21 Januari 2011

Natal Menembus Batas


Jenifer Ladja


Apakah anda seorang Ibu? Atau seorang Ayah? Atau anda adalah seorang yang pernah mendampingi seseorang yang anda kasihi dalam menanti masa-masa kelahiran bayinya? Jika demikian, maka Anda tentunya dapat dengan mudah membayangkan bagaimana perasaaan Maria (Ibu) dan Yusuf (Ayah) saat menanti kelahiran Yesus. Bagaimana cemas, gelisah, khawatir sekaligus bahagia kadang sulit diungkapkan.


Kesederhanaan
Proses kelahiran Yesus tidaklah berbeda dengan kelahiran sebagian bayi-bayi pada zaman-Nya maupun pada zaman sekarang. Bahkan kelahiran Yesus jauh lebih sederhana dibanding kelahiran bayi-bayi yang lain, Injil Matius 1 dan Lukas 2 mencatat bahwa ketika Yesus lahir Ia dibaringkan pada sebuah palungan. Jelas bahwa palungan tidak ada di sebuah rumah bersalin, melainkan di dalam kandang. Tentunya tidak mudah menerima kenyataan tersebut. Meskipun demikian, sukacita Maria dan Yusuf tentunya tidak lebih kurang daripada sukacita Ibu dan Ayah yang anaknya dilahirkan di rumah bersalin yang mewah.
Dalam perkembangannya di kemudian hari, kelahiran yang sederhana ini dirayakan oleh umat Kristen atau biasa disebut Natal. Natal, di hati umat Kristen selalu membawa sukacita tersendiri. Bagaimana tidak, Natal dipahami sebagai penggenapan nubuatan nabi-nabi jauh sebelum Yesus lahir, misalnya dalam kitab Yesaya dan Mikha. Oleh karena itu, Natal sering kali dirayakan dalam berbagai cara yang jarang tak meriah. Bahkan suasana persiapan Natal sudah terasa beberapa bulan sebelum Desember.
Sebagaimana Yesus lahir dalam kesederhanaan, maka perayaan Natal dalam kesederhaanan pun bukan dosa. Yesus juga bukan anak-anak yang suka ngambek jika perayaan kelahiran-Nya tidak dirayakan dengan meriah. Meskipun perayaan yang meriah juga tentu tidak ada salahnya. Terlepas dari bentuk perayaannya, apakah dirayakan secara meriah ataukah dalam kesederhanaan, yang penting daripada itu adalah; Apakah melalui perayaan itu kita dapat memaknai Natal?


Menembus Batas
“Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia.” (Yoh 1:9) merupakan tema Natal 2010 yang diangkat oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konfrensi Wali Gereja di Indonesia (KWI).
Terminologi terang, hanya dapat dipahami oleh seseorang yang pernah berada dalam kegelapan. Seseorang yang tidak pernah berada dalam kegelapan (suasana gelap) akan sulit memahami makna setitik terang. Makna terang dalam kehidupan setiap orang pun akan berbeda satu dengan yang lainnya bergantung pada situasi orang tersebut. Bagi orang yang sedang berjalan dalam gelap, terang bisa menjadi penuntun, bagi orang yang sedang mencari sesuatu, terang akan bermakna sesuatu yang akan memperlihatkan barang atau apa saja yang sedang dicari, bagi orang yang sedang berkemah, terang adalah untuk menyatukan para peserta kemah dalam suasana yang akrab serta romantis, dll.
Terang yang dimaksud dalam Injil Yohanes adalah Yesus Kristus. Kelahiran Yesus Kristus yang dianalogikan dengan terang memiliki makna yang sangat mendalam bagi Jemaat Kristen dalam konteks Injil Yohanes, karena pada masa itu, Jemaat sedang berada dalam penindasan oleh pemerintah Romawi (70 M). Sehingga “Terang” yang dimaksud oleh Yohanes bermakna pembebas, penyelamat.
Terang yang dimaksudkan bukan sekedar terang biasa, melainkan “Terang yang sesungguhnya” karena terang yang biasa memiliki keterbatasan. Keterbatasan terang/cahaya nampak dari hadirnya bayangan. Ketika cahaya membentur benda maka bayangan pun hadir. Bayangan adalah wujud keterbatasan cahaya (Goenawan Mohamad, Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai). Terang yang sedang datang ini (baca= Yesus Kristus) adalah terang yang menerangi setiap orang. Terang ini tak terhalau oleh dinding atau benda apapun yang dapat menghalangi terang itu untuk nampak bagi semua orang.
Karya Yesus Kristus menembus segala “dinding” segala batas yang memisahkan; dinding suku, dinding agama, dinding kebudayaan, dinding kelas sosial, dls. Yesus menembus batas suci dan najis; Ketika Ia menyembuhkan orang Kusta yang diasingkan karena dianggap najis oleh orang Yahudi pada masa itu. Yesus menembus batas suku dan keagamaan; ketika Ia menyembuhkan anak perempuan Siro Fenesia, Ia menunjukkan bahwa kasih Allah melampaui batas suku bahkan batas keagamaan. Ia menembus batas kelas sosial; Ketika Ia membela hak-hak orang miskin saat Ia marah dan mengusir para pedagang yang menggunakan Bait Allah sebagai tempat untuk mencari keuntungan dari orang-orang miskin yang tidak berdaya. Semua itu, bagi Yesus bukanlah sebuah dinding yang harus menjadi pemisah.
Yesus adalah Terang yang sesungguhnya yang telah datang ke dalam dunia. Ia telah menunjukkan bagaimana menjadi terang. Oleh karena itu, Gereja (Umat Kristen) yang mengaku telah menerima terang itu juga hendaknya menjadi terang yang tak terhalau oleh segala jenis “dinding”
Di Indonesia masa kini, “kegelapan” hadir dalam bentuk; Kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, dll. Pada kondisi seperti inilah, Gereja hadir dan diutus. Oleh karena itu, melalui Natal, Gereja harus mampu menghadirkan “terang” dalam kehidupan sosial, dalam pelayanan yang menyentuh kehidupan secara nyata; terlibat dalam pengentasan kemiskinan, terlibat dalam penegakan keadilan, menyatakan sikap terhadap kekerasan, dll.
Sebagaimana pelayananan Yesus menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia; jasmani dan rohani; seperti ketika Ia memberi makan kepada lebih 5000 orang (Mat 14:13-21, Mrk 6:30-44, Luk 9:10-17, Yoh 6:1-13), melakukan penyembuhan-penyembuhan jasmani (orang lumpuh berjalan, orang buta melihat, dll) maka Gereja juga, dalam pelayanannya hendaknya menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia; jasmani dan rohani. Bukan melulu sebatas memuaskan kebutuhan rohani atau hanya sekedar mendiskusikan dan mendoakan mereka dari atas mimbar dan berharap Tuhan bekerja bagi mereka. Kebutuhan rohani memang perlu, tapi kebutuhan jasmani manusia pun tidak dapat diabaikan. Karenya pelayanan Gereja dalam masyarakat harus seimbang.
Menurut Dietrich Bonhoeffer, gereja dalam dunia yang sudah dewasa ini mempunyai tugas lain, bukan lagi untuk “berbicara” tentang pengampunan, penebusan, pembebasan,dll tapi untuk menyatakannya (menerjemahkannya) dalam perbuatan nyata (J.L. Ch Abineno, Dietrich Bonhoeffer: Hidup, Karya dan Perjuangannya).

Jika Gereja ingin menjadi terang, Gereja sendiri yang harus membuka “pintu” membuka “jendela” untuk menampakkan terang agar terang itu bercahaya bagi semua orang. Gereja tidak akan berguna, jika ia hanya menjadi terang di dalam “gedung” atau dengan kata lain menjadi sangat ekslusif. Gereja harus menjadi terang di dalam dan di luar dirinya.

Pernah dimuat dalam koran Tribun Timur, Makassar

Jenifer A.S. Ladja
Sarjana Teologi, menjadi staf pada OASE INTIM

Tidak ada komentar: