20 Februari 2014

Pengantar Diskusi Buku





Aguswati Hildebrandt Rambe, Keterjalinan dalam Keterpisahan. Mengupaya Teologi Interkultural dari Kekayaan Simbol Ritus Kematian dan Kedukaan di Sumba dan Mamasa (Oase Intim, 2014)

Pergumulan yang diangkat di dalam buku ini pada awalnya lahir dari ruang kelas mata kuliah "Teologi Interkultural", ketika penulis mengajar di STT INTIM pada tahun 1999 - 2005. Kekayaan informasi tentang budaya-budaya dan agama-agama lokal yang diangkat oleh para mahasiswa/i, demikian halnya sejumlah studi kasus yang sangat menarik dan menantang berhubungan dengan perjumpaan iman Kristen dan agama-agama lokal, secara khusus tentang ritus - ritus kematian dan kedukaan, telah membuka mata penulis bukan hanya tentang kekayaan bahasa simbol agama-agama lokal melalui ritus, namun juga penulis disadarkan tentang kompleksitas yang dihadapi oleh gereja - gereja serta urgensi  memberi jawaban teologis atas sejumlah pertanyaan yang lahir dari perjumpaan tersebut.
Kesadaran yang lahir dari ruang kelas ini membuahkan keinginan dan motivasi untuk mengenal lebih jauh konteks berteologi di Indonesia, secara khusus di Indonesia bagian Timur, dengan cara melakukan perjalanan ke daerah-daerah seperti Mamasa (Nosu, Pana) dan Sumba Timur. Di dalam perjalanan ini, penulis menemukan secara ril kompleksitas persoalan yang berkepanjangan, yang dihadapi gereja dan umatnya
Sikap dan paradigma gereja dalam menghadapi persoalan pelik relasi agama-agama lokal dan iman Kristen (baca: ajaran gereja) adalah dengan menggunakan pola atau sikap memilah (selektif dualistik), mana elemen yang sesuai iman kristen dan mana yang bertentangan. Pola berpikir seperti ini telah lama menyejarah sebagai sikap utama gereja dan cenderung menjadi sikap satu-satunya dalam menghadapi rumitnya persoalan perjumpaan iman Kristen dan agama-agama lokal.  Dalam proses studi ini ditemukan bahwa sikap dan paradigma ini justru menjadi perangkap bagi gereja dan umatnya yang secara tidak sadar diarahkan untuk masuk ke kedalaman pusaran persoalan yang semakin rumit, sehingga gereja dan umatnya tidak dapat keluar dari rumitnya persoalan yang berkepanjangan. Salah satu akibat logis dari "sikap memilah" ini adalah ketegangan dan dilema identitas. Umat diperhadapkan dengan pilihan sulit berhubungan dengan identitas dirinya: entah setia pada leluhur atau setia pada iman Kristen. Alhasil, umat Kristen dituntun untuk beriman secara ganda yang terpilah dan justru di dalam situasi - situasi tertentu seperti menghadapi kematian dan kedukaan, umat terdesak untuk menentukan pilihan yang membebaninya.
Salah satu simpul dari studi ini menunjukkan bahwa paradigma selektif dualistik ini telah gagal menolong gereja dan umat dalam sejarah perjumpaannya dengan agama-agama lokal. Berangkat dari "kegagalan sejarah" tersebut, karya ini mencoba untuk menawarkan sikap dan paradigma yang konstruktif, yakni dengan tidak lagi bertanya: mana saja elemen budaya atau agama-agama lokal yang terartikulasi di dalam ritus-ritus kematian dan kedukaan, yang sesuai dengan iman Kristen dan mana saja yang bertentangan. Melainkan karya ini merumuskan pertanyaan konstruktif yang sederhana, yakni: Manfaat apa yang didapatkan oleh gereja dan umat Kristen di dalam perjumpaannya dengan agama-agama lokal. Atau bagaimana gereja melihat perjumpaan ini sebagai momen pembelajaran dan pengayaan bentuk-bentuk artikulasi pelayanan dan kehadirannya.
Berangkat dari pertanyaan konstruktif tersebut di atas, maka tulisan ini menyingkap (entdecken)  sebagai bagian dari proses berteologi bahwa bahasa simbol yang kaya yang terungkap melalui ritus - ritus kematian dan kedukaan masyarakat tradisional di Sumba dan Mamasa, tengah mengartikulasi sejumlah informasi penting tentang kebutuhan, pergumulan, kegelisahan, ketakutan umat yang tengah menghadapi dahsyatnya kuasa maut dan kematian. Di pihak lain, kekayaan bahasa simbol tersebut menjadi penanda bahwa ritus adalah mekanisme yang digunakan agama-agama lokal untuk menolong warganya menghadapi persoalan eksistensial seperti kematian. Pengalaman menghadapi dan mengalami dekatnya keterpisahan yang kekal oleh karena kematian terkadang tak dapat terbahasakan oleh ungkapan verbal, karena di sana bahasa verbal menjadi miskin. Oleh sebab itu, simbol menjadi alat bantu membahasakan dunia yang tak terbahasakan oleh ungkapan atau bahasa verbal.
Salah satu jawaban atas pertayaan konstruktif di atas tadi, sebagai manfaat yang tersingkap dari proses mendengar dan membaca bahasa simbol dalam ritus kematian adalah pemahaman akan kebutuhan dan kerinduan serta kegelisahan umat yang tengah menghadapi kematian dan berada di masa-masa duka. Berangkat dari hasil bacaan simbol-simbol ini, gereja tertolong untuk merancang dan merumuskan jawaban-jawaban teologis, demikian halnya merancang praksis pelayanan pendampingan yang membebaskan dan berpihak serta sesuai dengan kebutuhan umat. Dengan begitu, pedekatan konstruktif ini digunakan untuk keluar dari kondisi dilematis gereja yang berkepanjangan dan membebaskan umat dari sikap dilematis dan keterpaksaan untuk memilih antara kesetiaan kepada leluhur atau kesetiaan pada imannya.
Kedua wilayah studi ini (Mamasa dan Sumba) dimaksudkan sebagai "contoh kasus" semata dari realitas yang kompleks berhubungan dengan relasi agama Kristen dan agama -agama lokal di tempat - tempat lain di Indonesia. Dipahami pula dengan sungguh akan keterbatasan penulis sebagai orang yang bukan berasal dari kedua daerah ini, secara khusus berkaitan dengan bahasa daerah yang digunakan pada pemaparan ritus.
Diharapkan bahwa karya ini menjadi "provokasi" bagi pembacanya untuk terus menerus melahirkan dan merumuskan pertanyaan - pertayaan baru di dalam berteologi sebagai sebuah proses yang dinamis dan aktual.
Semoga terprovokasi!

Makassar, 8 Februari 2014
Aguswati Hildebrandt Rambe

Tidak ada komentar: