07 November 2007

Perempuan dan Politik

http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtID=448&term=kekerasan
28 Mei 2007 - 04:38 (Diposting oleh: em)
PEREMPUAN::

Transisi demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini, membangkitkan tuntutan yang lebih luas atas peningkatan kehidupan politik bagi setiap warganegara. Dalam kaitan ini terjadi tarik menarik dan proses negosiasi yang ketat antara ideologi politik dominan dengan aspirasi yang berkembang. Misalnya, saja dalam menetapkan wakil-wakil rakyat di setiap partai politik, perempuan masih di tetapkan pada nomor paling bawah. Hal ini menandakan masih adanya hegemoni kaum laki-laki untuk tetap menguasai di parlemen.
Dengan dukungan iklim keterbukaan sekarang ini, kompleksitas hubungan jender dengan demokrasi juga memperoleh perhatian yang cukup banyak dari berbagai kalangan dalam topik–topik seminar dan lokakarya ataupun berbagai pernyataan di media massa. Ditambah lagi terbentuknya kelompok-kelompok atau organisasi dan kaukus perempuan dalam politik.
Salah satu pertanyaan kunci yang muncul adalah, apakah proses demokratisasi yang berlangsung saat ini dapat menciptakan suatu iklim yang kondusif bagi kaum perempuan yang selama bertahun-tahun dipinggirkan dalam arena politik. Dalam kaitan ini cukup krusial juga untuk dipertanyakan apakah sistem pemerintahan yang hendak berkembang saat ini memberikan kesempatan dan manfaat yang maksimal bagi perempuan guna meningkatkan peran politiknya, terutama dalam pengambilan keputusan, menikmati hak-haknya seperti yang tertuang dan dijamin dalam konstitusi dan UU atau peraturan lainnya, serta memperoleh kesempatan yang setara dengan kaum laki-laki dalam segala bidang kehidupan.
Oleh karena itu, membangun demokrasi yang partisipatif adalah tantangan utama pada masa transisi ini. Konsep ini mensyaratkan pengakuan dan pemahaman yang mendalam terhadap individu dan kelompok yang selama ini powerless di bawah sistem politik (patriarkhi) yang berlaku. Selain itu juga penting meningkatkan kesadaran politik, sehingga mampu menggunakan kesadaran politik itu untuk mengekspresikan sikap politiknya dalam rangka melakukan perubahan kebijakan politik yang berdampak pada kehidupannya. Peningkatan kesadaran hidup ini ditujukan pada para pengambil keputusan dan penguasa lainnya, agar mereka dapat menghormati suara masyarakat serta mendekatkan pemerintahan kepada rakyat. Membangun jaringan kerja dan informasi adalah hal penting lainnya untuk memperkuat posisi politik rakyat. Semua ini hanya dilakukann jika didukung lingkungan sosial politik damai tanpa tekanan.
Msa transisi ini telah memberikan kotribusi yang cukup signifikan dalam penguatan demokrasi. Salah satu yang menonjol dibentuknya Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan (KNKP). Namun sejauh ini kontribusi kaum perempuan terhadap pembentukan institusi demokrasi penting lainnya tidak banyak jika tidak ingin mengatakan tidak ada. Salah satu sebabnya adalah karena kurangnya kemampuan perempuan mengartikulasikan masalah-masalah tersebut ke permukaan. Dengan kata rendahnya partisipasi dan representasi politik perempuan berkontribusi sangat signifikan terhadap kurangnya perhatian masyarakat terhadap pemberdayaan perempuan.
Saat ini masalah perempuan dalam politik dalam pengambilan keputusan telah mejadi isu global karena beberapa alasan.
Pertama, pemerintahan oleh (mayoritas) laki-laki dengan perspektif laki-laki (dengan sendirinya lebih menguntungkan laki-laki), tidak dapat melegitimasi “prinsip pemerintahan untuk rakyat oleh rakyat” sebagai esensi demokrasi.
Hal ini disebabkan di antaranya, hak-hak politik perempuan merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia, bahwa dalam demokrasi pandangan dari kelompok yang berbeda-beda termasuk berbeda jenis kelamin harus dipertimbangkan dalam setiap kebijakan, dan perempuan adalah separoh penduduk dunia dan separoh dari jumlah penduduk masing-masing negara.
Kedua, tidak ada sekelompok orangpun yang dapat mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan perempuan dengan kualitas tertinggi selain kaum perempuan sendiri khususnya umtuk mengartikulasikan kebutuhan perempuan yang spesifik misalnya dalam maslah kekerasan terhadap perempuan, kesehatan reproduksi dll.
Ketiga, kebutuhan-kebutuhan perempuan yang spesifik diatas, lebih berhasil diagendakan oleh perempuan sendiri dari pada kaum laki-laki.
Keempat, perempuan dianggap membawa perubahan dalam gaya dan nilai-nilai baru dalam politik dan juga dalam pembangunan. Peminggiran perempuan dalam politik dan pembangunan telah bertentangan dengan kemampuan mereka dalam mengelola ketahanan keluarga dan pemeliharaan kehidupan.
Dengan kata lain bahwa peminggiran perempuan dalam arena publik berarti telah menyia-nyiakan bakat, kemapuan dan kearifan mereka dalam membuat keputusan. Pengalamannya sebagai penjaga dan pemelihara kehidupan, memberi kearifan kepada perempuan untuk melihat pembangunan sebagai satu cara untuk mengatasi kemiskinan. Dalam hal ini kemiskinan tidak hanya diartikan sebagai kemiskinan harta benda akan tetapi meliputi juga kemiskinan personal atau social, seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan pengambilan keputusan yang membuat mereka tidak dapat keluar dari situasi kemiskinannya itu.
***
Perbincangan tentang perempuan dan politik pada umumnya terfokus pada masalah peningkatan akses dan partisipasinya dalam politik khususnya dalam parlemen serta transformasi atau perubahan relasi jender dalam institusi-institusi politik yang ada, serta dalam keluarga dan masyarakat. pengalaman menunjukkan bahwa meskipun jumlah perempuan meningkat di lembaga-lembaga pengambil keputusan khususnya di parlemen, tidak dengan sendirinya menghasilkan perubahan dalam upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender.
Masalahnya adalah karena sebagian perempuan yang terjun dalam dunia politik juga mengalami kendala kultural maupun struktural baik yang berkenaan dengan substansi kebijakan yang ada maupun mekanisme pembuatan kebijakan itu sendiri. Kendala kultural terkait dengan masih kentalnya budaya partiarkhi dalam masyarakat yang menetapkan pola dan peran sosial yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan.
Sosisalisasi nilai-nilai kultural yang berasal dari ideologi jender ini membuat perempuan kurang percaya diri untuk terjun dalam dunia politik. Kendala ini diperkuat oleh persepsi yang salah dari kaum perempuan sendiri tentang pengertian politik sebagai suatu yang buruk, kotor, kekerasan dan intimidasi (yang pada umumnya dibentuk cara berpolitik laki-laki). Kehidupan perempuan yang banyak ditampilkan dalam media massa juga turut memperkecil keberanian perempuan untuk terjun ke arena ini.
Kendala-kendala tersebut tercermin pula dalam model kehidupan politik yang dikembangkan seperti dalam sistem pemilu yang kurang memperhitungkan dampaknya bagi perempuan, kurangnya dukungan partai dalam mencalonkan perempuan, terbatasnya dana untuk pengembangan keterampilan kandidat perempuan dan tidak tersedianya sistem pendidikan dan pelatihan, serta terbatasnya jaringan kerja mereka dengan kelompok di luar partai politik. Kebanyakan kaum perempuan menghadapi kendala sosial ekonomi yang meliputi kurangnya pendidikan, kemiskinan, beban akibat UU Perkawinan yang menempatkan mereka pada posisi dilematis; antara keluarga dan karier. Akibatnya, terjadilah maskulinisasi politik di mana laki-laki mendominasi arena dan proses-proses politik yang menyebabkan kaum perempuan semakain sukar memasuki arena tersebut.
Sebagaimana penjelasan Nursyahbani Kantjasukana, mantan Sekjen KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), yang perlu dilakukan untuk meningkatkan partisipasi dan representasi perempuan dalam politik adalah :
Pertama, tetapkan target. Baik pemerintah maupun partai politik harus menetapkan paling sedikit sebesar 30 persen bagi perempuan untuk duduk di lembaga pengambil keputusan. Amandemen UUD 1945 kedua telah memberikan pedoman untuk membuat kebijakan ini sebagaimana tercermin dalam pasal 28 h dan pasal 4 konvensi penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan yang telah diratifikasi dengan UU nomor 7 tahun 1984.
Kedua, memastikan bahwa pilihan sistem pemilu yang harus diterapkan dapat menguntungkan perempuan. Sistem proporsional oleh banyak pihak dianggap dapat menguntungkan perempuan karena hanya dalam sistem ini kebijakan afimatif dapat diterapkan.
***
Iklim politik yang cukup kondusif saat ini merupakan peluang yang baik untuk melakukan perubahan mendasar di segala bidang. Namun demikian, perubahan yang harus dilakukan cukup besar dan meliputi semua institusi demokratis yang diperlukan bagi pembentukan masyarakat warga (civil society). Pemerintah harus efektif dan responsif terhadap kebutuhan kaum perempuan. Lembaga-lembaga legislatif di semua tingkatan juga harus diberdayakan agar dapat melakukan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif. Lembaga-lembaga peradilan harus dirubah agar lebih melayani kepentingan publik ketimbang melayani kepentingan pemerintah dan pengusaha, atau kepentingan politik tertentu. Badan-badan usaha negara juga harus meningkatkan akuntabilitas mereka terhadap rakyat sebagai pemilik sah dari usaha-usaha tersebut. Sistem pemilihan dari level presiden sampai tingkat desa juga harus diubah agar mereka lebih akuntabel terhadap pemilihnya dan sekaligus mempercepat proses peningkatan kesadaran politik rakyat. (Isre/Majemuk).
MaJEMUK Edisi 8 (Majalah ICRP) ------

Tidak ada komentar: