16 Februari 2011

Memperkuat Persekutuan, Merawat Kemajemukan, dan Memelihara Lingkungan

Sambutan mewakili MPH PGI
pada Pembukaan Sidang MPL PGIW Sulselbara,
Balla Tamalanrea, Makassar, 14 Februari 2011

Ibu-ibu, Bapak-bapak, Sdr-sdri hadirin -- tamu, peserta dan panitia Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara, yang semua sama saya hormati: salam sejahtera dalam kasih Tuhan Yesus Kristus.

Dalam rapat Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, tanggal 8 Februari di Tobelo -- sesaat setelah penutupan Sidang MPL PGI -- saya ditunjuk mewakili MPH PGI memenuhi undangan dan menyampaikan sambutan pada Sidang Majelis Pekerja Lengkap PGIW Sulselbara saat ini. Biasanya Ketua Umum yang menghadiri undangan gereja-gereja seperti ini, namun karena jadwalnya yang sangat padat Pdt. Dr. Andreas Yewangoe tidak bisa hadir. Sebagai anggota MPH PGI terdekat, dan juga dalam fungsi sebagai supervisor gereja-gereja se-Sulawesi, saya diminta mewakili.

Pertama-tama atas nama MPH PGI saya sampaikan salam dan selamat bersidang.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan tiga pokok komitmen MPH PGI, yang dituangkan dalam subtema Sidang MPL PGI di Tobelo, tgl 4-8 Februari lalu: Memperkuat Persekutuan, Merawat Kemajemukan, dan Memelihara Lingkungan. Semoga persidangan ini juga memberi perhatian sehingga menjadi keprihatinan bersama, yang selanjutnya menjadi acuan dalam program kerja gereja-gereja pada semua lingkup, dari sinode sampai jemaat.

Dapat saya informasikan bahwa pada awal bulan Maret akan berlangsung di Makassar suatu pertemuan – FGD, Focus Discussion Group – dengan Gereja Toraja Klasis Makassar sebagai host, di mana pimpinan gereja-gereja dan lembaga-lembaga pendidikan teologi di wilayah Indonesia bagian Timur diundang untuk membahas masalah-masalah pokok di wilayah ini untuk selanjutnya menjadi agenda penelitian suatu Kelompok Kerja Penelitian Litkom PGI.

Pokok komitmen pertama, Memperkuat Persekutuan. Komitmen ini timbul dari kenyataan banyaknya konflik di kalangan gereja-gereja anggota PGI, pada semua lingkup dari jemaat sampai sinode, baik di dalam satu gereja, maupun antar gereja. Para pimpinan gereja dalam lingkungan PGIW Sulselbara tentu mempunyai data mengenai hal ini, khususnya menyangkut gereja masing-masing. Dalam konteks itu, Memperkuat Persekutuan bukan sekadar slogan, melainkan seruan kenabian yang tegas menegur kecenderungan-kecenderungan pEMentingan diri atau kelompok yang mengabaikan hakekat kesatuan gereja sebagai satu Tubuh Kristus, sebagaimana disampaikan dalam khotbah tadi. Dalam konflik dan perpecahan gereja para pimpinan gereja yang terlibat mempunyai banyak alasan untuk membenarkan diri. Konflik sesuatu yang normal terjadi, juga di dalam gereja, namun gereja seharusnya memberi contoh bagaimana menyelesaikan konflik secara damai dan menjauhkan roh pemecah-belah.

Pokok komitmen kedua, Merawat Kemajemukan. Komitmen ini terkait dengan kenyataan konflik dalam masyarakat, khususnya yang bernuansa agama. Berbagai kesulitan dihadapi sejumlah gereja di berbagai tempat, khususnya di sekitar Jakarta, Bogor, Bandung dan di tempat-tempat lain. Ada yang dilarang membangun tempat ibadah, ada yang dilarang beribadah, dsb. Yang terakhir pembakaran sejumlah gereja dan fasilitas gereja di Temanggung, Jawa Tengah. Tetapi MPH PGI tidak hanya prihatin terhadap masalah-masalah yang menimpa gereja atau umat Kristen. Perlakuan tidak adil terhadap berbagai kelompok agama, seperti Ahmadiyah, juga memprihatinkan MPH PGI. Apalagi kekerasan yang menelan korban-korban jiwa yang baru-baru ini terjadi bagi komunitas Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Pokok keprihatinan di sini adalah meluasnya intoleransi dan kekerasan bernuansa agama dalam masyarakat, dan pembiaran oleh aparat keamanan, bahkan ada indikasi keterlibatan aparat keamanan melakukan kekerasan. Keprihatinan MPH PGI terhadap pembiaran ini terungkap dalam poin pertama daftar sembilan “kebohongan baru” pemerintah yang dikemukakan para tokoh agama bulan lalu, yang juga diikuti secara intensif oleh Ketua Umum MPH PGI. [Pin Stop Pembohongan! yang saya pakai ini terkait dengan hal itu.] Dan dalam sidang MPL PGI di Tobelo muncul perdebatan apakah gereja boleh atau tidak boleh mengutuk para pelaku tindak kekerasan dan yang membiarkan kekerasan itu terus terjadi. Terhadap berbagai kenyataan kekerasan dan intoleransi agama itu kita tidak dapat hanya prihatin atau menyatakan kecaman, melainkan harus terus berusaha mengembangkan hubungan-hubungan damai, dan bahkan mengatasi akar-akar kemiskinan, ketidakadilan, dan berbagai masalah sosial-ekonomi dan politik yang menjadi lahan subur perkembangan kekerasan dan intoleransi agama. Dalam hal ini setiap jemaat dihimbau untuk tidak hanya sibuk beribadah dan membangun rumah ibadah, melainkan juga untuk lebih serius memberi perhatian pada pelayanan sosial di dalam dan di luar persekutuan Kristen, sebagaimana Tuhan Yesus sendiri sibuk melayani orang-orang yang memerlukan pertolongan.

Tadi paduan suara menyanyikan Anging Mammiri’. Saya tidak tahu apakah anda memahami teks lagu yang indah ini, yang adalah sebuah protes sosial kepada tu sarroa takkaluppa – mereka yang sering lalai, lupa atau abai; namangu’rangi tu tenaya pa’risi’na – supaya sadar mereka yang tidak ada susahnya, mereka yang senang, yang mapan; supaya mereka ingat orang-orang susah dan menderita di sekitarnya …

Komitmen ketiga MPH PGI adalah Memelihara Lingkungan. Beberapa bencana alam beruntun pada tahun lalu – banjir di Wasior, Papua; tsunami di Mentawai, Sumatera Barat; dan erupsi gunung Merapi (Jawa Tengah) -- menimbulkan keprihatinan terhadap bencana alam, yang sedikit banyak terkait dengan pemeliharaan lingkungan. Saya tidak melihat bencana alam tsunami Mentawai dan erupsi Merapi terkait langsung dengan pemeliharaan lingkungan, tetapi jumlah korban akan lebih kecil jika manusia sadar dan menjaga diri dari ancaman kekuatan alam. Dalam kaitan itu “teologi bencana” sedang diprogramkan untuk menjadi pegangan pelayan dan warga gereja menghadapi bencana alam.

Banjir Wasior, sebagaimana banjir di mana-mana, jelas terkait dengan kelalaian manusia: dari sekadar membiarkan sampah menyumbat selokan, sampai penggundulan hutan, serta alih fungsi lahan dari lahan pertanian produktif menjadi perumahan. Kota Makassar makin sering banjir di berbagai tempat karena konversi lahan telah mengubah kota ini menjadi kota ruko, sementara selokan menjadi tempat sampah ...

Akibat ulah manusia, bukan hanya banjir, juga perubahan iklim yang tak menentu oleh pemanasan global (efek rumah kaca), di samping pencemaran udara, air dan tanah, yang mengakibatkan gangguan serius bagi kehidupan. Banyak spesis tumbuhan dan hewan musnah, yang merupakan indikasi makin melemahnya daya dukung alam bagi kehidupan, pada hal semesta alam diciptakan menjadi suatu sistem terpadu mendukung kehidupan. Krisis lingkungan adalah masalah bersama umat manusia. Keprihatinan – yang selanjutnya menjadi komitmen -- untuk memelihara lingkungan menjadi persoalan bersama umat manusia, tanpa batas-batas negara, bangsa, suku, atau agama. Dan komitmen ini tidak mudah karena secara perorangan diperlukan disiplin berlingkungan: baik dalam berurusan dengan sampah maupun pencemaran. Masyarakat perkotaan mencemari udara dengan asap kendaraan bermotor – yang dewasa ini makin banyak dan memacetkan kota -- sementara masyarakat petani di pedesaan mencemari air dan tanah dengan berbagai racun yang diperkenalkan kepada petani untuk mengurus tanamannya. Demikian juga di laut, para nelayan sering merusak terumbu karang, membom ikan, dan melakukan perusakan lainnya, yang berdampak pada mengurangnya biota laut dan menyebabkan ikan makin jarang. Pada skala yang lebih besar dunia industri, seperti perkebunan sawit, kakao dan perusahaan pengelola hutan, serta perusahaan tambang – dengan izin dari pemerintah -- merusak hutan dan lingkungan secara besar-besaran. Kerusakan lingkungan dewasa ini di seluruh dunia sudah sampai pada apa yang disebut ecocide, pemusnahan lingkungan.

Hadirin yang saya hormati.

Saya akan mengakhiri sambutan ini dengan secara singkat meminta perhatian pimpinan gereja-gereja pada dua aspek pembinaan sumber daya manusia di dalam gereja. Yang pertama, pemuda gereja. [Terima kasih kepada dua paduan suara pemuda yang tadi menyanyikan lagu rohani black American moderen dengan baik sekali.] Dalam Sidang MPL PGI di Tobelo terungkap bahwa pengkaderan di kalangan pemuda gereja macet. Pelayanan gereja-gereja terhadap pemuda pada lingkup jemaat sampai sinode tidak berlangsung secara sadar dan terencana, dan membiarkan saja persekutuan pemuda berjalan sendiri. Ini juga nampak dalam pelayanan mahasiswa di kampus-kampus, yang kini umumnya berada di luar jangkauan gereja-gereja kita.

Yang kedua, mutu para pendeta. Kawan-kawan pendeta, saya harus mengatakan hal ini. Dalam pekerjaan pokok saya di kalangan gereja-gereja selama beberapa tahun terakhir, saya menemukan kenyataan betapa rendah mutu pengetahuan dasar teologi kebanyakan pendeta, dan gejala melemahnya spiritualitas pelayanan mereka. Banyak pendeta muda yang studi lanjut, mereka memperoleh gelar tetapi substansi pengetahuannya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Banyak faktor penyebabnya. Kebanyakan pendeta mengeluhkan beban pelayanan yang demikian padat sehingga tidak punya waktu untuk menambah pengetahuan. Banyak pula yang tidak punya uang buntuk membeli buku, apalagi membeli komputer untuk mengakses bahan-bahan belajar dari internet. Kita hidup di abad ke-21, dengan kecanggihan teknologi, tetapi juga dengan kompleksitas tantangan pelayanan – seperti ketiga komitmen MPH PGI di atas -- yang membutuhkan kepemimpinan dan pelayan jemaat jemaat yang handal. Gereja-gereja harus secara serius memberi perhatian pada pengembangan mutu pengetahuan dan spiritualitas para pemimpin gereja. Barangkali pembenahan lembaga pendidikan teologi termasuk dalam agenda urgen ini.

Terima kasih.

Zakaria J. Ngelow
Anggota MPH PGI 2009-2014

Tidak ada komentar: