkah ini kita coba memberikan pendapat kita sendiri tentang kasus sesuai dengan iman dan pemahaman theologis yang ada pada kita. Kita membuka sebuah dialog di antara peristiwa-peristiwa dalam kasus dengan tradisi/iman Kristen. Sumber-sumber pemahaman dari Alkitab, sejarah dan ajaran gereja, penggembalaan, dan etika Kristen diangkat untuk menerangi kasus dan melandasi pendirian kita. Bagaimana iman kita dapat menanggapi kasus ini? Dan sebaliknya, bagaimana kasus ini dapat memperdalam atau memperluas pemahaman kita tentang iman Kristen?
4. Perencanaan Aksi Pastoral
Pertanyaan kunci: Apa yang bisa dibuat? Berdasarkan tiga langkah sebelumnya, kita merencanakan aksi (tindakan) yang dapat melayani orang-orang, kelompok-kelompok, lembaga-lembaga, atau struktur-struktur masyarakat yang terlibat dalam kasus. Tugas perencanaan ini bukan saja menyangkut dengan tindakan-tindakan yang tertentu tetapi juga termasuk dasar, patokan, dan tujuan yang hendak dicapai. Dasar-dasar pastoral ini bertolak dari pemahaman yang dihasilkan oleh analisa kita bersama bimbingam yang kita peroleh dalam langkah interpretasi. Berdasarkan semuanya itu, pendekatan pastoral yang bagaimana yang paling baik untuk menjawab permasalahan dalam kasus ini?

Dalam Metode Lingkaran Pastoral keempat langkah di atas lazimnya disebut Pengalaman, Analisis, Refleksi dan Respon. [Selengkapnya mengenai MSK klik di http://oaseonline.org/msk.html]
Dalam pengalaman pelayanan Oase, langkah pertama mengidentifikasi pokok(-pokok) permasalahan melalui diskusi atau sharing pemahaman dan/atau pengalaman dengan para peserta di awal kegiatan. Secara teoritis, dalam berteologi kami mulai dengan konteks (pengalaman) bukan teks (Alkitab). Proses selanjutnya analisis dengan memberi perhatian pada berbagai aspek terkait. Peter Henriot memberi penekanan pada berbagai struktur dalam suatu analisis sosial: struktur ekonomi, politik, sosial, gender, ekologikal, kultural, dan religius, dengan memperhatikan secara kritis siapakah yang diuntungkan dalam struktur-struktur yang ada.
Dalam urutannya, teks baru muncul ketika pengalaman dan analisisnya direfleksikan untuk menemukan apa keyakinan iman dan/atau prinsip moral-etik Kristen yang terkait. Misalnya dengan memakai berita Injil Kerajaan Allah menjadi patokan, di mana keadilan, perdamaian dan kehidupan menjadi kriteria. Dan dari situ respon berupa tindakan pastoral atau program komunitas dapat digariskan.
Di Oase berkumpul beberapa orang yang berkomitmen terhadap teologi kontekstual. Tentu ada perbedaan penekanan, namun kami sama serius mengembangkan teologi kontekstual. Jika memakai model-model klasik Stephen Bevans (1992), Oase umumnya mengikuti model praksis (teologi pembebasan), dan model antropologikal, yang masing-masing berkaitan dengan perubahan sosial dan kebudayaan. Dan sesuai definisi awal Bevans, teologi kontekstual adalah berteologi dengan mempertimbangkan Injil dan tradisi Kristen terkait dengan pengalaman kebudayaan dan perubahan sosial tertentu.
Dalam perumusan yang baru Bevans menempatkan pengalaman masa lalu (yang terekam dalam Alkitab dan di dalam ajaran Gereja) dalam dialog kritis dengan pengalaman masa kini dalam suatu konteks tertentu (pengalaman pribadi dan komunal, kebudayaan “sekuler” atau “Religius”, lokasi sosial dan peribahan sosial).  Dalam suatu ceramah, Bevans mengutip rumusan baru dalam edisi kedua (2002) buku klasisknya, Models of Contextual Theology:

… contextual theology is a way of doing theology that takes into account, or we could say puts in a mutually critical dialogue, two realities. The first of these is the experience of the past, recorded in Scripture and preserved and defended in the church’s tradition. The second is the experience of the present or a particular context, which consists of one or more of at least four elements: personal or communal experience, “secular” or “religious” culture, social location, and social change. [Stephen Bevans, "What Has Contextual Theology To Offer To The Church Of The 21st Century? Mission in Context Lecture Church Mission Society, Oxford October 15, 2009" online di [http://www.jamesclarke.co/pub/contextual%20theology%2021c%20ch1.pdf]

Dalam hal ini konteks (pengalaman kebudayaan dan perubahan sosial) sama sucinya dengan teks (Kitab Suci dan ajaran gereja), dalam arti bersama-sama menjadi sumber wahyu Ilahi: makna teks difahami melalui kenyataan konteks. Tetapi juga dalam hal ini faktor normatif wahyu Allah dalam Kristus tetap penting menjadi acuan berteologi, karena kenyataan dan analisisnya direfleksikan dalam norma-norma Injil Kristus mengenai Kerajaan Allah: misalnya melalui wacana keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
Perlu juga membedakan teologi kontekstual dengn kontekstualisasi teologi. Yang pertama otentik dibangun dari dalam konteksnya, sedangkan kontekstual teologi adalah upaya mengadaptasi suatu teologi yang dikembangkan di suatu konteks ke dalam konteks yang lain. Teologi feminis dapat merupakan teologi kontekstual, bisa juga merupakan kontekstualisasi teologi.

Beberapa pengalaman Oase

Beberapa gereja melibatkan kami dalam revisi Tata Gereja. Pendekatan yang kami lakukan adalah meminta sejumlah orang pilihan dari gereja tersebut (umumnya pejabat gereja senior dan perlu ada beberapa orang perempuan) sebagai Tim Kerja. Selanjutnya kami menyelenggarakan suatu lokakarya Revisi Tata Gereja, dengan mengundang stake holders gereja, untuk mendengarkan apa pandangan mereka mengenai gereja (eklesiologi), atau harapan mereka terhadap gereja (visi); dan dalam kaitan itu apa yang perlu dibenahi dalam kehidupan gereja. Umumnya dalam proses ini berlangsung pencerahan, dari sekedar memahami gereja sebagai “persekutuan orang percaya kepada Yesus Kristus” menjadi suatu pemahaman eklesiologi yang lebih komprehensif, dan dari pemahaman mengenai tata gereja sebagai peraturan organisasi menjadi “teologi dalam bahasa peraturan”.
Karena warga gereja adalah juga warga berbagai komunitas sosial, maka tak terelakkan terjadi interaksi nilai-nilai dari komunitas yang berbeda-beda. Di sini penghayatan mengenai gereja akan menentukan bagaimana gereja berada di tengah-tengah berbagai komunitas lain (komunitas adat, komunitas bisnis, komunitas PNS, korps militer, dsb). Pendekatan di zaman zending menekankan gereja sebagai suatu pilihan baru yang tidak boleh tunduk melainkan bertahan dan berusaha mempengaruhi budaya komunitas yang lain. Dalam pendekatan kontekstual, bukan terutama gereja sebagai persekutuan yang menjauh dari kehidupan sosial (= keluar dari kaum), melainkan yang berinteraksi dalam proses saling pengaruh, terutama dengan menyumbangkan transformasi nilai-nilai dalam kehidupan bersama. Peran Tata Gereja dalam hal ini adalah memberi acuan bagi pelayan dan warga gereja untuk menghidupkan dinamika gereja menjalankan misi dan mewujudkan visinya.
Salah satu yang menantang dalam kaitan ini adalah ketegangan antara posisi dan fungsi para pejabat gereja. Kekristenan lahir dari haribaan Yudaisme, yang mengenal para pejabat agama (imam, nabi, rabbi, dsb) sebagai kelompok khusus dalam masyarakat. Sejarah gereja di Barat (Roma Katolik, Ortodoks) mengembangkan jabatan gereja menjadi suatu hirarki sakramental, tetapi para Reformator Protestan menggagas imamat am orang percaya, sebagai perspektif untuk memahami jabatan gereja. Dan Calvin secara khusus mengembangkan sistim presbiter, jabatan gereja yang terdiri atas pendeta, penatua, guru dan kemudian diaken. Sebagai reaksi terhadap jabatan hirarkis-sakramental Roma Katolik jabatan-jabatan presbiter ini fungsi bagi pelayanan gereja yang berbeda, bersifat kolegial dan temporer. Namun dalam masyarakat Indonesia di mana gereja-gereja Protestan bertumbuh umumnya sebagai gereja suku, tak terelakkan pengaruh struktur sosial budaya suku dalam gereja. Dan sangat penting juga pengaruh struktur hirarkis Gereja Protestan Hindia Belanda (Indische Kerk) gereja dalam kebanyakan gereja di Indonesia. Bagaimana sebaiknya gereja mendialog hal ini? Para pemimpin gereja perlu secara sadar mengembangkan kepemimpinan kolegial dalam jemaat, dan berusaha memberdayakan setiap orang dan memberinya peran dalam pengembangan kehidupan bersama, serta memperkuat pelaksanaan demokrasi dalam gereja (namun tetap sadar akan hakekat Kristokrasi, bukan demokrasi, dalam gereja).
Pengalaman lain menyangkut pengembangan pemahaman Perjamuan Kudus. Sharing pengalaman dan pemahaman memperlihatkan variasi pemahaman yang hidup dalam jemaat, bahkan di kalangan para pendeta. Analisis budaya keagamaan memperlihatkan kuatnya pemahaman magis-mistik di antara warga jemaat terhadap Perjamuan Kudus. Ini terkait dengan warisan tradisi Gereja Katolik di kalangan Kristen Maluku sebelum mereka “dialihkan” menjadi warga Protestan pada zaman VOC tetap hidup dan nampaknya ikut tersebar bersama para guru asal Maluku yang membantu badan-badan zending dalam pekabaran Injil. Selain itu, setiap suku punya tradisi magis-mistiknya, yang dapat disebut pola-pola dasar dalam religiositas mereka, yang turut membentuk cara mereka memaknai roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus. Perumusan doktrin dapat dilakukan dengan baik menentang faham-faham yang dianggap keliru, namun bagaimana mengubah penghayatan warga? Ada dua hal yang perlu dihindari di sini, yaitu rasionalisasi berlebihan terhadap agama, dan sebaliknya di fihak lain tidak melakukan kompromi yang tidak kritis terhadap budaya keagamaan. Kita bisa belajar dari “agama Ambon”, yakni perpaduan agama Kristen dengan tradisi keagamaan lokal Maluku. Gereja menetapkan ajaran dan pelayanan sesuai yang baku, namun warga menjalani kehidupan beragama sesuai dengan tradisi yang mereka alami dalam keluarga dan masyarakat. Orang lebih beragama dengan hatinya (perasaannya), daripada dengan pemikirannya. Sementara masyarakat moderen yang mengunggulkan pemikiran rasional dapat kehilangan penghayatan terhadap yang transenden. Tentu secara kritis juga. Menjawab pertanyaan seorang warga, bolehkah memberi sesajen kepada dewi sungai ketika ada bencana banjir? Saya menjawabnya dengan mengingat wejangan Rasul Paulus mengenai makanan yang dipersembahkan kepada berhala (1 Kor 8): Pikirkanlah mana yang lebih tepat, melarang hal itu sebagai kekafiran, atau mengajak warga melakukannya bersama dengan memperjelas makna dan mempertegas alamat sesajen, yaitu sebagai tanda penyerahan diri kepada Allah Bapa, Sang Pencipta semesta dan Pemelihara kehidupan.
[Pengurus Oase, Aguswati Hildebrandt Rambe,  menulis disertasi di bidang teologi lintas budaya mengenai tradisi kematian orang Mamasa dan orang Sumba. Lihat Aguswati Hildebrandt Rambe, Keterjalinan dalam Keterpisahan. Mengupaya Teologi Interkultural dari Kekayaan Simbol Ritus Kematian dan Kedukaan di Sumba dan di Mamasa. Makassar, Oase Intim, 2014]
Sementara sejumlah gereja berusaha menghidupkan Katekismus Heidelberg sebagai bahan pengajaran Kristen, Oase mendorong gereja-gereja untuk melakukan pendidikan Kristen yang kontekstual, dan menyarankan supaya pendidikan (didache) dipentingkan sebagai salah satu panggilan gereja, bersama peribadahan (leitourgia) dan penatalayanan (oikonomia) ditambahkan kepada panggilan gereja yang lazimnya dikenal hanya sebagai tripanggilan (koinonia, marturia, diakonia). Katekismus Heidelberg dikembangkan dalam suatu konteks pengembangan Reformasi Reform (Calvinis) berhadapan dengan berbagai tantangan gereja masa itu, baik menghadapi Gereja Katolik Roma maupun Reformasi Radikal dan aliran-aliran Kristen lainnya. Buku ini dapat dipelajari sebagai rujukan, namun tidak cocok menjadi buku pegangan pengajaran, baik isinya maupun bentuknya.
Pendidikan Kristen kontekstual memberi perhatian pada para pembelajar, materi pelajaran dan metode pembelajaran. Khusus jemaat-jemaat pedalaman, penting mempertimbangkan urbanisasi dini kaum muda, supaya mereka sudah punya bekal keimanan sebelum merantau. Dan daripada sibuk menghapal anak-anak Yakub atau murid-murid Yesus, mereka perlu diperkenalkan bagaimana menjadi orang Kristen dalam dunia moderen, dan apa saja tantangan-tantangan nyata bagi hidup dan iman mereka: narkoba, trafficking, korupsi, kekerasan, dsb. Dan daripada sarat dengan doktrin, penekanan moral-etis lebih relevan bagi kehidupan iman mereka di tengah masyarakat majemuk, termasuk pencerahan menyangkut politik, keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Di dalam jemaat perlu dihidupkan diskusi-diskusi tematik membahas berbagai perkembangan, seperti isu-isu sikap Kristen terhadap hukuman mati, LGBT, dsb.
Di bidang politik, Oase mendampingi beberapa gereja untuk memahami politik, khususnya yang dijalankan dalam konteks Indonesia, dan membahas isu-isu di mana gereja perlu menentukan sikap etis dengan tegas. Isu-isu yang muncul al. money politics terbuka dan terselubung, eksploitasi simbol-simbol agama (gereja) bagi kepentingan politik, termasuk pembatasan para pejabat gereja dalam “politik praktis”. [Lihat buku Oase mengenai Teologi Politik: John Campbell-Nelson dkk (eds), Teologi Politik. Panggilan Gereja di Bidang Politik Pasca Orde Baru. Makassar, Oase Intim, 2013]
Di antara pengalaman Oase berteologi dengan para pelayan gereja di lapangan, masalah perkawinan salah satu yang sering memunculkan pokok perdebatan. Nampaknya di kalangan gereja-gereja Protestan perkawinan diperlakukan hampir seperti sakramen dalam Gereja Katolik. Pada satu fihak ini hal yang baik untuk menghargai perkawinan di tengah melemahnya nilai-nilai sakral perkawinan dalam dunia moderen. Tetapi ada tiga isu terkait yang masih perlu terus digumuli. Antara lain dengan memperhatikan bahwa aturan-aturan perkawinan dalam masyarakat tradisional dan agama-agama masih dalam setting budaya patriarkhi. Beberapa pintu tertutup perlu diketuk. Pertama, pintu perceraian ketika perkawinan tidak lagi dialami sebagai ikatan cinta kasih, melainkan kekerasan dan penodaan. Kedua, pintu pernikahan baru bagi orang yang bercerai hidup. Gereja seharusnya mengikat dan memberkati perkawinan warganya, juga yang pernah gagal dalam perkawinan sebelumnya. Ketiga, pintu perkawinan pasangan beda agama. Dan yang terakhir, sebaliknya menutup rapat pintu bagi perkawinan di bawah umur. Ada suku-suku tertentu yang terus menjalankan perkawinan remaja. Ada juga yang melakukannya karena kehamilan dini. Gereja harus lebih serius “menertibkan” warga jemaat terkait pernikahan di bawah umur ini.
Oase juga menyelenggarakan seminar, lokakarya dan penerbitan buku, al. Teologi Bencana, Teologi Politik, Teologi Tanah. Selain Focus Group Discussion (FGD) dekade lalu, kami juga turut memperkenalkan metode World Café Discussion dalam semiloka untuk mengembangkan pemahaman bersama atas topik yang dibahas. Kami sengaja memilih topik yang sedang menjadi pergumulan dalam gereja dan masyarakat secara luas, dengan maksud mendukung perluasan wacana (pencerahan) di kalangan pemikir-pelayan gereja dan masyarakat Kristen umumnya. Buku-buku Oase ditulis secara populer untuk dapat dibaca banyak kalangan.

Catatan Penutup

Demikianlah beberapa pengalaman Oase dalam pengembangan teologi kontekstual. Kiranya jelas bahwa Oase berusaha mendorong para pelayan gereja di akar rumput untuk melaksanakan tugas-tugas pastoralnya dengan bersikap positif terhadap kebudayaan, dan kritis terhadap perubahan sosial (kurang lebih mengikuti model antropologi dan praksis Bevans).
Seperti yang sudah umum kita ketahui, teologi kontekstual tidak berhenti sebagai wacana. Dalam MSK atau Lingkaran Pastoral teologi dilanjutkan dengan tindakan. Sebab itu juga Oase mendorong supaya aktivitas ritual yang menyita banyak waktu dan dana gereja, perlu diletakkan sebagai refleksi teologis (langkah ke-3), yang perlu dilanjutkan ke tindakan pastoral atau tindakan pelayanan yang mengubah, membarui atau membebaskan.
Sumbangan Oase bukan terutama dalam merintis arah atau cara baru dalam (ber)teologia kontekstual, melainkan lebih dalam turut memperluas kesadaran akan teologi kontekstual dan mengaitkannya dengan isu-isu pelayanan gereja di akar rumput. Dan tentu kami berusaha untuk relevan dalam hal mengangkat isu-isu yang dihadapi komunitas setempat. Buku-buku yang diterbitkan Oase lebih merupakan dokumentasi dalam proses itu. Teologi Tanah (Oase Intim, 2015), misalnya, adalah respon kami terhadap ketidak adilan sosial dan ekologis akibat land grabbings yang makin marak di Indonesia.


Makassar, 11 September 2016