13 Januari 2011

Gereja dan perubahan masyarakat

Beberapa catatan dari Amerika dan dari Kalumpang

Zakaria J. Ngelow



Kaum muda menghilang

Sebulan penuh pada bulan September – Oktober saya mengikuti program International Peacemaker Gereja Presbiterian di AS – Presbyterian Church (USA). Dari perkunjungan ke beberapa klasis (presbytery) di beberapa negara bagian saya mengamati suatu gejala menyedihkan, yang kabarnya sudah cukup lama melanda gereja-gereja Protestan main stream di Amerika Utara dan Eropa, yakni menghilangnya kaum muda dari kehidupan aktif persekutuan jemaat. Akibatnya, anggota gereja hanya orang yang rata-rata berusia lanjut, dan makin berkurang juga karena mereka secara alami menghilang karena meninggal. Hanya gereja-gereja Injili dan gereja-gereja kalangan Black American dan kalangan migran (dari Asia, Afrika, Amerika Latin) yang kaum mudanya masih aktif. Ada yang menghubungkan kenyataan ini dengan liturgi tradisional yang datar membosankan (dibandingkan dengan liturgi Injili yang lebih hidup dan dinamis, khususnya dengan iringan musik moderen). Ada pula yang menunjuk pada sekularisasi masyarakat (Barat) moderen yang tidak memerlukan agama. Memang dewasa ini bukan gereja saja yang kehilangan warganya, melainkan juga berbagai organisasi sosial, bahkan partai-partai politik. [Di Indonesia banyak orang mendirikan partai politik tetapi makin kurang orang mau menjadi anggota tetap suatu partai politik. Orang lebih suka menjadi massa mengambang, yang orientasi politiknya kadang-kadang bisa dibeli, sementara para pemimpin politik sering menjadi kutu loncat. Dalam urusan sosial orang juga hanya terlibat gerakan-gerakan solidaritas secara insidentil, jika ada kebutuhan yang dikomunikasikan dengan baik.]

Mungkin juga melemahnya gereja terkait dengan format kelembagaan yang tidak selaras dengan perkembangan masyarakatnya: gereja dan lembaga-lembaga lainnya mempertahankan format masyarakat agraris sementara masyarakat telah melampaui era industri ke informasi. Reformasi gereja di Eropa pada abad ke-16 terkait dengan adanya perubahan mendasar dari dunia abad pertengahan ke dunia moderen, sementara gereja masih mempertahankan status quo. Maka penting memperhatikan bahwa masyarakat Indonesia sedang mengalami transisi ke masyarakat industri, sementara gereja-gereja di Indonesia masih mempertahankan kelembagaan masyarakat agraris. Konflik kepemimpinan pada semua lingkup mungkin mengungkapkan disharmoni antara kelembagaan gereja dengan perkembangan masyarakatnya.

Pada akhir Oktober saya menghadiri sidang sinode Gereja Kristen Sulawesi Barat (GKSB) di Bonehau, 70KM dari kota Mamuju. GKSB adalah sebuah gereja dengan mayoritas warganya orang Kalumpang (salah satu kelompok suku Toraja di lembah sungai Karama, pedalaman Mamuju, Sulawesi Barat), yang bekerja sebagai petani tradisional, dan sebagian beralih menjadi petani tanaman industri (kakao, sawit, kopi). Sebagaimana kebanyakan gereja di Indonesia, partisipasi pemuda dalam gereja ini masih cukup tinggi melalui organisasi gerakan pemuda atau persekutuan pemuda jemaat setempat.

Salah satu masalah gereja-gereja di pedalaman seperti GKSB adalah urbanisasi kaum mudanya ke kota (untuk studi lanjut atau mencari pekerjaan). Banyak di antara mereka “hilang” di kota: ketika tamat SMP atau SMU dan belum mengikuti katekisasi/sidi mereka tidak punya dasar Kristen yang kuat sehingga banyak yang telah meninggalkan Kekristenan, khususnya para gadis Kristen. Dalam hal seperti ini pembekalan dari anak-anak Kristen di pedesaan dari Sekolah Minggu /persekutuan remaja ke persekutuan pemuda dan pengajaran katekisasi bersifat strategis. Sayangnya banyak gereja tidak mengembangkan pembina yang memadai dan bahan-bahan ajar yang terencana, bahkan bidang pembinaan sering dilalaikan. Di beberapa gereja ada ketegangan-ketegangan antara pengurus pemuda gereja dengan Majelis Jemaat, baik karena kurangnya dukungan finansil terhadap program-program pemuda maupun karena kalangan pemuda gereja mendesakkan perubahan menentang berbagai kemapanan di dalam gereja. Bagaimana pun, gereja-gereja kita perlu belajar dari kenyataan di Barat yang menjadi the dying church, kehilangan kaum muda dan dengan demikian kehilangan masa depannya.

Gereja Suku

Pada sidang sinode GKSB itu saya memberi perhatian secara historis pada dua konteks kehadiran gereja-gereja yang dilembagakan menurus garis etnis (ciri umum gereja-gereja dengan nama etnis, seperti Gereja Toraja, Gereja Toraja Mamasa, Gereja Protestan Maluku, Gereja Kristen Indonesia Papua, Gereja Sumba, dsb), yakni konteks masyarakat etnisnya dan konteks Islam. Sebagai gereja etnis maka tersirat tanggungjawabnya menjadikan gereja sebagai agen perubahan dalam masyarakat sukunya, dan masyarakat pada umumnya. Idiom Alkitabnya adalah menjadi garam dan terang: garam di dalam masyarakat etnisnya dan terang terhadap masyarakat seluruhnya (Mat 5: 16, 17). Kecuali masyarakat Toraja, masyarakat-masyarakat etnis yang umumnya beragama Kristen di pedalaman Sulawesi Barat- Selatan-Tengah-Tenggara, seperti Kalumpang, Kulawi, Lore, Mamasa, Mori, Moronene, Pamona, PUS, Rampi, Seko, Tolaki, dll masih terbelakang, baik sumber daya manusianya maupun sarana dan prasarana wilayahnya. Para pemimpin gereja-gereja di Indonesia yang hadir pada rangkaian Sidang Raya PGI tahun lalu melihat dan mengalami secara langsung kenyataan keterbelakangan di wilayah kabupaten Mamasa. Pemerintahan pada masa Suharto lebih banyak menguras sumber daya alam daerah-daerah pegunungan ini daripada membangun masyarakatnya. Peran gereja di dalam masyarakat di pegunungan itu perlu terus dikembangkan, baik dalam pembekalan warganya maupun dalam tanggungjawab mencegah/menentang perusakan lingkungan alamnya.

Sebagaimana dikemukakan di atas, GKSB sebagai gereja suku perlu memberi perhatian pada kenyataan sosial bahwa dia hadir tidak hanya dari dan untuk orang Kalumpang, melainkan baik untuk orang Kalumpang maupun untuk masyarakat Sulawesi Barat, yang sejak beberapa dekade cepat bertambah karena menjadi tujuan perpindahan penduduk. Memang berat beban bagi gereja dari pedalaman ini, yang masyarakatnya setiap tahun mengalami bencana kelaparan karena kemarau panjang. Sementara itu gereja ini perlu pula memberi perhatian pada gencarnya berbagai perusahaan dari luar mengeksploitasi sumber daya alamnya yang kaya -- berbagai bahan tambang (minyak, mineral), kayu, perkebunan sawit – tetapi mengabaikan nasib masyarakatnya. Sumber daya manusia dan sumber dana GKSB sangat terbatas, tetapi dengan “kenekatan iman” berani mengambil tanggungjawab pelayanan terhadap suku-suku terpencil Tobinggi di pegunungan sekitar Pasangkayu di Mamuju Utara. Realitas GKSB seperti ini menjadi tantangan nyata bagi kemitraan ekumenis gereja-gereja di Indonesia untuk mewujudkan saling topang-menopang, yang khabarnya mulai dirintis bersama Gereja Kristen Indonesia. Dalam kenyataan mengurangnya keanggotaannya, jemaat-jemaat Gereja Presbiterian Amerika tetap mewujudkan panggilan misioner –ekumenis dengan menjalin hubungan-hubungan kemitraan langsung dengan jemaat-jemaat di berbagai bagian dunia.


Konteks Islam

Untuk konteks Islam, gereja-gereja perlu meneruskan dialog yang didasarkan baik pada pengakuan terhadap kebebasan beragama, maupun pada tanggungjawab bersama memajukan Indonesia. Hubungan Kristen dan Islam di Indonesia dipengaruhi berbagai faktor, baik teologi maupun politik dan ekonomi. Dengan demikian gereja perlu memberi perhatian pada berbagai perkembangan dalam masyarakat, yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi hubungan sosial, termasuk antara kelompok umat beragama.

Warga Gereja Presbyterian di Amerika yang saya kunjungi bertanya-tanya mengenai hubungan umat Kristen dengan umat Islam di Indonesia. Apakah benar ada penganiayaan (persecution) terhadap orang Kristen Indonesia? Latar belakang pertanyaan warga jemaat di AS itu secara umum berhubungan dengan meluasnya upaya mengenal Islam, yang dalam media banyak dikaitkan dengan terorisme sejak peristiwa tragedi 911, maupun karena keterlibatan AS dalam peperangan di negara-negera Islam seperti Afganistan dan Irak. Pertanyaan itu mengingatkan saya pada nasib umat Kristen pertama pada masa para rasul: mereka dikejar-kejar sampai ke luar negeri, al. oleh Paulus, yang kemudian bertobat dan menjadi rasul penyebar Injil Kristus yang menentukan kemajuan gereja. Ada beberapa peristiwa konflik pada tahun-tahun awal memasuki abad ke-21 seperti tragedi di beberapa daerah (Kalimantan, Ambon, Halmahera, Poso) di mana kedua komunitas berbunuh-bunuhan, dan beberapa kasus pelarangan mendirikan gereja di beberapa tempat di Bekasi dan di Bogor serta beberapa tempat lain. Tetapi kasus-kasus itu tidak dapat digeneralisasi sebagai adanya penghambatan terhadap orang Kristen di Indonesia. Memang ada kelompok-kelompok yang atas nama agama memusuhi gereja dan bahkan memusuhi fihak-fihak lain juga. Ada juga kelompok-kelompok yang terus memperjuangkan ideologi agama menggantikan ideologi Pancasila. Perlu diteliti alasan-alasan permusuhan itu, dan khususnya mengapa di Jakarta dan sekitarnya muncul kelompok-kelompok garis keras dengan membawa bendera agama. Mungkin saja ada alasan-alasan sosial ekonomi, misalnya marginalisasi dari kemajuan Jakarta. Saya menjelaskan bahwa dalam kasus-kasus permusuhan itu keprihatinan utama pimpinan gereja-gereja di Indonesia adalah pada sikap pemerintah yang membiarkan saja kelompok-kelompok garis keras melakukan kekerasan terhadap berbagai kelompok yang mereka tidak sukai, seperti Ahmadiah dan aliran-aliran kegamaan yang mereka anggap sesat, dan juga permusuhan kepada jemaat-jemaat Kristen tertentu. Namun saya juga mengungkapkan fakta bahwa ada banyak kelompok-kelompok interfaith tersebar di seluruh Indonesia, yang umumnya terdiri atas kalangan muda terpelajar yang mengembangkan saling pengertian dan kerjasama lintas kelompok agama.

Perlu mencatat di sini suatu perkembangan global dalam hubungan antar agama. Dengan dimotori Pangeran Gazhi dari Yordania, para pemimpin Islam sedunia beberapa tahun lalu menawarkan suatu dialog demi perdamaian dunia berdasarkan A Common Word, yakni kasih: kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia, yang diakui sebagai prinsip dasar yang dikehendai Allah baik dalam Alkitab maupun dalam Al-Qur’an. Sejumlah tokoh Kristen Indonesia merespon himbauan itu secara positif (selengkapnya lihat www.jalandamai.net). Berdasar pada prinsip kasih itu pula pada bulan Oktober lalu, Raja Yordania menyampaikan usul kepada Sidang Umum PBB – yang secara aklamasi menyetujui -- adanya perayaan tahunan Minggu Kerukunan Umat Beragama (World Interfaith Harmony Week) pada setiap minggu pertama bulan Februari.

Multikulturalisme Gado-gado

Pada masa lalu masyarakat Amerika terbagi atas migran Eropa kulit putih dan kalangan Black American dan Indian American. Dalam pendekatan apa yang disebut melting pot, semua orang dari berbagai latar belakang dileburkan ke dalam satu budaya ideal (yang dalam prakteknya budaya kulit putih dominan). Pendekatan dari abad ke-19 ini kemudian dikritik dan direvisi ke dalam pendekatan baru, salad bowl: di mana terhimpun semua unsur yang berbeda membentuk suatu kesatuan tanpa mengubah identitas masing-masing. Ibarat lain adalah simfoni musik, di mana berbagai alat musik yang berbeda mempunya tempat dan sumbangannya dalam memainkan suatu lagu. Untuk kenyataan Amerika, posisi masyarakat kulit hitam menjadi lebih baik setelah sukses gerakan emansipasi yang dipimpin Martin Luther King Jr (1929-1968) pada tahun 1960-an. Salad bowl dalam bentuk Indonesianya adalah sayur gado-gado. Dalam percakapan dengan warga jemaat-jemaat Presbiteran Amerika saya memakai gado-gado sebagai ilustrasi kepelbagaian Indonesia yang bhinneka tunggal ika. Dalam gado-gado unsur-unsur sayuran yang berbeda – kangkung, kacang panjang, wortel, kol, dst – tetap dengan jati dirinya. Unsur-unsur yang berbeda itu dipersatukan oleh bumbu kacang menjadi suatu kesatuan yang tetap jelas identitas individunya. Demikianlah saya memahami dan menjelaskan kesatuan dan persatuan Indonesia di bawah ideologi Pancasila: menghargai dan memberi tempat pada semua yang berbeda-beda (suku, agama, ras, golongan) dalam kebersamaan sebagai satu bangsa. Identitas tidak ditiadakan, melainkan diberi tempatnya dalam kebersamaan. Salah satu upaya untuk mewujudkannya adalah melalui pendidikan multikulturalisme, yang dewasa ini diperkembangkan untuk menghargai perbedaan demi persatuan.



Wassenaar, Nederlands, Nov 2010

Berita Oikoumene, Des 2010-Jan2011
dimuat kembali di sini dengan perbaikan redaksional

Tidak ada komentar: