27 Januari 2011

Komentar atas Mika 6:1-8

Mika bernubuat pada bagian kedua abad ke-8 SM di Yehuda.

Latar Kisah (atau Konteks Sejarah)

Mika bernubuat dalam suatu masyarakat yang tidak kekurangan orang-orang beragama. Mika dengan jelas menyebut penyebaran religiositas di mana orang, khususnya para pemuka agama, memperlihatkan diri di muka umum betapa religius mereka itu, dengan mulut manis berseru di hadapan Allah (Mika 3). Nampaknya kehidupan beragama yang berlangsung seperti sediakala membuat para pemuka agama puas diri dan yang kuat tetap berkuasa. Maka dalam keadaan itu, munculnya seorang suruhan Allah mencanangkan hukuman Allah kepada orang saleh mestilah suatu kejutan.

Dipanggil ke Perundingan

Dalam ayat-ayat pembuka Allah mengajukan gugatan terhadap Israel, dan menyeru semua ciptaan menjadi juri. Gunung-gunung dan dasar-dasar bumi akan mendengar tuduhan Allah dan pembelaan Israel. Ini bukan pertengkaran kecil melainkan belangsung dalam suatu kerangka yang meliputi alam semesta.

Kita diberitahu bahwa “Allah berperkara dengan umat-Nya.” Kita tidak memperoleh daftar pelanggaran dalam ayat-ayat itu, namun sebelumnya, fasal 3 membeberkan setumpuk dosa dan ayat-ayat penutup fasal 6 menyatakan secara khusus: “kekayaanmu penuh kekerasan, pendudukmu bicara bohong” (ayat 12).

Kita mendengar berulang-ulang kesedihan Allah, “ O, umat-Ku,” dalam fasal 3 dan 5, ketika Allah mencoba memahami kesalahan apa yang terjadi. Ketika Allah meninjau hubungan ilahi – manusia sejauh itu, terkandung hukuman bagi umat yang kontras dengan kesetiaan Allah. Dan kita memperoleh suatu rangkuman sejarah keselmatan, di mana Allah menghitung “tindakan penyelamatan TUHAN” (ayat 4-5):

* Allah membebaskan dari perbudakan di Mesir
* memberi mereka para pemimpin (Musa, Harun, Miriam)
* memberkati mereka melalui imam asing Balam meskipun menentang kehendak rajanya sendiri
* dan membawa mereka ke tanah perjanjian (dari Sitim ke Gilgal).

Setiap kisah itu adalah suatu kisah lengkap tersendiri, dan setiap kisah memperlihatkan ketidaksetiaan umat secara kronis. Kedua ayat singkat ini membantu mengingatkan umat siapa Allah itu. Dialah Allah yang mendengar seruan umat dan membawa mereka keluar dari perbudakan. Dialah Allah yang mau memakai orang asing pun untuk memberi berkat. Dialah Allah yang memperlihatkan belas kasih dan rahmat ketika umat jatuh. Bahkan berhala dan ketidakadilan umat tidak mencegah Allah ini bertindak menolong. Keseluruhan ciptaan berdiri menjadi saksi penyelamatan Allah ini yang dinyatakan dalam tindakan-tindakan itu.

Jawaban Umat

Sekarang jawaban umat (ayat 6-7). Pertanyaan “dengan apakah aku akan datang ke hadapan TUHAN?” adalah semacam pengakuan bersalah. Tidak ada usaha untuk menentang klaim Allah, dan tidak ada bukti yang dikemukakan untuk membela diri mereka dari tuduhan-tuduhan Allah. Umat cepat-cepat kembali ke rumusan yang lazim: perlu persembahan korban untuk menutupi pelanggaran-pelanggaran mereka. Respon ini memperkuat pola pamer keberagamaan yang telah dikecam Mika, khususnya oleh para pemimpin yang mencari kepentingannya sendiri (3:11). Mika mestilah sudah menduga bahwa para pemimpin palsu itu akan mengarah ke tindakan pengorbanan yang mencolok itu, seakan-akan masalahnya adalah bagaimana menyenangkan Allah daripada mengubah kelakuan mereka sendiri. Mika memperjelas bahwa dalam bidang agama tidak akan ada lagi kehidupan beragama yang berlangsung seperti sediakala tanpa perubahan hati dan kehidupan.

Jawaban pergi-berbuat adalah usaha menyenangkan Allah melalui suatu bentuk score-keeping, yang mencoba memberi harga tertentu pada rahmat Allah. Berapa bayarannya untuk menghentikan pengawasan Allah? Korban bakarankah? Ribuan domba jantan? Anak sulungku? Bagaimana kita menyamakan angka? Tapi Mika menolak. Kita tidak bisa sekadar membayar.

Tidak Lagi Beragama Seperti Sediakala

Mika mempertentangkan antara membuat score-keeping gampangan dengan jalan yang telah Allah berikan, “Dia telah memberitahumu, hai mahluk fana, apa yang baik” (ayat 8). Keseluruhan Torat telah memberikan jalan kehidupan kepada umat Allah. Mika juga berada di barisan para nabi yang telah berulang-ulang mengingatkan umat mengenai jalan ini. Mika membuat rangkuman atas apa yang Allah tuntut, yang sekaligus lebih mudah dan lebih rumit daripada melaksanakan praktek ritual: “berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu.”

Berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah, bukanlah suatu tindakan tunggal yang dapat ditandai di daftar lalu ditinggalkan. Pada suatu skala pribadi dan sosial, dengan cara yang besar dan kecil, ini adalah suatu jalan hidup. Mika memberitahu bahwa persetujuan berkala terhadap kesetaraan bukanlah suatu kesetiaan. Kita tidak boleh hanya memberi perhatian pada kuota keanggotaan komite-komite dalam mengupayakan keadilan rasial. Kita tidak boleh hanya mengirim sumbangan untuk bantuan bencana lalu mengabaikan memeriksa gaya hidup yang menyebabkan, setidaknya sebagian, terjadinya sejumlah bencana alam. Kita tidak boleh melakukan kampanye hunger walks namun menolak mengubah gaya hidup konsumeris kita. Kita tidak boleh mengaku dengan mulut pada hari Minggu pagi namun mendendam di kantor pada hari Senin.

Daripada mempersembahkan kepada Allah ribuan domba jantan, Mika menyerukan untuk mempersembahkan ribuan tindakan harian saling mengasihi sesama dan dunia yang Allah kasihi. “Berjalan rendah hati dengan Allah” berarti menyadari kecenderungan untuk membenarkan diri sendiri. Kita tidak boleh “bermain gereja” atau membingkai kehidupan keagamaan kita sebagai suatu permainan di mana kita menahan Allah dengan melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan. Kehidupan iman memang suatu perjalanan yang mereorientasi hati dan kehidupan.

Suatu Peringatan

Adalah mudah untuk membuat dikotomi palsu antara praktek ritual dan iman yang sejati dari ayat-ayat terkenal dalam kitab Mika ini, antara kesalehan dan keadilan sosial, atau antara “menjadi religius” dan “menjadi rohani” menurut istilah yang lazim. Mika tidak pernah melarang orang untuk berhenti melakukan praktek ritual atau berhenti menjadi religius. Masalahnya bukan agama itu sendiri. Masalahnya adalah memakai praktek ritualnya untuk melepaskan diri dari kehendak Ilahi atas keadilan dan kemurahan. Kebalikannya sama menimbulkan masalah, yakni menjauhkan diri dari tindakan persekutuan doa dan ibadah karena sibuk dalam aktivitas keadilan sosial. Setiap ektrim tidak bisa memberi yang utuh.

Kita juga harus waspada pada penyalahgunaan yang lazim ayat ini, yakni membiarkan seseorang menjauh sama sekali dari persekutuan iman. Penekanan pada “berjalan rendah hati dengan Allahku,” dalam ayat 8 dapat menjadi manifesto agama pribadi, sebuah gereja perorangan.

Micah 6:1-8
Commentary by Amy Oden
http://www.workingpreacher.org/preaching.aspx?tab=1&alt=1

Terjemahan bebas oleh Zakaria Ngelow

Tidak ada komentar: