07 November 2007

Jalan Baru Politik Kristen di Indonesia

SUARA PEMBARUAN DAILY
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/04/03/index.html

Oleh Martin Lukito Sinaga

SAAT ini, biasanya orang akan mengaitkan persoalan politik dengan partai-partai politik. Ketika persoalan politik Kristen hendak dikaji maka segera orang akan merujuk pada Partai Kristen Indonesia (Parkindo) atau Partai Damai Sejahtera/PDS yang kali ini ikut meramaikan Pemilu 2004. Namun segera pula ingatan terarah kepada 'nubuat' atau komentar TB Simatupang mengenai partai-partai Kristen bahwa mereka akan memposisikan dirinya selaku a permanent minority party.
Tampaknya dalam lintasan sejarah di negeri ini, kehadiran partai Kristen bukan sekadar membuktikan lagi bahwa jumlah kursinya tidak signifikan, tetapi pada gilirannya malah menggiring umat Kristen ke dalam mentalitas minority complex. Mentalitas itulah yang dipompa oleh partai tersebut. Hanya dengan cara itulah suara bisa didulang dan sentimen teologi akan dipakai secara manipulatif untuk membenarkan kepentingan partai kecil itu, dengan menampilkan dirinya selaku juru selamat kaum minoritas.
Kalau politik (dalam hal ini Kristen) dipahami dengan maknanya yang luas, ia adalah horison kehadiran Kristen, di mana peran dirinya dapat mendorong transformasi seluruh kehidupan. Politik dalam arti yang luas tidak hanya sekadar perebutan kekuasaan, tetapi juga penegasan arah etis kehidupan bersama karena hadirnya komunitas religius di mana power hendak ditawar dengan truth.
Jadi, --sekadar mengambil contoh mutakhir-- akibat 'kuasa' ditantang oleh 'kebenaran' religius mengenai jati diri manusia selaku ciptaan Tuhan (selaku citra Allah), maka kita dapat menyaksikan Hak-hak Asasi Manusia/ HAM masuk ke dalam kosa kata politik dan memiliki klaim politik. Kurang lebih seperti inilah makna luas politik Kristen. Sehingga suatu penyempitan ke dalam partai-partai politik akan mengerdilkan makna strategis dan kreatif dari kehadiran politik Kristen tersebut.
Penekanan saya pada horison politik yang lebih luas dari komunitas Kristen di atas berarti juga suatu ikonoklasme. Maksudnya: posisi strategis politis tadi harus diambil karena sejak semula politik Kristen di Indonesia berbentuk penggumpalan diri yang eksklusif sambil mendefinisikan diri dalam kecemasan minoritas. Mentalitas sedemikian harus direkonstruksi, atau dihancurkan (seperti dalam peristiwa ikonoklasme), bukan saja karena yang hendak ditinggalkan ialah watak eksklusif di atas, tetapi terlebih karena kita mau jujur dan belajar dari sejarah kehadiran politisi Kristen di Indonesia.

Konservatisme
Cukup menarik mencatat bahwa prototipe politik Kristen dapat dilacak jauh ke zaman kolonial, dan cukup mengagetkan bahwa ahli sejarah gereja semisal Zakaria Ngelow menegaskan bahwa genesis politik Kristen itu secara simbolik tampak pada diri seorang anggota Volksraad, yaitu TS Gunung Mulia. Dia "berakar dalam lingkungan zending/misi dan sukunya (Batak), dan konservatif dalam sikap politik terhadap Belanda" (Ngelow, Kekris- tenan dan Nasionalisme, 1996:277).
Malah Gerry van Klinken memahami Gunung Mulia selaku kolaborator kolonialisme, dan karena itulah Gunung Mulia melihat bahwa politik etis yang dijalankan Belanda kala itu adalah pencerminan iman Kristen (van Klinken, Minorities, Modernity and the Emerging Nation, 2003:73). Pada gilirannya Gunung Mulia mendukung kolonialisme, dan merelakan umat Kristen berkibar dalam naungan dan perwalian Badan Misi Gereja Belanda.
Memang harus jelas dipahami, agar tinjauan historis fair adanya, bahwa dalam sejarah Indonesia, para kolaborator (baca: berpolitik secara kooperatif) adalah bagian dari kaum elite terdidik pertama di negeri ini yang memilih dunia modern selaku jalur emansipasi menghadapi kolonialisme Belanda. Dan memang Gunung Mulia mewakili kondisi orang-orang Kristen saat itu, mereka -sekali lagi mengutip van Klinken- masuk ke dunia modern, lalu masuk Kristen dan terhisab dalam arus embourgeoisement alias naik status kelas sosial (menjadi kelas menengah).
Sekadar catatan, dalam situasi inilah genesis politik Kristen lainnya yang muncul dari diri Amir Syarifuddin akan terasa marginal. Hampir tidak mungkin watak radikal Amir Syarifuddin itu mengambil bentuk dalam tubuh komunitas Kristen Indonesia.

Mencoba Berpartisipasi
Kalau catatan historis sedikit meloncat ke era Orde Baru, maka fusi partai-partai politik ke dalam tiga besar itu mendorong suatu manuver politik Kristen baru: ia memilih jalur mendukung kekuasaan yang ada, dan tema politiknya ialah partisipasi.
Pada masa ini ada kesan bahwa politik semakin meluas maknanya, dan umat Kristen seolah terbebas dari penyempitan politik ala partai-partai. Tetapi saat ikhtiar perluasan politik hendak diajukan, justru ruang dan atmosfir politik yang menyempit.
Semua dipaksa berbaris rapi mendukung otoritarianisme Orde Baru, dan malah tidak ada politik partisipatif saat itu, yang ada hanya satu politik kekuasaan milik Bapak Pembangunan.
Patut dicatat, kala itu jalur keterlibatan sosial yang mendukung proyek pembangunan Orde Baru dapat dikatakan dipelopori oleh umat Kristen. Munculnya embrio gerakan LSM semisal Dharma Cipta mengisyaratkan bahwa partisipasi politik bukan lagi sekadar ikut menumpang di dalam otoritarianisme Orde Baru, tetapi malah ia ikut mendorong program konkret Orde Baru, yaitu kerja-kerja praktis (yang belakangan memang dinilai sebagai pembangunanisme). Malah Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) secara maraton melatih tenaga-tenaga motivator pembangunan yang setetah dididik di Cikembar (Sukabumi) diterjunkan ke desa-desa melatih partisipasi warga membangun dirinya sendiri.
Salah satu akibat dorongan mengabdi dan berpartisipasi pada ideologi dan proyek Orde Baru tadi, umat Kristen hampir tak siap mengantisipasi kebangkrutan Orde Baru itu. Tak pernah diperhitungkan bahwa Orde Baru akan runtuh justru karena proyek pembangunan itu sendiri keropos dililit utang dan korupsi. Malah TB Simatupang terus menerus meyakinkan umat Kristen bahwa Orde Baru dengan dukungan militernya akan menempuh mission imposible, yaitu memelopori demokrasi dan koreksi dari dalam.
Dalam teologi gereja, seorang seperti Victor Tanja, yang terlibat dalam Golkar namun pengajar pada STT Jakarta, terus-menerus melarang kaum muda Kristen mempelajari teologi pembebasan. Terlena dengan perspektif ini, umat Kristen umumnya mengarahkan diri menjadi para profesional pekerja pembangunan, dan kaget ketika gelombang perubahan mencabik-cabik status quo.

Jalan Baru
Setelah meninjau segi-segi politik Kristen tadi, ternyata ada dua pelajaran penting yang didapat. Pertama, penyempitan ekspresi politik ke dalam partai politik selain hanya menghasilkan suara minoritas juga terbukti mendorong kelembaman (inertia) umat Kristen sendiri. Ia memiliki akar konservatif dan eksklusif di masa kolonial, dan ekspresi partai dari situasi sedemikian akan hanya menyuburkan isolasinya.
Kedua, tabiat minoritas yang cenderung menumpang ke dalam struktur kekuasaan yang ada malah pada gilirannya akan menanamkan bukan hanya mentalitas status quo, tetapi juga ketiadaan daya terobos di era transisi menuju demokrasi saat ini. Kalau sering dikatakan bahwa transisi Indonesia ini mengalami musim kemarau yang panjang, maka tepat juga kalau dikatakan ekspresi politik umat Kristen di dalam proses itu pun berada dalam suasana kering-kerontang.
Dari tinjauan tadi, bagaimanampun juga, bisa ditarik kesimpulan positif. Kalau memang politik Kristen itu sebaiknya tanpa partai minoritas, maka paling tidak ia bisa bergerak leluasa di ruang lain, yaitu ruang civil society. Sehingga memang politik Kristen kini dapat secara konsisten meluas, dan ia masuk dalam arus baru politik kewargaan itu: suatu politics of influence di mana kekristenan tidak lagi dilihat sebagai sumber kuasa di kotak suara, tetapi sebagai inspirasi perubahan masyarakat dengan pengorganisasian rakyat sebagai fokusnya.
Tentu dari situ, dari ruang-ruang kebebasan yang tercipta, pengaruhnya akan sampai kepada perubahan kebijakan dan kultur politik negara. Dan kalau memang tabiat menumpang di kekuasaan malah akan mencelakakan diri sendiri, kini tiba saatnya umat Kristen mencari rallying point dalam pergerakan sosial baru (New Social Movement). Di situlah berkumpul seluruh elemen-elemen demokratis yang akan mempercepat transisi ini menemukan format barunya. Kedua pilihan di atas akan meretas jalan baru politik Kristen di Indonesia.
Penulis adalah pengurus pusat Persekutuan Gereje-gereja di Indonesia (PGI).
Last modified: 3/4/04

Tidak ada komentar: