04 Mei 2009

Kebhinekaan Sebagai Konteks Beragama

oleh: Yuberlian Padele

Pra Kata
Benturan sosial yang telah usai terjadi di beberapa daerah di Indonesia, semakin meneguhkan baik persepsi pun kesadaran bahwa kebutuhan bersama semua agama adalah untuk membangun suatu komunitas yang meskipun beragam tetapi dapat hidup berdampingan dengan damai: saling menghormati, saling berempati dan saling menerima serta menghargai satu dengan yang lain dengan penuh keterbukaan. Tulisan ini tidak bertujuan untuk mendiskusikan atau membuat mosaik atas nama kepentingan-kepentingan dari konflik itu namun lebih memberikan perhatian pada bagaimana agama yang berbeda-beda itu, bukan menjadi suatu ancaman satu terhadap yang lain tetapi dapat mendorongkan kehidupan yang saling menghargai berbedaan-perbedaan dan yang dapat menimbulkan efek bagi kehidupan yang damai. Dengan kata lain tujuan tulisan ini adalah untuk memaknai agama sebagai perekat kehidupan dari realitas yang beragam. Optimisme ini tidak hanya menjadi suatu wacana tetapi sekaligus mengarahkan praksis dari kehidupan beragama.

Keberagaman sebagai Bentuk Peradaban Dunia
Secara ideal, konsep otonomi mengasumsikan bahwa sumberdaya manusia telah memiliki karakter yang rasional, efisien dan bekerja secara metodis, suatu karakter yang memang menjadi pembentuk masyarakat yang kompleks. Otonomi itu sendiri selalu dihubungkan dengan baik individu atau komunitas yang menandai pelepasan keterikatannya dengan pengagunggan terhadap warisan tradisi-tradisi konvensional yang mana tradisi-tradisi itu tidak memungkinkan individu merepresentasikan diri si luar wilayah tradisi yang generatif. Dengan kata lain, warisan tradisi konvensional menjadi repreprentasi komunal sehingga dapat dikatakan individu adalah representasi kolektif. Seluruh tradisi di serap oleh individu dan menjadikannya sebagai bagian dari dirinya. Dalam bentuk kerekatan sosial yang seperti ini tidak memungkinkan bagi individu memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Otonomi tidak mungkin dapat terjadi pada masyarakat tradisional. Solidaritas bekerja bagaikan mesin pembentuk individu dan solidaritas mesin inilah yang menjadi asal-usul individu sebagai representasi kolektif (Emile Durkheim).
Disamping itu, apa yang dimaksud dengan otonomi menyaratkan bentuk bangunan relasi sosial yang rasional, suatu bentuk komunikasi yang mengungkapkan minat-minat dari beragam baik perspektif, cara mengungkapkan maupun konteks sosial dari mana minat itu berasal. Relasi sosial yang komunikatif seperti ini yang membangun suatu motivasi yang dikerjakan oleh pelibatan baik logika maupun afeksi atau kedirian dari perasaan manusia (Iris M. Young). Bentuk relasi sosial yang dilakukan dalam komunikasi dialogis dari setiap minat individu atau komunitas tidak dapat diturunkan menjadi suatu pertimbangan-pertimbangan umum (Habermas), sebab pertimbangan-pertimbangan umum pada prinsipnya tidak dapat memuat carakter khusus suatu pertimbangan yang berdiri di luar kategori pertimbangan yang umum itu. Dengan demikian membangun komunikasi dialogis dalam suatu wilayah publik, menuntut suatu materi dasar yakni suatu cara melihat keberagaman minat yang ditampilkan oleh setiap komunitas. Carakter itu ditemukan dari pertimbangan-pertimbangan rasional dari setiap minat. Setiap pertimbangan entitas adalah rasio dari suatu alasan masing-masing idividu (komunitas) dan setiap rasio memiliki kekhasan yang membedakan entitas yang satu dengan yang lain sehingga masing-masing entitas mempunyai posisi yang otonom (Emile Durkheim). John Rawl menyebutnya dengan ‘original position’. Jadi sesuatu yang disebut otonom berarti partikularitas yang tidak dapat direduksi ke dalam suatu rasio tunggal atas nama rasio umum. Hanya dengan melihat setiap pertimbangan sebagai yang memiliki rasio khusus akan membuka suatu peluang komunikasi dialogis. Dengan kata lain, keberagaman adalah syarat yang memungkinkan terjadinya suatu komunikasi dialogis.
Barangkali masih dibutuhkan suatu penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan universal untuk membedakan dengan yang umum. Karl Marx, menjelaskan sesuatu yang universal diukur dengan kategori dari suatu standart yang harus dipenuhi oleh setiap manusia dan standart itu harus memenuhi ukuran ‘tiga dimensi’: existensi (kerja), substansi (produk) dan hakekat (spesis manusia sebagai homo sosial). Manusia disebut manusia ketika manusia memenuhi standart ‘tiga dimensi’ itu. Manusia menentukan sendiri kebutuhannya dan darisana ia menentukan pekerjaan, menikmati hasil dari pekerjaan dan hidup memenuhi kebutuhan alaminya, yakni hidup dalam suatu relasi sosial dalam lingkungannya. Sedangkan Max Weber dan Emile Durkheim melihat sesuatu yang universal sebagai adanya elemen-elemen yang sama dari setiap entitas meski tidak menutup kemungkinan adanya penjelasan atau makna yang berbeda menurut penjelasan dari setiap entitasnya masing-masing. Yang universal dalam setiap agama, dari agama lokal sampai pada agama-agama misioner adalah ‘sisi sosial dari agama’ (Max Weber) dan tiga elemen lainnya yakni: Penanda Impersonal, ritus dan perilaku keseharian dari komunitas pemujanya (Emile Durkheim). Agama sebagai suatu entitas, memuat elemen dasar yang sama, yakni sisi sosialnya, penanda impersonal, ritus dan perilaku keseharian. Jadi, kalau Karl Marx, menekankan sesuatu yang disebut universal adalah suatu standart konseptual yang harus dipenuhi oleh suatu entitas sementara Max Weber dan Emile Durkheim menunjuk adanya elemen-elemen yang terdapat pada semua entitas (agama). Penjelasan dari setiap elemen dasar itulah yang menjadi pembeda utama dari sisi immaterial disamping bentuk-bentuk material yang nampak. Kedua-duanya, immaterial dan material menjadi faktor-faktor pembeda setiap entitas.
Suatu konsep yang disepakati bersama yang di turunkan ke dalam dalil-dalil umum yang bersasal dari komunikasi dialogis, sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, ditarik berdasarkan rasio setiap entitas. Namun Iris Young tidak bermaksud menarik dali-dalil umum dari suatu komunikasi dialogis tetapi lebih menekankan kesepakatan-kesepakatan yang ditarik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan setiap entitas. Ini pula yang dimaksud dengan agreement position (John Rawl). Biasanya dalil-dalil umum menjadi titik tolak untuk mengukur entitas-entitas yang beragam. Jikakalau prinsip ini bekerja dalam entitas yang beragam justru akan menarik entitas kedalam suatu model yang seragam sebab entitas-entitas harus menyesuaikan dengan dalil-dalil umum. Dalil-dalil umum menarik peleburan entitas ke dalam keseragaman. Itulah tuntutan dalil-dalil umum. Pada akhirnya dalil-dalil umum hanya akan menghasilkan ketunggalan atau keseragaman. Konsep ini kemudian tak mungkin dapat bekerja dalam masyarakat yang bhineka sebab berseberangan dengan syarat komunikasi dialogis dimana keberagaman atau otonomi setiap entitas harus mendapat pengakuan. Dengan kata lain, komunikasi dialogis dalam masyarakat yang beragam, bertujuan untuk mengungkapkan setiap minat dari setiap komunitas. Rasio masing-masing itulah yang memungkinkan untuk menarik kesepatan-kesepatan bersama dan bukan untuk menarik suatu proposisi umum. Kesepakatan bersama merupakan suatu jalan untuk membangun interaksi sosial antar entitas. Kesepakatan adalah syarat pergaulan entitas secara eksternal. Dengan kata lain perilaku sosial setiap entitas bersumber dari kesepakatan-kesepakatan bersama dan bukan berasal dari dalil-dalil umum. Posisi dalil-dalil umum dalam kesepakatan kolektif hanya merupakan salah satu dan bukan satu-satunya isi dari kesepakatan itu. Dalil-dalil umum bukan penentu relasi sosial tetapi merupakan suatu pengertian dari suatu terminologi bahasa yang akan digunakan ketika melakukan komunikasi. Kesepakatan bersama memuat antara lain suatu terminologi yang mempunyai muatan persepsi, makna atau pengertian apa saja sebagai yang sudah disepakati bersama. Kesepakatan bersama tidak identik dengan dalil-dalil umum. Kesepakatan bersama tidak meleburkan semua entitas menjadi suatu bentuk tunggal apalagi dengan memakai ukuran salah satu entitas saja. Entitas tetaplah entitas di dalam dirinya. Hanya saja ketika entitas melakukan relasi sosial dengan entitas yang lain, di sana entitas dituntut untuk memperhatikan kesepakatan-kesepakatan bersama. Ketika suatu entitas melakukan relasi dengan entitas yang lain pada saat yang sama entitas itu merepresentasikan kesepakatan bersama. Pada akhirnya entitas itu sendiri merepresentasikan keberagaman jati diri. Pada satu sisi setiap entitas memiliki carakter entitasnya sendiri tetapi pada sisi lain ia memiliki juga entitas ekternal, suatu yang sudah disepakati bersama itu. Pada tataran pengertian ini, sesuatu yang dimaksudkan dengan identitas dari suatu entitas tertentu bukan sesuatu yang tunggal, tetapi identitas setiap entitas adalah sesuatu yang jamak. Jikalau entitas mengandung keberagaman demikian jugalah identitas. Mereka berdua, baik entitas maupun identitas selalu jamak (Brian Fay). Jikalau entitas menunjuk pada individu maka individu mengandung identitas ganda. Jikalau individu merupakan representasi ganda, mungkinkah masyarakat dapat dilihat secara general? Mungkinkah masyarakat homogen?
Agama dan Pluralitas
Pemilahan dan ketegangan antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan dengan suatu arah pemikiran jaman pada abad 17 yang kemudian menjadi motivasi pendirian konsep-konsep rasionalisme dan sekularisme. Implikasi pemilahan itu menjerumuskan wilayah garapan masing-masing ‘dunia’ secara vertikal dan horisontal sebagai yang tidak saling bersingungan satu dengan yang lain. Tradisi itu nampak sekali dari diskusi para ahli-ahli teologi yang menekankan agama sebagai yang irasional dan yang rasional yang kemudian mempengaruhi pemikiran sampai pada abad 18 dan 19. Tradisi irasional menempatkan aspek irasional (Tuhan) pada eksistensi manusia tanpa melihat pengaruhnya pada perilaku sosial manusia (rasional). Efek irasionalitas agama menekankan peran agama bukan pada nalar tetapi pada perasaan belaka, suatu penekanan yang terbalik dengan rasionalitas (Robert n. Bellah). Pertentangan yang panjang ini kemudian di atasi oleh Max Weber dan Emile Durkheim yang mana model analisis mereka mempengaruhi studi sosiologi agama.
Keduanya melihat sisi irasional dan rasional agama tidak dapat dipisahkan yang dari mana perkembangan masyarakat modern di arahkan (Weber) dan sekaligus menjadi ciri khas yang melekat pada tahapan perkembangan masyarakat tradisional dan modern (Durkheim). Apa yang dipahami dengan sekularisasi sebagai suatu implikasi sosial dari ketaatan terhadap konsep keselamatan. Keyakinan terhadap keselamatan seharusnya mempunyai implikasi pada kehidupan sosial. Janji-janji keselamatan berimpit dengan upaya untuk membuat relasi antar manusia dan manusia dengan alam lebih dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, implementasi kehidupan sosial adalah efek dari keyakinan terhadap konsep keselamatan. Kecenderungan keyakinan ini memberikan tempat pada perilaku sosial individu untuk melakukan tindakan-tindakan yang efisien, metodis dan sistematis di arahkan oleh keyakinan terhadap janji keselamatan. Bagaimana produk kerja diarahkan oleh cita-cita untuk membangun dunia masa depan yang lebih positif, terasa nyaman bagi semua orang. Dari sana rasionalisasi kerja dan produk menjadi awal dari masyarakat yang membangun solidaritas antar sesama, serta peduli terhadap praktek-praktek eksploitatif terhadap alam. Inilah sisi dari motivasi sosial agama. Kepedulian sosial, perlindungan terhadap alam, suatu ketentuan untuk membangun masa depan dunia yang nyaman bagi semua orang merupakan sisi universal dari semua agama. Bahwa semua agama memiliki kepekaan bagi rumah (dunia) masa depan kita. Penekanan pada etika agama untuk mengarahkan kehidupan yang damai dalam keberagaman merupakan sesuatu yang sangat mendesak.

Dunia kontemporer, tidak mungkin lagi untuk kembali dalam suatu isolasi dunia, sebagaimana pada masa lalunya. Perjumpaan-perjumpaan, komunikasi yang sangat terbuka dan cepat, memberikan peluang bagi kita untuk melakukan suatu tindakan yang lebih konstruktif, interaksi yang membuka kecenderungan satu dan yang lainnya akan memahami realitas dimana kita bukan hanya menemukan keseragaman (baik etnis, agama) tetapi juga kita berjumpa dengan perbedaan-perbedaan yang ada. Di dalam perjumpaan seperti ini, ada kecenderungan suatu negosiasi yang bersifat meruntuhkan suatu dominasi tertentu, dengan membuka suatu ruang gerak dimana semua komunitas atau individu, tidak dilihat dalam konsep mayoritas-minoritas, kelompok kami-kamu, yang diperlawankan satu dengan yang lain, seperti memperlawankan siang dan malam. Cara pandang seperti ini, biasanya akan diikuti dengan tindakan-tindakan yang tidak disadari, yaitu naluri alami manusia yang belum dewasa, yang dapat mengakibatkan tindakan-tindakan yang yang didorong oleh ketidaan gagasan atau standart-standart sosial. Tindakan-tindakan seperti ini, hanya akan merusak dan meruntuhkan standart hidup bersama dalam prinsip multikulturalisme.
Prinsip multikulturalisme lebih menekankan suatu standart etos kehidupan bersama dalam suatu realitas masyarakat yang sangat beragam. Standart etika itu berhubungan dengan penghormatan, penghargaan kepada manusia dengan membuang jauh-jauh pembungkus mata yang mempersempit pandangan, pengertian dan penerimaan kita satu dengan yang lain. Keyakinan bahwa aku membutuhkan ‘yang lain’ membuka suatu kemungkinan bagi kita untuk belajar dari orang lain dan menghargai mereka apa adanya. Prinsip dasarnya bahwa semua manusia memiliki kemampuan untuk menghargai orang lain dalam dirimu sendiri dan dirimu sendiri juga akan tertanam di dalam kehidupan orang lain. Bryan Fay, menjelaskan hal ini dengan istilah “recruitability” dengan meminjam konsep Robert Kegan. Lebih lanjut Fay menjelaskan bahwa kemampuan diri kita untuk melihat orang lain sebagai berbeda tetapi mempunyai keterhubungan dengan yang lain berbeda itu sudah tersedia di dalam diri setiap manusia. Saya kira kemampuan ini yang perlu terus menerus diberi peluang untuk menuntun setiap manusia lebih dewasa dalam membangun relasi-relasi dalam keberagaman.

Penutup
Saya kira, tahap ketiga merupakan suatu ide dasar bagi transformasi pelayanan gereja di Sulawesi Tengah. Standart-standart sosial ini menegaskan bahwa manusia adalah mahluk sosial dan bukan manusia binatang yang ingin saling menyerang dan memusnahkan satu terhadap yang lain. Saya mengutip gagasan John Dewey: “Siapapun yang hidup dalam masyarakat modern tetapi masih memilih elemen-elemen kelompok sosial sebagaimana yang terdapat di dalam kebiasaan suku-suku yang sangat liar pada waktu yang lalu, sebagai yang melahirkan ketidakdewasaan dan tidak menolong, juga tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki gagasan-gasasan atau standart sosial.” Pengembangan teologi multikulturalisme sangat penting diperhatikan sebagai dasar pijak kita bersama bagi kehidupan yang membimbing tindakan-tindakan kita sanggup menggambarkan etos kehidupan multikultur, suatu kehidupan yang disumbangkan bagi penciptaan dunia yang hidup berdampingan dengan damai.
Realitas penduduk di daerah Poso sekarang ini, merupakan suatu wujud dari akumulasi berbagai peresapan nilai yang dibentuk baik oleh beragam sistem nilai, entah etnis, agama atau negara dalam hubungannya dengan negara lokal ataupun internsional. Realitas beragam ini merupakan bagian yang membentuk identitas komunitas dan dirinya sendiri sehingga etika yang menghormati nilai-nilai bersama akan menjadi kekuatan integrasi bagi kehidupan bersama. Identias yang dimiliki bukan lagi suatu identitas tunggal, meski mendiami potongan tanah yang tetap sejak dahulu kala. Namun suatu identitas justru tidak hanya ditentukan oleh batas-batas geografi itu tetapi justru dibentuk oleh berbagai perjumpaan dan nilai, gagasan yang dikhayatinya. Bagian yang terakhir inilah yang akan memasukannya ke dalam suatu komunitas yang lebih terbuka, dengan standart-standart sosial yang saling menghargai dan menghormati dalam dunia lokalnya. Saya kira, dalam konteks ini, gereja menempatkan diri sebagai kekuatan transformatif bagi masyarakat, bukan berdasarkan ayat-ayat Alkitab tetapi berdasarkan masalah-masalah sosial yang dihadapi bersama dalam realitas yang ada sekarang. Bagaimana menciptakan dunia yang saling menghargai dan menghormati satu dengan yang lain. Ide, gagasan menjadi kekuatan untuk mentransformasi realitas sebagaimana yang dikehendaki bersama merupakan suatu inti dari kekuatan transformasi itu sendiri.



Kepustakaan

Albert Schauwers, Colonial ‘Reformation’ in the Highlanders of Central Sulawesi Indonesia 1892-1995, Canada: Universitas of Toronto Press, 2000.

Asyer Tandampai, Dinamika Kekeristenan di Indonesia: Analisis Sosial-Historis Kekeristenan di Tana Poso Kurun Waktu 1950-1965, Thesis, The South East Asia Graduate School of Theology, 2005.

Bryan Fay, Contemporery Philosophy of Social Science, Oxford: Blackwell Publishers, 1996.

Jacques Waardenburg, The Clasiccal Approach to the Study of Religion. (Nederland: Mouton & Co. N.V., 1973.

John Dewey, Democracy And Education: An Introduction to the Phylosophy of Education, New York, The MacMillan Company, 1916.

Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Masyarakat, (terj) Jakarta: Prenada, 2005

Yuberlian Padele, Gereja Kristen Sulawesi Tengah dalam Kehidupan Bernegara, 1947-1966. Thesis pada Program Pasca Sarjana Theologi Universitas Kristen Duta Wacana, 1995

[Alo pa kabar? Saya kirimkan tulisan yang di muat di jurnal Forlog edisi april 2009. Bisa share di Oase. semoga selalu sehat walafiat, salam Lian]

Tidak ada komentar: