10 September 2016

Pohon Reformasi
Yesaya 11: 1 Suatu tunas akan keluar dari tungkul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah. 

Khotbah pada penanaman pohon di Taman Luther II, Wittenberg, 4 Agustus 2016 dalam rangka napak tilas dosen-dosen sejarah gereja dari Indonesia 
Pdt Sonia Parera-Hummel, Ketua Eukumindo

Saudara-saudari kekasih Kristus,
Di Asia dan di banyak kebudayaan di dunia ini, ada tradisi penanaman pohon. Ritus khusus penanaman pohon dilakukan entah di hari seorang bayi baru lahir; atau menjelang seseorang akan meninggal dunia.
Karena itu di jaman dulu, orang-orang tua di kampung saya tau persis bahwa umurnya entah seusia pohon mangga atau durian atau nangka di depan rumahnya atau di kebunnya.
Ayah-ayah mereka menanam pohon-pohon itu di hari mereka melihat dunia. Dan mereka sendiri wajib menanam satu pohon lagi ketika mereka akan meninggal.
Di antara masa kelahiran dan kematian mereka juga akan menanam pohon untuk anak-anak mereka yang lahir, entah laki-laki maupun perempuan.

Saya pikir, tradisi ini menyebabkan kampung saya masih sampai hari ini menjadi salah satu sumber mata air bagi sebahagian penduduk di kota Ambon.
Namun, tradisi baik ini sudah menghilang, malah hampir tidak lagi diketahui oleh generasi sesudah saya. Kami tidak lagi menanam pohon ketika anak-anak kami lahir. Mungkin pula banyak orang tua yang tidak lagi menanam pohon ketika mereka akan meninggal. Sayang sekali!
Juga tradisi “sasi” yang menjamin kelestarian alam di pulau-pulau di Maluku sudah menghilang. Sasi, melarang penduduk satu kampung untuk pergi menangkap ikan atau mengambil buah kelapa misalnya, untuk jangka waktu tertentu. Di waktu saya kecil. baik negeri maupun gereja adalah institusi yang mengumumkan permulaan maupun akhir satu masa sasi. Program “keutuhan lingkungan” yg dicanangkan DGD sudah dimulai lama sejak jaman leluhur saya di Maluku. Sayang, tradisi baik ini juga menghilang dari negeri dan gereja kami.
Saya memilih nas dari Kitab Yesaya 11: 1 sehubungan dengan peristiwa penanaman pohon hari ini. Ide dan upaya penanaman 500 pohon yang menarik ini, saya pikir mungkin diilhami oleh pernyataan Dr. Martin Luther: Wenn ich wüsste, dass morgen der jüngste Tag wäre, würde ich heute noch ein Apfelbäumchen pflanzen.
Walaupun saya tau besok dunia akan kiamat, hari inipun saya masih akan menanam satu pohon apel.
Pernyataan optimis dan visioner dari Dr. Martin Luther ini sejalan dengan nubuat Nabi Yesaya. Dari tungkul yang mati, akan tumbuh satu tunas dan taruk yang tumbuh dari pangkalnya akan mengeluarkan buah.
Saudara-saudari kekasih,
Kita hidup dalam satu dunia, di mana banyak orang berusaha mengambil sebanyak-banyaknya dari orang lain, dari alam di sekitarnya, malah dari Allahnya. Perhatikanlah rumusan doa-doa yang kita dengar, penuh dengan sederetan permintaan dan tuntutan, kurang sekali ada nada syukurnya.
Di Indonesia dan juga di Malaysia, ada manusia yang dalam hidupnya tidak pernah menanam sebatang pohonpun, tapi sudah menebang ribuan pohon yang ditumbuhkan Allah. Hutan-hutan kita gundul karena keserakahan manusia yang tak pernah puas dan tak mengenal kata “cukup sudah”.
Budaya kematian, telah menggantikan budaya kehidupan yang Alkitabiah yang lebih dipahami dan dipraktekkan oleh orangtua kita di masa lampau, melalui ritus adat yang berpihak pada kehidupan. Kita harus belajar dari mereka. Kita harus merobah pola hidup kita.
“Satu tunas akan keluar dari tunggul Isai“. Satu kehidupan akan muncul dari tengah kematian. „Kalaupun besok dunia akan kiamat, saya akan menanam pohon hari ini“.

Di tengah budaya kematian yang semakin menguasai, yang muncul dalam bentuk bentuk kerakusan, terorisme, perdagangan orang, penebangan hutan, pengrusakan lingkungan dll, gereja wajib memberitakan berita kehidupan, dan bertindak melakukannya dalam pelbagai bentuk kecil seperti apa yang kita lakukan hari ini; menanam sebatang pohon
Semoga pohon yang kita tanam hari ini, segera akan bermitra dengan 17 pohon lain di pelbagai kampus di Indonesia dan di Malaysia.
Dan semoga ketika kita akan meninggalkan dunia ini, kita tidak mengharapkan akan dimakamkan dalam tugu besar, di tanah yang luas yang sebenarnya bisa digunakan oleh generasi sesudah kita. Tapi sebaliknya, biarlah kita berwasiat agar alam akan menampakkan keindahannya di atas pekuburan kita, sebagai tanda kehidupan bagi anak-anak dan cucu-cucu kita.
Biarlah kita menanam pohon sebelumnya, atau kita memberi wasiat agar di sebatang pohon wajib di tanam di atas pusara kita. Bukankah lebih indah bila anak cucu kita bisa bermain dan berteduh di sekitar pusara kita?
Kiranya ketika masa kita di dunia ini berakhir, ada kehidupan dan tunas baru yang hidup bagi mereka yang datang sesudah kita.
Maka nubuat Yesaya dan visi optimis Martin Luther serta tindak nyata kita akan mewujudnyatakan masa depan yang cerah dan penuh pengharapan.
Amin.

Tree-Planting-Ceremony in Wittenberg, 4th of August 2016, 
by Sonia Parera-Hummel on behalf of EUKUMINDO
(during the Reformation-Study-Tour)
Isaiah 11: 1 A shoot will come up from the stump of Jesse; from his roots a Branch will bear fruit

Dear Sisters and brothers in Christ,
In Asia and in many cultures of this world there is a tradition of “tree planting”. Special rites of tree planting are performed when a baby is born or when a person is about to die. 
Therefore the elders in my village knew exactly how old they were. Either that they were as old as the mango or the durian or perhaps even the jackfruit trees in front of their houses or in their farms. 
Their fathers had planted those trees the day they saw the light of this world. They then also had the duty to plant other trees when they were about to die.

Between birth and death, they also planted trees for their new-born children, boys and girls.

I think this is one of the reasons why my village still has one of the main water sources for the population of Ambon city. 
Lately, this good tradition has disappeared. The present generation is not practicing this rite anymore; it is gone. We Ambonese are not planting life-trees anymore when our children are born. And many would not even plant a tree when they are about to die. What a pity, isn’t it?! 
Also the “Sasi” tradition, which guaranteed the nature beauty on the islands of the Molluccas is disappearing. “Sasi” is a traditional law which prohibit the population of a village to go fishing or taking the coconut from its tree for certain period of time. When I was young, the village elders as well as the church were the institutions that announced the beginning and the end of a sasi period. The WCC program of “integrity of creation” is a modern program. This was already thought and implemented by my ancestors ages ago in the Molluccas. Again what a pity that this valuable tradition is disappearing from our villages and the Protestant Church in the Molluccas . 
I have chosen Isaiah 11:1 for this occasion today. I think this interesting initiative to plant 500 trees in Wittenberg was inspired by the statement of Dr. Martin Luther, saying: Wenn ich wüsste, dass morgen der jüngste Tag wäre, würde ich heute noch ein Apfelbäumchen pflanzen. “Even if I knew that tomorrow the world would go to an end, I would still plant my apple tree.”
This optimistic and visionary statement of Luther is in line with the prophecy of Isaiah, saying: “A shoot will come up from the stump of Jesse; from his roots a branch will bear fruit”.

Dear Sisters and Brothers,
We live in a world, where people try to take as much as possible from the others, from nature and even from God. Just pay attention to so many prayers, filled with requests and demands, yet they lack gratitude. 
I am pretty sure that in Indonesia and in Malaysia there are persons, who never plant any single tree, but have indeed cut down thousands of trees grown by God. Our forests are denuded due to the greediness of human beings that do not know the meaning of the word “enough”.
The culture of death is replacing the biblical culture of life which was well understood and practiced by our elders through different pro-life cultural rites. We have to learn from them. We have to change our life-styles 
“A shoot will come up from the stump of Jesse”. A life will be born out of death. “Even if I knew that tomorrow the world would go to pieces, I would still plant my apple tree”.

In the midst of a dominating culture of death, which takes form in greediness, terrorism, human trafficking, deforestation, environmental destruction etc, the church has a calling to preach the gospel of life. We all are also called to act accordingly in different simple forms like what we are doing at the moment: planting a tree. 
May the tree we plant today, soon have at least another 17 partner trees on our campuses in Indonesia and Malaysia.
And, hopefully, when our times come, we do not want to be buried in a big stone monument to be erected for us. Instead, let us demand nature to show its beauty on our gave-yards, as token of life for our children and grandchildren.
Let us plant trees beforehand as well, as a testament. Wouldn’t it be nice, if our grand-children could play on our cemeteries? 
Hopefully when our times in this world comes to an end, a new life, a new tree, a new shoot will come for the generation after us.
Then the prophecy of Isaiah and the life-affirming vision of Martin Luther plus our concrete action will shape a bright and prosperous future. Amen.

Tidak ada komentar: