22 November 2009

Catatan dari SR XV PGI Mamasa

Catatan 1: Baru tadi sore (20 Nov jam 15.30) saya tiba di Mamasa. Dari seorang rekan saya dengan informasi mengenai “badai pasir” pada pembukaan SR kemarin. Gubernur, bupati dan sejumlah petinggi pemerintah lokal menunggu helikopter yang membawa petinggi dari pusat yang akan membuka SR di sebuah lapangan beberapa KM di luar kota Mamasa. Peserta dan undangan juga menunggu di sebuah lapangan tanah kering di tengah kota, tempat yang dipilih untuk pembukaan SR. Ternyata heli mendarat di lapangan di tengah kota itu: baling-balingnya menciptakan badai pasir yang menyiram hadirin ... lalu dari tengah badai muncul sang petinggi: Menhub Numberi.

Catatan 2: [Menanggapi seorang rekan yang sedih karena bukan SBY yang membuka Sidang Raya di Mamasa] Minggu lalu para pemuda gereja di PRPG PGI Sumarorong kecewa karena Menpora tidak hadir membuka pertemuan itu. Mengapa PGI dan gereja-gereja masih meneruskan paradigma masa Orde Baru bahwa pertemuan-pertemuan gerejawi perlu restu penguasa? Saya berpendapat itu mentalitas minoritas dengan kecenderungan ingin dekat (atau tunduk) kepada penguasa. Gereja-gereja kita harus belajar bahwa kewibawaannya bukan pada restu penguasa melainkan pada kesetiaannya kepada Tuhan. Lagi pula apa hebatnya direstui penguasa yang demikian korup? Kedekatan kepada penguasa juga sangat nampak dalam penyelenggaraan: bukan GTM melainkan Panitia (yang NB orang pemerintah) yang menonjol, dan yang kabarnya melakukan tugasnya dengan lebih bersandar kepada pundi-pundi kaisar daripada kepada persembahan warga jemaat. Kecenderungan itu juga nampak dalam kehidupan para pejabat dan warga gereja yang makin menjadi sama buruknya dengan dunia ini ...

Tidak ada komentar: