21 Oktober 2011

Dari Oikonomia Allah sampai ke Ekonomi Manusia:Sebuah Catatan Historis

John Campbell-Nelson

Pada tahun 1991, HKUP GMIT menambah dua bidang pelayanan yang “baru” pada tritunggal pelayanan yang terkenal: Koinonia, Marturia, dan Diakonia diperluas dengan Liturgia dan Oikonomia menjadi “panca pelayanan” yang dipakai sampai sekarang. Pada waktu itu, tidak ada yang mempertanyakan liturgia. Kita beribadah kepada Tuhan sejak dahulu kala. Hanya, ada yang merasa ganjil dengan soal oikonomia. Begitu mereka tahu bahwa kata “ekonomi” berasal dari bahasa Yunani oikonomia mereka berkeberatan: “Ekonomi itu soal duniawi. Gereja jangan urus bisnis.” Memang kita tidak mau kalau gereja menjadi semacam perusahaan. Hal ini sudah digumuli ketika kekayaan gereja menjadi salah satu pokok persoalan pada masa Reformasi. Pada abad-abad pertengahan, gereja telah berkembang sampai menjadi lembaga yang paling kaya di Eropa. Para Reformator mengecam korupsi dalam tubuh Kristus kalau gereja menjadi pemilik perkebunan yang luas, penjual jasa rohani, atau malah memungut pajak dan mengelola bank sendiri. Dalam keadaan demikian, terlalu gampang persembahan “demi kemuliaan Tuhan” bergeser pada “kemegaan GerejaNya” dan pada akhirnya menjadi kekayaan para “Hamba Tuhan.” Justru karena bahaya seperti itu, oikonomia perlu dipahami dalam arti yang asli dalam tradisi kita, sebab jauh sebelum oikonomia bergeser pada ekonomi dalam bahasa sehari-hari, ia adalah sebuah konsep teologis yang cukup sentral. Ada baiknya kalau kita mengikuti riwayatnya.Kata oikonomia berasal dari bahasa Yunani: oikos = “rumah” dan nomos = “penataan.” Dengan demikian oikonomia berarti penataan rumah tangga. Dalam bahasa sehari-hari, seorang oikonomos adalah juru kunci, kepala dapur, dan penilik perkebunan pada sebuah rumah besar; sedangkan oikonomia adalah tata aturan dalam sebuah rumah tangga. Berdasarkan arti yang sehari-hari ini, berkembang dalam pemikiran Rasul Paulus sebuah kiasan tentang dunia ini sebagai “rumah tangga Allah” (Ef. 2.19) dan oikonomia sebagai tatanan Allah terhadap ciptaanNya, dan lebih jauh lagi sebagai rencana penyelamatan Allah: “sebagai persiapan [oikonomian] kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.” (Ef. 1.10). Paulus juga menyebut diri sebagai “oikonomos rahasia Tuhan” (Ef. 3.9; I Kor. 4.1; Kol. 1.25).Selanjutnya, dalam pemikiran para Bapak Gerejawi konsep oikonomia sudah menjadi sebuah istilah yang khas teologis yang mencakup: (1) Tatanan internal dari Trinitas, semacam “pembagian tugas” di antara Bapak, Anak, dan Roh Kudus; (2) Konsep providentia, yaitu pemeliharaan Allah dalam pemberian alam semesta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keberlangsungan hidup manusia; (3) Inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus sebagai penggenapan rencana keselamatan. (4) Merangkum semua arti di atas, pada akhirnya disebut “Sang Oikonomia” untuk mencakup keseluruhan Rencana Tuhan dalam penciptaan, keselamatan, dan penggenapan pada akhir zaman.Dari evolusi makna oikonomia sejak Rasul Paulus lewat Krysostomus, Athanasius, Agustinus, bahkan sampai Luther dan Calvin nampak suatu keyakinan bahwa dunia ciptaan Allah dan keseluruhan perkembangan sejarah manusia adalah bagian dari suatu rencana agung yang ditata secara rapih demi kebaikan manusia dan kemuliaan Allah. Bagian manusia dalam rencana ini adalah sebagai oikonomos Allah yang dipercayakan dengan tugas untuk hidup sebagai penata rumah tangga Allah dan penjaga kebun Allah yang setia.Kalau memang demikian, sejak kapan oikonomia bergeser dari arti teologis ini menjadi “ekonomi,” dalam arti kegiatan produksi, pemasaran dan konsumsi barang, jasa, dan uang?Perobahan ini terjadi mulai pada zaman yang disebut “Pencerahan” di Eropa, pada abad ke15-18. Pertama, terjadi sejumlah terobosan dalam bidang ilmu alam, di mana para ilmuan seperti Galileo dan Kopernikus menemukan bahwa bumi ini bulat dan mengelilingi mata hari—ternyata bukan seperti dalam Alkitab, di mana bumi ini dianggap plat seperti sebuah piring dan mata hari mengelilingi bumi. Menyusul keberhasilan dalam ilmu alam, sejumlah pemikir mulai menerapkan metode observasi dan analisis yang serupa pada kehidupan dan kegiatan manusia. Tidak lagi terpaku pada “apa kata Alkitab,” mereka mencari pengetahuan tentang manusia dengan mata dan kepalanya sendiri.Salah satu pemikir yang menerapkan metode observasi-analisis ini pada kegiatan produksi dan perdagangan adalah Adam Smith, dalam bukunya Menelusuri Kekayaan Bangsa-Bangsa (An Inquiry into the Wealth of Nations, 1776). Smith meletakkan dasar bagi teori kapitalisme dan “pasar bebas” yang sempat berdaulat dalam pemikiran dan penetapan kebijakan-kebijakan perdagangan sampai abad ke 20. Pada saat yang sama, dia mempopulerkan sebuah istilah untuk bidang studinya yang melekat sampai sekarang: ekonomi politik (“political economy”). Para pemikir masa kini akan mengatakan bahwa bidang ini disebut ekonomi politik karena ia meneliti hubungan di antara kebijakan politik dan pengelolaan kegiatan ekonomi. Namun, dalam konteks berpikir Adam Smith ada alasan yang lain yang sama penting: Smith menyebut ekonomi politik untuk membedakannya dari istilah yang lebih tua: ekonomi Allah.Smith, seperti kaum “pencerahan” lain, berupaya untuk memahami dunia ini semata-mata dalam kerangka berpikir ratio manusia, tanpa mengandalkan intervensi Allah. Para ekonom selanjutnya meneruskan upaya itu, sampai ekonomi (biasanya tanpa kata sifat “politik” lagi) telah berkembang menjadi ilmu sosial yang paling berpengaruh dalam dunia masa kini. Penasehat ekonomi menjadi tokoh yang sangat berperan dalam pemerintahan, dan biarpun keadaan ekonomi memburuk betapapun, namun sulit mencari seorang ahli ekonomi yang menganggur. Bahkan di Amerika gelar akademis yang paling digemari adalah dalam bidang ekonomi.Lebih dari itu, hampir dapat dikatakan bahwa “Sang Ekonomi” dalam versi kapitalisme global telah menjadi pengganti Tuhan kalau orang mau menjelaskan apa yang paling berkuasa dalam kehidupan manusia masa kini. Mengapa kita susah? “Karena ekonomi memburuk.” Mengapa kita senang? “Karena ekonomi membaik.” Para bank besar dan kantor perusahaan global menjadi “Bait Suci” moderen, dengan bankir dan peramal ekonomis sebagai kaum imam. Salah-benar sebuah kebijakan publik dinilai dari “reaksi pasar.” Dalam pertarungan di antara Allah dan Mamon, kelihatannya seperti Mamon telah menang.Sementara itu, apa nasibnya oikonomia Allah? Dalam gereja, oikonomia, kalau disebut sama sekali, sering dibatasi pada soal keuangan dan harta milik gereja sebagai lembaga. Bahwa hal ini hanya sebagian yang kecil dari amanat Tuhan kepada manusia sebagai oikonomos Allah sepertinya dilupakan dalam upaya untuk mencari gaji bagi para pelayan dan menghimpun dana untuk membangun gedung-gedung yang dapat bersaing dengan para bait suci Mamon. Sampai sejauh gereja terlibat dalam kegiatan ekonomis, ia biasanya mengekor pada ekonomi kapitalis (misalnya melalui pinjaman-pinjaman untuk usaha-usaha kecil), atau ia mendapat bagian merawat para korban ekonomi kapitalis global melalui pelayanan diakonal. Usaha-usaha ini bukan tidak baik. Namun perlu dikatakan bahwa pelayanan gereja dalam bidang oikonomia cukup kerdil kalau dibandingkan dengan kemuliaan dari panggilannya sebagai Oikonomos Allah. Kalau dunia ini adalah kebun Allah, bagaimana kita membagi hasilnya secara adil? Bagaimana kita merawatnya supaya tidak dicemarkan oleh polusi atau dimakan erosi? Kalau kita berdiam bersama dalam rumah tangga Allah, mengapa ada yang makan dua piring dan ada yang mati kelaparan?Kalau kita mau setia pada amanat yang Tuhan berikan, kita harus mulai dengan upaya untuk mengembalikan oikonomia pada agenda teologia; para teolog harus belajar ilmu ekonomi seperti dulu kita belajar untuk berdialog dengan psikologi, sosiologi, dan antropologi. Dan yang utama, kita harus mengupayakan sebuah visi yang baru tentang Oikonomia Allah, Rencana Tuhan yang agung, yang dapat mengekspos ekonomi kapitalis global sebagai berhala kepada Mamon, dan dapat mengembalikan penataan rumah tangga Allah kepada tuan rumah yang sebenarnya.

Tidak ada komentar: