19 Maret 2008

Peristiwa Yesus Dalam Politik Indonesia

http://www.pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Renungan&table=isi&id=1107&next=0

Dasar Teoretis

Status quaestionis dari teologi politik ialah, seperti ditulis Dorothee, what is social and political consequens of speaking of God?[1] Pertanyaan fundamental ini adalah khas teologi yang tidak ingin mengambil jarak dari refleksi-refleksinya terhadap persoalan-persoalan politik dalam negara. Refleksi semacam ini bukan tanpa alasan dan salah satu alasan yang paling dasar adalah bahwa keterlibatan dan intervensi Allah terhadap Israel sama-sekali bernuansa politis itu, yakni bahwa keselamatan yang datang dari Allah untuk umatNya terjadi dalam konteks politik. Teologi karena itu, seperti dikatakan JB. Metz, adalah diskursus tentang Allah, dan secara politis berarti suatu memoria passionis di mana penderitaan manusia merupakan kategori fundamentalnya,[2] dengan kata lain teologi poltik menjadi semacam usaha positif untuk memformulasikan pesan eskatologis terhadap kondisi masyarakat dewasa ini,[3] masyarakat politik modern atau postmodern.

Memang, jika dirunut lebih lanjut, keselamatan yang datang dari Allah terhadap Israel itu menjadi nyata dalam peristiwa Yesus. Peristiwa Yesus adalah sebuah peristiwa politis meskipun memang bukan pertama-tama karena peristiwa itu terjadi dalam konteks politik tertentu, melainkan lebih-lebih karena, puncak dari peristiwa itu yakni salib dan kebangkitanNya justru merupakan peristiwa politik, di mana otoritas politik Imperium Romanum telah secara sengaja membiarkan Yesus dihukum mati menurut desakan para demonstran, walaupun setelah melalui penelitian panjang, Yesus didapati tidak bersalah. Salib dengan demikian adalah saksi bisu bagi pemberontakan Yesus terhadap struktur politik yang menindas tetapi kebangkitanNya adalah kemenangan atas kekuasaan totaliter-otoritarian. Bahwa Yesus adalah pemberontak politik[4] ini menjadi jelas dari kenyataan bahwa Ia tidak ditangkap oleh orang-orang yang tidak memiliki pengaruh secara politis melainkan oleh satu pelaton tentara Romawi (kohort) yang ditempatkan di Yerusalem (cf. Jn. 18:3). Benar karena itu ketika Jürgen Moltmann menulis, bahwa salib pada jaman itu merupakan hukuman bagi pemberontak yang menentang keteraturan sosial dan politik Imperium Romanum, dan ini menjadi nyata dalam slogan bahwa pada jaman itu tidak ada politik tanpa agama meskipun bukan kebalikannya, dan itulah sebabnya Yesus dihukum Pilatus sebagai pemberontak politik, sebagai seorang Zealot.[5] Inilah fatalisme politik tradisional Imperium Romanum, yang juga sepantasnya menjadi titik tolak suatu refleksi kristologis dalam pertautannya dengan politik Indonesia modern atau postmodern dewasa ini. Dengan kata lain, kristologi politik ini diderivasikan langsung dari teologi politik dalam pengertian yang lebih partikular, yakni sebagai memoria passionis seperti yang ditegaskan oleh Metz itu. Jadi, memoria passionis akan menjadi parsial sifatnya dan tidak lengkap, jika Yesus sebagai orang yang menderita hingga wafat di salib, tidak memiliki arti politis itu.

Lantas, apakah peristiwa Yesus memiliki arti politis dalam sistem kehidupan bersama di Indonesia? Dengan kata lain, apakah penderitaan manusia di Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah Muslim, partisipatif dalam penderitaan Kristus? Bagaimanakah teologi, khususnya kristologi, melihat partisipasi ini menjadi mungkin secara politis? Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah persoalan yang sudah final tetapi lebih merupakan sebuah usaha (tentatif) awali dalam rangka mencari penadasaran kristologis untuk memberi makna baru terhadap kehidupan politik sebagai memoria passionis dalam konteks kristologis.

Politik dan Penderitaan Manusia

Sebenarnya, antara politik dan penderitaan bukanlah dua dunia yang sama-sekali tidak memiliki korelasi kausalitas tertentu, sebab hanya politik yang dapat menyebabkan manusia menderita. Penderitaan manusia mengandaikan kehidupan politik (meskipun juga, seperti yang ditulis oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan, bahwa sebenarnya penderitaanlah yang menciptakan kehidupan politik manusia tetapi ini soal lain). Penderitaan-penderitaan manusia dalam negara bersifat politis, artinnya terjadi karena kebijakan-kebijakan politik penguasa yang tunduk pada kehendaknya pribadi. Dengan kata lain, berbicara tentang politik dan penderitaan berarti berpikir tentang kehidupan manusia menurut dimensi politisnya, kehidupan manusia dalam negara.

Memang, penderitaan manusia dalam negara telah memunculkan refleksi yang beraneka ragam, dan ini menegaskan di pihak lain bahwa penderitaan manusia dalam dimensi politis bukanlah terutama merupakan akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa melainkan karena ulah segelintir oranglah yang menyebabkan kenyataan itu terjadi tanpa interupsi bahkan hingga hari ini, dan entah sampai kapan itu akan berakhir. Peristiwa Auschwitz yang paling memalukan bagi peradaban dunia modern, terjadi karena kebijakan Nasional Sosialis Jerman dengan pemimpinannya Adolf Hitler. Yang terakhir adalah kerusuhan di Prancis yang memakan waktu lebih dari dua minggu.

Di Indonesia, penderitaan manusia dapat menunjuk pada beberapa peristiwa sejarah yang terpenting. Peristiwa G30S PKI tahun 1965, peristiwa Tanjung Priuk, Operasi Militer di Aceh dan Papua, peristiwa Santa Cruz di Dili, Timor-Timur sebelum kemerdekaan propinsi itu, kejadian yang memalukan bangsa bulam Mei 1998 di Jakarta, penculikan dan penembakan mahasiswa. Demikian juga dengan pelanggaran hak asasi manusia atau HAM oleh penguasa, konflik antarkelompok masyarakat, peledakan bom, ekonomi biaya tinggi, dan masih banyak lagi kejadian lain yang dapat didaftarkan sendiri. Demikianlah menjadi jelas bahwa penderitaan manusia itu trans-nasional, melampaui batas-batas wilayah dan bahkan jaman, yang semuanya terpatri dalam apa yang disebut, serta terjadi karena tekanan atau di bawah kendali, struktur politik, dan dengan demikian peristiwa itu pun menjadi terstruktur.[6]

Meskpiun tepat saja bahwa refleksi teologis politik tidak bermaksud mengakhiri penderitaan manusia, namun ini tidak boleh membenarkan di sisi lain bahwa dengan demikian tidak perlu refleksi teologis tentang penderitaan manusia dalam negara, sebab penderitaan manusia merupakan secara teologis partsipatif dalam penderitaan Kristus di salib yang justru terjadi karena fatalisme politik Imperium Romanum itu. Maka, pantaslah penderitaan manusia di Indonesia menjadi locus theologicus.

Pewartaan Yesus dan Politik Imperium Romanum

Dalam keseluruhan struktur politik, pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah dimaksudkan untuk menghancurkan struktur politik kekuasaan tradisional. Usaha Yesus ini karena, meskipun dalam kerajaan Romawi ada persatuan antara agama dan negara,[7] doktrin ini tidak dari sendirinya menegaskan bahwa kekuasaan kekaisaran Romawi berasal dari Allah. Kekuasaan tradisional Israel memang berasal dari Allah, dan Yesus ingin sekali lagi mewartakan, melawan kekuasaan kekaisaran Romawi, bahwa kekuasaan yang dimiliki Pilatus misalnya, selalu memiliki dimensi transenden, berasal dari atas. Ketidakmampuan Pilatus mengadili tuduhan terhadap Yesus oleh orang-orang Yahudi secara proporsional menurut keadilan yang seharusnya, bukan karena Yesus tidak mampu menjawabi pertanyaan Pilatus tentang kebenaran itu apa (Jn. 18:38i), melainkan lebih-lebih seperti yang dikatakan Yesus, karena kekuasaan Pilatus tidak berasal dari Allah (Jn. 19:11). Secara berbeda, sebab atau bahwa Pilatus adalah sahabat kaisar, maka ketika ia hendak membebaskan Yesus, tetapi orang-orang Yahudi justru mengejek dia sebagai bukan sahabat Kaisar (Jn. 19:12) karena itu ia mesti telah menerima kuasa dari Kaisar Romawi, suatu struktur politik nepotis. Inilah juga fatalisme bagi orang Yahudi karena begitu cepat melupakan bahwa kekuasaan pada kerajaan-kerajaan tradisional sebelum kedatangan Yesus selalu merupakan kekuasaan yang berasal dari Allah mereka, yang oleh Yesus disebut Bapa itu.

Memang, tidak penting atau bahkan sia-sia untuk mencari tahu motivasi di balik penyangkalan itu. Bahwa orang Yahudi lebih setia kepada Kaisar daripada kepada Allah, ini tampak tegas sekali dari keinginan mereka untuk membayar kepada Kaisar pajak dengan secara sinis bertanya mencobai Yesus. Tetapi Yesus justru mengetahui kelicikan hati mereka, maka mewajibkan memberikan kapada Kaisar apa yang menjadi haknya dan menurut gambar dan tulisan yang tertera pada koin itu (Lk. 20:20-6), demikian juga kepada Allah. Akan tetapi, berbeda dari memberi kepada Kaisar karena gambar wajah Kaisar tertera pada mata uang mereka, tidak demikian halnya dengan memberikan kepada Allah apa yang menjadi milik dan hak Allah. Allah adalah pemilik segala sesuatu termasuk sumber kekuasaan politik karena itu walaupun tidak terdapat tanda-tanda lahiriah politis, kewajiban yang sama harus pula diberikan kepada Allah.

Tanda-tanda lahiriah kekuasaan Allah memang tidak tergambar, tetapi harus dimohonkan kepada Allah sendiri “datanglah KerajaanMu? supaya kehendak Allah itu benar-benar terjadi di tengah Israel sebagaimana di surga adanya (Mt. 6:10). Jadi, doa yang diajarkan Yesus ini pertama-tama adalah doa permohonan yang bersifat politis agar Kerajaan Allah menjadi nyata di bumi; kedua, supaya orang-orang yang lapar memperoleh kehidupan yang layak; dan ketiga, agar orang-orang yang melanggar hukum tidak dipenjarakan; seandainya Allah sudah berkuasa sebagai raja di bumi. Motivasi Yesus mengajarkan doa yang bersifat politis ini karena memang, ketika berada di bawah kekuasaan Romawi, orang-orang Yahudi ditindas, dibiarkan menderita. Jika benar bahwa tradisi-tradisi doa Israel dalam kitab Mazmur, Ayub, Ratapan, dan kitab-kitab para nabi mengungkapkan a mysticism of suffering unto God, sehingga bahasa doa-doa itu dalam dirinya sendiri adalah bahasa penderitaan, krisis, karena bahaya yang radikal,[8] tepat di sinilah doa yang diajarkan oleh Yesus itu adalah rumusan doa dalam bahasa penderitaan dan tertindas, doa orang yang menghendaki perubahan kekuasaan politik dan menghendaki kekuasaan Allah, Allah sebagai Raja untuk mewartakan kebenaran.

Salib dan Penderitaan Manusia

Salib Kristus, seperti sudah dikatakan sejak awal, adalah saksi bisu bagi pemberontakan Yesus terhadap struktur politik yang menindas dan menciptakan penderitaan manusia. Pertama-tama dengan demikian Salib adalah locus theologicus di mana di dalamnya penderitaan manusia dijelaskan, tetapi penjelasan ini bukan terutama karena Salib sebagai tebusan atas dosa manusia, sebab dosa tidak diciptakan oleh struktur politik yang menindas; dengan kata lain dosa tidak merupakan akibat langsung dari penindasan dalam negara melainkan adalah akibat dari ketidaksetiaan manusia terhadap perintah Allah. Persis di sinlah kesetiaan Yesus sampai wafat di salib sebagai akibat pemberontakanNya terhadap struktur politik yang menindas adalah kebalikan dari dosa, dengan kata lain adalah tebusan atasnya. Salib Kristus oleh karena itu memiliki pertama-tama dimensi politis dalam keseluruhan peristiwa penebusan manusia dari dosa, atau bahwa tebusan atas dosa manusia secara fundamental bersifat politis.
Bahwa struktur politik yang menindas tidak menciptakan apa yang disebut dosa, melainkan telah menciptakan tebusan atasnya, ini berarti, bagaimana penderitaan manusia dapat dipahami dalam pertautannya dengan Salib Kristus kalau peristiwa historis itu pertama-tama adalah tebusan bagi dosa manusia, ialah bahwa penderitaan manusia yang diciptakan oleh struktur politik yang menindas, partisipatif secara langsung dalam penderitaan Kristus, jadi penderitaan manusia merupakan fenomena derivatif dari penderitaan di Salib. Sebagai satu fenomena derivasi dari penderitaan Kristus, penderitaan manusia karena kekuasaan totaliter-otoritarian dan struktur politk yang menindas akan berakhir dengan kehancuran kekuasaan oteriter itu. Tetapi ini tidak memaksudkan di sisi lain bahwa, kalau demikian, manusia boleh ditindas karena Salib Kristus adalah jaminan atas penderitaan manusia dalam negara. Bagaimanapun Salib dan penderitaan manusia adalah dua peristiwa historis yang berbeda dalam sejarah peradaban politik manusia yang secara politis pula telah meciptakan dependensi penderitaan manusia pada penderitaan Kristus. Ketergantungan penderitaan manusia pada penderitaan Kristus ini dimungkinkan karena, seperti dikatakan Schillebeeckx, kematian Kritus adalah penderitaan melalui dan untuk orang lain sebagai ungkapan tanpa syarat atas validitas melakukan kebaikan serta menentang kejahatan dan penderitaan.[9] Dalam rumusan yang lebih tegas dikatakan bahwa justru karena terdapat dependensi pada penderitaan di Salib inilah, penderitaan manusia partisipatif dalam penderitaan Kristus, atau bahwa tanpa ada ketergantungan tidak mungkin terjadi partisipasi dari penderitaan yang lebih rendah di dalam penderitaan yang sangat hebat. Ini artinya, meskipun banyak orang juga disalibkan, tetapi penderitaan mereka tidak menjadi jaminan penderitaan manusia karena mereka disalibkan sebagai penjahat; bahwa sulit memahami penderitaan manusia jika Kristus tidak menderita di salib sebagai orang merdeka.

Kebangkitan Yesus dan Kehancuran Kekuasaan Totaliter
Kebangkitan Yesus mengandaikan peristiwa Salib, dan bahwa kematian di salib terjadi karena pemberontakan Yesus terhadap struktur politik yang menindas. Dari sini menjadilah jelas bahwa, kebangkitanNya adalah kemenangan atas kekuasaan totaliter-otoritarian, kemenangan atas struktur politik yang tidak adil.

Dalam banyak negara modern, kehancuran kekuasaan imperialisme, penguasa yang tidak adil dan menindas, kekuasaan yang totaliter-otoritarian, pertama-tama adalah karena peristiwa Salib Yesus. Alasan ini hendak menegaskan bahwa Salib Yesus adalah peristiwa partikular dalam keseluruhan sejarah kekuasaan politik totaliter-otoritarian dan karenanya melampaui segala jaman. Apa yang menjadi sangat khas pada Salib Yesus ialah memberi warna teologis pada peristiwa yang sebenarnya memiliki dimensi sekularistik politis semata; dengan kata lain mengangkat pada taraf kesadaran ilahi kekuasaan sekular, bahwa Pilatus misalnya tidak memiliki kekuasaan apa pun atas diriNya jika kekuasaan itu tidak berasal dari Allah, BapaNya (Jn. 19:11), ini juga berarti, Pilatus pun tidak memiliki kuasa atas rakyat jelata karena preferensi spiritual politik Yesus ternyata jatuh kepada kaum pinggiran yang memiliki kuasa periferial.
Sebagai orang pertama yang menentang penindasan, membebaskan perbudakan, bahkan tidak menyebut manusia hamba, melainkan saudara (Jn. 15:15), dalam struktur politik di mana usaha membebasakan manusia dari model kekuasaan itu belum menjadi praksis perjuangan entah personal atau pun komunal, pemberontakan Yesus terhadap model kekuasaan yang tidak adil itu mengatasi segala pemberontakan sejenis, karena nama Yesus mengatasi segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di bawah bumi (Fil. 2:9), yakni mengatasi segala nama yang juga berjuang melawan kekuasaan totaliter-otoritarian baik dalam jaman klasik, modern, maupun postmodern.

Dari sini menjadi jelas juga bahwa iman kepada Yesus yang bangkit dari kematian seperti yang diwartakan oleh para rasul itu, bukan terutama karena Yesus telah mengalahkan dosa dan maut, sebab selain karena dosa tidak diciptakan oleh struktur kekuasaan politik, juga karena credo semacam itu mereduksi kematian Yesus akibat pemberontakanNya terhadap kekuasaan politik yang menindas kepada semata bahwa Ia adalah penebus dosa manusia. Option for the poor sebagai konsep spiritual politik sebagaimana disampaikan ketika mengajar orang banyak dari atas bukit (Mt. 5:1-12), tidak hanya diajarkan sebagai satu konsep terbuka tanpa praksis, melainkan diwartakan dalam rangka mencapai suatu puncak kehidupan politik di mana Allah adalah Rajanya, dan Yesus sendiri adalah anak tunggal yang akan mewarisi takhta Daud, menjadi raja atas kaum keturunan Yakub dan mewarisi Kerajaan itu tanpa interupsi dan bahwa KerajaanNya tidak akan berkesudahan (Lk. 1:32-3). Kiranya menjadi jelas bahwa oleh karena Daud adalah raja Israel dalam artian politis, tahkta Daud yang diwariskan kepada Yesus dengan demikian pertama-tama memiliki nuansa politis itu, dan untuk itulah preferensi fundamental option for the poor adalah disposisi politik Yesus. Maka, bahwa Yesus adalah penebus dosa manusia, ini tidak niscaya bahwa Ia harus mati di salib oleh fatalisme kekuasaan Imperium Romanum sebab kekuasaan maut, yaitu dosa, dan kekuasaan politik, adalah dua model kekuasaan yang berbeda dalam prinsip operasinya dan sama-sekali bahwa yang satu tidak mengandaikan yang lain. Dosa secara prinsipil menyangkal masa depan eskatologis manusia karena kejatuhan ke dalam dosa menghindari manusia dari persatuan dengan Allah tetapi kekuasaan totaliter-otoritarian justru menghindari manusia dari mengaktualkan dirinya secara sempurna selama masa hidupnya sebagai pribadi yang memiliki martabat ilahi. Itu sebabnya peristiwa Yesus pertama-tama adalah peristiwa historis politik yang bermaksud membebaskan manusia dari kungkungan kekuasaan dosa tetapi bukan peristiwa historis yang bermaksud membebaskan dosa manusia melalui kekuasaan politik. Sebab, jika politik adalah sarana penebusan dosa manusia, atau jalan melalui mana manusia diangkat dari kematian kepada kehidupan, itu berarti dosa pertama-tama adalah akibat dari kekuasaan politik dan bukan akibat ketidaksetiaan manusia kepada kehendak Allah. Padahal, dosa itu tidak demikian, dosa adalah akibat tindakan manusia yang melawan cinta kasih Allah dan bahwa penebusannya terjadi secara politis. Maka, Kristologi pertama-tama harus bersifat politis.

Makna Peristiwa Yesus Dalam Politik Indonesia

Jika penderitaan di salib melampaui seluruh penderitaan manusia karena kekuasaan totaliter-otoritarian atau bahwa penderitaan manusia dalam negara partisipatif dalam Salib Kristus, dan bahwa kebangkitanNya adalah kemenangan atas segala struktur politik yang menindas, apakah makna peristiwa Yesus, khususnya Salib dan kebangkitanNya tadi, terhadap politik Indonesia secara lebih partikular dengan kekhususan mayoritas yang justru menyangkal kematianNya?
Sejak semula, sudah dapat diduga, bahwa persekongkolan untuk menangkap Yesus dan plot untuk membunuh Dia datang dari orang-orang Yahudi (Mt. 26:3-4) dan usaha itu dilakukan melalui sebuah operasi militer besar-besaran (Jn. 18:12) terhadap Yesus dan kedua belas rasulNya yang sebenarnya bisa dikalahkan dengan sangat gampang. Jika Yesus adalah Raja orang-orang Yahudi seperti yang dikehendaki Allah sendiri untuk memberi kesaksian tentang kebanaran (Jn. 18:36-7), ini artinya, plot penangkapan dan untuk membunuh Yesus secara politis sebenarnya merupakan sebuah kudeta politik yang berakhir dengan kematian Yesus di salib. Bahwa Yesus diutus Allah sebagai Raja orang Yahudi untuk mewartakan dan memberi kesaksian tentang kebanaran, ada pengandaian bahwa raja-raja orang Yahudi sebelumnya hingga Kaisar Romawi dari kekuasaan Imperium Romanum memberi kesaksian tentang kepalsuan, maka persis di sinilah kekuasaan politik menjadi manipulatif, menindas, korup, serta serakah. Sekali lagi pada tahap ini, manusia menghadapi dilema yang lain lagi yang berbeda dari dosa, tidak ingin kekuasaan politik mewartakan kebenaran dan ini datang dari para penguasa dan imam-imam kepala (Mt. 26:3). Apabila dosa adalah tindakan melawan perintah dan cinta kasih Allah, dan bahwa cinta kasih Allah adalah kebenaran yang dalam dirinya sendiri per se notum, kekuasaan totaliter-otoritarian karena itu ialah kekuasaan yang tidak memberi kesaksian tentang kebenaran, dan bahwa struktur politik yang demikian itu haruslah digusur. Hingga di sini jelaslah bahwa Salib Kristus adalah, memakai bahasa teknologis adalah buldoser untuk menggusur model kekuasaan yang tidak adil itu, yang menciptakan penderitaan pada manusia.

Dalam konteks politik Indonesia, penderitaan sudah sejak lama menjadi bagian dari hidup politis manusia Indonesia, penderitaan mana diciptakan oleh struktur politik yang mengkooptasi konsep negara Hegelian dan memberikan semua fungsi kepada negara, yakni sejak ketika kekuasaan dikendalikan oleh dua order, Orde Baru dan Orde Lama. Kooptasi negara Hegelian ini mempertegas di sisi lain bahwa tidak ada demokrasi dalam politik Indonesia lama, model kekuasaan ketika itu adalah kekuasaan totaliter-otoritarian. Slogan Demokrasi Terpimpin dari Soekarno tua seolah menegaskan bahwa kekuasaan adalah properti yang menjadi hak milik pribadi sampai-sampai kekuasaan perlu diwariskan turun-temurun, dan kehancurannya[10] justru merupakan ejekan atas ketidakmampuan penguasa itu memimpin; demikian pula dengan Demokrasi Pancasila dari Soeharto muda yang menekankan dogma pembangunan ekonomi ketimbang pembangunan politik[11] tidak dapat juga membendung tuntutan atas perubahan struktur politik agar lebih demokratis, sehingga kekuasaannya hancur bersama ketidakmampuan penguasa karena usia yang semakin uzur.

Kehancuran demi kehancuran kekuasan yang tidak demokratis dari kekuasaan Orde Lama kemudian berganti dengan keberakhiran Orde Baru, telah menciptakan cerita tersendiri dalam kerangka penderitaan bahwa politik Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga Soeharto tumbang, hanya menghasilkan kepedihan sekaligus penderitaan bagi manusia Indonesia. Pernyataan ini tidak bermaksud menyangkal di sisi lain bahwa tidak ada kemajuan berarti yang dicapai oleh kedua order itu, tetapi berpretensi menegaskan persis apa yang tersembunyi di balik makna keteraturan dalam kata order berdasarkan fenomena penderitaan yang mendominasi karakter politisnya, yakni bahwa di dalam struktur politik yang well ordered and guided itu sebenarnya tersirat makna keteraturan yang membahayakan karena kepemimpinan yang korup. Maka, berbicara tentang kedua keteraturan itu berarti memikirkan politik Indonesia berhadapan dengan bahaya penderitaan, dan jika penderitaan itu pada dirinya sendiri adalah cerita yang patut dikenang, cerita-serita seperti inilah yang dalam bahasa teologi Metz disebut, stories in the face of danger, dangerous stories.[12]

Stories in the face of danger atau dangerous stories itu dengan demikian adalah suatu kategori fundamental kristologis, di mana penderitaan-penderitaan manusia akibat struktur politik yang tidak adil itu dijelaskan dalam kerangka penderitaan Kristus, Salib. Maka, makna peristiwa Yesus Kristus dalam konteks penderitaan manusia akibat struktur politik yang tidak adil dapat dirumuskan demikian: Pertama, penderitaan manusia partisipatif dalam penderitaan Kristus. Dalam artian partisipasi, penderitan manusia merupakan antisipasi terhadap kedatangan Kristus yang kedua, parousia, di mana Kristus adalah Raja segala-galanya dan untuk segala-galanya. Penderitaan Yesus akibat struktur kekuasan politik totaliter-otoritarian telah menempatkan model kekuasaan itu sebagai model kekuasaan yang terbaik bagi sejarah tata hidup bersama politis yang mengangungkan penderitaan manusia sebagaimana terjadi dengan peristiwa holocaust di Auschwitz, di mana bangsa yang dulu telah membunuh dan menyalibkan Raja mereka, dibantai secara besar-besaran dan keji sebagai korban bakaran. Akan tetapi, kebangkitan Kristus justru menghancurkan kekuasaan totaliter-otoritarian maupun idealisme Nasional Sosialis Jerman yang mengagungkan model kekuasaan semacam itu, oleh karena peristiwa Yesus ini adalah peristiwa historis yang melampaui sejarah dan waktu tertentu, jadi pemahaman ini bukanlah suatu regresus yang mengarah kepada peristiwa Yesus. Teologi, khusunya kristologi setelah Auschwitz sebenarnya merupakan antisipasi kebangkitan manusia pada akhir jaman, khususnya manusia beriman yang menderita akibat tekanan politik dan ideologi tertentu, sebuah kristologi pengharapan.

Kedua, penderitaan manusia terarah kepada Salib.[13] Keterarahan penderitaan manusia ke pada Salib tidak menegaskan sekaligus bahwa, oleh karena Kristus telah menderita dan penderitaan itu terarah kepada Salib Kristus, dengan demikian adalah sah jika manusia menderita, jadi seolah-oleh penderitaan itu legal dalam dimensi politisnya. Keterarahan kepada Salib dimaksudkan bahwa penderitaan orang beriman, orang Kristen, memiliki semacam basis ontologis di atas mana bukan saja penderitaan manusia berdiri tetapi berdiri di atas dasar moral yang kokoh, sebab tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatNya (Jn. 15:13). Jika, dan memang demikian, Salib Kristus adalah bukti kasih Allah kepada manusia, sebab Allah adalah kasih (1Jn. 4:8), itu berarti keterarahan penderitaan manusia akibat struktur politik yang tidak adil itu pada dasarnya terarah kepada kasih universal dan tanpa batas. Bahwa dalam penderitaan tampak kasih Allah, ini bukanlah suatu imaginasi teologis, melainkan kenyataan yang diderivasikan dari penderitaan Kristus di salib, suatu bentuk penderitaan yang tidak pernah dirasakan oleh orang lain yang kemudian menjadi dasar moral. Jadi, sebagai dasar ontologis moral, penderitaan Kristus sama-sekali berbeda dengan penderitaan manusia pada umumnya sebab penderitaan manusia tidak memiliki pendasaran dalam apa yang disebut kasih.[14] Maksudnya, bahwa meskipun manusia menderita, akan tetapi karena ia hanya memiliki kasih yang partisipatif dalam kasih Kristus dan kasih manusia itu bukan independen bahkan tidak pernah sampai mengorbankank dirinya sendiri; atau, kalau pun terdapat pengorbanan diri, pengorbanan seperti itu juga mengambil contoh dari model pengorbanan Kristus di salib dan oleh karena itulah kasih manusia itu mengambil bagian dalam Kasih yang lebih besar, yakni kasih seorang yang menyerahkank nyawanya bagi sesamaNya; pengorbanan manusia tidak pernah menjadi basis ontologis moralitas manusia, paling banter kita menyebut dengan istilah yang dipakai oleh Emanuel Levinas, tanggung jawab.

Ketiga, manusia menderita karena Kristus sudah terlebih dahulu menderita. Dalam tataran yang lebih onto-teologis penderitaan manusia dapat dipahami bahwa penderitaan ini dimungkinkan karena Kristus, Tuhan dan Allah umat manusia, telah menderita terlebih dahulu. Tetapi, gagasan “terlebih dahulu?di sini tidak sedang menegaskan bahwa penderitaan yang dialami oleh Ayub tidak tersubodinasi di bawah penderitaan Kristus sebab penderitaan Ayub terjadi jauh sebelum Kristus menderita! Ayub adalah wakil dari umat manusia yang menderita cukup hebat dihadapan Allah dan karena itu pengalaman Ayub yang ditinggalkan oleh Allah, tersubordinasi di bawah penderitaan Kristus. Pertanyaan di manakah Kristus ketika Ayub menderita menemukan dasar jawaban pada kebangkitan Kristus. Artinya, oleh karena penderitaan Kristus terarah kepada kebangkitan dan Ia adalah orang pertama yang, setelah menderita sampai mati bahkan mati di salib, bangkit dari antara orang-orang mati, kebangkitan inilah yang justru menjadi penentu perbedaan antara penderitaan Ayub dan penderitaan Kristus dalam konsep bahwa manusia menderita karena Kristus telah terlebih dahulu menderita. Maka, perbedaan itu terletak pada harapan[15] akan suatu hidup baru setelah menjalani penderitaan; sehingga, meskipun Ayub menderita cukup hebat, namun karena pengalaman penderitaan itu tidak terarah kepada kebangkitan, penderitaan Ayub yang dialami jauh sebelum Kristus itu tersubordinasi di bawah penderitaan Kristus juga, tetapi bukan pertama-tama karena Penderitaan Kristus gradasinya jauh lebih hebat dari penderitaan cukup hebat Ayub, melainkan lebih utama karena penderitaan Kristus membangkitkan orang-orang menderita ke satu hidup baru dalam kemuliaan bersama Allah, dan inilah yang tidak diantisipasi oleh penderitaan Ayub.

Membawa Penderitaan Kristus ke Dalam Negara

Membawa penderitaan Kristus ke dalam negara sama-sekali tidak berpretensi untuk menjadikan teologi politik pada umumnya atau kristologi politik pada khususnya sebagai media untuk menjustifikasi penderitaan manusia dalam negara akibat struktur politk yang menindas, dan karenanya seolah-olah bahwa penderitaan itu legal secara politis. Penderitaan manusia terjadi karena Kristus sendiri pun telah menderita sebagai akibat dari struktur politik yang tidak adil sehingga apa yang dialami manusia dalam negara itu bersifat partisipatif serta terarah ke pada Salib Kristus. Salib dengan demikian adalah bukti kasih Allah yang menyelamatkan serta membebaskan umat manusia dari penderitaan mereka. Dengan demikian secara polits, Salib bukanlah terutama merupakan peristiwa penebusan dosa manusia, sebab dosa tidak diciptakan oleh struktur politik yang menindas dan tidak adil, melainkan justru peristiwa politik yang menindas dan tidak adil itulah yang memungkinkan penebusan dosa terjadi.

Memang kemudian menjadi soal, sebab, jika demikian, kedatangan Yesus bukan pertama-tama untuk menebus dosa manusia. Terhadap keberatan semacam ini tanggapan yang dapat diberikan bahwa Yesus memang datang untuk menebus dosa manusia tetapi Ia tidak harus mati di salib sebagai seorang pemberontak. Dosa dan salib tidak memiliki hubungan kausal apa pun sebab dosa berada pada dimensi moralitas manusia tetapi salib berada pada tataran yuridis politik. Benar bahwa orang yang secara yuridis bersalah karena melanggar prinsip-prinsip moral dasar hidup manusiawi dihukum, tetapi bahwa Yesus bukan orang yang secara moral telah melanggar prinsip-prisnip hidup baik itu, Ia sepantasnya tidak dihukum, apalagi dihukum sampai mati di salib. Itulah sebabnya lebih baik mengatakan bahwa Salib Kristus adalah sebuah peristiwa politik melalui mana dosa manusia ditebus daripada mengatakan bahwa Salib adalah peristiwa penebusan dosa manusia dalam dimensi politik.

Salib sebagai bukti politis penebusan dosa manusia inilah yang, dalam rangka keseluruhan judul paper ini berarti membawa penderitaan Kristus ke dalam negara. Tentu saja bahwa penderitaan Kristus adalah peristiwa partikular untuk mereka yang percaya sehingga tidak menjangkau semua unsur dan golongan dalam masyartakat politik. Akan tetapi, oleh karena penderitaan itu berakhir juga dengan kebangkitan Yesus dari kematian, ini menandakan bahwa penderitaan itu memiliki aspek universal dalam keseluruhan struktur politik yang ada karena Salib adalah saksi bagi pemberontakan Yesus terhadap kekuasaan politik yang menindas dan tidak adil. Jaadi, penderitaan Yesus dalam dirinya sendiri, artinya penderitaan Yesus sebelum kebangkitan, tidak memiliki makna universal dalam dimensi politik sebab penderitaan justru membenarkan bahwa terdapat struktur politik yang tidak adil dan menindas. Kebangkitan Yesuslah yang secara politis membenarkan bahwa struktur kekuasaanpolitik yang tidak adil dan menindas itu harus pula dihancurkan sebab kebangkitan justru menghancurkan kekuasaan totaliter otoritarian.

Demikian pula Dengan kehacuran kekuasaan Imperium Romanum. Demkian pula dengan kejatuhan Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 yang bertepatan dengan Kenaikan Yesus ke Surga menjadi bukti bahwa kebangkitan Yesus menghancurkan kekuasaan totaliter otoritarian dalam keagunganNya
Membawa penderitaan Yesus ke adalam negara dengan demikian berarti memaknai secara baru setiap penderitaan manusia Indonesia; pederitaan orang-orang yang percaya maupun mereka yang menyangkal penderitaan Yesus (kaum muslim), bahwa penderitaan yang mereka alami sebagai akibat dari kooptasi negara Hegelian yang memberikan semua fungsi kepada negara, maupun penderitaan yang diakibatkan oleh sistem demokrasi yang tidak demokratis, terjadi karena Kristus sendiri telah menderita juga karena sistem struktur politik totaliter otoritarian itu. Dengan demikian penderitaan manusia saat ini partisipatif dan terarah ke pada penderitaan Kristus.

Partisipasi dan keterarahan penderitaan manusia ke pada Salib Kristus ini adalah model keterarahan yang dapat menyebabkan kehancuran struktur kekuasaan yang tidak adil, semana-mena, dan menindas. Memoria passionis dengan ini menjadi jelas, yakni mengenang penderitaan manusia dalam negara sebagai yang terjadi setelah, partisipatif, dan terarah kepada penderitaan Kristus tidak saja dalam rangka mengenang penderitaan sesama sebagai warga tetapi mengenang dalam rangka menghancurkan struktur kekuasaan totaliter otoritarian, dan mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Perwujudan Kerajaan Allah dengan demikian bukanlah suatu idealisme utopis semata, melainkan secara politis ialah menghadirkan kebenaran politis yakni keadilan, hak asasi dan martabat manusia, cinta kasih, solidaritas, yang semuanya telah merupakan disposisi fundamental Yesus yang menjadi terang sekali dalam ungkapan option for the poor itu.


DAFTAR PUSTAKA
Brug, Scheve, Kristologi Postmodern (Promanuscripto), STF Driyarkara, Jakarta, 2005.
Hughes, John, The End of Soekarno, Archipelago Press, Singapore, 2002.
Moltmann, Jürgen, God for A Secular Society, (trans. by Margaret Kohl), Fortress Press, Minneapolis, 1999.
Moltmann, Jürgen, “Political Theology of the Cross? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 10-15.
Moltmann, Jürgen, “Meditation on Hope? dlm., A Reader in Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1974, 24-30.
Metz, J. B., A Passion for God, (trans. by J. Matthew Ashley), Paulist Press, New York ?N. J., 1998.
Metz, J. B., “The Privatization of Religion? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 4-9.
Nolan, Albert, Jesus Before Christianity, Paulist Press, Quezon City, 1983.
Pieper, Josef, “Hope and History? dlm., A Reader in Political Theology, SCM Press, London, 1974.
Schillebeeckx, Edward, Jesus in Our Western Culture, (trans. by John Bowden), SCM Press, London, 1987.
Vatikiotis, Michael R. J., Indonesian Politics Under Soeharto, Roudlege, London and New York, 1993, 1998.
Widyatmadja, Josef, “Incarnation as Subversion? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 145-50.
[1] Ketika masih di Manila, saya membaca Dorothee Söle, sebuah buku kecil yang saya tidak miliki sampai saat ini. Tetapi, pertanyaan fundamental itu terus-menerus terpatri dalam pikiran dan menjadi bagian dari refleksi saya pribadi, setidaknya jelas dari judul paper ini. Pertanyaan yang dirumuskan oleh Söle ini sebenarnya sejalan dengan Moltmann ketika dia menawarkan contributions on the public relevance of theology. Lih., Jürgen Moltmann, God for A Secular Society, (trans. by Margaret Kohl), Fortress Press, Minneapolis, 1999, 1.
[2] JB. Metz, A Passion for God, trans. by J. Matthew Ashley, Paulist Press, 1998, 5.
[3] JB. Metz, “The Privatization of Religion? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 4.
[4] Pernyataan ini cukup moderat jika dibandingkan dengan pernyataan yang sama-sekali provokatif oleh Josef Widyatmadja bahwa the whole ministry of Jesus Christ was a subversive action. Lih., Josef Widyatmadja, “Incarnation as Subversion? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1978, 145-50.
[5] Jürgen Moltmann, “Political Theology of the Cross? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, 1978, 10; bdk., Albert Nolan, Jesus Before Christianity, Paulist Press, 1983, 92.
[6] Peristiwa, menururt Alain Badiou, adalah sebuah inovasi atau pembaruan, dan pembaruan ini dimulai dengan sebuah pemisahan dari status quo atau atau situasi tetap, dan karena bersifat tetap dengan denikian menjadi terstruktur. Jadi struktur dalah keadaan tetap. Lih., Scheve Brug, Kristologi Postmodern (Promanuscripto), STF Driyarkara, 2005.
[7] Jürgen Moltmann, “Political Theology of the Cross? dlm., The Scope of Political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, 1978, 10.

[8] Metz, Op.Cit., 66
[9] Schillebeeckx, Jesus in Our Western Culture, trans. by John Bowden, SCM Press, 1987, 23.
[10] Tentang kehancuran dan kejatuhan Soekarno, lih., John Hughes, The End of Soekarno, Archipelago Press, Singapore, 2002.
[11] Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto, Roudlege, London and New York, 1993, 1998, 93.
[12] Metz, Op. Cit., 48.
[13] Gagasan ini mirip dengan gagasan Metz yeng menekakan suffering unto God daripada suffering in God. Namun, Metz mendasarkan pandangan ini pada gagasan teologis pada umumnya dan bukan kristologis. Metz tidak lagi ingin mendiskusikan tema suffering in God karena sudah terlalu sering dibahas oleh banyak teolog danbahwa dia tidak ingin meneruskan pendekatan serupa. Lih., bdk., Metz, Ibid., 69-71.
[14] Italics, penekanan penulis.
[15] Bdk., Jürgen Moltmann, “Meditation on Hope? dlm., A Reader in political Theology, edited by Alistair Kee, SCM Press, London, 1974, 24-30; Josef Pieper, “Hope and History? dlm., A Reader in Political Theology, SCM Press, London, 1974, 30-4.

Frans Nay R., CICM
Email: fransnayr@yahoo.com

Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.

Tidak ada komentar: