15 April 2008

Tafsir Lokal Politik Kota

Oleh: Abdul Karim, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel

http://www.tribun-timur.com/view.php?id=72982&jenis=Opini
Opini Tribun, Selasa, 15-04-2008



KPU Kota Makassar belum membunyikan lonceng resmi pelaksanaan pilkada wali kota, namun, suasana politik kota kini mengesankan pilkada diselenggarakan minggu ini. Jejeran foto reklame barisan kandidat yang hendak maju sebagai calon defenitif wali kota memperkuat kesan itu. Sejak lama, foto reklame politik itu hadir di segala ruang hidup berkota kita; di depan rumah, di kaca mobil, hingga di ruang-ruang publik.

Di bagian lain, partai politik mulai menjaring kandidat yang akan di usung; formulir disediakan, kandidat pun ramai mengisinya. Karena tak rela keliru menetepkan calonnya, parpol-parpol lalu memanfaatkan jasa institusi survei untuk mengukur mutu pihak yang akan dicalonkannya, terutama tingkat popularitas yang dimiliki sang calon.
Di pihak yang akan disurvei, kemudian mempersiapkan diri termasuk dengan menebar gambar/foto di ruang-ruang kota dengan orientasi pokok, untuk populer -walau sesaat.
Begitulah potret umum pergerakan politik kota kita yang disaksikan langsung setiap hari, atau disimak lewat media massa. Lantas, begitukah seharusnya metode menegakkan demokrasi? Rasanya tidak. Dapatkah potret itu dikategorikan sebagai jalan pembangunan demokrasi lokal Kota Makassar? Pun, tidak rasanya.
Jika begitu, lantas apa sesungguhnya makna dari potret umum pergerakan politik kota kita sebagaimana yang diurai diatas? Di pertanyaan terakhir inilah tulisan ini dikonstruk. Sebab, potret umum pergerakan politik kota kita mengindikasikan berposisi jauh jarak dari substansi demokrasi.

Beberapa Tafsiran
Secara umum, dari pergerakan politik kota kita yang kini ditonjolkan dapat diberi tafsir lokal komprehensif sebagai berikut; Pertama, kecenderungan terjadinya krisis kepercayaan diri pihak-pihak kandidat.
Membaca kecenderungan ini tidak rumit. Pandanglah misalnya bagaimana barisan para kandidat berlomba menghadirkan suasana kampanye (walau momentum kampanye belum tiba) dengan cara menebar gambar/foto dan simbol sejenis di seluruh ruang kota, atau dengan me-rental halaman di media cetak yang berisi aktifitas seremonial.
Semua ini ditunaikan dengan target agar populer -dikenal di mata warga kota. Artinya, selama ini secara sosial politik, para kandidat tidak yakin dirinya populer di mata warga kota. Bahwa sosok mereka asing, tak familiar dinalar warga, merupakan kesadaran internal yang telah bertengger di kepala para kandidat jauh hari dari sekarang.
Analisis relevan yang penting dihadirkan di sini adalah kelihatannya para kandidat hanya bermodal materi semata dan miskin modal sosiokultural. Sementara diskursus tentang demokrasi lokal berkait kuat dengan tingkat modal sosiokultural ini.
Fenomena produksi gambar/foto, simbol sejenisnya dan kenyataan sosok mereka (disadari) asing bagi warga kota memperkuat lemahnya modal sosiokultural itu.
Selain itu, maraknya praktek "politik penaklukan tokoh" juga semakin memperkuat tafsiran terjadinya krisis kepercayaan diri pihak-pihak kandidat. Secara diam-diam mereka disertai pihak pendukungnya berusaha mengantongi dukungan tokoh-tokoh yang secara sosial berpengaruh ke bawah. Cara ini khas dengan gaya politik orde baru. Mutu demokrasi pada aras ini tentu layak dipersoalkan.

Kekurangan Pemimpin
Kedua, terjadinya krisis kader pemimpin di tingkat internal parpol. Sebagian besar parpol di kota kita tidak memiliki stok pemimpin masyarakat. Gejala ini dapat dibaca dari fenomena "rental" jasa lembaga survei oleh parpol untuk mengidentifikasi calon pemimpin kota di luar kader parpol yang nantinya dipromosikan menjadi kandidat wali kota dalam pilkada mendatang. Ini sebuah metode baru dalam proses demokratisasi kita. Selanjutnya, parpol pada akhirnya ibarat "perahu tumpangan" semata bagi penumpang yang ditemukan "sang kondektur" lembaga survei. Tugas dan fungsi dasar parpol sebagai agregator dan representator kepentingan publik oleh sejumlah kader penggeraknya nyata tereduksi.
Ketiga, isu pilkada seolah ruang milik parpol dan pihak kandidat semata. Umumnya, warga ter(di)alienasi dari diskursus pilkada. Di aras ini terasa terjadi monopoli ruang dan reduksi substansi pilkada sekaligus oleh parpol -kandidat untuk penegakan demokrasi lokal.
Dampak buruk proses ini adalah pada akhirnya pengelolaan kekuasaan pascapilkada menunjukkan style tidak demokratis yang ditandai dengan tenggelamnya kepentingan warga/rakyat oleh kepentingan elit politik lokal beserta kelompok pendukungnya.
Situasi demikian, juga sangat dipengaruhi oleh perspektif parpol terhadap masyarakat. Selama ini parpol masih melihat rakyat sebagai "supporter", bukan sebagai "voters" yang sesungguhnya.
Ironisnya lagi, target parpol untuk merebut voters tidak dengan memperjuangkan kepentingan-kepentingan vital mereka, tetapi lebih dengan memanipulasi sentimen primordial seperti etnisitas -agama yang begitu rawan dengan konflik sosial.
Dengan praktek parpol seperti itu, mesin pilkada sulit diharapkan memproduksi pemimpin yang terjaring dari representasi politik dari bawah secara genuine. Olle Tornquist (2004) menyebut fenomena ini sebagai oligarki elitis. Maksudnya, masyarakat umum sebagai konstituen politik sejati diposisikan menjadi sebatas kelompok "massa mengambang" yang tak terlayani layak.
Karena itu, semakin urgen menegaskan pilkada sebagai panggung resmi warga kota kita. Warga berdaulat atas panggung politik itu. Wargalah penentu utama proses dan output pilkada yang diselenggarakan. Maka tak cukup alasan mengalienasi warga dari diskursus pilkada.
Keempat, isu yang dipasarkan pihak yang ingin jadi kandidat wali kota umumnya meneguhkan Makassar sebagai kota pasar, kota modern melalui jargon developmentalisme yang akan diukur dari volume pembangunan fisik.
Sementara persoalan yang memperburuk kelangsungan hidup seluruh warga kota termarginalkan. Misalnya, aspek lingkungan, kemiskinan, kesehatan buruk, dan sejenisnya dianggap mati pasaran walau persoalan-persoalan itu aktual berlangsung.

Begitulah tafsir lokal komprehensif gerak politik kota kita. Ke empat poin tafsiran itu sedikit-banyaknya dapat berfungsi sebagai tongkat publik untuk meraba mutu demokrasi lokal yang akan terbangun pascapilkada wali kota nanti.
Dapat pula keempat tafsiran itu diletakkan sebagai salah satu "prawacana" bagi publik kota sebelum berpartisipasi dalam rutinitas demokrasi pilkada wali kota.

Tidak ada komentar: