06 Agustus 2012

In Memoriam Pak Holtrop (updated)


In memoriam Prof. Dr. Pieter Holtrop (31 Januari 1943 – 3 Agustus 2012)


Tadi sore saya terima email duka dari Pak Drewes di Negeri Belanda: beberapa hari lalu Pak Holtrop meninggal dunia. Berikut beberapa catatan pribadi mengenang almarhum.
Pada tahun 1975 terjadi suatu masalah di STT INTIM, yang menyebabkan dosen yang ditetapkan menjadi pembimbing skripsi saya, Dr. J.A.B. Jongeneel, dipindahkan ke Tomohon. Saya tidak bisa meneruskan rencana skrispsi sarjana muda mengenai gagasan-gagasan adanya Allah dalam sejarah filsafat. Akhirnya saya menulis skripsi sarjana muda di bidang Sejarah Gereja mengenai seorang tokoh reformator radikal di Jerman pada zaman Reformasi, Thomas Muntzer (1489 – 1525), di bawah bimbingan Pak Pilon (Drs. P.K. Pilon). Dalam wisuda Sarjana Muda Theologia (SMTh) saya lulus dengan baik dan menjadi salah seorang dari enam mahasiswa (bersama Sewaya Hali, Leonard Masalamate, Sarofanotona Harita, I Made Subiakta, Alius Rampalodji) yang bisa melanjutkan ke program Sarjana Theologia.

Pada tahun 1976 saya dipanggil Rektor STT INTIM waktu itu, Pak Kobong. Saya “dilamar” untuk dipersiapkan menjadi dosen di bidang Sejarah Gereja, oleh seorang dosen yang akan datang dari Negeri Belanda. Demikianlah tiba di Indonesia pada tahun 1977 Dr. Pieter Nanne Holtrop dan keluarga (Ibu Arnoldien Holtrop-van Berge dengan dua anak perempuan, Froukje dan Maria). Pak Holtrop seorang ahli sejarah gereja yang menulis disertasi mengenai tokoh kelompok Pietisme Jerman di Belanda pada abad ke-18. Karena saya dipersiapkan sebagai dosen, maka di bawah bimbingannya dalam program studi Sarjana Theologia saya harus mengerjakan tugas-tugas mata kuliah dan untuk persiapan skripsi yang cukup berat. Saya harus menyelesaikan book reports dan papers di bidang Biblika Perjanjian Baru, Sistematika, dan dasar-dasar Sejarah Gereja, sejarah Pekabaran Injil dan Sejarah Gerakan Ekumene. Dalam studi itu Pak Holtrop menekankan pentingnya “mengenal sebatang pohon dari akar sampai pucuknya, dan juga mengenal hutan di mana pohon itu tumbuh”. Saya menulis skripsi mengenai aspek tata gereja dalam pembentukan Gereja India Selatan, yang secara unik menggabungkan tradisi episkopal Anglikan dengan tradisi presbiterian. Sesuai kurikulum masa itu, saya perlu menulis skripsi mayor dalam bidang sejarah gereja, dan skripsi minor dalam bidang agama-agama. Pak Olaf Schumann membimbing saya menulis sekularisasi dalam pandangan agama-agama dunia. Ujian berlangsung pada 18 November 1978 dengan hasil yang sangat baik, dan pada awal tahun berikutnya saya mulai bekerja di STT INTIM sebagai asisten dosen.

Salah satu upaya Pak Holtrop di bidang sejarah gereja adalah membangun Institut Sejarah Gereja Indonesia Timur (ISGIT) di STT INTIM, dengan mengumpulkan dan mengatur arsip gereja-gereja, dan buku-buku yang terkait. Rekan saya, seorang Kristen Bugis dari Soppeng, Sdr. Sewaya Hali, menulis skripsinya mengenai pengarsipan itu. ISGIT sempat menerbitkan dua buku tulisan Pak Holtrop yang dikerjakan dari arsip itu, yakni buku sejarah dasa warsa pertama STT INTIM berjudul Dari Malino ke Makassar, dan sejarah Majelis Keristen, lembaga ekumenis gereja-gereja di Indonesia bagian Timur, yang menjadi bentara pembentukan DGI (sekarang PGI).

Ketika saya menempuh studi untuk Master of Theology di bidang sejarah gereja dalam program SEAGST di awal tahun 1980-an, Pak Holtrop memperkenalkan dua aspek penting dalam studi sejarah (gereja), yakni oral history melalui para pelaku sejarah gereja pada penelitian lapangan di Gereja Toraja Mamasa (GTM), dan penelitian arsip di Balitbang DGI (waktu itu disimpan di sebuah gedung di Cilandak, Jakarta Selatan). Dan salah satu pengalaman berat adalah ujian yang disebut “take home paper” yang harus dilulusi untuk masuk proses penulisan tesis. Biasanya ujian ini berupa suatu topik ditentukan untuk ditulis sebagai paper 20-an halaman, yang dikerjakan selama satu minggu. Pak Holtrop menugaskan saya memberi catatan kritis atas buku yang belum saya baca sebelumnya, Hendrik Kraemer, From Mission Field to Independent Churches. Waktunya hanya 24 jam (di zaman para mahasiswa masih memakai mesin ketik manual!)
Setelah masa perbantuannya di Makassar selama dua periode selesai pada tahun 1982, Pak Holtrop dan keluarga pulang ke Belanda, menjadi pendeta di Amsterdam. Kemudian diangkat menjadi mahaguru misiologi di THU Kampen (1987). Antara tahun 2005-2009 menjadi dosen tamu di Stockhom (Swedia). Ketika saya melakukan penelitian di Negeri Belanda, beliau diminta menjadi co-advisor. Saya tinggal di Oegstgeest, dekat Leiden, dan setiap kali saya mengunjunginya di rumahnya di Amsterdam melaporkan kemajuan studi saya. Ibu Arnoldien menyediakan masakan Belanda yang khas. Kedua putri mereka, Froukje dan Maria, waktu itu sudah beranjak dewasa. Setelah saya pulang, selain komunikasi via email, saya masih sesekali bertemu Pak Holtrop, juga setelah dia pindah ke Den Haag dan menikah dengan Gunilla Gunner, seorang dosen teologi Swedia dan rekannya sebagai pengurus WARC (World Alliance of Reformed Churches).
Setiap kali kami bertemu ada berbagai isu teologi yang kami diskusikan. Terakhir saya bertemu Pak Holtrop pada bulan Juni tahun 2011 di rumah Pak Jilles de Klerk di Wassenaar, dekat Den Haag. Sudah beberapa lama sakit, namun tetap bersemangat seperti biasa, bahkan datang dengan naik sepeda. Beliau membawakan saya buku yang ditulis kawan-kawannya di Kampen sebagai penghormatan, Mission Revisited: Between Mission History and Intercultural Theology (2011, diedit oleh Prof. Volker Küster). Di masa pensiunnya almarhum masih bekerja serius menulis biografi tokoh ekumenis ternama asal Belanda, W.A. Visser’t Hooft (1900-1985). Kemungkinan tugas ini belum sempat almarhum selesaikan.
Selamat jalan Pak Holtrop.
Pondok Remaja, Cipayung, 6 Agustus 2012

Info dari isteri alamarhum (Dr. Gunilla Gunner):
 
Pieter has spent the last half year in Sweden and got his treatment here. The cancer was unstoppable and none of the medicines he got helped, maybe it gave him some more time. But even though he was ill and needed a lot of support he managed to live his days filled with the work he liked so much. He was working, together with some colleagues on a book with articles on St Petersburg. He was almost finished with his work when he suddenly got a lot of pain a week ago and was brought to the hospital in Arvika where we have a house. He loved this place a lot and he is going to be buried on a small church yard at the lake not far from our house. We will have a funeral on Thursday, 9th of August and a memorial service will be held in the Klosterkeerk in the Hauge 30 of August at 14.00.
Pieters daughters are here and other family members will come on Thursday, both from The Netherlands and Sweden. Pieter was a great man and we loved him so much. We miss him and life will never be the same without him.


Tidak ada komentar: